• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF I Nyoman Sama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF I Nyoman Sama"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

JELAJAH FILSAFAT ILMU DALAM RANAH KAJIAN BUDAYA (Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi)

I NYOMAN SAMA

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2017

(2)

ii Daftar Isi

Daftar Isi ... ii

I. Pendahuluan ... 1

II. Jelajah Filsafat Dalam Kajian Budaya ... 2

A. Sepintas Pengertian Filsafat ... 2

B. Pentingnya Filsafat Ilmu Dalam Memperkokoh Identitas Kajian Budaya.3 C. Filsafat Sebagai Payung Ilmu ... 5

D. Fungsi Filsafat ... 8

E. Jelajah Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Ilmu ... 9

E.1. Jelajah Aspek Ontologi ... 9

E.2. Jelajah Aspek Epistemologi ... 11

E.3. Jelajah Aspek Aksiologi ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 18

(3)

I. Pendahuluan

Persoalan utama yang perlu disadari bersama bagi mereka (saya) yang baru memasuki ruang kajian budaya adalah bagaimana filsafat memberikan landasan filosofis agar setiap ilmu social khusus disiplin kajian budaya menjadi kokoh, baik secara ontology, epistemology maupun aksiologi. Karena setiap teori yang dipakai sebagai pisau pembedah atau analisis bagaimanapun canggihnya di satu sisi akan selalu memiliki sisi kelemahan di lain pihak.

Mencermati materi yang disampaikan oleh Dr. Drs. Industri Ginting Suka, M.S dengan judul “Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu

bukanlah pekerjaan mudah, mengingat penulisnya adalah seorang yang ahli di bidang filsafat sekaligus ahli di bidang lingkungan, sedangkan penulis mencoba membedah karya tersebut hanya memiliki basis keilmuan khusus di bidang antropologi. Oleh karena itu pula, bukanlah hal yang aneh jika aroma wanginya berbau filosofis dan berdimensi lingkungan terasa lebih menyengat dalam karya beliau, daripada aroma antropologinya. Hal itu juga tidak terlepas dari sifat karya-karya Dr. Drs. Industri Ginting Suka, M.S yang dibahasnya, selain ilmiah sekaligus menunjukkan karya yang sangat kuat dasar filosofisnya. Jika kita telusuri lembar demi lembar “Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu” mau tidak mau kita akan mendapat kesan bahwa penulis ilmuan humaniora yang sangat mengerti di bidangnya.

Setiap penjelasan yang digunakan dalam uraiannya yang menyangkut tiga komponen kunci dalam filsafat yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi

(4)

2

serta kata-kata yang tersusun dalam materi filsafatnya mengisahkan bahwa setiap disiplin ilmu harus dilandasi dasar yang kokoh dengan apa yang disebut filsafat. Semakin jauh kita jelajahi materi yang disajikan dalam matrikulasi Program Doktor Kajian Budaya di situ kita akan menemukan sosok kepakaran yang dikukuh Pak Industri Ginting Suka sebagai pakar fisafat. Ada kepiawan dalam menerapkan dan sekaligus membangun relasi antara konsep-konsep, metodologi, metode, pendekatan, paradigama, dan teori.

Untaian kata dalam mengungkapkan inti pemikiran dalam bahasa dialektis yang memikat serta mampu membuka mata dan pikiran kita sebagai peserta matrikulasi bahwa filsafat memang sangat penting posisinya dalam kajian budaya. Dikatakan penting karena kita diajak dan dilatih untuk dapat menemukan dimensi-dimensi baru dari berbagai fenomena-fenomena socio- cultural yang ada disekitar kita. Selain itu, kita juga mendapatkan butir-butir pemikiran filsafat yang tidak kalah menariknya seperti pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh para filsuf ternama misalnya Kant, Descartes, dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas kiranya amat penting kita memperhatikan peran filsafat dalam memperkokoh jati diri atau identitas salah satunya disiplin ilmu termasuk kajian budaya.

II. Jelajah Filsafat Dalam Kajian Budaya A. Sepintas Pengertian Filsafat

Agar kita tidak kehilangan arah terutama dalam memahami filsafat perlu dijabarkan pengertian fisafat itu sendiri. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan

(5)

3

dicoba memaparkan pelbagai difinisi yang pernah dikemukankan oleh para ahli filsafat. Dalam kamus istilah antropologi definisi filsafat adalah ilmu yang bertujuan untuk menerangkan segala macam gejala di dunia dengan mempersoalkan sebab-akibat (Koentjaraningrat dkk, 1984: 49). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia filsafat berarti pengetahuan yang menyelidiki dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya (1997:

277).

B. Pentingnya Filsafat Ilmu Dalam Memperkokoh Identitas Kajian Budaya

Uraian pentingnya filsafat dalam kerangka memperkokoh jati diri atau identitas suatu ilmu khususnya kajian budaya merupakan langkah maju yang perlu terus digelorakan agar kajian budaya semakin menggurita di Daratan Bali bahkan di Persada Nusantara ini. Memang filsafat tidak hanya memberikan cara-cara analisis atau cara untuk menemukan paradigm ilmu semata, tetapi lebih dari itu yakni memperkokoh landasan dan jati diri atau identitas ilmu bersangkautan. Bahkan dengan filsafat kita dapat memahami secara utuh tentang manusia, tentang masyarakat dan tentang kebudayaan.

Perbincangan tentang filsafat tidak dapat dipisahkan dengan tiga komponen kunci yang amat pentting yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, karena ketiga komponen itu merupakan cabang dari filsafat sekaligus juga telaah berfikir filsafat. Menurut Yuyun Suriasumantri (2015) dan pula dilacak (dalam Ginting Suka, 2013) cirri-ciri ilmu filsafat yaitu menyeluruh (membahas

(6)

4

segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori).

Sementara pengertian spekulatif juga bermakna rasional, menggunakan akal pikir.

Filsafat memiliki objek kajian yang sangat luas, bahkan boleh dikatakan tidak terbatas. Filsafat sebagai suatu ilmu mempelajari segala realita yang ada dan mungkin ada bahkan lebih luas lagi segala yang mungkin dipikirkan oleh akal. Ada tiga realitas utama yang menjadi perhatian filsafat meliputi metakosmos (Tuhan), mikrokosmos (manusia), dan makrokosmos (alam). Dari sekian realita utama yang menjadi perhatian filsafat sebagian besar telah menjadi objek kajian ilmu lain yang pada intinya lebih menekankan pengalaman manusia.

Untuk memudahkan cara kerja filsafat kemudian dilakukan pengelompokan objek kajian yang menurut Yuyun Suriasumantri (2015) dan (dalam Suka, 2013: 1) dibagi ke dalam empat bagian besar yaitu; (1) logika berupaya untuk membahas apa yang disebut berfikir benar dan apa yang disebut salah; (2) etika dalam kajiannya yakni membahas hal-hal yang bersifat baik dan hal-hal yang bersifat buruk; (3) estetika dalam pembahasannya mengutamakan perihal keindahan dan ketidak indahan; (4) metafisika yaitu membahas perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik. Keempat bagian di atas dipecah-pecah lagi menjadi sangat banyak. Oleh karena itu, hampir setiap ilmu yang kita ketahui ada landasan filosofinya, sebagai contoh filsafat ilmu, filsafat

(7)

5

ekonomi, flsafat antropologi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat sejarah, filsafat sosiologi, fisafat agama, dan termasuk bidang-bidang ilmu lainnya.

Sesuai lingkup realitanya dimana filsafat menjadi landasan setiap ilmu maka filsafat sering juga disebut sebagai mother of Sciences. Tampaknya sebutan demikian tidaklah berlebihan oleh karena hampir setiap ilmu dapat dikaji dari sudut pandang filsafat. Pada awal perkembangan ilmu itu sendiri hampir tidak bisa dibedakan antara ilmuwan dengan filsuf, sejalan dengan pemikiran itu dapat dikedepankan beberapa karya bergengsi seperti :

1. Isaac Newton yang menulis tentang hukum fisika dengan judul Philosophie Naturalis Principia Mathematica;

2. Adam Smith sebagai tokoh ekonomi ternama yang menulis buku dengan judul The Wealth of Nations, dalam kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow;

3. Karl Marx yang juga Bapak Ekonomi dan sekaligus filsuf menulis karyanya yang monumental berjudul Das Capital;

4. Charles Darwin dalam sebuah karyanya berjudul The Origin of Species.

C. Filsafat Sebagai Payung Ilmu

Merunut perkembangan filsafat merupakan suatu pekerjaan yang sulit terlebih lagi perunut bukanlah orang yang memiliki basis keilmuan sebagaimana karya yang akan diresume yakni sebuah karya yang murni

(8)

6

beraroma filsafat. Dalam hal ini tentu akan banyak mengalami kendala, baik secara metodologis maupun bias pemahaman.

Muhadjir memetakan filsafat dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu, Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme (2001. dalam Ginting Suka, 2013: 2) mengatakan bahwa perkembangan filsafat ilmu dari sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1995 telah terjadi pergeseran telaah terutama dari pengukuran dan pendekatan yang bersifat kuantitatif ke ranah meta-science.

Fase perkembangan dari filsafat terus berlanjut bahkan sekitar tahun 2000 terjadi lonjakan yang dahsyat terutama kita dapat jelajahi dari kuatnya pengaruh postmodernisme termasuk teori-teori kritis lainnya, baik menyangkut struktur, konstruksi, dan paradigm barunya.

Secara logika pemetaan filsafat seperti yang dilakukan Muhadjir sangat beralasan jika kita coba temukan relasinya dalam pandangan yang dikemukakan oleh A. Cornelius Benjamin “That philosophic discipline which is the systemic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipline”.

Menurut Ginting Suka (2013: 2) pernyataan di atas diterjemahkan secara bebas yang artinya cabang pengetahuan filsafati merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praduga-praduga, serta posisinya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual. Pandangan May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science”. Artinya, analisis yang tidak memihak secara etis dan

(9)

7

filsafati, mengenai pelukisan dan penjelasan sesuai klarifikasi ilmu. Kedua pandangan di atas mengajak kita untuk setaat mungkin memperhatikan bahwa filsafat sebagai payung ilmu, baik secara ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.

Untuk membuktikan bahwa filsafat sebagai payung ilmu di bawah ini akan disajikan bagaimana ketiga komponen itu, yakni; ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai kerangka spesifik untuk mengkaji hakikat ilmu (Jujun S.

Suriasumantri, 1985. dalam Ginting Suka, 2013 : 3) yang digunakan manusia dalam mendapatkan ilmu tersebut. Adapun kerangka acuan yang dimaksud sebagai berikut :

1. Landasan ontologi, misalnya objek apa yang ditelaah ilmu ? bagaimana wujud hakiki dari objek ilmu tersebut ? relasi antara objek ilmu dengan daya tangkap manusia yang melahirkan pengetahuan ?

2. Landasan epistemologi, bagaimana proses dan prosedur yang dilakukan manusia untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu ? hal-hal apa saja yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar ? apa kreterianya sebuah ilmu ? apa itu kebenaran dan bagaimana kreterianya ? cara/teknik apa yang membantu kita dalam memperoleh pengetahuan berupa ilmu.

3. Landasan aksiologi, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan ilmu

(10)

8

dengan kaedah-kaedah moral ? bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral atau pilihan profesional ?

D. Fungsi Filsafat

Menurut Agraha Suhandi (1989, dalam Ginting Suka, 2013 : 3) bahwa fungsi filsafat tidak dapat dipisahkan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, karena :

1. Filsafat sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada;

2. Filsafat sebagai alat untuk mempertahankan, menunjang, bahkan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lain;

3. Filsafat memberi pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup, dan pandangan dunia;

4. Filsafat menanamkan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan;

5. Filsafat menjadi sumber inspirasi dan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri yakni menyangkut social-budaya, ekonomi, politik, hukum, dan aspek kehidupan lainnya.

(11)

9

E. Jelajah Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Ilmu E.1. Jelajah Aspek Ontologi

Sebelum lebih jauh membahas tentang aspek ontologi ada baiknya kita uraikan secara etiologi kata ontologi. Ontology berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata On artinya being, dan kata Logos artinya logic. Dengan demikian ontologi adalah teori tentang keberadaan sebagai keberadaan atau sering juga disebut The Theory of Being Qua Being.

Berbicara aspek ontologi berarti kita mengupas ontologi sebagai dasar ilmu bagaimana menjawab “apa”, dan rupanya pernyataan di atas terkait erat dengan pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa The First Philosophy serta merupakan ilmu mengenai esensi atau hakikat benda. Oleh karena itu, ontologi berupaya menemukan inti yang termuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada yaitu meliputi keseluruhan realitas dalam semua bentuknya. Sedangkan menurut pandangan Jujun S. Suriasumantri (1989, dalam Ginting Suka, 2013) bahwa ontologi mengupas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai yang ada (being). Apabila kita mempelajari ontologi akan muncul berbagai pertanyaan yang kemudian mendorong lahirnya pelbagai aliran dalam filsafat, dan dari pertanyaan-pertanyaan itu juga akan menimbulkan aneka sudut pandang mengenai ontologi. Misalnya, pertanyaan itu berupa “apakah yang ada itu (What is being)”, “bagaimana yang ada itu (How is being)”, dan “dimana yang ada itu (Where is being)”.

(12)

10

Ontologi menurut Suhartono (2008) adalah menyelidiki hakikat segala sesuatu baik yang kasat mata (alam nyata) maupun yang tidak kasat mata.

Sesungguhnya alam semesta ini merupakan sesuatu yang actual atau kemungkinan. Ada juga yang berpandangan bahwa alam semesta ini sebuah nihilisme. Jika dilacak nihilisme berasal dari bahasa Latin yaitu nothing yang berarti tidak ada. Sebagai doktrin nihilisme mengingkari validitas alternative positif, di Rusia pertama kali istilah ini mulai populer sekitar tahun 1862 yang diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev. Istilah agnostisisme adalah faham yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Dari sudut etimologi bahasa agnostisisme berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Agnostos artinya unknow. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realita. Muhadjir (2001, dalam Ginting Suka, 2013: 5) mengatakan untuk menangkap hakikat realita ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan yakni :

a) Pendekatan Kuantitatif mencermati realitas tampil dalam bentuk kuantita atau jumlah, maka telaahnya akan melahirkan aliran-aliran sebagai berikut : (1) monisme, (2) paralelisme, dan (3) pluralism;

sedangkan

b) Pendekatan Kualitatif mencermati realitas tampil bukan dalam bentuk kuantita, tetapi dalam bentuk kualitas. Aliran-aliran yang lahir dari pendekatan ini adalah (1) Materilisme, (2) Idealisme, (3) Naturalisme, (4) Hylomorphisme.

(13)

11 E.2. Jelajah Aspek Epistemologi

Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu terdiri atas kata episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya ilmu. Jadi secara leterlek epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan atau teori ilmu.

Dalam ranah ilmu pengetahuan atau teori ilmu epistemologi bertugas untuk menyelidiki asal, sifat, metode dan bahasan pengetahuan manusia. Selain itu epistemologi lazim juga disebut sebagai teori pengetahuan atau theory of knowledge. Sebagai teori ilmu pengetahuan epistemologi bertujuan melakukan pembahasan dari beberapa cabang ilmu secara mendalam dan menyeluruh bagaiman proses yang dilakukan manusia dalam mendapat pengetahuan, karena menurut Jujun S. Suriasumantri (1985, dalam Ginting Suka, 2013: 5) menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh melalui cara tertentu yang disebut metode keilmuan.

Persoalan pokok yang dihadapi epistemologi menurut pandangan Salam (1988, dalam Ginting Suka, 2013: 5) adalah menyangkut masalah apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya atau what can we know, and haw do we know it. Secara tegas dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan yang mengacu pada proses. Berdasarkan cara pandang epistemologi bahwa setiap pengetahuan merupakan hasil pemeriksaan dan penyelidikan benda atau realitas yang pada gilirannya diketahui oleh manusia. Perlu dicatat dan diingat bahwa epistemologi sebagai bagian dari filsafat mempelajari lebih mendalam tentang

(14)

12

asal mula ilmu, struktur, metode, syahnya (validitas) pengetahuan manusia, serta apa itu kebenaran yang dicari oleh semua ilmu.

Selanjutnya fokus perhatian kita yaitu bagaiman pengetahuan dan pengetahuan keilmuan tersebut disadari dan didapat oleh subjek dalam hal ini manusia ? Terkait erat dengan pernyataan di atas telah terjadi perdebatan sengit diantara dua aliran besar yang mempersoalkan hubungan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Kedua aliran besar yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Aliran empirisme berpandangan bahwa pengetahuan tersusun dari unsur tunggal, apa yang mereka sebut sebagai kesan indrawi. Aliran ini mengklaim satu-satunya sumber pengetahuan yang benar adalah sesuatu yang empiri atau pengalaman indrawi. Ada sederetan nama sebagai penganut aliran empierisme adalah John Lock, David Home, dan lain- lain atau para penganut positivism. Aliran empirisme menekankan pentingnya objek pengetahuan, dalam hal ini peran terpenting adalah akal budi (subjek) terbatas pada penangkapan empresi indrawi yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami.

Kedua penganut aliran empirisme yang dirujuk di atas (John Lock, dan David Home) menganggap bahwa manusia tidak membawa pengetahuan sejak lahir atau apa yang dikenal dengan istilah tabula-rasa.

Terkait dengan pengalaman sebagai sumber pengetahuan maka hal ini memberi kesan impression dan pengertian atau ide. Gejala alamiah dari perspektif empirisme bersifat konkret karena dapat dibuktikan dengan

(15)

13

pancaindra, memiliki pola yang tetap dan teratur, kejadiannya dapat diramal serta terjadi secara berulang sebagai contoh ada mendung dapat dipastikan akan turun hujan; dan jenis logam bila dipanaskan pasti memuai. Aksioma atas dua contoh di atas secara pasti dapat digeneralisasi dengan menggunakan metode induktif dapat disusun pengetahuan yang berlaku umum melalui pengalaman manusia. Namun bisa saja terjadi sebaliknya atas kemampuan indera manusia, misalnya, seringkali mata kita tertipu jika memandang jalan beraspal di siang hari yang kena pantulan teriknya matahari seolah-olah di atas jalan ada air.

Peristiwa itu, dapat membohongi kita inilah yang termasuk kelemahan dalam aliran empirisme. Dalam pandangan empirisme pengetahuan itu adalah fakta yang paling benar karena menggeneralisasi fakta menjadi kebenaran umum keilmuan sesuai kecenderungan motode positivistic.

2. Aliran rasionalisme. Ada sejumlah nama yang sangat terkenal dalam aliran ini yaitu; Rene Descartes, Immanual Kant, Leibniz, Copernicus, Galile Galileo, dan lainya, keseluruhan para ahli itu ikut memberi warna dalam perkembangan aliran rasionalisme. Menurut aliran rasionalisme pengetahuan manusia mutlak berakar pada akal budi (Ginting Suka, 2013: 7). Kelahiran aliran rasionalisme banyak dipengaruhi oleh kelemahan yang terdapat dalam aliran empirisme. Banyak tokoh yang menyambut gembira atas lahirnya aliran rasionalisme karena aliran ini kemudian dapat memperbaiki kelemahan yang terdapat pada aliran

(16)

14

empirisme. Dalam aliran rasionalisme tidak mengingkari fungsi dari panca indera manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Bekerjanya sistem urat syaraf dalam panca indera sangat berguna ketika ada data dikirim dari hasil pengamatan mata yang kemudian diolah sesuai keinginan naluri seorang ilmuwan. Dari hasil olahan data itu dengan menggunakan konsep-konsep, teori, metode, pendekatan, instrument, dan termasuk peralatan lain dalam ranah ilmu akan melahirkan pengetahuan manusia.

Kendati terjadi paradoks dalam kedua aliran ini (epirisme dan rasionalisme) ternyata mendorong lahirnya metode baru yaitu penggabungan dari kedua aliran tersebut yang dapat dipakai mencari kebenaran pengetahuan manusia. Artinya, pada tahapan ini manusia dalam mencari hakikat kebenaran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian lebih mendalam. Sebagai contoh, belakangan ini masyarakat Bali digegerkan dengan turun SK Gubernur Bali yang mengijinkan kepada investor untuk melakukan reklamasi pantai di Teluk Benoa. Terlepas dari munculnya reaksi keras dari berbagai komponen masyarakat Bali, tentu persoalan ini berdampak pada kerusakan lingkungan pantai. Di sinilah pentingnya penelitian dilakukan guna dapat mengetahui gejala-gejala yang timbul akibat dari reklamasi serta mampu menunjukkan bukti empiris, kemudian langkah selanjutnya adalah membangun kesimpulan atas dasar logika ilmiah. Dari kenyataan ini kemudian lahir aliran kritisisme yang menjadi penyeimbang dan

(17)

15

penyempurna aliran empirisme dan rasionalisme sebelumnya.

Selanjutnya, dalam filsafat terus mengalami perkembangan kemudian muncul filsafat transcendental atau transcendental philosophy.

Kuatnya pengaruh Kant dapat mengantarkan terjadinya evolusi besar dalam cara berpikir metafisis, menurut cara pandang ini bukan subjek yang mengarahkan diri pada objek, tetapi sebaliknya. Tujuan utama filsafat kritis Kant untuk menunjukkan bahwa manusia mampu memahami relaitas alam dan moral dengan menggunakan akal budi.

Dengan demikian metodologi penelitian pada hakikatnya merupakan praktek dari epistemology kea rah pelaksanaan penelitia.

Ada sejumlah metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan kebenaran ilmu, yaitu: (1) metode induktif, (2) metode deduktif, (3) metode positivistik, (4) metode interprtatif dan hermeneutik, (5) metode dialektis. Pada prinsipnya semua ilmu mencari kebenaran hakiki, ada tiga teori tentang kebenaran yaitu : (1) kebenaran korespondensi, (2) kebenaran koherensi, dan (3) kebenaran pragmatis.

E.3. Jelajah Aspek Aksiologi

Jika dirunut aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata axion artinya nilai dan logos artinya ilmu. Secara singkat definisi aksiologi adalah teori tentang nilai. Dalam arti yang lebih luas aksiologi adalah mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmu. Dewasa ini ilmu memeliki peran yang sangat strategis terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kiranya

(18)

16

tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan dasar manusia saja, melainkan ilmu dapat menolong manusia dari kebangkrutan baik karena factor alam maupun factor lainnya. Di sini ilmu merupakan alat bantu manusia terutama untuk mencapai tujuan hidupnya, yakni menuju kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin.

Ada dua dampak ilmu terhadap life world masyarakat yaitu : (1) dampak intelektual langsung, terutama perubahan cara pandang tradisional terhadap realitas, (2) dampak tidak langsung, melalui teknologi informasi berubah perilaku manusia modern menjadi manusia yang kesepian dalam keramaian.

Berkat kemajuan ilmu dan teknologi maka kebudayaan kognitif lebih menonjol ketimbang kebudayaan material, yang membuat orang harus berperilaku sebagaimana ditentukan oleh kebudayaannya. Generasi muda sangat faham dengan kebudayaan (how to thinking) namun sulit diajak berperilaku kebudayan (how to doing), melakukan sesuatu demi melestarikan kebudayaan.

Realita ini kemudian menimbulkan problema nilai (aksiologi) terhhadap ilmu, sehingga muncul dua pendapat yakni; ilmu itu harus bebas nilai dan ilmu itu mutlak terikat dengan nilai. Dengan demikian tujuan akhir ilmu adalah untuk mencari dan member penjelasan tentang fenomena dalam alam semesta, serta member pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah fenomena nyata dalam hidup. Pada tataran inilah alasan ilmu harus berdasarkan nilai, yaitu (1) Ilmu akan memberikan berkah dan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, apabila dalam praktek iptek taat azas Ketuhanan.

Bahkan akan terjadi sebaliknya iptek akan menjadi mesin pembunuh manusia

(19)

17

yang paling dahsyat karena dalam praktek kehidupan manusia terjadi pengingkaran nilai kemanusiaan itu sendiri, jika demikian maka ilmu absah secara metodologi (epistemologi), sedangkan secara aksiologi terjadi pendangkalan makna; (2) Pada tataran realita ilmu telah mengabdi demi kepentingan manusia sehingga terbentuk pola dan gaya hidup yang tidak lagi berdasarkan pada nilai budaya dan agama yang diyakini; (3) Dengan ilmu manusia tidak hanya memenuhi hasrat akan makanan, tapi juga butuh pemuas batin yaitu nilai spiritualitas; (4) Mestinya iptek yang merupakan alat bantu manusia dalam merengkuh kebahagian dikukuhkan dengan nilai budaya dan nilai spiritual dengan fondasi ini manusia akan menjadi lebih arif dalam tindakan. Inilah solusi agar atribut duniawi yang diperoleh manusia syarat nilai dan penuh makna.

(20)

18 DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat dkk. 1884. Kamus Istilah Antropologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Jakarta

Paz, Octavio. 1997. Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural. Yogyakarta, LKiS

Santoso, Listiyono. dkk. 2007. Epistemologi Kiri. Yogyakarta, AR-RUZZ MEDIA

Suka, Industri Ginting. 2013. Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu. Makalah disampaikan dalam Matrikulasi Mahasiswa Baru Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana. Denpasar.

Suriasumantri, jujun S. 2015. Ilmu Dalam Perspektif: Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Setelah penulis mengumpulkan data secara lengkap dan relevan dari objek Praktik Kerja Lapangan Mandiri, kemudian dilakukan pengelompokan data agar lebih dalam melakukan analisa

Setelah penulis mengumpulkan data secara lengkap mengenai objek Laporan Tugas Akhir, kemudian dilakukan pengelompokan data agar mudah dalam melakukan analisa dan evaluasi

Penulisan disertasi ini dibagi kedalam 5 (lima) bab, yaitu: pendahuluan, kajian teori, metode penelitian, hasil penelitian, kemudian kesimpulan, implikasi.. dan saran

satu ruang Misnah Mannahali BAHASA SIMBOL DALAM KOMUNIKASI BUDAYA (SUATU KAJIAN MAKNA. BUDAYA DALAM PERKAWINAN ADAT BUGIS MAKASAR) 184-188 Mukhlash Abrar MAINTAINING

Instrumen Rock Gempor dibagi menjadi empat yaitu terbang satu, dua, tiga, dan empat beserta jidor dalam formasi pertunjukan kecil yang kemudian digandakan menjadi

Pengelompokan jenis vegetasi hutan pantai yang dijumpai pada kawasan pantai barat dan pantai utara Aceh disajikan dalam satu dendogram yang kemudian dibagi berdasarkan

Uraian untuk memecahkan permasalahan penelitian semiotika dalam objek kebudayaan material seni ini akan dibagi menjadi empat bagian, yaitu pertama

Uraian untuk memecahkan permasalahan penelitian semiotika dalam objek kebudayaan material seni ini, akan dibagi menjadi empat bagian yaitu pertama menguraikan