ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT TROPIS KUSTA DI KOMUNITAS
Di Susun Oleh:
Kelompok 3 1. Rima Lestari
2. Neng Irma Saidah
3. Beatrice Adiel Caronina (1420120028) 4. Ira Unita Rici Gultom
5. Devi Anggraeni
FAKULTAS KEPERAWATAN PRODI SARJANA KEPERAWATAN
INSTITUT KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG 2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahka n rahmat dan hidayah-Nya, sehingga proposal dengan judul “Asuhan keperawatan pada penyakit Tropis kusta di komunitas ” ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini telah kami buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Praktik Mandiri Keperawatan yang diampu oleh Ibu Roselina Tambunan, S.Kep., M.Kep.,Ners.,Sp.Kom . Tidak lupa juga, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan se rta pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekur angan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran sert a usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat ti dak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini da patt berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon m aaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Bandung, 26 Mei 2023
Kelompok 3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kusta atau pun yang biasanya dikenal dengan sebutan Morbus Hansen ataupun lepra ialah sebuah penyakit infeksi kronik menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Bakteri M. Leprae dapat menginfeksi bagian tubuh manusia seperti susunan dari saraf tepi, mata, kulit, serta juga saluran pernapasan (Kemenkes RI, 2018). Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa
menahun. Penyakit kusta memiliki nama lain diantaranya Lepra, Morbus Hansen, Hanseniasis, Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Lepra Arabum, Leontiasis, Khusta, Melaats dan Mal de San Lazaro. Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium Leprae. Mycobacterium ini menyerang susunansaraf tepi, selanjutnya menyerangkulit, mukosa, saluran napas,sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amiruddin, 2019). Mycobacterium lepare menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita. Penanganan yang buruk dapat menyebabkan penyakit kusta menjadi progresif sehingga terjadi kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata hingga cacat (Kemenkes RI, 2018).
Indonesia memiliki target mencapai eliminasi kusta disetiap provinsi pada tahun 2020 dengan prevalensi <1/10.000 penduduk, tetapi saat ini masih ada 14 provinsi yang belum mencapai eiminasi kusta (Hidayat &Wabiser, 2019). Salah satu provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta adalah Jawa Barat. Pada tahun 2019, Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat ke-2 dengan jumlah kasus baru 2.100 jiwa. Dari Jumlah 27 Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat salah satunya adalah Kabupaten Indramayu yang saat ini menempati peringkat ke- 4 di Jawa Barat dengan jumlah penemuan kasus baru kusta sebanyak 205 jiwa (Dinkes Jabar, 2020).
Upaya pemerintah dalam penangulangan kusta antara lain: 1) Penemuan peningkatan kasus secara dini di masyarakat. 2) Pelayanan kusta berkualitas termasuk layanan rehabilitasi, diintegrasikan dengan pelayanan kesehatandasar dan rujukan. 3) Penyebaraluasan informasi tentang kusta di masyarakat. 4) Eliminasi stigma terhadap orang yang pernah mengalami kusta dan keluarganya. 5) Pemberdayaan orang yang pernah mengalami kusta dalam berbagai aspek kehidupan dan penguatan partisipasi mereka dalam upaya pengendalian kusta. 6) Kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan. 7) Peningkatan dukungan kepada program kusta melalui penguatan advokasi kepada pemerintah pengambil keputusan dan penyedia layanan lainnya untuk meningkatkan dukungan terhadap program kusta. 8) Penerapan pendekatan yang berbeda berdasarkan endemisitas
kusta (Kemenkes RI, 2018). Dengan melihat data diatas dapat disimpulkan bahwa masih ditemukannya penderita di masyarakat,
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Melakukan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah pada komunitas kusta.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep penyakit kusta
2. Mengetahui masalah keperawatan yang berpotensi muncul pada penyakit kusta.
3. Mengetahui peran mandiri perawat dalam penanganan masalah kusta
4. Mengetahui cara pencegahan penyakit kusta dalam konsep keperawatan
5. Mengetahui strategi penanganan masalah komunitas pada kelompok penyakit kusta.
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Teori
A. Definisi
Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium Leprae yang mengakibatkan gangguan pada saraf tepi dan kelainan pada yang tampak pada kulit. Penanganan kusta yang telat meningkatkan risiko timbulnya kecatatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif (Rhomdani & Sulistyorini, 2020).
Timbulnya kusta merupakan suatu interaksi antara berbagai faktor penyebab yaitu pejamu (host), kuman (agent), dan lingkungan (environment). Bakteri Mycobacterium Leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika yang berasal dari Norwegia bernama Gehard Armeur Hansen pada tahun 1873. Pada umumnya penyakit kusta terdapat pada negara yang sedang berkembang, dan Sebagian besar penderitanya adalah golongan yang ekonominya lemah (Apriliana, 2019). Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium lepare ini menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa, saluran nafas, system retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amiruddin, 2019).
Kesimpulan Mycobacterium lepare menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita. Kecacatan sering kali dialami oleh banyak klien kusta sebelum mendapatkan pengobatan karena lemahnya pengetahuan dan kesadaran klien, keluarga, bahkan masyarakat terhadap penyakit kusta.
B. Patofisiologi
Mycobacterium Leprae memiliki patogenitas dan daya invasi yang rendah, oleh karena itu penderita yang lebih banyak membawa bakteri tersebut dalam tubuhnya belum tentu memiliki gejala yang berat, bahkan dapat sebaliknya. Basil kusta masuk kedalam tubuh manusia melalui kontak secara langsung dengan kulit atau mukosa nasal yang berasal dari droplet. Basil dari droplet akan bertahan hidup selama 2 hari di lingkungan yang kering, bahkan ada yang sampai 10 hari tetapi pada lingkungan yang lembab (Novita, 2019). Beberapa penelitian telah mengamati bahwa yang sering tertular yakni melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Mycobacterium Leprae yaitu parasite obligat intraseluler terutama yang terdapat di sel makrofag pada sekitar pembuluh darah superficial di dermis atau sel schwan pada jaringan saraf. Jika Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (selsel yang mematikan). Sel schwan yaitu sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium Leprae. Sel schwan juga berfungsi sebagai
demielinisasi dan hanya sedikit yang berfungsi sebagai fagositosis. Jadi, jika terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel schwan, kuman (bakteri) dapat bermigrasi dan beraktivasi yang mengakibatkan aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Zuhriyana K Yusuf, 2018).
C. Anatomi dan Fisiologi
Penyakit kusta merupakan suatu penyakit yang menyerang kulit dan organ- organ lainnya kecuali susuan saraf pusat. Dimana kulit tersebut adalah selimut yang menutupi permukaan tubuh dan mempunyai fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan dari luar. Kulit terbagi atas dua lapisan utama yaitu, epidermis (kulit ari) sebagai lapisan paling luar, dan dermis (korium, kutis, kulit jangat). Sedangkan subkutis atau jaringan lemak terletak dibawah dermis.
Pada bagian dalam dermis terdapat adneksa- adneksa kulit. Adneksa kulit adalah struktur yang berasal dari epidermis tetapi berubah bentuk dan fungsinya, terdiri dari folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah, dan serabut saraf, dan juga sebagian serabut lemak yang terdapat di lapisan lemak bawah kulit (subkutis/ hypodermis).
Bagian- bagian kulit bisa dilihat di gambar.
Sama halnya dengan jaringan di bagian tubuh lainnya, kulit jugamelakukan respirasi (bernapas), menyerap oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Namun, respirasi kulit sangatlah lemah. Kulit lebih banyak menyerap oksigen yang di ambil dari aliran darah, dan hanya sebagian kecil yang di ambil langsung dari lingkungan luar (udara).
Begitu pula dengan karbondioksida yang dikeluarkan, lebih banyak dkeluarkan melalui
aliran darah dibandingkan dengan yang dihembuskan langsung ke udara. Penyerapan oksigen ini penting karena pengambilan oksigen dari udara oleh kulit sangat berguna bagi metabolisme di dalam sel- sel kulit. Namun pengeluaran atau pembuangan karbondioksida tidak kalah pentingnya, karena jika karbondioksida menumpuk di dalam kulit, ia akan menghambat pembelahan (regenerasi) sel- sel kulit. Kecepatan penyerapan oksigen ke dalam kulit dan pengeluran karbondioksida dari kulit tergantung faktor di luar maupun di dalam kulit. Seperti, temperatur udara, komposisi gas di sekitar kulit, kelembapan udara, kecepatan aliran darah ke kulit, usia, keadaan vitamin dan hormon di kulit, perubahan dalam proses metabolisme sel kulit, pemakaian bahan kimia di kulit, dan lain sebagainya (Pramesti, 2017).
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi neurologis yang paling banyak ada di kusta yang merupakan kerusakan saraf perifer yang menyertainya serabut saraf kulit, serta juga trunkus saraf. Distribusi serta gambaran dari kerusakannya saraf yang terjadi dipengaruhinya oleh dengan banyaknya jumlah bakteri yang menginfiltrasi saraf serta juga respons imunologis dari para penderitanya (Kemenkes RI, 2019). Manifestasi klinis kerusakan saraf perifer yang kerap kali terkena adalah N. radialis, N. ulnaris, N. poplitea lateralis, N.
medianus, N. fasialis, N. tibialis posterior, N. auricularis. serta juga N. trigeminus.
Manifestasi klinis kerusakan saraf perifer dapat digolongkan menjadi gangguan sensorik, gangguan motorik serta gangguan otonom. Berikut gejala yang ditimbulkan berdasarkan saraf yang terkena: (Kemenkes RI, 2019a).
1. N. Ulnaris
Gangguan saraf sensorik yang berupa sebagai anestesi yang ada di ujung jari merupakan bagian dari anterior jari manis serta juga kelingking. Pada gangguan motoric membuat terjadinya Clawing di jari manis serta juga kelingking.
2. N. Medianus
Gangguan sarag sensorik yang berupa sebagai anestesi yang ada di ujung jari di bagian dari anterior telunjuk, ibu jari, serta juga jari tengah. Pada gangguan sarag motoric bisa menjadi terjadinya ibu jari tidaklah lagi bisa untuk aduksi serta terjadinya kontraktur terhadap ibu jari tersebut
3. N. Radialis
Gangguan saraf sensorik yang berupa sebagai anestesi dorsum manus. Di dalam gangguan saraf motorik pergelangan tangan serta juga jari tangan tidaklah lagi bisa ekstensi hingga membuat terjadinya paresis wrist drop.
4. N. Politea Lateralis
Gangguan saraf sensorik yang membuat terjadinya anestesi tungkai bawah yang ada pada bagian lateral serta dorsum pedis. Pada gangguan saraf motorik membuat terjadinya kaki gantung.
5. N. Tibialis Posterior
Gangguan saraf sensorik bisa membuat terjadinya anestesi di bagian telapak kaki. Pada gangguan motorik yang berupa (claw toes).
6. N. fasialis
Gangguan yang ada pada cabang temporal serta zigomatik bisa membuat terjadinya lagoftalmos. Pada gangguan cabang mandibular, bukal, serta servikal membuat bibir menjadi mencong.
7. N. Trigeminus
Gangguan saraf sensorik membuat terjadinya anestesi pada kornea, kulit wajah, serta kongjungtiva
Manifestasi klinis kusta dapat dibedakan melalui tipe kusta. Tipe kusta menurut Ridley dan jopling dibagi jadi 5 macam golongan ataupun kelompok yang didasarkannya pada gambaran secara bakteriologis, klinis, imunologis, serta
juga histopatologis. Berikut manifestasi klinis berdasarkan kriteria Ridley dan Jopling: (Zuhriana, et al., 2018):
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini tentang saraf ataupun kulit. Lesi tersebut mengenai kulit dan dapat berupa makula atau plakat. Permukaan lesi bisa memiliki sisik dengan tepi yang meninggi. Bisa juga disertainya dengan adanya penebalan dari saraf perifer yang umumnya bisa teraba, sedikit rasa gatal serta juga kelemahan pada otot.
2. Borderline Tuberculoid (BT)
Lesi tipe ini menyerupainya tipe tuberculoid (TT) dengan gambaran hipopigmentasi dan jumlah lesi satu atau lebih. Terdapat lesi satelit serta terletaknya di dekat saraf perifer yang mengalami penebalan.
3. Mid borderline (BB)
Tipe ini adalah tipe yang tidaklah stabil dari keseluruhan tipe spektrum penyakit kusta yang ada. Lesi pada tipe ini bisa memiliki wujud seperti makula infiltratis. Permukaan lesi bisa cenderung simetris serta berkilap.
Didapatkannya lesi punched out yang ialah menjadi sebuah ciri khas.
4. Borderline Lepromatous (BL)
Secara klasik lesi diawalinya dari makula. Pada tahap awal, lesi hanya berjumlah sedikit serta dengan begitu cepat menyebar ke semua tubuh.
Makula lebih jelas serta juga jauh lebih bervariasi wujudnya. Lesi yang ada pada bagian tengah kerap kali terlihat normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas kalau dibandingkannya pada pinggiran dari luarnya, serta juga berbagai plak tampaknya seperti punced out. Berbagai macam tanda dari kerusakan saraf berupa hilangnya hipopigmentasi, sensasi, kehilangannya rambut yang jauh lebih cepat, serta juga berkurangnya suatu keringat.
5. Tipe Lepramatosa (LL)
Jumlah lesi sangatlah begitu banyak, memiliki permukaan yang halus, simetris, lebih berkilap, eritematosa, berbatas tidak tegas serta juga pada stadium dini tidaklah lagi ditemukannya anhidrosis serta anestesi. Distribusi lesi sangatlah begitu memiliki khas yakni tentang bagian daripada dahi
pelipis, wajah, cuping telinga, dagu, permukaan ekstensor tungkai bawah.
Pada stadium lanjut terlihat terjadinya penebalan pada kulit secara progresif, garis muka yang jadi kasar, cuping telinga yang juga menebal, serta cekung membentuk fasies leonina yang bisa disertainya dengan madarosis, keratitis maupun iritis.
E. Pemeriksaan Penunjang
Bila tersedia laboratorium untuk pemeriksaan penunjang maka dapat dilakukan pemeriksaan BTA, histopatologi dan serologi (Kemankes, 2019).
1. Bakterioskopis
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakan diagnosis serta pilihan pengobatan. Pemeriksaan dimulai dengan membuat kerokan jaringan kulit yang kemudian diwarnai menggunakan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), contohnya dengan Ziehl- Neelsen.
Hal pertama yang penting adalah penentuan lesi sebagai spesimen yang akan diperiksa, yaitu lesi yang diduga memiliki kuman M. leprae paling padat.
Untuk pemeriksaan rutin, umumnya dilakukan minimal pada 4-6 tempat, yaitu pada cuping telinga bagian bawah serta lesi lain yang terlihat paling eritematosa dan infiltratif. Pengambilan bahan dilakukan dengan bantuan scalpel steril pada lesi yang telah didesinfeksi dan dijepit dengan ibu jari dan telunjuk hingga iskemi. Irisan dibuat sampai dermis dan melewati subepidermal clear zone agar dapat mengambil jaringan yang banyak mengandung sel Virchouw (mengandung kuman M. leprae). Kemudian kerokan dioleskan pada gelas alas, difiksasi di atas api bunsen, dan diwarnai menggunakan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen. Berbeda dengan sediaan jaringan sebelumnya, pada sediaan mukosa hidung, dilakukan nose blows. Sekret hidung ditampung pada sehelai plastik, dan waktu yang terbaik adalah pagi hari. Sediaan kemudian dioleskan pada gelas alas menggunakan kapas lidi, dan dilakukan fiksasi serta pewarnaan. Selain itu, pengambilan spesimen dari mukosa hidung Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakan diagnosis serta pilihan pengobatan. Pemeriksaan dimulai dengan membuat kerokan jaringan kulit yang
kemudian diwarnai menggunakan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), contohnya dengan Ziehl- Neelsen.
Hal pertama yang penting adalah penentuan lesi sebagai spesimen yang akan diperiksa, yaitu lesi yang diduga memiliki kuman M. leprae paling padat.
Untuk pemeriksaan rutin, umumnya dilakukan minimal pada 4-6 tempat, yaitu pada cuping telinga bagian bawah serta lesi lain yang terlihat paling eritematosa dan infiltratif. Pengambilan bahan dilakukan dengan bantuan scalpel steril pada lesi yang telah didesinfeksi dan dijepit dengan ibu jari dan telunjuk hingga iskemi. Irisan dibuat sampai dermis dan melewati subepidermal clear zone agar dapat mengambil jaringan yang banyak mengandung sel Virchouw (mengandung kuman M. leprae). Kemudian kerokan dioleskan pada gelas alas, difiksasi di atas api bunsen, dan diwarnai menggunakan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen. Berbeda dengan sediaan jaringan sebelumnya, pada sediaan mukosa hidung, dilakukan nose blows. Sekret hidung ditampung pada sehelai plastik, dan waktu yang terbaik adalah pagi hari. Sediaan kemudian dioleskan pada gelas alas menggunakan kapas lidi, dan dilakukan fiksasi serta pewarnaan. Selain itu, pengambilan spesimen dari mukosa hidung 1) 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
2) 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP 3) 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP 4) 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP 5) 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Penilaian dilanjutkan dengan perhitungan indeks morfologi (IM) yaitu persentase basil yang hidup, sebagai berikut:
Rumus:
𝐽𝑢𝑚𝑙�ℎ𝑠𝑜𝑙𝑖�
𝐽𝑢𝑚𝑙�ℎ𝑠𝑜𝑙𝑖� + 𝑛𝑜𝑛𝑠𝑜𝑙𝑖� x 100%
2. Histopalogis
Histiosit merupakan bentuk makrofag yang berada di kulit dan beperan dalam proses fagositosis. Proses ini ditentukan oleh sistem imun seluler (SIS) orang
tersebut. Pada orang dengan SIS tinggi, histiosit akan berpindah ke tempat kuman berada dan terlibat proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik.
Sisa makrofag yang berlebihan saat kuman sudah di fagosit akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak. Adanya masa epiteloid dalam jumlah banyak yang dikelilingi limfosit akan membentuk tuberkel yang selanjutnya akan merusak jaringan. Sehingga ditemukan gambaran histologik pada tipe tuberculoid yaitu berupa tuberkel serta diikuti dengan kerusakaan saraf, tanpa adanya kuman atau hanya dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan pada orang dengan SIS yang rendah atau lumpuh, histiosit tidak mampu menghancurkan kuman, dan bahkan dijadikan tempat berkembang bakteri M.leprae, yang selanjutnya disebut dengan sel Virchow atau sel lepra atau sel busa. Pada tipe lepromatosa, ditemukan area di bawah epidermis yang bebas radang, disebut supepidermal clear zone. Selain itu ditemukan banyak sel Virchow pada tipe ini.
3. Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan mengamati keberadaan antibodi pada orang yang terinfeksi M. leprae. Beberapa antibody spesifik dapat diperiksa, seperti antibody anti phenolic glycolipid1 (PGL-1) serta antiprotein 16 kD dan 53 kD. Selain itu didapati pula antibodi nonspesifik seperti antibodi anti- lipoarabinomaan (LAM). Antibodi tersebut akan dideteksi dengan menggunakan beberapa macam pemeriksaan, seperti: uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Asay), ML dipstick (Mycobacterium leprae dipstick) dan ML flow (Mycobacterium leprae flow test).
4. Lain-lain
Penegakan diagnosis PNL sangat sulit, sehingga seringkali terdiagnosis setelah terjadi kecatatan. Untuk menegakkan diagnosis PNL, dibutuhkan modalitas tambahan yaitu
pemeriksaan elektrofisiologi, biopsi saraf, dan fine needle aspiration cytology.
Pada pemeriksaan elektrofisiologi, yang banyak dijumpai adalah gambaran neuropati sensorik tipe aksonal dan/atau neuropati motorik tipe campuran
(aksonal dan demielinisasi) dengan pemanjangan latensi, penurunan amplitudo dan kecepatan hantar saraf.
Biopsi saraf dapat memberikan hasil yang cukup konklusif, yaitu ditemukannya kuman BTA atau nekrosis kaseosa. Bila BTA tidak ditemukan, gambaran berupa infiltrat mononuklear perineural dan endo neural juga mengarah kepada neuritis akibat kusta. Namun, tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa cedera saraf
dan memperberat disabilitas. Fine needle aspiration cytology pada saraf yang terlibat dapat membantu penegakan diagnosis melalui prosedur yang lebih tidak invasif. Polymerase chain reaction (PCR) juga dapat dilakukan untuk mendeteksi DNA M. leprae dari spesimen biopsy.
F. Komplikasi
Berikut ini komplikasi yang di alami penderita kusta yaitu:
1. menyerang ekstremitas
Yang paling diserang yaitu pada saraf ulnaris dan mengakibatkan jari keempat dan kelima seperti mencakar yang diakibatkan oleh kehilangan dari fungsi otot.
Pada saraf medianus apabila terinfeksi maka akan menyebabkan kelumpuhan pada jari tangan.
2. Apabila pada hidung terinfeksi oleh bakteri maka akan menyebabkan perdarahan, dan apabila tidak segera diobati akan merusak tulang rawan dan sampai kehilangan hidungnya
3. Indera Penglihatan
Apabila penglihatan terinfeksi akan mengalami gangguan penglihatan seperti buram dan terjadi keruh pada cairan mata, juga dapat menyerangbagian saraf penglihatan dan dapat mengalami kebutaan.
4. Testis
Apabila testis diserang maka dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada salurannya, dan jika tidak dilakukan terapi maka akan terjadi kerusakan yang permanen.
G. Faktor Resiko
Faktor risiko penyakit kusta diantaranya yaitu kontak serumah dengan penderita
penyakit kusta, terdapat penderita kusta di lingkungan rumahnya/kontak tetangga, dan kondisi personal hygiene yang buruk (Solo on, 2005; Daniel, 2006; Moet, 2006).
Infeksi penyakit kusta dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah tinggal di daerah endemik kusta, mempunyai hygiene yang buruk, sistem imun, gizi dan sanitasi lingkungan ini semua merupakan faktor faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit kusta
TINJAUN KASUS A. Pengkajian Keperawatan
Pada wilayah X didapati 8 orang pengidap kusta dan diperoleh data sebagai berikut :
a) Data Geografi
Wilayah Puskesmas X terletak dalam kelurahan Y, kecamatan M kota Surabaya dengan batas – batas sebagai berikut :
a. Batas wilayah sebelah barat : Jl. Pegirian b. Batas wilayah sebelah timur : Jl. Prawoto c. Batas wilayah sebelah selatan : Jl. Sidodadi d. Batas wilayh sebelah utara : Jl. Sidotopo Lor
b)Data Demografi a. Kependudukan
1) Distribusi kelompok kusta berdasarkan umur
Hasil pengkajian komunitas kelompok kusta berdasarkan umur yaitu umur 7 – 15 Tahun sebayak 3 jiwa ( 37 % ),umur 16 – 24 Tahun sebanyak 3 jiwa ( 37 % ), umur 25 – 33 Tahun sebanyak 1 jiwa ( 13 % ) dan umur 34 – 42 Tahun sebanyak 1 jiwa ( 13 % ).
2) Distribusi Kelompok kusta berdasarkan jenis kelamin
Hasil pengkajian komunitas kelompok kusta berdasarkan jenis kelamin yaitu terdiri dari 5 jiwa ( 62 % ) berjenis kelamin laki – laki dan 3 jiwa ( 38 % ) berjenis kelamin perempuan.
3) Kelompok kusta berdasarkan tingkat pendidikan
Hasil pengkajian komunitas kelompok kusta berdasarkan tingkat pedidikan yaitu terdiri dari tingkat pendidikan SD/MI sebanyak 3 jiwa ( 37 % ), 3 jiwa ( 38 %) tingkat pendidikan SMP, dan 2 jiwa ( 25 % ) tingkat pendidikan SMA.
4) Kelompok kusta berdasarkan pekerjaan
Hasil pengkajian komunitas kelompok kusta berdasarkan pekerjaan yaitu terdiri dari 1 jiwa ( 12 % ) pekerjaan wiraswasta, 1 jiwa ( 13 % ) pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, dan 6 jiwa ( 75 % ) masih berstatus pelajar.
a. Data perumahan atau kesehatan lingkunga 1) Keadaan ventilasi rumah
Hasil pengkajian kelompok kusta berdasarkan keadaan ventilasi rumah diketahui bahwa sebanyak 2 rumah ( 25 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya keadaan ventilasinya berjarak 2,4 m dari lantai dan sebanyak 6 rumah ( 75 % ) keadaan jarak ventilasinya kurang dari 2,4 m dari lantai.
2) Jendela di buka pada pagi hari
Hasil pengakajian kelompok kusta berdasarkan jendela dibuka pada pagi
hari diketahui sebanyak 8 jiwa ( 100 % ) tidak pernah membuka jendela pada pagi hari.
3) Luas Lubang ventilasi
Hasil pengkajian kelompok kusta berdasarka luas lubang jendela diketahui sebanyak 5 jiwa ( 63 % ) kelompok kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya luas jendela kurang dari 10 % luas rumah dan 3 jiwa ( 37 % ) luas jendelanya 10 % dari luas rumah.
4) Kepemilikan Jendela Rumah
Hasil pengkajian komunitas kelompok kusta berdasarkan kepemilikan jendela rumah diketahui bahwa 8 rumah ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya memiliki jendela di rumahnya.
5) Kondisi Jamban
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kondisi jamban diketahui 8 rumah ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya kondisi jambannya baik yaitu tidak menimbulkan bau dan tidak kontak antara manusia dengan tinja.
6) Kepemilikan MCK
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kepemilikan MCK diketahui 8 rumah ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya memiliki MCK Pribadi.
7) Jumlah Kepemilikan MCK rumah
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan jumlah kepemilikan MCK rumah diketahui bahwa sebanyak 8 rumah ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya memiliki MCK hanya 1.
8) Letak MCK
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan letak MCK diketahui bahwa 8 rumah ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya letak MCK nya didalam rumah.
9) Jarak sumber air dengan MCK
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan jarak sumber air dengan MCK diketahui bahwa 7 rumah ( 88 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya jarak sumber air dengan MCK lebih dari 10 m dan 1 rumah ( 12 % ) jarak sumber air dengan MCK kurang dari 10 m.
10) Kepemilikan Tempat sampah sementara
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kepemilikan tempat sampah sementara diketahui 5 rumah ( 62 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya memiliki tempat sampah sementara dan 3 rumah (38 %) tidak memiliki tempat sampah sementara.
11) Keberadaan lalat dirumah
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan keberadaan lalat dirumah diketahui bahwa sebanyak 1 rumah ( 13% ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya tidak ada lalat dan sebanyak 7 rumah ( 87
% ) terdapat lalat di rumahnya.
12) Kepemilikan Tempat Penampungan Air
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kepemilikan tempat penampungan air diketahui bahwa sebanyak 6 rumah ( 75 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya memiliki tempat penampungan air dan sebanyak 2 rumah ( 25 % ) tidak memiliki tempat penampungan air.
13) Kebiasaan menguras penampungan air
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kebiasaan menguras penampungan air diketahui bahwa sebanyak 1 rumah ( 12 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya menguras penampungan air nya setiap 1 bulan dan sebanyak 7 jiwa ( 88 % ) menguras penampungan air nya lebih dari 1 bulan.
b. Perilaku Terhadap Kesehatan 1) Kebiasaan Mandi setia hari
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kebiasaan mandi dan diketahui
bahwa sebanyak 6 jiwa ( 75 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mandi dan 2 kali sehari dan sebanyak 2 jiwa ( 25 % ) mandi 3 kali sehari.
2) Kepemilikan tempat Mandi
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan tempat mandi diketahui bahwa 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mandi di kamar mandi milik sendiri.
3) Penggunaan Sabun saat mandi
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan penggunaan sabun saat mandi diketahui bahwa 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya ketika mandi menggunakan sabun.
4) Penggunaan Pasta Gigi
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan penggunaan pasta gigi diketahui bahwa 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya ketika sikat gigi menggunakan pasta gigi.
5) Tempat Buang Air Besar
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan tempat buang air besar diketahui bahwa 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya menggunakan WC pribadi ketika BAB.
6) Sumber Air Minum
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan sumber air minum diketahui bahwa 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya sumber air minum yang digunakan dari PDAM.
7) Kebiasaan Memasak Air sebelum diminum
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kebiasaan memasak air
sebelum diminum diketahui bahwa 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya memasak air sebelum diminum.
8) Kebiasaan Membersihkan Rumah
Hasil pengkajian komunitas berdasarkan kebiasaan membersihkan rumah diketahui bahwa sebanyak 4 jiwa ( 50 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya membersihkan rumah 1 kali sehari, sebanyak 3 jiwa ( 37 % ) membersihkan rumah 2 kali sehari dan 1 jiwa ( 13 % ) membersihkan rumah lebih dari 2 hari sekali.
9) Data Imunisasi BCG
Hasil Pengkajian komunitas berdasarkan Imunisasi BCG diketahuai bahwa sebanyak 3 jiwa ( 37 % ) kelompok kusta di wilayah puskesmas sidotopo Surabaya belum melakukan imunisasi BCG dan 5 jiwa ( 63 %) sudah melakukan imunisasi BCG.
Pengetahuan tentang kusta
0%
25%
75%
Penyakit keturunan penyakit menular Penyakit stress
c. Pengetahuan Tentang Kusta
1. Pengetahuan tentang penyakit kusta
Gambar 3.1 Diagram pengetahuan kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya pada bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.29 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 6 jiwa ( 75 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa penyakit kusta adalah penyakit keturunan dan 2 jiwa ( 25 % ) bahwa kusta adalah penyakit menular.
Penyebab penyakit kusta
0%
37%
infeksi cacing
63% infeksi virus
infeksi bacteri Tidak tahu
2. Penyebab penyakit kusta
Gambar 3.2 Diagram penyebab penyakit kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya pada bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.2 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 3 jiwa ( 37 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa penyebab kusta adalah bakteri, 5 jiwa ( 63 % ) mengatakan tidak tahu penyebab kusta.
penularan penyakit kusta
0%
25%
75%
bersentuhan sering kontak jalan- jalan
3. Penularan penyakit Kusta
Gambar 3.3 Diagram penularan penyakit kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.3 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 6 jiwa ( 75 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa penularan kusta yaitu dengan cara bersentuhan dan 2 jiwa ( 25
% ) mengatakan penularan dari sering kontak langsung pada penderita kusta.
2. Cara menanggulangi penyakit Kusta
Gambar 3.4 Diagram cara menanggulangi penyakit kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.4 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 4 jiwa ( 50 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya cara menanggulangi dengan mandi setiap hari, 1 jiwa ( 12 %) menanggulangi dengan cara hindari sering kontak langsung dengan penderita kusta, 3 jiwa ( 38 % ) dengan cara melakukan pengobatan.
cara menanggulangi penyaki kusta
38%
50%
12%
mandi
hindari sering kontak pengobatan
Tanda penyakit kusta
37%
50%
bercak putih tipis seperti panu terasa gatal
13% kemerahan
3. Tanda penyakit Kusta
Gambar 3.5 Diagram Tanda – tanda penyakit kusta pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.5 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 4 jiwa ( 50 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengetahui tanda – tanda kusta yaitu bercak putih tipis kemerahan, 3 jiwa ( 37 % ) mengetahui tandanya bercak putih tipis seperti panu, dan 1 jiwa ( 13% ) bercak purih tipis terasa gatal.
Penyakit kusta dapat menular
25%
Ya
75% Tidak
4. Penyakit kusta dapat menular
Gambar 3.6 Diagram penyakit kusta dapat menular pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.6 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 6 jiwa ( 75 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan bahwa penyakit kusta dapat menular dan 2 jiwa (2 %) mengatakan bahwa penyakit kusta tidak dapat menular.
Komplikasi penyakit kusta
0%
37%
63%
kematian tidak tahu kecacatan
5. Komplikasi penyakit kusta
Gambar 3.7 Diagram komplikasi penyakit kusta pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.8 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 5 jiwa ( 63 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan bahwa penyakit kusta dapat mengakibatkan kecatatan dan 3 jiwa ( 37 %) mengatakan tidak tahu.
6. Penyakit kusta dapat disembuhkan
Gambar 3.9 Diagram penyakit kusta dapat disembuhkan pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.9 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 6 jiwa (75 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan bahwa penyakit kusta dapat di sembuhkan dan 2 jiwa (25
%) mengatakan penyakit kusta tidak dapat disembuhkan.
penyakit kusta dapat disembuhkan
25%
Ya
75% Tidak
Lama pengobatan kusta
0%
dalam waktu 6 - 12 bln 25%
63% 12%
dapat sembuh setelah minum obat
sangat lama tidak tahu
7. Lama pengobatan kusta
Gambar 3.10 Diagram lama pengobatan kusta pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.10 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 2 jiwa ( 25 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan bahwa penyakit kusta akan sembuh setelah minum obat, 1 jiwa ( 12 % ) mengatakan penyembuhannya sangat lama, dan 5 jiwa ( 63 % ) mengatakan tidak tahu.
Akibat apabila tidak menyelesaikan pengobatan
0%
38% penyakit kambuh dan
bertambah parah 62% tidak bisa diobati
penyaki kambuh dan tidak parah
8. Akibat bila tidak menyelesaikan pengobatan
Gambar 3.11 Diagram akibat apabila tidak menyelesaikan pengobatan pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.11 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 5 jiwa ( 62 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan penyakitnya akan kambuh dan tambah para, dan 3 jiwa ( 38 %) mengatakan tidak bisa diobati.
Waktu pengambilan obat kusta
25%
50%
setiap sebulan
25% Tiap 2 bulan
2 minggu sekali tidak tahu 0%
9. Waktu pengambilan obat kusta
Gambar 3.12 Diagram waktu pengambilan obat pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.12 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 2 jiwa ( 25 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan pengambilan obat setiap sebulan, 2 jiwa (25 %) setiap 2 bulan sekali dan 4 jiwa (50%) mengatakan tidak tahu.
10. Penderita kusta mendapatkan obat selama ini
Gambar 3.13 Diagram darimana penderita kusta mendapatkan obat pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.13 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan mendapatkan obat dari puskesmas.
Penderita kusta mendapatkan obat
0%
0%
apotik puskesmas
100% praktek dokter
Penderita kusta dapat berobat
0%
0%0%
100%
praktek dokter puskesmas dukun tidak tahu
11. Penderita kusta dapat berobat
Gambar 3.14 Diagram darimana penderita kusta mendapatkan obat pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.14 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya melakukan pengobatan di puskesmas.
Keteraturan pengobatan
38%
62% ya
tidak
e. Proses Penyembuhan
1. Keteraturan pengobatan
Gambar 3.15 Diagram keteraturan pengobatan pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.15 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 5 jiwa ( 62 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya mengatakan teratur dalam minum obat, dan 3 jiwa ( 38 % ) mengatakan tidak teratur dalam minum obat.
keluarga menganjurkan penderita kusta berobat
0%0%
Puskesmas Dukun
100% Praktek Dokter
2. Keluarga menganjurkan penderita kusta berobat
Gambar 3.16 Diagram keluarga menganjurkan penderita berobat pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.16 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 8 jiwa ( 100 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya keluarga menganjurkan berobat ke puskesmas.
3. keluarga melakukan pengawasan setiap hari pada penderita kusta
Gambar 3.17 Diagram keluarga melakukan pengawasan setiap hari pada penderita kusta pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.17 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 7 jiwa ( 87 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa keluarga melakukan pengawasan setiap hari pada penderita kusta dan 1 jiwa (13%) bahwa keluarga tidak melakukan pengawasan setiap hari pada penderita kusta.
Pengawasan setiap hari pada penderita kusta
13%
Ya Tidak 87%
4. keluarga mengingatkan penderita kusta untuk minum obat setiap hari
Gambar 3.21 Diagram keluarga mengingatkan penderita kusta untuk minum obat setiap hari pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.21 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 5 jiwa ( 62 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa keluarga mengingatkan untuk minum obat dan 3 jiwa ( 38 % ) keluarga mengingatkan kadang – kadang minum obat.
keluarga mengingatkan penderita kusta untuk minum obat setiap
hari
0%
38%
62%
Ya
Kadang - Kadang Tidak
5. Support keluarga pada pasien kusta
Gambar 3.25 Diagram keluarga selalu memberikan dorongan kepada penderita kusta, agar penderita yakin akan sembuh pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya pada bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.25 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 4 jiwa ( 50 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa keluarga selalu memberikan dorongan kepada penderita kusta, agar penderita yakin akan sembuh, 3 JIWA ( 37 % ) keluarga kadang – kadang member dorongan kepada penderita kusta dan 1 jiwa (13%) bahwa keluarga tidak memberikan dorongan kepada penderita kusta, agar penderita yakin akan sembuh.
Support keluarga pada pasien kusta
13%
50%
37%
ya
Kadang-kadang Tidak
6. keluarga pernah melarang penderita kusta untuk bergaul dengan masyarakat
Gambar 3.26 Diagram keluarga pernah melarang penderita kusta untuk bergaul dengan masyarakat pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya pada bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.26 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 1 jiwa ( 12 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa keluarga pernah melarang penderita kusta untuk bergaul dengan masyarakat, 2 jiwa (25%) bahwa keluarga kadang- kadang melarang penderita kusta untuk bergaul dengan masyarakat dan 5 jiwa (63%) bahwa keluarga tidak pernah melarang penderita kusta untuk bergaul dengan masyarakat.
keluarga pernah melarang penderita kusta untuk bergaul dengan masyarakat
12%
25%
63%
ya
Kadang-kadang tidak
Peran keluarga pada klien
0%
13%
87%
Ya
Kadang-kadang Tidak
7. Peran keluarga pada pasien kusta
Gambar 3.27 Diagram Apabila terdapat luka pada penderita kusta, apakah keluarga membantu membersihkan pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya pada bulan Juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.27 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 7 jiwa ( 87 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa apabila terdapat luka pada penderita kusta, keluarga juga membantu membersihkanya dan 1 jiwa (13 %) bahwa apabila terdapat luka pada penderita kusta, keluarga kadang-kadang membantu membersihkannya.
8. Keluarga selalu menganjurkan penderita kusta untuk memakai alas kaki apabila keluar rumah
Gambar 3.28 Diagram Apakah keluarga selalu menganjurkan penderita kusta untuk memakai alas kaki apabila keluar rumah pada kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya pada bulan juli 2013.
Berdasarkan gambar 3.28 tersebut diatas diketahui bahwa sebanyak 2 jiwa ( 25 % ) kelompok Kusta di wilayah Puskesmas Sidotopo Surabaya bahwa keluarga selalu menganjurkan penderita kusta untuk memakai alas kaki apabila keluar rumah dan 5 jiwa ( 62 %) bahwa keluarga kadang-kadang menganjurkan penderita kusta untuk memakai alas kaki apabila keluar rumah dan 1 jiwa ( 13 % ) keluarga tidak menganjurkan penderita kusta memakai alas kaki apabila keluar ruma
Keluarga selalu menganjurkan penderita
kusta untuk memakai alas kaki apabila
keluar rumah
13
% 25
% Ya
Kadang- kadang 62
%
Tida k
Analisa Data
Analisa Data Masalah
a. Data Subjektif :
1. 6 jiwa ( 75 % ) dari 8
penderita kusta
mengatakan penyakit kusta adalah penyakit keturunan.
2. 5 jiwa ( 63 % ) dari 8
penderita kusta
mengatakan tidak tahu tentang penyebab dari penyakit kusta.
3. 6 jiwa ( 75 % ) dari 8
penderita kusta
mengatakan penularan kusta dengan cara bersentuhan.
4. 5 jiwa ( 63 % ) dari 8
penderita kusta
mengatakan tidak penah melarang untuk bergaul dengan masyarakat.
b. Data Objektif :
1. 5 jiwa ( 63 % ) dari 8 penderita kusta aktif
Resiko tinggi penularan penyakit kusta
bermain dengan teman sebayanya.
2. 5 jiwa ( 63 % ) dari 8 kelompok kusta saat ditanya tentang penyebab kusta respon klien kebingungan tidak bisa menjawab.
3. 3 jiwa ( 37 % ) dari 8 penderita kusta ternyata
belum melakukan
imunissi BCG.
4. 6 jiwa ( 75 %) dari 8
penderita kusta
mempunyai kebiasaan mandi 2 kali sehari.
5. 8 jiwa ( 100 % ) mempunyai kebiasaan tidak pernah membuka jendela pada pagi hari.
6. 5 jiwa ( 63 % ) dari 8 penderita kusta luas lubang ventilasinya kurang dari 10 % luas rumah.
7. 5 jiwa ( 63 % ) dari 8 penderita kusta hasil
pemeriksaan BTA
negatif
a. Data Subjektif:
1. 3 jiwa ( 38 % ) dari 8
kelompok kusta
mengatakan tidak teratur dalam meminum obat 2. 4 jiwa ( 50 % ) dari 8
kelompok kusta
mengatakan tidak mengetahui kapan penderita kusta harus
mengambil obat
kepuskesmas.
3. 3 jiwa ( 38 % ) keluarga mengingatkan klien kadang – kadang dalam hal meminum obat.
b. Data Objektif :
1. 3 jiwa (38 % ) dari 8 kelompok kusta obat yang diberikan dari puskesmas masih banyak tidak diminum.
2. 3 Jiwa (38 % ) dari 8
kelompok kusta
Ketidakpatuhan pengobatan
pengobatannya sudah hamper 12 bulan belum sembuh
3. 3 jiwa ( 38 % ) dari kelompok kusta dalam minum obat kadang – kadang.
No .
Setting Masalah/issue Indicator pencapaian
Kelompok Keperawatan yang
berpeluang muncul pada kasus (actual, risiko, promosi)
Masukan data mayor atau wajib ada minimal 5 data 1. Koping kelompok tidak efektif
Subjektif
a) Mengungkapkan ketidakberdayaan komunitas Objektif
b) Komunitas tidak memenuhi harapan anggotanya c) Konflek masyarakat meningkat
d) Insiden masalah masyarakat tinggi (mis.
Pembunuhan, pengrusakan, terorisme, perampok, pelecehan, pengangguran, kemiskinan, penyakit mental)
2. Kesiapan peningkatan koping komunitas Subjektif
a) perencanaan aktif oleh komunitas mengenai prediksi stressor
b) pemecehan masalah aktif oleh komunitas saat menghadapi masalah
Objektif
c) terdapat sumber-sumber daya yang adekuat untuk
mengatasi stressor
3. Perilaku Kesehatan cenderung beresiko Subjektif
Tidak tersedia Objektif
b) menunjukan penolakan terhadap perubahan status kesehatan
c) gagal melakukan tindakan pencegahan masalah kesehatan
d) menunjukan upaya peningkatan status Kesehatan yang minimal
4. Deficit Kesehatan komunitas Subjektif
Tidak tersedia Objektif
b) terjadi masalah Kesehatan yang dialami komunitas c) terdapat faktor risiko fisiologis dan/atau psikologis yang menyebabkan anggota komunitas menjalani perawatan
5. Pemeliharaan Kesehatan tidak efektif Subjektif
Tidak tersedia Objektif
b) kurang menunjukan perilaku adaptif terhadap perubahan lingkungan
c) kurang menunjukan pemahaman tentang perilaku sehat
d) tidak mampu menjalankan perilaku sehat 6. Kesiapan peningkatan manajemen Kesehatan
Subjektif
a) mengekspresikan keinginan untuk mengelola masalah Kesehatan dan pencegahannya
Objektif
b) pilihan hidup sehari-hari tepat untuk memenuhi tujuan program kesehatan
7. Maajemen Kesehatan tidak efektif Subjektif
a) mengungkapkan kesulitan dalam menjalani program perawatan/pengobatan
Objektif
b) gagal melakukan tindakan untuk mengurangi tindakan untuk mengurangi faktor resiko
c) gagal menerapkan program perawatan/pengobatan dalam kehidupan sehari-hari
d) aktivitas hidup sehari-hari tidak efektif untuk memenuhi tujuan kesehatan