• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neuropati Auditori PDF

N/A
N/A
garsa juli

Academic year: 2024

Membagikan "Neuropati Auditori PDF "

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Refarat

Neuropati Auditori

Presentator : dr. Dina Maulida Lubis

Pembimbing : dr. Adlin Adnan, Sp. T.H.T.B.K.L. Subsp. N.O. (K) Moderator : dr. Carlo Maulana Akbar, Sp. T.H.T.BK.L.

Penguji : 1. Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.B.K.L.

2. dr.Vive Kananda, Sp. T.H.T.BK.L., F. Kom Hari/ Tanggal : Kamis, 18 Januari 2024

Waktu : 08.00 – 09.00 WIB

Tempat : Ruang Pertemuan Departemen T.H.T.B.K.L. Lantai 4 RSUP H. Adam Malik Medan

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN 2024

(2)

NEUROPATI AUDITORI Dina Maulida Lubis, Adlin Adnan

PENDAHULUAN

Neuropati auditori atau dissinkroni auditori adalah bagian dari tuli sensorineural dimana suara dapat masuk hingga ke telinga dalam, tetapi transmisi sinyal dari telinga dalam ke otak terganggu (Roman dan Runge, 2020). Istilah dis- sinkronisasi diartikan sebagai ketidakmampuan sinkronisasi aktivitas saraf pada regio temporal sehingga menyebabkan keterbatasan pada persepsi auditori.

Neuropati auditori sering terlewatkan dalam penegakan diagnosis. Hal ini menyebabkan jumlah kasusnya lebih sedikit daripada jumlah kasus yang sebenarnya. Walau demikian, selama 15 tahun terakhir terdapat perbaikan drastis di mana usia saat didiagnosis kasus neuropati auditori semakin kecil dan tingkat kasus kesalahan diagnosis juga menurun (Agarwal et al., 2012).

Secara demografi penyakit ini bisa terjadi pada anak sejak bayi baru lahir sampai pada orang dewasa usia 60 tahun, tetapi usia paling banyak terjadi pada anak sebelum umur dua tahun dan terdapat 75% pada penderita usia sebelum 10 tahun. Kejadian pada laki-laki 54% dan wanita 45%. Pasien dengan neuropati auditori dapat memiliki derajat pendengaran normal atau mengalami penurunan dari ringan hingga tuli sangat berat serta kemampuan persepsi bicara yang buruk (Agarwal et al., 2012). Kelainan ini diduga karena gangguan atau kurangnya transmisi sinyal di jaras pendengaran oleh presynaptic inner hair cells (IHCs) (De Siati et al., 2020).

Kasus ini pertama kali diperkenalkan oleh A. Starr dan koleganya pada tahun 1966 di mana mereka menemukan 10 pasien yang memiliki sel rambut luar koklea yang normal tetapi terdapat gangguan transmisi neural pada sistem saraf pendengaran perifer. Istilah “auditory neuropathy” diusulkan untuk menjelaskan keadaan ini (Agarwal et al., 2012; De Siati et al., 2020). Karakteristik klinis neuropati auditori bersifat heterogen, mencakup berbagai etiologi yang didapat, genetik (sindrom/ non-sindrom), dan kelainan kongenital. Faktor risiko juga

(3)

beragam, termasuk faktor perinatal dan neonatal, seperti hipoksia, hiperbilirubinemia, paparan obat ototoksik, dan infeksi seperti meningitis (Chaudhry et al., 2020).

Neuropati auditori merupakan komponen yang penting dalam kasus gangguan pendengaran sensorineural pada kelompok anak-anak. Patogenesis kasus ini meliputi variasi mekanisme yang luas disertai dengan lokasi patologis yang berbeda di sepanjang jaras pendengaran termasuk sel rambut dalam, sinaps, spiral ganglion neurons, saraf auditori atau nukleus batang otak auditori (Lin et al., 2020).

ANATOMI TELINGA

Telinga merupakan sebuah organ yang berperan dalam proses pendengaran dan keseimbangan. Berdasarkan anatominya, telinga dibagi ke dalam tiga struktur yang berbeda: telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Sundar, Chowdhury dan Kamarthi, 2021). Telinga luar terdiri dari pinna, kanalis akustikus eksternus dan membran timpani. Struktur ini berfungsi untuk mengirim gelombang suara yang diterima dari lingkungan sekitar. Telinga tengah berupa rongga berisi udara yang di dalamnya terdapat tiga buah tulang pendengaran:

malleus, incus, stapes, yang berperan dalam melanjutkan getaran dari membran timpani ke telinga tengah. Telinga bagian dalam berada di labirin tulang di dalam tulang temporal dan terdiri dari koklea, kanalis semisirkularis, utrikulus dan sakulus. Organ-organ ini merupakan bagian dari labirin membranosa yang berada di dalam labirin tulang dan dipisahkan oleh perilimfa (Bruss dan Shohet, 2023).

(4)

Gambar 1. Struktur Telinga (Dhingra, 2018) Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari kanalis akustikus eksternus dan pinna (aurikula), juga dikenal sebagai “daun telinga”, adalah lipatan kulit yang berjarak satu sentimeter di setiap sisi kepala dengan kanalis akustikus ekternus. Aurikula berfungsi mengumpulkan dan memperkuat suara. Suara disalurkan melalui telinga luar dan kemudian diteruskan ke kanalis akustikus eksternus. Kanalis ini melengkung berbentuk S, berukuran sekitar 3 cm dari tragus hingga membran timpani (Sundar, Chowdhury dan Kamarthi, 2021). Kerangka aurikula terdiri dari tulang rawan elastis, dengan kontur yang menentukan topografinya; memiliki ketebalan 0,5 hingga 2 mm dan terdiri dari dua lempeng tulang rawan yang dipisahkan oleh incisura terminalis (Sundar, Chowdhury dan Kamarthi, 2021).

Telinga luar memiliki mekanisme pertahanan untuk melindungi kanalis akustikus eksternus dan permukaan lateral membran timpani. Kulit dan permukaan kartilago kanalis akustikus mengandung folikel-folikel rambut, kelenjar sebasea dan apokrin yang memproduksi serumen. Ketiga struktur adneksa ini berfungsi melindungi liang telinga dan disebut apopilosebaceous unit (Sundar, Chowdhury dan Kamarthi, 2021).

(5)

Ga

mbar 2. Penampang Daun Telinga Kanan (Dhingra, 2018).

Membran timpani merupakan sebuah lapisan semi-transparan yang tipis, berbentuk oval dengan diameter kurang lebih 1 cm yang memisahkan kanalis akustikus eksternus dan kavum timpani. Membran timpani terdiri dari tiga lapisan: lapisan luar dilapisi epidermis tipis yaitu: epitel skuamos berlapis berkeratin yang nantinya berlanjut dengan lapisan epidermis dari kanalis akustikus eksternus; lapisan tengah berupa lamina propria yang terdiri dari jaringan ikat fibroelastik; lapisan medial (bagian dalam) dilapisi epitel kuboid yang nantinya menyatu dengan epitel membran mukosa kavum timpani (Szymanski et al., 2018).

Secara anatomis, membran timpani dibagi menjadi pars tensa yang sesuai namanya merupakan area yang tegang dan pars flaksida yang lebih lentur.

Struktur membran timpani memiliki fungsi sebagai penghantar dan penguat gelombang suara di mana gelombang suara akan menggetarkan membran timpani yang nantinya akan menggetarkan tulang-tulang pendengaran lalu diteruskan ke koklea hingga terjadi proses transduksi suara (Szymanski et al., 2018).

Telinga Tengah

Telinga tengah merupakan rongga yang dikelilingi tulang yang berisi udara dan berhubungan langsung dengan nasofaring melalui tuba eustachius.

Secara klinis, kavum timpani dapat dibagi menjadi: hipotimpanum, mesotimpanum dan epitimpanum. Area hipotimpanum dibawah membran timpani. Mesotimpanum (setinggi membran timpani) diisi oleh prosesus longus malleus, incus, stapes, foramen ovale dan foramen rotundum serta nervus fasialis.

(6)

Epitimpanum di atas membran timpani diisi oleh badan malleus dan incus (Luers dan Hüttenbrink, 2016).

Telinga Dalam

Telinga bagian dalam terletak di dalam labirin osea (tulang) os temporal yang terdiri dari koklea, kanalis semisirkularis, utrikulus, dan sakulus. Organ- organ ini membentuk labirin membranosa yang berada di dalam labirin tulang, dan dipisahkan oleh cairan perilimfe. Labirin membranosa mengandung cairan yang disebut endolimfe, yang berperan penting dalam eksitasi sel-sel rambut yang bertanggung jawab untuk transmisi suara dan vestibular (Bruss dan Shohet, 2023).

Koklea adalah organ berisi cairan berbentuk spiral yang terletak di telinga bagian dalam. Koklea mempunyai tiga kompartemen anatomi yang berbeda: skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Skala vestibuli dan skala timpani keduanya mengandung cairan perilimfe dan mengelilingi skala media yang mengandung cairan endolimfe. Cairan endolimfe dalam skala media berasal dari cairan serebrospinal (CSF) dan disekresikan oleh stria vaskularis, yaitu jaringan kapiler yang terletak di ligamen spiral. Cairan perilimfe pada skala vestibuli berasal dari plasma darah, sedangkan cairan endolimfe pada skala timpani berasal dari CSF. Cairan endolimfe dan cairan perilimfe sangat bervariasi dalam konsentrasi ionnya, yang penting untuk fungsi koklea secara keseluruhan. Cairan endolimfe kaya akan kalium dan rendah natrium dan kalsium, sedangkan cairan perilimfe kaya akan natrium dan rendah kalium dan kalsium. Perbedaan konsentrasi ini memungkinkan terjadinya potensial endokoklea positif. Perbedaan konsentrasi ion kalium di antara tiga kompartemen cairan di dalam koklea memungkinkan transduksi arus yang tepat bersama sel-sel rambut (Bruss dan Shohet, 2023).

FISIOLOGI DAN JARAS PENDENGARAN A. Telinga Luar dan Telinga Tengah

Kepala dan telinga luar memiliki peran pasif tapi penting dalam pendengaran karena efek akustik dari kedua struktur ini. Secara umum proses

(7)

mendengar terbagi menjadi dua mekanisme yaitu, konduksi, yang terjadi di telinga luar dan tengah, serta transduksi yang terjadi di telinga dalam. Ketika getaran suara terjadi, maka organ yang pertama kali menangkap getaran tersebut adalah daun telinga (Dhingra, 2018).

Konka aurikula menyebabkan resonansi suara sebesar 5kHz, demikian juga permukaan aurikula yang tidak rata akan memberikan efek resonansi dan anti-resonansi terhadap gelombang suara yang diterima. Fitur akustik ini akan sangat berguna bagi pendengar untuk menentukan apakah sumber suara berasal dari depan atau belakang dari si pendengar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa aurikula manusia memiliki dua fungsi: 1. Membantu melokalisasi suara, khususnya dari arah depan ke belakang dan perbedaan suara tinggi-rendah; 2.

Bersamaan dengan kanalis akustikus eksterna, keduanya akan meningkatkan tekanan akustik pada membran timpani sekitar 1,5 hingga 5 kHz, yang merupakan frekuensi penting untuk persepsi wicara (Martin, Feeney dan Phillips, 2016).

Permukaan aurikula yang lebar akan mengumpulkan getaran dan meneruskannya ke dalam meatus akustikus eksternus hingga ke permukaan membran timpani. Luas permukaan membran timpani yang lebih kecil dibandingkan daun telinga menyebabkan meningkatnya kekuatan getaran suara yang dihantarkan (Dhingra, 2018).

Dari aurikula, gelombang suara akan dihantarkan hingga menggetarkan membran timpani yang selanjutnya juga akan menghantarkan tulang-tulang pendengaran (osikel). Osikel akan membentuk jalur transmisi yang menghantarkan energi suara dari membran timpani, dan menjadi perantara dari telinga luar dan tengah, ke foramen ovale koklea. Telinga tengah sendiri memiliki dua peran dalam proses pendengaran: (1) “menyamakan impedansi (impedance matching)” antara impedansi udara lingkungan luar dengan impedansi cairan (perilimfe dan endolimfe) koklea dan (2) refleks akustik sistem otot telinga tengah (Martin, Feeney dan Phillips, 2016).

Setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang pada cairan telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi gelombang suara semula. Ketika stapes bergerak mundur dan menarik foramen

(8)

vestibuli ke luar ke arah telinga tengah, perilimfe mengalir dalam arah berlawanan, mengubah posisi foramen rotunda ke arah dalam (Dhingra, 2018).

B. Telinga Dalam

Transmisi gelombang suara melalui gerakan cairan di dalam perilimfe yang ditimbulkan oleh getaran foramen vestibuli yang mengikuti dua jalur: (1) melalui skala vestibuli, mengitari helikotrema, dan melalui skala timpani, yang menyebabkan foramen rotunda bergetar. (2) skala vestibuli melalui membran basilaris ke skala timpani. Fungsi telinga tengah adalah untuk mengubah getaran suara menjadi impuls atau sinyal yang akan diteruskan ke saraf pendengaran. Di saat yang sama, telinga dalam juga menganalisa frekuensi (pitch) dan intensitas (besar kecilnya) dari suara yang diterima (Martin, Feeney and Phillips, 2016).

Suatu serat saraf dapat mengirimkan sebuah impuls dengan kecepatan di bawah 200 kali per detik. Ketika getaran dari kaki stapes menggerakkan membrana basilar dan cairan di dalam koklea. Getaran ini akan diteruskan hingga menyebabkan sel-sel rambut bergerak dan kanal Na-K terbuka yang menyebabkan terjadi depolarisasi ion. Sel-sel rambut tadi mendapat persarafan dari sel-sel bipolar ganglion (Moneta dan Quintanilla-Dieck, 2017; Dhingra, 2018). Pada suara dengan kekuatan 100 hingga 110 dB SPL (tingkat tekanan suara), mode getaran rantai tulang pendengaran berubah. Jadi, alih-alih berputar pada sumbu pendeknya, seperti ditunjukkan pada Gambar 3A, alas kaki stapes malah berputar pada sumbu panjangnya (Martin, Feeney dan Phillips, 2016).

Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi pergerakan maju-mundur rambut-rambut di sel reseptor. Ketika partisi koklea bergerak sebagai respons terhadap gelombang yang dimulai oleh stapes, hal ini menyebabkan gaya geser antara stereosilia sel rambut dan membran tektorial.

Hal ini menyebabkan defleksi stereosilia sel rambut, yang tersusun dalam baris- baris yang teratur berdasarkan tingginya (Gambar 3.), dan ujung-ujung stereosilia ini dihubungkan dari satu baris ke baris berikutnya melalui filamen elastis yang disebut tip links. Diperkirakan bahwa ketika stereosilia dibelokkan ke arah baris tertinggi, hal ini menyebabkan tip links ini meregang. Peregangan tip links

(9)

kemudian menyebabkan terbukanya saluran kationik yang terletak pada stereosilia. Karena terdapat perbedaan kadar elektrokimia yang besar melintasi permukaan apikal sel-sel rambut, dengan potensi endokoklear positif yang besar di satu sisi dan potensi intraseluler negatif yang besar di sisi lain, pembukaan saluran kationik yang sensitif terhadap regangan pada stereosilia menyebabkan peningkatan yang besar masuknya arus kationik, yang menyebabkan depolarisasi sel rambut. Saat stereosilia dibelokkan menjauh dari baris tertinggi, tautan ujung menjadi rileks dan dengan demikian mengurangi kemungkinan pembukaan saluran ion; hal ini menyebabkan hiperpolarisasi sel rambut. Defleksi stereosilia sel rambut dan depolarisasi atau hiperpolarisasi sel rambut yang dihasilkan merupakan langkah penting dalam proses transduksi sinyal. Sel rambut dengan mengubah sinyal mekanis (gelombang cairan telinga bagian dalam) menjadi sinyal elektrokimia. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa protein mirip saluran transmembran 1 dan 2 (TMC1 dan TMC2) memainkan peran integral dalam proses mekanotransduksi ini (Flint et al., 2021).

Gambar 3. Penampakan potong lintang koklea manusia (kiri). Sel rambut dengan stereosilia di ujungnya (Flint et al., 2021)

Ketika getaran mekanis pada partisi koklea diubah menjadi sinyal elektrokimia oleh sel-sel rambut, informasi yang dibawa oleh sinyal-sinyal ini disebarkan oleh serabut saraf pendengaran aferen di otak, tempat informasi tersebut diproses. Neuron pendengaran aferen ini bersifat bipolar;

di mana saraf tersebut mengirimkan proses perifer untuk melakukan kontak

(10)

dengan sel-sel rambut sementara mereka mengirimkan proyeksi sentral ke batang otak pendengaran (Flint et al., 2021). Ciri khas jaras auditori sentral adalah jaringan saraf rumit yang mengatur representasi suara. Ketika transmisi sinyal suara memasuki otak melalui saraf pendengaran, aktivitas tersebut diubah oleh tidak kurang dari 12 jenis neuron proyeksi di tujuh pusat pemrosesan utama sebelum berkumpul di talamus pendengaran untuk diproses (De Siati et al., 2020; Flint et al., 2021).

Dari sel rambut dalam di organ korti, proses transduksi diteruskan ke nervus auditori yang berjalan sepanjang kanalis akustikus interna dan berakhir pada second-order neuron dari sistem pendengaran, yang terletak di cochlear nucleus (inti koklea). Ini adalah stasiun pemancar pertama yang penting untuk semua informasi pendengaran yang berasal dari telinga, dan terletak di pontomedullary batang otak dorsolateral pada manusia. Input dari nervus auditori menggerakkan beberapa jenis sel di subdivisi berbeda dari inti koklea yang mana setiap jenis sel memproyeksikan secara terpusat ke target yang berbeda di kompleks olivari superior (SOC), inti lemniskus lateral, dan kolikulus inferior. Oleh karena individu dengan pendengaran normal menggunakan kedua telinga, lokalisasi suara dilakukan melalui pemrosesan saraf berupa isyarat intensitas dan waktu dari masing-masing telinga di batang otak pendengaran (Flint et al., 2021).

Kolikulus inferior memproses informasi yang diterimanya dan mengirimkan serat ke korpus genikulatum medial talamus. Jumlah serabut yang menonjol dari kolikulus inferior ke genikulatum medial adalah sekitar 250.000, hampir 10 kali lipat jumlah saraf pendengaran. Peningkatan jumlah serabut saraf pada tingkat kolikulus inferior menunjukkan besarnya jumlah serabut saraf pendengaran. Jumlah pemrosesan sinyal yang terjadi di sistem pendengaran pusat. Bagian pendengaran utama dari korteks serebral terletak di lobus temporal, dekat dengan celah sylvian. Dua pusat utama pemrosesan pendengaran di wilayah ini adalah korteks pendengaran primer dan korteks pendengaran asosiasi. Korteks pendengaran primer terletak di permukaan superior lobus temporal (Heschl gyrus); ini juga

(11)

dikenal sebagai area A1, yang sesuai dengan area Brodmann 41. Korteks asosiasi pendengaran juga dikenal sebagai area A2 dan sesuai dengan area Brodmann 22 dan 42. Korteks pendengaran primer terlibat dalam pengintegrasian dan pemrosesan sinyal pendengaran yang kompleks, termasuk pemahaman bahasa. Korteks asosiasi pendengaran terletak di lateral korteks pendengaran primer dan merupakan bagian dari area penerimaan bahasa yang dikenal sebagai area Wernicke’s. Studi pencitraan fungsional menunjukkan bahwa korteks asosiasi pendengaran memainkan peran penting dalam persepsi ucapan (Flint et al., 2021).

(12)

Gambar 4. Skema jaras pendengaran sentral (Christov, Nelson dan Gluth, 2018)

(13)

Gambar 5. Korteks Pendengaran Primer dan Korteks Pendengaran Asosiasi ( Area Wernicke’s) (Binder, 2015)

DEFINISI NEUROPATI AUDITORI

Neuropati auditori adalah gangguan pendengaran yang ditandai dengan fungsi sel rambut luar koklea yang masih normal atau mendekati normal secara elektrofisiologis tetapi terdapat gangguan persepsi bicara. Hal ini diduga disebabkan oleh gangguan pada aktivitas saraf aferen pada jaras auditori perifer dan sentral atau gangguan dalam waktu pemrosesan karena kurangnya transmisi sinyal ke saraf pendengaran oleh sel-sel rambut bagian dalam presinaptik (De Siati et al., 2020).

Hal ini terlihat jelas pada diagnosis neuropati auditori yang memiliki fungsi sel rambut luar koklea normal pada pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) dan dijumpai gambaran mikrofonik koklea (CM) tetapi pada pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) tidak normal. Penderita ini

(14)

dapat mendengar suara, tetapi mereka tidak dapat menerjemahkan ucapan dan bahasa (Roman dan Runge, 2020).

EPIDEMIOLOGI NEUROPATI AUDITORI

Neuropati auditori adalah kelainan klinis yang menantang dan menyumbang 10% kasus gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) pada anak-anak (Lin et al., 2020). Walaupun demikian, prevalensi neuropati auditori masih belum pasti, dan penelitian melaporkan prevalensinya berkisar antara kurang dari 1% pada pasien gangguan pendengaran hingga 10%. Variabilitas ini mencerminkan heterogenitas profil klinis pasien neuropati auditori yang luas di berbagai penelitian (De Siati et al., 2020).

Kasus neuropati auditori dilaporkan 40% pada neonatus dengan risiko gangguan pendengaran yang tinggi, terutama pada bayi di unit perawatan intensif neonatal (NICU). Angka prevalensi neuropati auditori pada bayi sangat tinggi bila dibandingkan anak usia sekolah tunarungu. Angka prevalensi neuropati auditori pada anak sekolah tunarungu adalah 2,46% dalam rentang usia 6-12 tahun (Vignesh, Jaya dan Muraleedharan, 2016).

ETIOLOGI NEUROPATI AUDITORI

Neuropati auditori secara umum dapat terjadi pada semua orang, tetapi lebih sering ditemukan pada anak dengan risiko tinggi untuk terjadinya gangguan pendengaran. Walaupun penyebab neuropati auditori belum diketahui secara pasti, namun sejumlah faktor yang berhubungan dengan neuropati auditori mencakup berbagai etiologi baik kongenital (sindrom/non-sindrom) dan didapat. Penyebab kongenital berupa kelainan genetik (mutasi gen Connexin 26 (GJB2), otoferlin/OTOF, sindrom Charcot-Marie-Tooth, ataksia Friedrich, sindrom Mohr-Tranabjaerg, penyakit Refsum).Faktor risiko didapat juga beragam, seperti asfiksia/ hipoksia perinatal, hiperbilirubinemia, paparan obat ototoksik, pemakaian ventilator mekanik, perdarahan intrakranial post-natal), gangguan imun (sindrom Guillain-Barre), polineuropati pada diabetes mellitus dan infeksi seperti meningitis (Chaudhry et al., 2020; Colucci, 2020).

(15)

PATOFISIOLOGI NEUROPATI AUDITORI

Ada dua mekanisme dasar yang menyebabkan terganggunya aktivitas saraf di auditory brainstem: (i) pengurangan jumlah serabut saraf pendengaran yang teraktivasi (diferensiasi); dan (ii) penurunan derajat sinkronisasi saraf (dissinkroni). Lokasi lesi merupakan hal yang penting untuk diketahui (De Siati et al., 2020).

a. Mekanisme presinaptik Neuropati Auditori

Sel- sel rambut dalam koklea berfungsi sebagai penghubung antara mekanisme sensori dan saraf pendengaran. Disfungsi atau hilangnya sel-sel ini menyebabkan penurunan amplitudo atau hilangnya potensi penjumlahan reseptor yang mengakibatkan penurunan aktivitas saraf pendengaran. Gangguan reseptor ini biasanya dikaitkan dengan gangguan pendengaran 'sensorik', namun pola neuropati auditori muncul ketika sel-sel rambut luar normal dan dapat menghasilkan emisi otoakustik dan/atau mikrofonik koklea. Amatuzzi et al. (2001) pernah melaporkan terdapat kasus pada bayi prematur dengan ABR (auditory brainstem respone) yang memanjang atau tidak ada dan menemukan hilangnya sel rambut bagian dalam koklea secara selektif sebagai penyebab neuropati auditori (Rance dan Starr, 2015).

Penyebab genetik yang pertama kali teridentifikasi pada kasus neuropati auditori adalah mutasi OTOF gene yang merupakan protein Ferlin yang berperan dalam mekanisme penyatuan membran presinap.

Otoferlin berperan penting dalam sensor kalsium sel rambut dalam di presinap, karena protein ini berikatan dengan kalsium dan fosolipid di proses akhir eksositosis vesikel glutamatergik di sambungan sinap saraf. Mutasi OTOF bertanggung jawab atas bentuk tuli sensorineural autosomal resesif nonsindromik, DFNB9, yang didefinisikan sebagai gangguan pendengaran kongenital atau prelingual yang parah hingga berat namun tetap mempertahankan fungsi vestibular. Pasien biasanya menunjukkan OAE normal tetapi ABR abnormal. Namun, mutasi

(16)

OTOF dapat menghasilkan profil klinis yang heterogen dengan skor diskriminasi bicara yang bervariasi dan temuan elektrofisiologis (De Siati et al., 2020).

b. Di area post sinaptic, gangguan fungsi saraf pendengaran dapat terjadi di beberapa tempat di sepanjang saraf pendengaran termasuk: (i) dendrit yang tidak bermielin di dalam koklea; (ii) dendrit dan akson yang bermielin yang berjalan di area sentral dan (iii) sel ganglion pendengaran bermielin. Hilangnya serabut saraf dan sel ganglion disertai dengan penurunan amplitudo input sinyal yang tersinkronisasi (De Siati et al., 2020).

GEJALA KLINIS NEUROPATI AUDITORI

Secara klinis, neuropati auditori dapat dikenali dengan: (1) penurunan pendengaran, biasanya bilateral, mulai dari derajat ringan hingga sangat berat; (2) fungsi sel rambut luar yang normal; (3) persepsi wicara yang buruk dan (4) tidak adanya refleks akustik baik ipsi maupun kontralateral di kekuatan 110 dB. Oleh karena itu, pasien dengan neuropati auditori datang akibat sulitnya memahami percakapan dengan gangguan pendengaran yang ringan atau bahkan pendengaran yang normal (Rahman dan Rosalinda, 2012).

Anak-anak dengan neuropati auditori dapat memiliki kognisi visual yang sangat baik namun menunjukkan keterampilan pendengaran yang buruk.

Kemampuan bicara mungkin berkembang secara normal atau dapat tertunda.

Diskriminasi bicara dapat berkisar dari tidak ada kesulitan dalam keadaan tenang dengan masalah pendengaran dalam kebisingan hingga gangguan pendengaran yang berat bahkan dalam keadaan tenang (Colucci, 2020).

Orang dewasa yang menderita neuropati auditori dapat mengeluhkan kesulitan memahami pembicaraan dan tuli pada keadaan bising. Mereka mengalami kesulitan dalam persepsi musik, dan lokalisasi, serta seringkali tidak menyukai kebisingan. Mereka mungkin tidak dapat dipekerjakan pada pekerjaan tertentu, tidak dapat mendengar dengan baik di telepon, dan lebih memilih

(17)

pekerjaan online dan email untuk komunikasi. Pasien dengan neuropati auditori juga mengeluhkan tinitus bilateral dengan frekuensi dibawah sama dengan 1000 Hz (Colucci, 2020).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes audiologi dapat mencakup berbagai macam evaluasi tergantung pada usia pasien. Termasuk di dalamnya pemeriksaan audiometri nada murni, timpanometri, otoacoustic emission, refleks akustik, koklear mikrofonik, brainstem evoked response audiometry (BERA), Auditory Steady-State Response (ASSR), elektrokokleografi (ECochG) dan pemeriksaan persepsi bicara. Evaluasi medis meliputi MRI telinga bagian dalam, struktur retrokoklea dan batang otak, riwayat lengkap dan analisis genetik, serta pemeriksaan fisik (Rahman and Rosalinda, 2012; Colucci, 2020).

Audiometri Nada Murni

Hasil audiometri nada murni pada kasus neuropati auditori dapat berupa normal hingga tuli yang sangat berat tanpa pola yang spesifik. Proses auditori yang terganggu sering ditemukan pada pasien dengan kasus ini. Behavioral Observation Audiometry (BOA) dan Visual Reinforcement Audiometry (VRA) merupakan evaluasi behavioral audiometry yang dapat dikerjakan pada pasien bayi. Walau demikian, BOA tidak dapat mengukur ambang dengar bayi secara akurat (Rahman dan Rosalinda, 2012).

Timpanometri

Timpanometri merupakan pengukuran yang cepat, non-invasif, dan objektif terhadap fungsi telinga tengah. Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh membrane timpani. Pada orang dewasa atau bayi berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (1000 Hz) (Wei De, 2020).

(18)

Pemeriksaan timpanometri dilakukan untuk mengukur transmisi suara melalui membran timpani pada tekanan telinga tengah yang berbeda.

Timpanometri berguna untuk membedakan penyebab gangguan pendengaran konduktif dan untuk menilai tekanan telinga tengah. Timpanometri juga berguna untuk mengidentifikasi ada atau tidak adanya refleks stapedial yang merupakan fungsi saraf kranial ketujuh. Reflek akustik pada pasien neuropati auditori biasanya tidak ada baik pada sisi ipsilateral maupun kontralateral, bahkan pada kekuatan 110 dB. Refleks akustik stapedius juga bisa tidak muncul pada kasus ini diakibatkan gangguan pada konduksi saraf pada jaras pendengaran (Rahman dan Rosalinda, 2012).

Otoacoustic Emission (OAE)

OAE, pertama kali dijelaskan oleh D. Kemp pada tahun 1978, adalah suara yang dihasilkan oleh sel rambut luar koklea, yang dapat direkam setelah stimulasi sementara (transient-evoked, TEOAEs) atau dua rangsangan nada murni secara bersamaan (produk distorsi, DPOAEs) dengan probe sensitive yang ditempatkan di kanalis akustikus eksternus DPOAE lebih banyak digunakan dalam menegakkan diagnosis neuropati auditori ini (De Siati et al., 2020).

Pemeriksaan OAE menunjukkan adanya aktivitas fisiologis sel rambut luar koklea. Penderita neuropati auditori memiliki nilai OAE normal atau mungkin sedikit menurun, disertai nilai BERA yang terganggu akibat hilangnya sinkronisasi reaksi neurologis (Agarwal et al., 2012). Pemeriksaan OAE biasanya dilakukan pada skrining pendengaran bayi baru lahir. Namun OAE saja tidak cukup dan dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis neuropati auditori, terutama pada bayi yang tidak dirawat di NICU, sehingga tidak ada pemeriksaan tambahan yang dilakukan. OAE menunjukkan hasil yang baik. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan tambahan untuk mendeteksi neuropati auditori secara dini (Lindsey, 2014).

Brain Evoked Response Audiometry (BERA)

(19)

Ciri khas neuropati auditori adalah pembacaan BERA yang tidak normal bersamaan dengan pembacaan OAE yang normal. Namun, prosedur diagnostik aktual untuk neuropati auditori masih kurang. Tes lain juga dapat digunakan sebagai bagian dari evaluasi yang lebih komprehensif terhadap kemampuan pendengaran dan persepsi bicara seseorang (Unal dan Vayisoglu, 2015).

Gambaran BERA pada penderita neuropati auditori adalah dengan ditemukannya gelombang BERA yang abnormal, memanjang, atau tidak muncul dengan adanya gelombang cochlear microphonic (mikrofonik koklea) (Gambar 6). Mikrofonik koklea merupakan respon pre-neural akibat polarisasi dan depolarisasi sel rambut koklea yang muncul sebelum gelombang l pada BERA.

Gelombang mikfrofonik koklea dibedakan dengan respon neural melalui dua syarat: (a) polaritas mikrofonik koklea akan terbalik dengan inversi polaristas stimulus; (b) latensi mikrofonik koklea berubah konstan seiring perubahan tingkat rangsangan yang diberikan. Stimulus rarefaction dan condensation dapat diberikan untuk mengidentifikasi mikrofonik koklea terutama pada stimulus yang relatif tinggi. Untuk membedakan gelombang ini dengan artefak, tabung suara yang digabungkan dengan transduser pada earphone dilepaskan tanpa mengubah posisi elektroda dan transduser. Bila menghilang, maka dapat diidentifikasi bahwa gelombang tersebut mikrofonik koklea. Apabila menetap, gelombang ini adalah suatu artefak stimulus. Stimulus 100 mikrosec click dan 250 Hz tone burst diperiksa. Ambang dengar BERA terendah didapatkan pada rangsangan terendah ditemukannya gelombang V yang dapat diidentifikasi. Dua gelombang sekurang- kurangnya harus muncul di tiap level stimulus direkam untuk verifikasi dalam identifikasi gelombang (Rahman dan Rosalinda, 2012).

(20)

Gambar 6. Gelombang BERA pada pasien neuropati auditori (Mohammadi, Walker dan Gardner-Berry, 2015)

Auditory Steady-State Response (ASSR)

ASSR biasanya diindikasikan pada pasien tuli sensorineural derajat sangat berat dengan respon BERA tidak muncul. Pada kasus neuropati auditori, respon ASSR muncul pada tingkat sinyal yang lebih tinggi (>80 dbHL). Respon ini akan meningkat meskipun audiogram behavioral masih menunjukkan hasil normal.

Perlu diketahui bahwa tes ASSR tidak digunakan untuk mengetahui ambang dengar pada kasus ini (Rahman dan Rosalinda, 2012)

Electrocochleography (EcochG)

Gelombang mikrofonik koklea yang panjang dan fluktuatif dengan amplitudo yang meningkat dan ambang dengar normal dapat ditemukan pada pasien neuropati auditori (Rahman & Rosalinda, 2012). ECochG transtimpani yang direkam di promontorium koklea adalah pemeriksaan baku emas untuk mempelajari mikrofonik koklear, summating potential (SP) dan compound action potential (CAP), karena kedekatan elektroda dengan bagian basal koklea dan rasio signal-to-noise yang lebih baik dibandingkan dengan sebuah pendekatan ekstratimpani di mana probe ditempatkan di kanalis akustikus ekternus. ECochG

(21)

juga dapat direkam secara intraoperatif selama implantasi koklea, melalui elektroda intrakoklea pada implan, setelah stimulasi akustik (De Siati et al., 2020).

Pemeriksaan Persepsi Bicara

Pemeriksaan persepsi bicara menunjukkan kemampuan diskriminasi bicara yang sangat buruk, bahkan pada subjek dengan ambang dengar yang baik.

Gangguan keterampilan persepsi bicara biasanya tidak sesuai dibandingkan dengan ambang batas nada. Kebisingan di latar belakang semakin memperburuk diskriminasi ucapan yang tersisa (De Siati et al., 2020).

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner IT- MAIS (Infant-Toddler Meaningful Auditory Integration Scale) atau MAIS (Meaningful Auditory Integration Scale), kata dan fonem MLNT (Multisyllabic Lexical Neigborhood Test)/ LNT (Lexical Neighborhood Test), kata dan fonem PB-K (Phonetically Balanced Kindergarten), serta kalimat HINT (Hearing in Noise Test) yang dilakukan pada ruang yang tenang dan bising. Pada pasien neuropati auditori, kemampuan persepsi bicara penderita biasanya tidak proporsional dengan ambang dengar pasien. Hasil persepsi bicara pada kasus ini biasanya lebih buruk dibandingkan dengan tuli sensorineural. Oleh karena itu, sering ditemukan pada penderita neuropati auditori, kemampuan auditori pasien baik, tetapi memiliki kemampuan diskriminasi kata yang sangat buruk (Rahman dan Rosalinda, 2012).

Pemeriksaan Pencitraan dan Genetik

Pencitraan resonansi magnetik kranial dan evaluasi genetik direkomendasikan untuk mendeteksi potensi kelainan morfologi pada saraf koklea atau sistem saraf perifer dan/atau pusat (De Siati et al., 2020).

DIAGNOSA BANDING

Berdasarkan lokasi lesi, neuropati auditori dibedakan dengan tuli sensoris, tuli neural, tuli sensorineural dan tuli sentral. Pada neuropati auditori, kelainan

(22)

berada pada sel rambut dalam, sinaps antara sel rambut dalam dan nervus koklearis. Pada tuli sensoris, kelainan hanya mengenai sel rambut dalam. Pada tuli neural, kelainan berada sepanjang jaras auditori perifer dengan lokus patologi tidak dapat ditentukan. Pada tuli sentral, terdapat kelainan pada jaras auditori sentral. Pada tuli sensorineural, kelainan mengenai sel rambut dalam hingga jaras auditori dengan lokus patologi tidak dapat ditentukan (Rahman dan Rosalinda, 2012).

MANAJEMEN NEUROPATI AUDITORI

Tujuan tatalaksana bayi baru lahir dengan dugaan neuropati auditori adalah memberikan pengobatan yang tepat dan memulai rehabilitasi dalam enam bulan pertama. Isyarat visual penting pada tahap awal hingga tingkat pendengaran bayi dan diagnosis dapat ditegakkan. Alat bantu dengar, implan koklea (CI), dan pilihan rehabilitasi dipandu oleh lokus lesi, tingkat keparahan degenerasi sinaptik, kehilangan sensorik yang terjadi bersamaan, kompetensi saraf, dan respons perilaku (Colucci, 2020).

Penatalaksanaan saat ini pada individu yang mengalami neuropati auditori bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan gangguannya. Namun, pengelolaannya masih menantang dan sering kali disesuaikan kasus per kasus. Setelah pemeriksaan lengkap selesai, dua pilihan terapi utama dapat ditawarkan kepada pasien. Pertama adalah memaksimalkan signal-to-noise untuk meningkatkan pendengaran dalam kebisingan. Kedua terdiri dari amplifikasi suara melalui alat bantu dengar konvensional atau implan koklea (CI) (De Siati et al., 2020).

Modalitas pengobatan harus dipilih setelah konseling intensif terhadap pasien atau keluarga pasien anak. Informasi yang jelas harus diberikan mengenai batasan hasil akhir dalam kasus terkait dengan lokasi lesi di postsinaptik atau lesi di sistem saraf pusat (De Siati et al., 2020).

Signal-to-noise ratio

Pada kasus neuropati auditori yang lebih ringan, pasien dapat memperoleh manfaat dari penggunaan perangkat “FM-listening”. Pemahaman pembicaraan di

(23)

tengah kebisingan adalah salah satu kesulitan utama yang dihadapi oleh pasien neuropati auditori bahkan pada kasus yang lebih ringan, dengan gangguan minimal pada ambang dengar. Penggunaan “FM-listening” telah digunakan secara luas di lingkungan kelas (De Siati et al., 2020).

ABD dihubungkan dengan sumber suara tanpa mempergunakan kabel (wireless). Suara dari lawan bicara dipancarkan melalui sinyal/gelombang radio FM menuju ABD yang digunakan. Cara ini lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem kabel (Kim dan Kim, 2018)

Alat Bantu Dengar (ABD)

Alat bantu dengar tidak efektif dalam banyak kasus, meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa uji coba dengan amplifikasi, termasuk komunikasi nirkabel, dapat direkomendasikan berdasarkan tingkat gangguan pendengaran, usia, penyakit penyerta, dan faktor perilaku pasien (Chaudhry et al., 2020;

Colucci, 2020).

Amplifikasi harus diperhatikan secara khusus ketika melakukan pemasangan ABD pada penderita neuropati auditori. Hal ini agar didapatkan manfaat tanpa menimbulkan risiko yang besar (Rahman dan Rosalinda, 2012).

Dari beberapa literatur, kasus neuropati auditori dengan gangguan pendengaran yang ringan hingga sedang akan memperoleh manfaat dengan pemasangan ABD. Namun apabila kemampuan berbicara tetap tidak mengalami kemajuan, maka implant koklea merupakan tindakan selanjutnya yang harus dipertimbangkan (De Siati et al., 2020).

Implan Koklea

Sebagian besar pasien neuropati auditori banyak memperoleh menafaat setelah terapi implan koklea. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbaikan di persepsi wicara, perkembangan bahasa, dan komunikasi. Efikasi dari implan koklea tampaknya berkorelasi kuat dengan lokasi lesi. Pada lesi presinaptik, hasilnya selalu baik dengan hasil follow-up audiologi yang serupa dengan pasien

(24)

dengan gangguan pendengaran sensorineural tipe koklea. Hasil implan koklea pada AN postsinaptik telah dilaporkan lebih bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beragam etiologi yang diklasifikasikan sebagai neuropati auditori post-sinaps, ditambah dengan angka kasus yang relatif jarang dan data publikasi yang terbatas (Chaudhry et al., 2020).

Rekomendasi implan koklea pada kasus neuropati auditori tidak langsung secara otomatis diberikan. Pada kasus dengan adanya perbaikan menggunakan amplifikasi, maka implan koklea belum perlu dilakukan (Rahman dan Rosalinda, 2012).

Aturan umum untuk implan koklea harus dipromosikan pada anak-anak dengan neuropati auditori kongenital atau kasus yang onsetnya sangat dini:

implantasi dini harus tetap menjadi standar perawatan jika terjadi gangguan pendengaran yang berat hingga sangat berat dengan anatomi saraf koklea yang normal. Mutasi otoferlin dikaitkan dengan hasil implan koklea yang sangat baik dan biasanya setara dengan individu dengan mutasi genetik yang mempengaruhi partisi sensorik koklea. Malformasi saraf koklea atau gangguan terkait merupakan faktor prognostik negatif terhadap hasil implan koklea namun bukan merupakan kontraindikasi, dan gangguan persepsi bicara mungkin cukup parah untuk mengindikasikan implantasi koklea (De Siati et al., 2020).

Implan Batang Otak

Implan batang otak diindikasikan pada pasien neuropati auditori berat yang gagal dengan pemasangan implan koklea. Elektroda implan batang otak diletakkan pada resesus laterais ventrikel ke-4 melalui foramen luschka yang ditempatkan pada permukaan nukleus koklearis (Rahman dan Rosalinda, 2012).

PROGNOSIS

Berbagai faktor mempengaruhi prognosis neuropati auditori meliputi usia saat didiagnosis dan ditatalaksana, ketepatan alat bantu dengar, konsistensi penggunaan alat bantu dengar, kualitas intervensi, keterlibatan keluarga, kemampuan kognitif, dan adanya kondisi medis lainnya. Namun pada beberapa

(25)

pasien dengan neuropati auditori fungsi pendengaran dapat mengalami perbaikan secara spontan dalam satu atau dua tahun kehidupan (Rahman dan Rosalinda, 2012).

KESIMPULAN

1. Neuropati auditori adalah gangguan pendengaran yang ditandai dengan gangguan persepsi bicara, meskipun disertai dengan ambang dengar yang relatif tidak terganggu.

2. Neuropati auditori adalah kelainan klinis yang menantang dan mencakup

~10% kasus gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) pada anak-anak.

3. Faktor risiko neuropati auditori termasuk faktor perinatal dan neonatal, seperti hipoksia, hiperbilirubinemia, paparan obat ototoksik, dan infeksi seperti meningitis dan anomaly struktur.

4. Pasien neuropati auditori seringkali datang ke praktik dengan keluhan dapat mendengar suara namun sulit dalam memahami percakapan

5. Pemeriksaan audiometri pada pasien neuropati audiometri biasanya normal ataupun hanya sedikit mengalami penurunan, sedangkan hasil OAEnya normal, dan kelainan tampak dari hasil BERA, ASSR, maupun ECochG.

Hasil pemeriksaan persepsi bicara pasien biasanya buruk

6. Penatalaksanaan neuropati auditori dapat berupa penggunaan alat bantu dengar, implan koklea, implan batang otak, dan rehabilitasi

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, V. et al. (2012) ‘Auditory neuropathy/Auditory dyssynchrony-An underdiagnosed condition: A case report with review of literature’, Indian Journal of Otology, 18(3), pp. 156–160. Available at: https://doi.org/10.4103/0971-7749.103445.

Binder, J.R. (2015) ‘The Wernicke area: Modern evidence and a reinterpretation’,

Neurology, 85(24), pp. 2170–2175. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26567270%5Cnhttp://www.pubmedcentral.nih.gov/arti clerender.fcgi?

artid=PMC4691684%5Cnhttp://www.neurology.org/lookup/doi/10.1212/WNL.00000000000 02219.

Bruss, D.M. and Shohet, J.A. (2023) Neuroanatomy , Ear, Treasure Island.

California Northstate University: Statpearls Publishing. Available at:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551658/.

Chaudhry, D. et al. (2020) ‘Cochlear implantation outcomes in post synaptic auditory neuropathies: A systematic review and narrative synthesis’, Journal of International Advanced Otology, 16(3), pp. 411–431. Available at: https://doi.org/10.5152/iao.2020.9035.

Christov, F., Nelson, E.G. and Gluth, M.B. (2018) ‘Human Superior Olivary Nucleus Neuron Populations in Subjects With Normal Hearing and Presbycusis’, Annals of Otology, Rhinology and Laryngology, 127(8), pp. 527–535. Available at:

https://doi.org/10.1177/0003489418779405.

Colucci, D.A. (2020) ‘Updates on Auditory Neuropathy Spectrum Disorder’,

Hearing Journal, 73(6), pp. 32–34. Available at:

https://doi.org/10.1097/01.HJ.0000669900.75620.75.

De Siati, R.D. et al. (2020) ‘Auditory neuropathy spectrum disorders: From diagnosis to treatment: Literature review and case reports’, Journal of Clinical Medicine, 9(4). Available at: https://doi.org/10.3390/jcm9041074

Dhingra, P.S.D. (2018) Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.

Flint, P.W. et al. (2021) Cummings otolaryngology Head and Neck Surgery.

seventh, Elsevier. seventh. Philadelphia, PA: Elsevier.

Kim, J.S.,Kim, C.H. 2016. A review of assistive listening device and digital wireless technology for hearing instruments, Korean Journal of Audiology. Korean Audiological Society, pp. 105–111. Available at: https://doi.org/10.7874/kja.2014.18.3.105.

Lin, P.H. et al. (2020) ‘An integrative approach for pediatric auditory neuropathy spectrum disorders: revisiting etiologies and exploring the prognostic utility of auditory steady-state response’, Scientific Reports, 10(1), pp. 1–11. Available at:

https://doi.org/10.1038/s41598-020-66877-y.

(27)

Hearing Journal, 67(6), pp. 8–12. Available at:

https://doi.org/10.1097/01.HJ.0000451359.32725.3f.

Luers, J.C. and Hüttenbrink, K.B. (2016) ‘Surgical anatomy and pathology of the middle ear’, Journal of Anatomy, 228(2), pp. 338–353. Available at:

https://doi.org/10.1111/joa.12389.

Martin, D.L.K., Feeney, M.P. and Phillips, J.O. (2016) ‘Physiology of the Auditory and Vestibular System’, Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 18th edn.

Edited by P.A. Wackym and J.B. Snow, pp. 43–46.

Mohammadi, A., Walker, P. and Gardner-Berry, K. (2015) ‘Unilateral auditory neuropathy spectrum disorder: Retrocochlear lesion in disguise?’, Journal of Laryngology and Otology, 129(November 2014), pp. S38–S44. Available at:

https://doi.org/10.1017/S0022215114002734.

Moneta, L.B. and Quintanilla-Dieck, L. (2017) ‘Embryology and anatomy of the ear’, Operative Techniques in Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 28(2), pp. 66–71.

Available at: https://doi.org/10.1016/j.otot.2017.03.011.

Rahman, S. and Rosalinda, R. (2012) ‘Neuropati Auditori’, Jurnal Kesehatan Andalas, 1(1), pp. 31–38. Available at: https://doi.org/10.25077/jka.v1i1.6.

Rance, G. and Starr, A. (2015) ‘Pathophysiological mechanisms and functional hearing consequences of auditory neuropathy’, Brain, 138(11), pp. 3141–3158. Available at:

https://doi.org/10.1093/brain/awv270.

Roman, A.N. and Runge, C.L. (2020) ‘Update on Auditory Neuropathy/Dyssynchrony in Children’, Current Otorhinolaryngology Reports, 8(3), pp.

276–284. Available at: https://doi.org/10.1007/s40136-020-00297-4.

Sundar, P.S., Chowdhury, C. and Kamarthi, S. (2021) ‘Evaluation of human ear anatomy and functionality by axiomatic design’, Biomimetics, 6(2), pp. 1–14. Available at:

https://doi.org/10.3390/biomimetics6020031.

Szymanski, A. et al. (2018) Anatomy, Head and Neck, Ear Tympanic Membrane,

StatPearls. New York: StatPearls Publishing. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28846242.

Unal, M. and Vayisoglu, Y. (2015) ‘Auditory neuropathy/dyssynchrony: A retrospective analysis of 15 cases’, International Archives of Otorhinolaryngology, 19(2), pp.

151–155. Available at: https://doi.org/10.1055/s-0034-1390328.

Vignesh, S.S., Jaya, V. and Muraleedharan, A. (2016) ‘Prevalence and Audiological Characteristics of Auditory Neuropathy Spectrum Disorder in Pediatric Population: A Retrospective Study’, Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery, 68(2), pp. 196–201. Available at: https://doi.org/10.1007/s12070-014-0759-6.

Wei De, K.C. (2020) ‘A Preliminary Analysis of Tympanometric Parameters in a Local Multiethnic Population’, Audiology Research, 10(2), pp. 77–82. Available at:

https://doi.org/10.3390/audiolres10020013.

(28)

Referensi

Dokumen terkait

perbedaan kadar estradiol serum pada wanita menopause dengan gejala. vasomotor berdasarkan derajat ringan, sedang,

Variabel tergantung yang akan diteliti pada penelitian ini adalah tentang faktor determinan penurunan nilai total gejala pada neuropati diabetik yaitu nyeri, rasa

Keluhan lain berupa itu pendengaran penderita menurun dan berat ringan ketulian tergantung dari patologi yang terjadi .Penurunan pendengaran terjadi akibat (a) sekret

Gejala tersebut dilaporkan mulai dari gejala ringan hingga gejala berat, dengan beberapa kasus bahkan mengakibatkan kematian (CDC.2020) Gejala utama COVID-19 yaitu

Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat bervariasi, dari keluhan- keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul gejala-gejala berat dengan bendungan paru

Berdasarkan adanya gangguan pendengaran, dari 23 siswa SD penderita OME paling banyak mengalami tuli derajat ringan bilateral (kanan dan kiri) yaitu sebanyak 12 siswa

Gejala thalassemia memiliki spectrum klinis yang luas mulai dari thalassemia mayor dengan gejala klinis berat hingga thalassemia minor yang asimtomatik yang

Pasien terinfeksi mengalami gejala klinis yang sangat bervariasi, dari ringan hingga pneumonia interstisial bilateral.2 Jika tidak diidentifikasi dengan baik dan diterapi secara