• Tidak ada hasil yang ditemukan

P9 DZIKOM PUSPITANINGRUM A031221106

N/A
N/A
dzikom puspitaningrum

Academic year: 2025

Membagikan "P9 DZIKOM PUSPITANINGRUM A031221106"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PAPER

KELOMPOK-KELOMPOK ETNIS (SUKU-BANGSA) SEBAGAI CIKAL BAKAL MASYARAKAT MARITIM DI INDONESIA

Disusun Oleh : Dzikom Puspitaningrum

A031221106

DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN 2022/2023

(2)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sebagai sebuah negara perairan dengan wilayah yang sangat luas, sebagian penduduk Indonesia tersebar di berbagai Kawasan pesisir. Diperkirakan ada sekitar 40 (empat puluh) juta orang penduduk, tersebar di 4.735 desa pesisir yang sebagian di antaranya terletak di wilayah perkotaan. Desa-desa pesisir tersebut terutama terkonsentrasi di wilayah pantai Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Makassar.Sebagian besar penduduk di desa-desa pesisir itu merupakan masyarakat yang masih tradisional, dengan strata sosial ekonomi dan tingkat pendidikan rendah. Mereka merupakan sebuah kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai suku atau etnis yang sebagian besar menggantungkan kehidupannya pada laut. Bagi mereka laut bukan hanya merupakan sumber penghidupan, tetapi juga merupakan penghubung (bukan pemisah) antara satu wilayah dengan wilayah lain dan antara satu etnis dengan etnis lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu masyarakat maritim?

2. Apa saja kelompok-kelompok etnis (suku-bangsa) sebagai cikal bakal masyarakat maritim di Indonesia?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu masyarakat maritim.

2. Untuk mengetahui kelompok-kelompok etnis (suku-bangsa) sebagai cikal bakal masyarakat maritim di Indonesia.

(3)

PEMBAHASAN 2.1 Masyarakat Maritim

Kata etnis berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti “suku bangsa” atau

“orang” atau “kelompok orang”. Menurut Koentjaraningrat (1983), suku bangsa adalah kelompok manusia yang terikat pada kesadaran dan identitas “kesatuan kebudayaan”.

a. Istilah etnis sendiri juga sering diartikan sebagai kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya yang mengindikasikan adanya kenyataan kelompok minoritas dan mayoritas dalam suatu masyarakat.

b. Istilah etnis maritim barang kali dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang diikat oleh kesatuan tempat tinggal, asal-usul, adat-istiadat, dan bahasa, yang pada umumnya menggantungkan sepenuhnya atau sebagian terbesar kehidupan ekonominya pada pemanfaatan sumber daya laut.

2.2 Kelompok-Kelompok Etnis (Suku-Bangsa) Sebagai Cikal Bakal Masyarakat Maritim di Indonesia

Jika melacak cikal bakal masyarakat maritim Indonesia, maka diantara sekian banyak kelompok-kelompok suku bangsa pengelola dan pemanfaat sumber daya dan jasa-jasa laut yang ada seperti nelayan dan pelayar.

Beberapa kelompok-kelompok etnik (suku-bangsa) sebagai cikalbakal masyarakat maritim pedesaan di Indonesia antara lain :

a. Etnis Bajo (Sea Gypsies)

Suku Bajo merupakan etnis asal Asia Tenggara yang memiliki karakteristik kemaritiman cukup kental. Saat ini mereka tersebar di beberapa wilayah perairan Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara, hingga ke pantai timur Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Suku Bajo yang menetap di Taman Nasional Kepulauan Togean. Kepulauan Togean adalah sebuah kepulauan yang terletak di Teluk Tomini, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah. Di sinilah suku Bajo hidup dan menetap berdampingan dengan laut.

Suku Bajo dapat menyelam hingga kedalaman 70 meter di bawah permukaan laut hanya dengan satu tarikan napas. Hasil penelitian itu menyebutkan, limpa orang- orang Suku Bajo ternyata lebih besar 50% dibanding manusia biasa pada umumnya.

Alhasil, produksi oksigen di dalam darah orang Bajo akan lebih banyak karena besarnya ukuran limpa tersebut. Bahkan, pada zaman dahulu, konon setiap terlahir anak etnis Bajo dalam waktu 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) hari bayi tersebut langsung dicelupkan ke dalam laut di awali dari ujung perahu yang satu menuu ujung perahu lainnya. Tentunya hal tersebut memiliki makna yang mendalam pada kehidupan komunitas etnis Bajo. Namun, seiring kemajuan dan perkembangan zaman kebiasan celup bayi telah berubah dengan hanya memandikan sang bayi dengan air laut yang dilakukan oleh dukun (sandro). Hal demikian dilakukan, agar orang-orang etnis Bajo dekat dengan laut, bahkan jika ada di antara mereka yang sakit akan sembuh apabila dimandikan oleh dukun (sandro) dengan air laut. Mereka meyakini akan keajaiban tersebut karena nenek moyang (para pendahulu) mereka berasal dari laut.

Kini masyarakat suku Bajo banyak yang bersekolah, bahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Hal tersebut menandakan bahwa kesadaran masyarakat suku Bajo

(4)

terhadap pentingnya pendidikan telah terbangun. Dengan begitu, diharapkan mereka bisa turut memajukan suku Bajo dan juga masyarakat di sekitarnya.

b. Bugis

Bugis merupakan suku yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan. Suku Bugis menjadi bagian penting dalam budaya bahari Nusantara. Menurut Pelras (1996), orang Bugis merupakan pedagang antar pulau yang disegani terutama ketika sebelum abad 19. Pertanian dan nelayan merupakan mata pencaharian utama suku Bugis pada masa sebelum abad 19. Keterangan tersebut juga menjadi penjelas mengenai barang dagangan utama Suku Bugis yang berupa beras.

Hussin (2008) menyatakan bahwa kesuksesan pedagang Bugis tidak dapat dilepaskan dari konsep yang telah memberi mereka kekuatan, yaitu berupa siri dan pacce. Siri merupakan konsep yang berkaitan dengan kekuatan jati diri dan unsur malu. Orang Bugis seringkali memberi peringatan bahwa “lebih baik mati demi mempertahankan siri dibandingkan dengan kehidupan yang tidak memiliki siri”.

Sedangkan, Konsep pacce merupakan suatu kepercayaan adanya kesatuan rohani pada individu (Mustafa, 2003).

Kapal Pinisi oleh beberapa pihak seringkali disalahtafsirkan sebagai produk asli budaya Bugis (Pelras, 1996). Orang bugis memang merupakan pedagang yang ulung, namun mereka hanya menggunakan Pinisi untuk mengarungi pulau-pulau.

Keterkenalan Suku Bugis menjadikannya ikut dicap sebagai penemu Kapal Pinisi.

Kapal Pinisi sebenarnya dibuat oleh orang-orang berbahasa Konjo yang merupakan sub-group dari suku Makassar (Alimuddin, 2013).

c. Makassar

Suku Makassar adalah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi, meliputi wilayah Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bantaeng, dan Kabupaten Kepulauan Selayar. Suku Makassar juga mendiami sebagian wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, dan sebagian besar wilayah Kabupaten Bulukumba.

Kerajaan Makassar disebut sebagai kerajaan maritim karena letaknya yang terletak di pinggir pantai dan pelabuhan internasional serta merupakan jalur perdagangan internasional yang strategis, dan Kerajaan Makassar mempunyai pelaut yang handal dan lihai. Alasan Kerajaan Makassar disebut kerajaan maritim adalah karena Kerajaan Gowa atau Kerajaan Makasar terletak di pesisir dan telah menjadi kerajaan maritim sejak abad ke-14. Lalu Makassar juga masuk ke dalam jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina. Dan terakhir penduduk Makasar merupakan pelaut yang lihai. Hal ini dibuktikan ketika pelabuhan Somba Opu akan dikuasai oleh VOC, para pelaut Makassar berhasil melewati blokade VOC dengan kapal-kapalnya yang kecil. Dengan demikian, Kerajaan Makassar disebut kerajaan maritim karena letak geografis dan keadaan masyarakat di sana yang sudah berprofesi sebagai pelaut.

d. Mandar (Sulawesi Barat)

Suku Mandar adalah gugusan etnik di Nusantara, tersebar di seluruh pulau Sulawesi , yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara, juga tersebar di beberapa provinsi di luar sulawesi seperti

(5)

Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatera bahkan hingga ke Malaysia.

Menurut Alimuddin (2013), suku Mandar memiliki budaya bahari karena tanah tempat mereka berasal tidak cocok sebagai perairan. Pada abad ke 18 perdagangan laut sangat marak sehingga secara paralel orang Mandar bekerja sebagai tukang perahu, pelayar dan buruh di pelabuhan. Perahu Sandeq ikon khas suku Mandar sekaligus hasil warisan sejak zaman Austronesia yang digunakan untuk menangkap ikan ataupun muatan jarak jauh. Perahu ini dapat mencapai kecepatan 15- 20 knot atau sekitar 30-40 km per jam dengan kondisi angin yang baik. Perahu ini hanya diproduksi oleh pande lopi (tukang perahu) Mandar dan termasuk puncak evolusi pembuatan perahu Nusantara.

Suku Mandar terdiri atas 17 (kerajaan) kerajaan, 7 (tujuh) kerajaan hulu yang dikata "Pitu Ulunna Salu", 7 (tujuh) kerajaan muara yang dikata "Pitu ba'bana binanga" dan 3 (tiga) kerjaan yang bergelar "Kakarunna Tiparittiqna Uhai".

e. Buton

Buton pasa zaman dahulu merupakan suatu wilayah kesultanan yang bernama Wolio (Zuhdi dkk, 2009). Hadara (2006) menyatakan bahwa para pelaut Buton yang selama ini disegani pada dasarnya adalah pelaut-pelaut yang beasal dari Kepulauan Tukang Besi. Hal tersebut dikarenakan pelaut Kepulauan Tukang Besi memiliki tiga keunggulan pelaut yaitu memiliki kemahiran membuat perahu layar tradisional, keberanian berlayar di alam bebas, dan kemampuan menerima perkembangan teknologi pelayaran.

Penjelajahan para Pelaut Tukang Besi tidak hanya sebatas wilayah Nusantara.

Mereka juga telah berlayar ke beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Deli, Filipina Selatan, Filipina Timur Australia Utara, dan Pakistan (Hadara, 2006).

Penjelajahan ini mereka lakukan menggunakan perahu tradisional bernama lambo.

Perahu lambo merupakan hasil karya asli masyarakat Buton (Zuhdi dkk, 2009).

Perahu ini memiliki keunikan berupa penggunaan layar nade yang merupakan produk barat. Perahu Lambo mampu mengangkut barang hingga 300 ton. Lambo juga digadang-gadang menjadi pesaing Perahu Pinisi yang banyak digunakan oleh suku Bugis untuk berdagang.

f. Madura

Nelayan Madura tersebar di wilayah gugusan Pulau Madura, serta beberapa kabupaten di pesisir utara ujung timur Pulau Jawa, daerah pesisir (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep) mengukuhkan bahwa Madura dikenal sebagai nelayan tangguh. Kearifan nelayan Madura (Pasean dan Tlanakan), tercermin dari persepsi mereka tentang teknologi tangkap ikan yang berbasis pada pelestarian sumber daya laut. Kearifan dalam penggunaan alat tangkap misalnya ditunjukkan dengan pilihan penggunaan alat pancing yang dominan digunakan oleh sebagian besar nelayan Pasean. Tindakan-tindakan nelayan yang selalu melakukan kegiatan ritual yang ditujukan kepada Tuhan YME pada saat akan melaut, ketika sedang di tengah laut, maupun untuk kejadian-kejadian tertentu, menunjukkan kearifan yang tinggi bahwa segala sesuatunya itu harus dijalani secara benar sesuai dengan petunjuk Tuhan YME, karena semuanya adalah milik Tuhan.

(6)

INTISARI VIDEO

Menurut Selo Soermardjan, Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Adapun unsur-unsur masyarakat, yakni beranggotakan paling sedikit dua orang atau lebih, seluruh anggota sadar sebagai satu kesatuan, berhubungan dalam waktu yang lama, menjadi sistem hidup bersama yang memunculkan kebudayaan dan keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat, berbagai pola tingkah laku yang khas menjadi pengikut satu kesatuan manusia yang kemudian disebut masyarakat, pola-pola tersebut harus bersifat tetap dan berkelanjutan agar menjadi kebudayaan, kebudayaan dilahirkan dari proses berpikir manusia yang kemudian diyakini sebagai nilai-nilai hidup, dengan demikian, masyarakat dan kebudayaan tidak akan mungkin terpisahkan karena masyarakat adalah wadah kebudayaan itu sendiri.

Ciri-ciri masyarakat hidup, yaitu berkelompok, melahirkan kebudayaan, mengalami perubahan, berinteraksi, terdapat kepemimpinan, dan stratifikasi sosial. Adapula fungsi- fungsi masyarakat, diantaranya fungsi adaptasi, integrasi, mempertahankan pola, dan pencapaian tujuan. Selanjutnya, bentuk masyarakatm yaitu masyarakat primitif, modern, madani, multicultural, dan majemuk.

Syarat akan terjadinya interaksi sosial, yaitu kontak sosial, komunikasi, dan Tindakan sosial. Adapun faktor-faktor interaksi sosial, yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang terdiri dari imitasi, identifikasi, sugesti, simpati, empati, dan motivasi. Ciri-ciri interaksi sosial, yaitu jumlah pelaku lebih dari satu orang, terdapat komunikasi antar pelaku, ada dimensi waktu, ada maksud dan tujuan interaksi, dan terdapat reaksi yang ditimbulkan. Jenis- jenis interaksi sisoal, yaitu interaksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.

Macam-macam proses sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif. Fungsi sosial menurut Talcott Parsons, yakni adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola laten.

Perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi pada Lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Beberapa teori perubahan sosial, yaitu teori evolusi, konflik, fungsionalis, siklus, dan linier.

Dan faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, yaitu faktor internal serta eksternal.

(7)

PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Masyarakat maritim adalah kesatuan hidup manusia berupa kelompok-kelompok kerja, komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan suku bangsa, kesatuan administratif berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa merupakan Negara atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kebutuhan ekonominya secara langsung ataupun tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati dan non hayati) dan jasa-jasa laut yang dipedomani dan dicirikan bersama dengan kebudayaan maritimnya. Jika melacak cikal bakal masyarakat maritim Indonesia, maka di antara sekian banyak kelompok-kelompok suku bangsa pengelola dan pemanfaat sumber daya dan jasa-jasa laut yang ada seperti nelayan dan pelayar. Sejak beberapa dekade terakhir, bukan hanya kelompok tersebut dianggap sebagai masyarakat pewaris dan pendukung kebudayaan maritim di Indonesia, tapi tidak terkecuali bagi semua komunitas pesisir dan pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke yang telah menggagas dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi berkaitan sumber daya dan jasa-jasa laut di sekelilingnya.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Wajdi, F., & Putra, Z. (2020). Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Nilai Kearifan Lokal Etnis Bajo Dalam Satuan Pendidikan. Prosiding Simposium Nasional Filsafat Nusantara Ke-1 (Eksplorasi Kekayaan Filsafat dan Kearifan Lokal Nusantara dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Maju), edited by H. Santoso. Yogyakarta:

Laboratorium Filsafat Nusantara Universitas Gadjah Mada.

Nurkholis, A. (2018). Mengenal Pusat Kebudayaan Maritim: Suku Bajo, Suku Bugis, Suku Buton, Suku Mandar Di Segitiga Emas Nusantara.

Sumintarsih. (2005). Kearifan lokal di lingkungan masyarakat nelayan Madura. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Koentjaraningrat konsep suku bangsa sama dengan budaya lokal, dimana suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan

Materi kuliah ini meliputi: pengertian dan ruang lingkup antropologi, konsep dasar individu dan masyarakat, unsur-unsur dan wujud kebudayaan, kesatuan hidup setempat, konsep

Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuan- kesatuan manusia yang hidup bersama (Soerjono Soekanto, 2006: 101). Hubungan tersebut antara lain

Pengaruh yang ditimbulkan dengan kedatangan suku bangsa dari manca negara menyebabkan beberapa pola hidup yang berlangsung dalam sebuah komunitas mengalami

Bangsa Indonesia terbentuk melalui tumbuhnya kesatuan komunitas politis, yakni suatu gerakan kebangkitan yang menyatukan sejumlah kelompok etnis yang berakar budaya,

Sebagai bangsa, kita tidak hidup sendiri melainkan hidup dalam satu kesatuan masyarakat dunia (world society). Kita semua merupakan makhluk yang ada di bumi. Karena itu, manusia

Sebagai bangsa, kita tidak hidup sendiri melainkan hidup dalam satu kesatuan masyarakat dunia (world society). Kita semua merupakan makhluk yang ada di bumi. Karena itu, manusia

Menurut komunitas Shiddiqiyyah, peletakan potongan ayat yang maknanya “Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku” di bagian awal, sementara “orang yang paling