• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Unika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Unika"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelebihan berat badan atau yang dikenal dengan overweight maupun obesitas saat ini menjadi masalah gizi utama yang terus ada akibat semakin berkembangnya teknologi di dunia. Perkembangan teknologi berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang kurang baik sehingga masalah kelebihan gizi akan menjadi ancaman terutama bagi para remaja (Zulfianto

& Mochamad, 2017). Remaja termasuk ke dalam masa peralihan mulai dari tahap anak menjadi dewasa dengan adanya perubahan fisik serta kematangan secara seksual (Rachmayani et al., 2018). Saat ini, remaja di Indonesia berjumlah 16% dari total penduduk yaitu sebanyak 44.316.200 orang (Badan Pusat Statistik, 2021). Umumnya, remaja termasuk ke dalam kelompok yang sangat rentan mengalami masalah gizi baik kelebihan status gizi (overweight dan obesitas) maupun kekurangan status gizi (underweight) karena fase remaja merupakan fase pertumbuhan sehingga membutuhkan gizi yang tinggi untuk menunjang pertumbuhan fisiknya. Faktor pertumbuhan fisik berhubungan dengan pola hidup yang dijalani remaja. Tetapi hingga saat ini, remaja kurang memperhatikan pola hidupnya akibat berbagai faktor disekitarnya. Usia remaja mulai dari 10-19 tahun akan mengalami perubahan pola hidup yang tidak sama dengan masa kanak-kanak dibuktikan dengan konsumsi makanan tinggi kalori, lemak, dan karbohidrat serta penurunan tingkat aktivitas fisik yang membuat remaja lebih rentan terhadap kegemukan (Kurdanti et al., 2015).

Kejadian status gizi lebih merupakan epidemi yang perlu diperhatikan sejak dini karena kondisi overweight maupun obesitas dapat memberikan efek yang panjang baik dari segi kesehatan maupun sosial. Hal ini diperkuat dengan data yang mengatakan bahwa 70% remaja obesitas setidaknya memiliki risiko untuk terkena penyakit kardiovaskular seperti diabetes (Suryamulyawan & I Made, 2019). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengatakan bahwa overweight maupun obesitas akan menjadi permasalahan utama pada remaja dari tahun 1990 hingga sekarang. Permasalahan ini diduga terjadi akibat pola makan dan aktivitas yang tidak seimbang. Berdasarkan ruang lingkup global, 340 juta warga dunia bahkan lebih dengan rentang usia 5-19 tahun mengalami obesitas pada tahun 2016 (WHO, 2021). Kasus kelebihan status gizi di dunia selalu meningkat setiap tahunnya dan sampai pada tahun 2016,

(2)

obesitas telah meningkat sejak tahun 1975 hingga mencapai tiga kali lipat. Prevalensi status gizi lebih baik menurut dunia maupun Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)

(c)

Gambar 1. (a) Prevalensi Obesitas Global dan Asia Tenggara; (b) Prevalensi Obesitas Sentral Remaja Indonesia; (c) Prevalensi Kelebihan Berat Badan Remaja Indonesia Pada Gambar 1(a) mengenai prevalensi obesitas secara global menurut World Obesity Federation’s tahun 2019, persentase obesitas pada usia 5-19 tahun mengalami kenaikan mulai dari tahun 2010 hingga 2016. WOF (World Obesity Federation’s) pun memprediksi bahwa peningkatan kejadian obesitas akan terus terjadi dan pada tahun 2025, obesitas pada anak di dunia dapat mencapai 10,5% atau sekitar 205,5 juta penduduk. Sementara dari wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia di dalamnya, obesitas anak dan remaja pada tahun 2025 mencapai 12% atau sekitar 26,4 juta penduduk. Obesitas sentral pun dilaporkan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) sesuai dengan Gambar 1(b) bahwa proporsi obesitas sentral pada tahun 2013 sebesar 26,6% meningkat menjadi 31% di tahun 2018 pada remaja

(3)

usia 15 tahun ke atas (Hermawan et al., 2020). Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappenas mengenai Pembangunan Gizi di Indonesia pada tahun 2019, remaja SMA dengan kisaran usia 16-18 tahun mengalami masalah kelebihan berat badan. Pada tahun 2010, sebanyak 1,4% remaja SMA mengalami kegemukan. Kemudian di tahun 2013, angka ini meningkat tajam menjadi 7,3% dan kembali meningkat menjadi 9,5% di tahun 2018 yang 4% di dalamnya menderita obesitas. Data tersebut diperjelas kembali berdasarkan hasil dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, anak dan remaja mulai usia 5-18 tahun terus mengalami masalah kelebihan berat badan ditandai dengan peningkatan prevalensi overweight dan obesitas dari tahun 2013 ke tahun 2018 seperti pada Gambar 1(c).

Hingga tahun 2019 sebelum adanya pandemi COVID-19, kasus kegemukan dari ruang lingkup dunia pun masih tinggi dilihat dari hasil survei berdasarkan website statista.com.

Kasus kelebihan berat badan pada remaja yang berusia 10-19 tahun dilaporkan sebanyak 17,3% (Statista, 2021). Bahkan, saat ini obesitas termasuk ke dalam penyebab kematian manusia yang utama pada berbagai negara. WHO (World Health Organization) telah menetapkan target agar obesitas terus menurun hingga angka prevalensinya sekitar 4,9%

seperti pada tahun 2010 (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Sementara untuk negara Indonesia, pemerintah tidak menerapkan target obesitas melainkan hanya berupaya agar prevalensi obesitas tidak mengalami kenaikan setiap tahunnya. Meningkatnya kegemukan atau obesitas pada remaja diperkirakan akan selalu meningkat setiap tahun disebabkan oleh minat remaja dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus berubah seperti konsumsi makanan yang tinggi akan kalori dan tidak memenuhi Pedoman Gizi Seimbang (Loliana &

Siti, 2015).

Munculnya pandemi COVID-19 di akhir tahun 2019 yang meresahkan seluruh dunia membuat pola hidup masyarakat pun berubah akibat aktivitas masyarakat tidak dapat berjalan seperti biasanya. Perubahan gaya hidup tersebut seiring berkembangnya zaman terutama saat pandemi COVID-19 akan memberikan peluang yang besar terhadap masyarakat terutama para remaja dalam mengalami obesitas atau kelebihan berat badan.

Kementerian Kesehatan (2021) mengatakan bahwa peluang meningkatnya overweight maupun obesitas pada remaja akan semakin besar di masa pandemi COVID-19. Hansel et al

(4)

(2021) mengatakan bahwa adanya lockdown atau isolasi di rumah saja meningkatkan pola konsumsi masyarakat dengan rutin mengonsumsi jajanan. Konsumsi jajanan dan kebutuhan sehar-hari akhirnya dipenuhi secara online melalui smartphone dan terbukti bahwa COVID- 19 membuat minat masyarakat dalam menggunakan layanan online food delivery semakin tinggi (Kartono & Jane, 2021).

Berdasarkan website resmi grab.com, terdapat beberapa menu terlaris yang sering dipesan konsumen sebelum dan selama COVID-19 diantaranya adalah ayam goreng, bubble tea, pisang goreng, es kopi, dan aneka mie (Grab, 2020). Jenis makanan favorit yang sering dibeli oleh konsumen sebagian besar adalah fastfood ataupun jenis lainnya yang menyumbang kalori, karbohidrat, gula, dan lemak yang tinggi tetapi rendah akan serat serta vitamin.

Kurdanti et al (2015) pun mengatakan bahwa gaya hidup yang berubah akan meningkatkan resiko kelebihan status gizi akibat asupan energi yang meningkat sekitar 50-60 kalori setiap harinya serta aktivitas fisik yang semakin diabaikan dapat meningkatkan berat badan sekitar 2,4 kg. Hal tersebut diperkuat dengan adanya data dari Amerika Serikat yang melaporkan bahwa sebanyak 1,27 juta kasus obesitas baru terjadi pada anak-anak dan remaja hingga bulan Desember 2020 (Stavridou et al., 2021). Dengan adanya perubahan gaya hidup, peneliti akan mengidentifikasi bagaimana gaya hidup remaja yang berhubungan dengan overweight/obesitas selama pandemi COVID-19 sehingga masyarakat dapat mengetahui hubungan antara gaya hidup terhadap overweight/obesitas dan meningkatkan kesadaran masyarakat terutama para remaja sang penerus bangsa untuk selalu memperhatikan gaya hidup agar kelebihan status gizi dapat ditangani sesegera mungkin sehingga tingkat kematian di dunia akibat obesitas dapat berkurang bahkan hilang.

Penelitian mengenai obesitas memang sudah banyak dilakukan, namun penelitian tersebut fokus untuk melihat kejadian obesitas pada lokasi tertentu dan belum banyak penelitian yang dilakukan pada daerah perkotaan DKI Jakarta. Penelitian yang dilakukan saat ini akan menjadi penelitian baru karena mencakup lokasi wilayah DKI Jakarta secara luas serta dilakukan pada masa pandemi COVID-19 sehingga subjek penelitian yang didapatkan akan berbeda dan dapat diketahui pula bagaimana gaya hidup yang dilakukan oleh para remaja selama masa pandemi ini berlangsung.

(5)

1.2. Tinjauan Pustaka 1.2.1. Remaja

Remaja termasuk ke dalam seseorang yang masuk pada masa transisi dari anak-anak ke dewasa. Indikator seseorang beralih ke masa remaja dapat dilihat dari tanda pubertas hingga menuju kematangan baik secara seksual, sosial, psikologis, dan hukum. Batasan usia remaja berbeda-beda menurut sumbernya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014, kategori usia remaja berada pada rentang 10 hingga 18 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kategori remaja dimulai dari rentang usia 10 hingga 24 tahun dan belum menikah (Rini & Yuni, 2018). Sementara itu, menurut World Health Organization (WHO), kategori remaja berada pada usia 10 tahun hingga 19 tahun. Kategori remaja terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Remaja awal

Masa remaja awal dibatasi mulai dari usia 10 tahun hingga 14 tahun. Tahap ini ditandai dengan adanya perubahan fisik yang mulai terlihat jelas dan perubahan dari segi emosional yang cenderung cepat marah atau tidak stabil dalam mengendalikan emosi.

b. Remaja akhir

Remaja masuk ke dalam tahap akhir ketika berada pada usia 15 tahun hingga 19 tahun.

Remaja akhir cenderung memiliki hasrat untuk menjadi pusat perhatian dan memiliki kemantapan terhadap masa depannya. Pada tahap ini, remaja mulai menunjukkan sikap kedewasaannya akibat sudah dapat mengontrol emosi serta memiliki energi atau semangat yang besar terhadap aktivitas yang dikerjakan.

(Patimah, 2021).

Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2021, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272.682.500 orang yang di dalamnya terdapat remaja dengan usia 10-19 tahun berjumlah 44.316.200 orang atau sekitar 16% dari total penduduk. Masa remaja merupakan tahap perkembangan seseorang yang mulai masuk ke dalam masa labil akibat pengaruh dari faktor lingkungan. Remaja cenderung mencari dan mengikuti hal-hal yang sedang diperbincangkan masyarakat atau sedang trend (Setyawati & Eti, 2016). Remaja terutama perempuan termasuk ke dalam tahap perkembangan yang sangat peduli terhadap bentuk tubuh agar sesuai dengan yang diinginkan diri sendiri maupun orang lain (Intantiyana et al., 2018). Pada

(6)

akhirnya, di tahap remaja inilah seseorang sangat memikirkan frekuensi makannya dengan tujuan menjadi pribadi dengan tubuh yang ideal (Kurdanti et al, 2015). Tetapi, sebagian besar upaya remaja untuk mencapai tubuh ideal dilakukan dengan cara instan sehingga remaja dapat mencapai tubuh ideal tanpa melihat bagaimana porsi yang tepat dalam mengonsumsi makanan. Obesitas pada remaja pun kian meningkat ditandai dengan data yang dilaporkan bahwa kasus kelebihan berat badan pada remaja usia 10-19 tahun sebanyak 17,3% (Statista, 2021).

1.2.2. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan pola kehidupan manusia berdasarkan segi pemikiran mengenai diri sendiri dan lingkungan sekitar, pertimbangan mengenai lingkungan, serta pertimbangan mengenai aktivitas yang dijalani sehari-hari (Pratiwi et al., 2017). Gaya hidup setiap orang akan berbeda-beda dan terus berubah seiring berkembangnya zaman akibat adanya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap gaya hidup manusia diantaranya adalah faktor internal berupa sikap, kepribadian, persepsi, dan konsep diri serta faktor eksternal seperti keluarga dan lingkungan sosial. Untuk melihat gaya hidup secara spesifik, maka komponen ini dapat dilihat dari pola konsumsi atau pola makan serta aktivitas fisik setiap orang (Pratiwi et al., 2017).

1.2.3. Overweight dan Obesitas

Overweight dan obesitas adalah suatu kondisi kelebihan berat badan dalam arti yang berbeda.

Overweight merupakan kondisi ketika berat badan berada diatas batas normal yang telah ditetapkan sedangkan obesitas merupakan suatu kondisi kronis kelebihan status gizi akibat menumpuknya lemak berlebih di dalam tubuh sehingga berat badan yang dimiliki seseorang melebihi berat badan normal (Pratiwi et al., 2017). Ketidakseimbangan asupan energi yang masuk dengan energi yang keluar membuat lemak terakumulasi pada jaringan tubuh dan menyebabkan berat badan meningkat diluar batas normal (Gali et al., 2017). Sebagai panduan dalam menentukan kategori tubuh, maka dapat dilakukan dengan menghitung indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator untuk mengetahui seseorang berada pada kategori kurang maupun lebih berat badan. Penentuan indeks massa tubuh dilakukan dengan perhitungan menggunakan rumus:

(7)

𝐼𝑀𝑇 = 𝐵𝐵 𝑇𝐵2

Keterangan: BB= Berat Badan (kilogram); TB= Tinggi Badan (meter)

Setelah didapatkan hasil indeks massa tubuh, maka dilakukan klasifikasi untuk mengetahui pada kategori manakah kondisi tubuh seseorang. Berikut ini merupakan klasifikasi nilai indeks massa tubuh berdasarkan World Health Organization (WHO) dan nasional (Kementerian Kesehatan, 2018):

Tabel 1. Status Gizi dengan Klasifikasi WHO Nilai IMT (kg/m2) Klasifikasi WHO

< 18,5 Underweight (Kekurangan Berat Badan)

18,5 – 22,9 Normal

23,0 – 24,9 Overweight (Kelebihan Berat Badan)

25,0 – 29,9 Obesitas Kelas 1

≥ 30 Obesitas Kelas 2

Keterangan: IMT= Indeks Massa Tubuh; kg= kilogram; m= meter

Tabel 2. Status Gizi dengan Klasifikasi Nasional Nilai IMT (kg/m2) Klasifikasi Nasional

< 17,0 Berat

Kurus 17,0 – 18,4 Ringan

18,5 – 25,0 Normal

25,1 – 27,0 Ringan

Gemuk

> 27,0 Berat

Keterangan: IMT= Indeks Massa Tubuh; kg= kilogram; m= meter

Metode lain yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan idealnya berat badan seseorang adalah waist-height ratio atau rasio lingkar pinggang tinggi badan (WHtR).

Metode WHtR merupakan metode yang lebih akurat untuk mengetahui kategori tubuh seseorang dibandingkan menggunakan metode indeks massa tubuh karena selain mengetahui kategori ideal tubuh, WHtR dapat menjadi parameter dalam melihat resiko penyakit yang

(8)

ada di dalam tubuh (Runingsari, 2018). Berikut merupakan perhitungan untuk menentukan obesitas berdasarkan metode rasio lingkar pinggang tinggi badan:

𝑊𝐻𝑡𝑅 = 𝐿𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑟 𝑃𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑛𝑔 (𝑐𝑚) 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑐𝑚)

Indikator untuk menentukan kategori manakah tubuh seseorang dengan metode WHtR dibedakan menjadi dua klasifikasi yaitu perempuan dan laki-laki. Berikut ini merupakan klasifikasi nilai waist-height ratio berdasarkan jenis kelamin (Morstein, 2017):

Tabel 3. Klasifikasi Waist to Height Ratio untuk Perempuan

Nilai WHtR Klasifikasi

< 0,35 atau 35 Sangat Kurus/Underweight

0,35-0,42 atau 35-42 Kurus

0,42-0,46 atau 42-46 Ramping

0,46-0,49 atau 46-49 Normal

0,49-0,54 atau 49-54 Overweight

0,54-0,58 atau 54-58 Obesitas

> 0,58 atau 58 Obesitas Berat

Keterangan: WHtR= Waist to Height Ratio

Tabel 4. Klasifikasi Waist to Height Ratio untuk Laki-Laki

Nilai WHtR Klasifikasi

< 0,35 atau 35 Sangat Kurus/Underweight

0,35-0,43 atau 35-43 Kurus

0,43-0,46 atau 43-46 Ramping

0,46-0,53 atau 46-53 Normal

0,53-0,58 atau 53-58 Overweight

0,58-0,63 atau 58-63 Obesitas

> 0,63 atau 63 Obesitas Berat

Keterangan: WHtR= Waist to Height Ratio

(9)

1.2.4. Penyebab Overweight dan Obesitas

Terjadinya overweight maupun obesitas pada seseorang dapat dipengaruhi oleh dua faktor diantaranya adalah faktor internal dan eksternal.

1.2.4.1. Faktor Internal 1.2.4.1.1. Genetik

Prevalensi overweight dan obesitas akan semakin meningkat apabila terdapat riwayat kelebihan status gizi dari orang tua. Apabila kedua orang tua pernah atau sedang menderita overweight/obesitas, maka resiko terjadinya overweight maupun obesitas pada keturunannya akan lebih tinggi dibandingkan hanya salah satu orang tua yang pernah atau sedang menderita kondisi tersebut. Tingginya riwayat overweight/obesitas dari orang tua akan memberikan resiko sebesar 2,016 kali terhadap keturunannya terutama remaja karena pola makan serta aktivitas rutin yang dijalankan hampir sama antar anggota keluarga akibat lingkungan tempat tinggal yang sama pula (Ali & Nuryani, 2018).

1.2.4.1.2. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin akan memberikan peluang terjadinya overweight/obesitas yang berbeda pula. Menurut Pratiwi et al (2017), resiko perempuan menderita kelebihan status gizi lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena perempuan cenderung melakukan aktivitas fisik yang lebih rendah sehingga berpengaruh pada menimbunnya lemak di dalam tubuh. Selain itu, massa lemak yang disimpan perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki sedangkan massa otot yang dimiliki laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Ketika berada pada fase pubertas, bobot persentase lemak perempuan sebesar 22-26% (Setiawati et al., 2019).

1.2.4.1.3. Usia

Kegemukan merupakan penyakit yang dapat terjadi pada semua kalangan mulai dari bayi hingga lansia. Tetapi, usia dapat menentukan seberapa besar peluang terjadinya kelebihan status gizi karena berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia. Semakin bertambahnya usia, maka peluang menderita overweight/obesitas lebih tinggi diakibatkan massa otot yang berkurang. Kurangnya niat dalam melakukan aktivitas fisik selama bertambahnya usia pun akan memperlambat metabolisme tubuh sehingga rentan terhadap obesitas. Dalam masa remaja, terjadi siklus pertumbuhan dan perkembangan yang lebih cepat

(10)

sehingga semangat para remaja pun akan lebih tinggi dan lebih banyak melakukan aktivitas fisik (Kurdanti et al., 2015). Selain itu, usia remaja akan mengalami perubahan dari segi biologis yang berpengaruh pada peningkatan nafsu makan. Apabila tingginya nafsu makan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik, maka dalam jangka panjang lemak dalam tubuh akan meningkat dan tertimbun (Pratiwi et al., 2017).

1.2.4.1.4. Penyakit

Orang yang menderita penyakit tertentu pastinya akan rutin mengonsumsi obat-obatan sebagai alat terapi penyembuhan. Konsumsi obat-obatan berjenis steroid dalam jangka panjang akan berpengaruh pada meningkatnya nafsu makan. Selain itu, orang yang menderita penyakit kronis pastinya akan lebih sulit untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas berat. Jika nafsu makan kian meningkat dan tidak diseimbangi dengan aktivitas fisik, maka hal tersebut dapat meningkatkan resiko overweight/obesitas (Kementerian Kesehatan, 2019).

1.2.4.2. Faktor Eksternal (Gaya Hidup)

Menurut Setiawati et al (2019), penyebab utama yang meningkatkan prevalensi kelebihan status gizi berasal dari faktor eksternal atau gaya hidup yaitu sekitar 90%. Maka dari itu, penyebab overweight/obesitas berdasarkan faktor eksternal terutama gaya hidup adalah:

1.2.4.2.1. Pola Makan

Pola makan merupakan bentuk perilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dengan tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan mencegah terjadinya penyakit (Menteri Kesehatan RI, 2014). Terdapat tiga komponen utama yang termasuk ke dalam pola makan diantaranya adalah jenis makanan, jumlah makanan, dan frekuensi makan (Mishbahatul et al., 2020). Jenis makanan merupakan variasi makanan yang sering dikonsumsi seseorang mulai dari makanan pokok, lauk pauk (nabati dan hewani), sayuran, hingga buah-buahan. Jumlah makanan adalah total banyaknya makanan yang dikonsumsi setiap orang. Sedangkan frekuensi makan adalah waktu makan dalam sehari. Frekuensi makan normal sesuai Pedoman Gizi Seimbang adalah tiga kali sehari yaitu saat pagi, siang, dan malam (Kementerian Kesehatan RI, 2014)

(11)

Pola makan dapat dikatakan sebagai faktor utama yang menjadi penyebab overweight maupun obesitas. Hal ini saling berkaitan akibat kandungan kalori atau asupan energi yang masuk dari konsumsi makanan melebihi batas normal. Pola makan yang buruk akan meningkatkan peluang seseorang untuk mengidap overweight bahkan obesitas. Buruknya pola makan yang dikonsumsi seseorang dapat dilihat berdasarkan pedoman gizi seimbang.

Jika konsumsi makan seseorang tidak sesuai dengan pedoman gizi seimbang, maka dapat dikatakan bahwa pola makan tersebut tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Remaja kerap menerapkan konsumsi makan yang buruk karena remaja kurang memenuhi pedoman yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan yaitu tidak rutin mengonsumsi makanan tinggi serat seperti sayur, buah, dan biji-bijian (Albataineh et al., 2019). Frekuensi dan porsi makan yang berlebihan pada remaja pun akan meningkatkan asupan energi yang masuk ke dalam tubuh sehingga rentan terhadap kegemukan.

a. Konsumsi Fast Food

Fast food merupakan makanan yang sering diartikan sama dengan junk food. Padahal, tidak semua jenis fast food tergolong ke dalam kategori junk food. Junk food merupakan makanan yang mengalami pengolahan dengan berbagai cara sehingga mengakibatkan kandungan nutrisi pada makanan tersebut menjadi berkurang bahkan hilang. Sementara fast food adalah makanan yang hanya membutuhkan waktu singkat dalam proses pengolahannya. Tetapi, berkembangnya zaman membuat variasi makanan menjadi sangat tinggi hingga kategori fast food pun sebagian besar termasuk ke dalam kategori junk food (Sutrisno et al., 2018).

Pola makan yang buruk berhubungan dengan meningkatnya konsumsi fast food maupun junk food karena makanan jenis ini merupakan produk pangan yang menyumbang kalori, karbohidrat, lemak, kolesterol, dan garam yang tinggi namun rendah akan nilai gizi lainnya seperti serat, zat besi, kalsium, dan lainnya (Ali & Nuryani, 2018). Beberapa contoh makanan cepat saji yang diminati masyarakat adalah mi instan, gorengan, nugget, burger, kentang goreng, pizza, dan kentucky atau ayam goreng bertepung (Suryaputra & Siti, 2012). Makanan dan minuman manis pun memiliki resiko terhadap terjadinya overweight/obesitas akibat sebagian besar olahan pangan tersebut menyumbang kalori yang tinggi. Beberapa makanan maupun minuman manis yang tergolong ke dalam kategori fast food maupun junk food adalah

(12)

donat, es krim, permen, coklat, muffin, cookies, minuman soda, bubble tea, sereal manis, dan sebagainya (Nurwanti et al., 2013).

b. Perilaku Sarapan

Sarapan dapat menjadi penyebab overweight maupun obesitas yang jarang diketahui.

Sarapan merupakan sebuah pola konsumsi seseorang yang dilakukan pada saat pagi hari dengan tujuan sebagai bekal energi dalam melakukan aktivitas per harinya. Waktu ideal dalam melakukan sarapan adalah pukul 06.00 hingga 10.00 pagi (Utama & Yohanes, 2021).

Perilaku sarapan pun sangat penting dalam penerapan gizi seimbang terutama bagi remaja sebagai alat untuk membantu meningkatkan stamina dan konsentrasi dalam belajar (Kementerian Kesehatan, 2014). Sarapan dapat dikatakan ideal ketika lengkap akan komponen zat gizi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral (Putra et al., 2018). Energi minimal yang diperoleh dari konsumsi sarapan adalah 100 kkal atau 20% dari asupan energi harian (Alexander et al, 2009 dalam Hardinsyah & Muhammad (2012)). Telah terbukti bahwa dengan rutin melakukan sarapan, maka peluang terkena kegemukan akan lebih kecil dibandingkan jika tidak melakukan sarapan. Bukti ini diperkuat jika tidak melakukan sarapan, maka akan memperlambat metabolisme tubuh sehingga pembakaran kalori tidak berjalan dengan efektif (Kurdanti et al., 2015). Kebiasaan tidak melakukan sarapan membuat kita tidak dapat mengontrol nafsu makan ketika makan siang akibat rasa lapar yang sangat tinggi. Dengan demikian, nafsu makan yang meningkat akan berpengaruh pada porsi makan yang dikonsumsi sehingga peluang kelebihan berat badan menjadi lebih tinggi (Kurdanti et al., 2015).

1.2.4.2.2. Konsumsi Sayur dan Buah

Sayur dan buah merupakan elemen penting dalam konsumsi rutin setiap orang karena memiliki manfaat yang tinggi sebagai sumber serat (Suhairi, 2015). Sayur dan buah memiliki kandungan kalori yang rendah serta memiliki peran untuk membuat durasi kenyang dalam tubuh menjadi lebih lama sehingga tidak mudah lapar kembali (Setyawati & Eti, 2016).

Selain itu, konsumsi sayur dan buah yang rutin dapat menurunkan peluang terjadinya kegemukan karena serat tidak mengandung lemak atau kolesterol serta gula yang tinggi (Anggraeni et al., 2017). Ketika seseorang terutama remaja jarang mengonsumsi sayur

(13)

maupun buah, maka rasa lapar yang muncul akan semakin sering sehingga membuat asupan konsumsi yang masuk ke dalam tubuh tak terbatas. Sementara itu, asupan konsumsi yang disukai oleh remaja merupakan makanan yang kurang baik yaitu tinggi kalori, lemak, karbohidrat, garam, dan rendah akan serat, vitamin, serta mineral. Hal ini pada akhirnya membuat konsumsi makanan tidak seimbang dan membuat kegemukan hingga ke tahap obesitas.

1.2.4.2.3. Kurangnya Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan keseluruhan aktivitas atau gerakan yang dilakukan seseorang setiap harinya dengan tujuan untuk mengeluarkan energi (Kementerian Kesehatan, 2014).

Penerapan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari sangat penting karena apabila hanya melakukan aktivitas fisik yang rendah atau bahkan tidak pernah melakukan aktivitas fisik, maka dapat meningkatkan resiko kematian. Terdapat beberapa tingkat aktivitas fisik yang sering dilakukan manusia dalam siklus kehidupannya, yaitu:

a. Aktivitas fisik ringan

Aktivitas ringan sering dikaitkan dengan pola hidup sedentary karena seseorang kurang melakukan gerakan selama menghabiskan waktunya akibat hanya membutuhkan sedikit tenaga untuk bergerak. Aktivitas ringan ini lebih banyak dilakukan dalam keadaan diam atau duduk seperti menonton televisi, bermain gadget, jalan santai, dan melakukan pekerjaan rumah.

b. Aktivitas fisik sedang

Aktivitas fisik sedang akan membuat seseorang mengalami gerakan yang lebih banyak sehingga tubuh mengeluarkan sedikit keringat karena membawa beban yang ringan.

Contoh dari aktivitas sedang adalah jalan cepat, membersihkan rumput, dan berkebun.

c. Aktivitas fisik kuat

Aktivitas fisik kuat membuat seseorang melakukan banyak gerakan sehingga keringat yang dikeluarkan pun banyak hingga frekuensi napas meningkat. Aktivitas fisik yang kuat pun sering dikaitkan dengan istilah olahraga. Olahraga dapat membantu pengeluaran energi sekitar 20-50% tergantung pada intensitasnya (Setiawati et al., 2019). Beberapa contoh dari aktivitas fisik kuat atau aktivitas fisik berat adalah mencangkul, jalan cepat

(14)

dengan jarak yang jauh, berlari, bersepeda, bermain bulu tangkis, basket, sepak bola, dan naik gunung (Suryaputra & Siti, 2012).

Dengan adanya aktivitas fisik yang rutin, maka metabolisme tubuh akan meningkat sehingga terjadi pembakaran yang mengakibatkan suhu tubuh naik dan mengeluarkan keringat (Setiawati et al., 2019). Sementara itu, aktivitas fisik ringan akan mengakibatkan ketidakseimbangan energi di dalam tubuh akibat energi yang keluar lebih rendah dibandingkan energi yang masuk dari pola makan. Ketidakseimbangan energi membuat energi yang masuk akan tertimbun di dalam jaringan tubuh menjadi lemak dan berakhir membuat tubuh menjadi overweight hingga masuk ke tahap obesitas (Putra, 2017). Aktivitas fisik yang ringan sebagian besar terjadi akibat kemajuan teknologi yang membuat masyarakat cenderung menghabiskan waktu dalam mengakses gadget seperti media sosial maupun game. Memberlakukan aktivitas fisik di dalam hidup setiap orang akan memberikan hasil yang positif seperti:

a. Meningkatkan kelancaran metabolisme tubuh b. Mengendalikan berat badan

c. Mengurangi resiko terjadinya penyakit d. Menurunkan resiko kematian dini e. Meningkatkan kebugaran tubuh f. Meningkatkan kesehatan jantung (Kementerian Kesehatan, 2014).

1.2.5. Dampak Overweight dan Obesitas

Kondisi akumulasi lemak yang tinggi dalam tubuh manusia dapat berdampak pada kesehatan.

Terjadinya kondisi berat badan yang berlebihan pada tubuh akan mengakibatkan masalah kesehatan seperti gangguan saluran pernapasan, asam urat, kolesterol, hipertensi, dislipidemia, batu empedu, ginjal, dan radang sendi (Wahyuningsih & Intan, 2019). Selain itu, kegemukan pun dapat meningkatkan terjadinya sindrom metabolik serta memberikan resiko yang tinggi kepada seseorang untuk menderita penyakit kardiovaskular dan degeneratif seperti stroke, jantung, asma, kanker, diabetes melitus, dan lainnya (Ali &

Nuryani, 2018). Apabila kelebihan status gizi tidak diperhatikan, maka kondisi ini akan

(15)

meningkatkan prevalensi penyakit degeneratif di dunia dan mengakibatkan angka kematian semakin tinggi pula (Suryaputra & Siti, 2012).

Menurut Departemen Kesehatan tahun 2009, obesitas dapat mengakibatkan kanker dengan resiko peluang sebesar 30% (Putra, 2017). Selain berdampak pada kesehatan, overweight dan obesitas juga mempengaruhi kondisi sosial seseorang dikarenakan semakin banyaknya orang yang terkucilkan atau dijauhkan akibat kondisi fisik yang berlebihan. Hal ini membuat seseorang terutama para remaja semakin kurang percaya diri dan berujung pada stres atau depresi (Ali & Nuryani, 2018).

1.2.6. Pencegahan Overweight dan Obesitas

Kelebihan berat badan merupakan penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan. Sebelum menderita overweight/obesitas, kunci utama dalam menghindari kondisi tersebut adalah kesadaran dari diri sendiri. Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan dalam mengendalikan diri agar jauh dari kelebihan berat badan. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

a. Menerapkan pola makan yang sehat sesuai Pedoman Gizi Seimbang

b. Mengurangi makanan yang tinggi kalori, gula, lemak, dan garam seperti fastfood c. Meningkatkan konsumsi serat seperti buah dan sayur-sayuran

d. Melakukan aktivitas fisik atau olahraga dengan intensitas minimal 3 kali seminggu selama 30 menit

e. Mengurangi intensitas gaya hidup sedentary seperti bermain gadget, komputer, dan menonton TV

f. Tidur dengan durasi yang cukup sekitar 9 jam per hari 1.2.7. Coronavirus Disease (COVID-19)

Pada tahun 2019 tepatnya di bulan Desember, terjadi serangan virus corona yang dilaporkan berasal dari pasar ikan di Wuhan, Tiongkok. Virus corona adalah virus yang berasal dari taksonomi ordo Nidovirales, famili Coronaviridae, dan subfamili Orthocronavirinae (Yunus

& Rezki, 2020 dalam Wahidah et al (2020)). Hasil penelitian sampel virus menunjukkan bahwa virus tersebut merupakan sebuah penyakit yang bernama 2019-nCoV (2019 novel coronavirus). Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan nama yang dilakukan oleh WHO

(16)

menjadi COVID-19 (Coronavirus Disease). COVID-19 merupakan penyakit yang ditimbulkan akibat virus SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2) (Susilo et al., 2020). Virus corona memiliki ukuran yang sangat kecil sekitar 65 – 125 nm serta mengandung RNA di dalamnya.

Hingga saat ini, sudah terdapat berbagai varian virus COVID-19 yang tersebar di seluruh dunia diantaranya ∝ (alpha), 𝛽 (beta), 𝛾 (gamma), dan 𝛿 (delta) (Shereen et al., 2020). Virus ini akan mengakibatkan infeksi pada saluran pernapasan manusia terlebih lagi jika seseorang sudah memiliki masalah pada sistem pernapasan sebelumnya. Hal tersebut akan menjadi fatal akibat infeksi COVID-19 yang membawa efek jangka panjang (Wahidah et al., 2020). Infeksi COVID-19 dapat menurunkan kerja paru-paru sekitar 20-30% walaupun telah dinyatakan sembuh. Selain menyerang saluran pernapasan, COVID-19 juga dapat menginfeksi sistem saluran pencernaan yang terdeteksi melalui feses (Susilo et al., 2020). Bahkan, pada tahun 2021 tepat pada tanggal 24 November muncul varian baru yang semakin meresahkan masyarakat dan menyebar dengan sangat cepat yaitu varian omicron atau B.1.1.529 (Amalia, 2021).

SARS-CoV-2 merupakan virus yang mudah menyerang makhluk hidup baik hewan maupun manusia. Penyebaran COVID-19 sangat rentan karena mudah ditularkan dari manusia ke manusia melalui droplet yang dihasilkan saat berbicara, bersin, maupun batuk (Susilo et al., 2020). Penularan antar manusia pun terjadi ketika terdapat kontak erat seperti berada dalam satu rumah dengan pasien positif COVID-19, riwayat pergi ke negara dengan kasus positif COVID-19 yang tinggi, serta sentuhan dengan benda yang telah terkontaminasi virus tersebut. Rantai penyebaran dari COVID-19 sangat meresahkan seluruh dunia akibat kenaikan kasus yang selalu meningkat setiap harinya. Bahkan, sesuai dengan laporan dari website covid.go per tanggal 18 April 2022, sudah terdapat 6.039.873 kasus positif COVID- 19 di Indonesia yang 5.825.729 pasien diantaranya sembuh dan 155.866 pasien dinyatakan meninggal.

(17)

Dalam mengetahui seseorang terinfeksi COVID-19 atau tidak, terdapat beberapa gejala baik ringan maupun berat yang menandakan adanya virus tersebut di dalam tubuh. Gejala umum yang akan dialami adalah demam, batuk kering, flu atau bersin, dan sesak napas. Sementara itu, gejala lain yang dapat terjadi adalah mual/muntah, diare, sakit kepala, radang tenggorokan, serta rendahnya saturasi oksigen (Susilo et al., 2020). Pemutusan rantai penyebaran COVID-19 sudah dilakukan pemerintah dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat di setiap tempat umum seperti physical distancing dengan jarak minimal 2 meter, rutin mencuci tangan menggunakan sabun, dan wajib menggunakan masker ketika berada diluar rumah atau bertemu dengan orang (Wahidah et al., 2020). Selain itu, untuk meningkatkan daya tahan tubuh agar jauh dari COVID-19, hal tersebut dapat dilakukan dengan menjaga pola makan yang sehat dan bersih, rutin melakukan aktivitas fisik di rumah, serta rutin konsumsi suplemen seperti vitamin D, zink, vitamin C, dan lainnya sehingga mata rantai penyebaran COVID-19 dapat terputus (Susilo et al., 2020).

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian mengenai obesitas pada remaja antara lain:

1. Mendeskripsikan gaya hidup remaja selama pandemi COVID-19

2. Mengetahui hubungan antara gaya hidup remaja terhadap kejadian overweight/obesitas

Referensi

Dokumen terkait

Dengan meningkat nya jumlah jamaah umroh di indonesia, para remaja muslim indonesia pun saat ini mengalami pergeseran gaya hidup menuju yang lebih islami, Mulai dari

Sejak usia 5 tahun anak mulai mengalami kelemahan pada keempat ekstremitas, anak mulai kesulitan untuk berjalan (sebelumnya anak telah dapat berlari) yang

Kebiasaan makan akan berpengaruh pada nutrisi seseorang, orang yang terbiasa dengan makanan restoran (banyak mengandung karbohidrat, lemak dan kolesterol) cenderung

Jajanan umunya tinggi kalori (lemak dan karbohidrat) namun kurang kandungan protein. Anak usia sekolah membutuhkan makanan jajanan untuk membantu mencukupi kebutuhan gizi

4.8 Kontribusi Karbohidrat, Protein, Lemak dan Serat Makanan Siap Saji Terhadap Total Konsumsi Karbohidrat Sehari Berdasarkan Kejadian Obesitas pada Remaja Putri SMAN 1

Negara Barat yang menganggap makanan cepat saji kurang baik bagi kesehatan karena mengandung terlalu banyak kalori, lemak dan kolesterol tanpa mementingkan keseimbangan gizi

Remaja dengan konsumsi lemak dan karbohidrat yang berlebih, berakibat 2 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan dengan remaja yang memiliki konsumsi yang cukup.8 Berdasarkan

Terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya preklamsia, diantaranya yaitu usia, gravida, jarak kelahiran, riwayat hipertensi, pola konsumsi, tingkat konsumsi, dan