LAPORAN KASUS
MANAGEMEN STROKE (ON VENTILATOR) DI ICU
Oleh:
Oleh :
dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS, FIC
DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH 2019
i LAPORAN KASUS
MANAGEMEN STROKE (ON VENTILATOR) DI ICU
Oleh:
Oleh :
dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS, FIC
DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH 2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya maka tinjauan pustaka dengan topik “Managemen Stroke (on Ventilator) Di ICU” ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, November 2019
Penulis
iii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Stroke ... 3
2.1.1 Definisi Stroke ... 3
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Otak ... 3
2.1.3 Epidemiologi Stroke... 4
2.1.4 Klasifikasi Stroke ... 5
2.1.5 Faktor Risiko Stroke ... 6
2.1.6 Diagnosis Stroke ... 6
2.2 Stroke Hemoragik ... 8
2.2.1 Defini Stroke Hemoragik ... 8
2.2.2 Klasifikasi Stroke Hemoragik ... 9
2.2.3 Patogenesis Stroke Hemoragik ... 9
2.2.4 Gejala Stroke Hemoragik ... 11
2.2.5 Diagnosis Stroke Hemoragik ... 11
2.2.6 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik ... 15
2.2.7 Prognosis Stroke Hemoragik ... 17
2.3 Managemen Stroke dengan Ventilator... 18
BAB III LAPORAN KASUS ... 20
3.1 Identitias ... 20
3.2 Anamnesis ... 20
3.3 Pemeriksaan Fisik ... 21
3.4 Pemeriksaan Penunjang ... 21
3.5 Permasalahan dan Kesimpulan ... 22
3.6 Managemen Pasien ... 23
BAB IV DISKUSI KASUS ... 25
BAB V KESIMPULAN ... 27
iv
DAFTAR PUSTAKA ... 28
1 BAB I PENDAHULUAN
Penyakit serebrovaskuler/ cerebrovascular disease (CVD) merupakan penyakit sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Stroke merupakan bagian dari CVD. Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan cepat atau tiba-tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, dengan tidak tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular. Berdasarkan American Heart Association (AHA) stroke ditandai sebagai defisit neurologi yang dikaitkan dengan cedera fokal akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh pembuluh darah, termasuk infark serebral, pendarahan intraserebral (ICH) dan pendarahan subaraknoid (SAH).1
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu iskemik stroke dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya aliran darah sedangkan stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf di dalam tengkorak. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke iskemik akan tetapi stroke hemoragik menyebabkan lebih banyak kematian.
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di hampir seluruh RS di Indonesia, sekitar 15,4%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 per mil (tahun 2007) menjadi 12,1 per mil (tahun 2013). Prevalensi penyakit Stroke tertinggi di Sulawesi Utara (10,8per mil), Yogyakarta (10,3 per mil), Bangka Belitung (9,7 per mil) dan DKI Jakarta (9,7 per mil).2
Kasus stroke termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade 3B, yang berarti dokter umum harus mampu mendiagnosa klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dokter
2
umum harus mampu memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat). Maka dari itu, laporan kasus ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan mengenai stroke, sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi Stroke
Stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa detik atau menit) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang mengalami kerusakan.4,5 Menurut WHO, stroke didefinisikan sebagai manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global (menyeluruh), yang berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler.4,5
Pada umumnya gangguan fungsional otak fokal dapat berupa hemiparesis yang disertai dengan defisit sensorik, parese nervus kraniales dan gangguan fungsi luhur. Manifestasi klinis yang muncul sangat bergantung kepada area otak yang diperdarahi oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi ataupun ruptur. 5,6
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Otak
Otak merupakan organ yang palik aktif secara metabolik. Otak hanya memiliki sekitar 2% massa tubuh akan tetapi otak membutuhkan 15-20% kardiak output untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosanya. Secara anatomis, pembuluh darah serebral terdiri dari dua sistem yaitu sistem karotis dan sistem vertebrobasiler. Jatah darah ke otak 1/3 disalurkan melalui lintasan vaskuler vertebrobasiler dan 2/3 melalui arteri karotis interna.
Sirkulasi Anterior (Sistem Karotis)
Anterior Koroid Hippokampus, globus pallidus, kapsula interna bawah Anterior Serebri Korteks serebri frontomedial dan parietal serta substansia alba
di sekitarnya dan korpus kalosum anterior
Serebri Media Korteks serebri frontolateral, parietal, oksipital, dan temporal serta substantia alba di sekitarnya
Cabang Lentikulostriata
Nukleus kaudatus, putamen, dan kapsula interna atas Sirkulasi Posterior (Sistem Vertebrobasiler)
Arteri serebelar basiler posterior
inferior
Medulla dan serebelum inferior
4 Arteri serebelar
anterior inferior
Pons inferior dan media serta serebelum media Arteri serebelar
Superior
Pons superior, otak tengah inferior, dan serebelum superior Arteri serebelar
posterior
Korteks oksipital dan temporal media serta substansia alba disekitarnya. Korpus kalosum posterior dan otak tengah
superior Cabang
thalamoperforata
Thalamus
Tabel 1.Pembagian Daerah Otak yang Diperdarahi Pembuluh Darah Serebral Anterior circulation (sistem karotis)
Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini memberikan tanda dan gejala disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau agnosia. Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang.
Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)
Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini memberikan tanda dan gejala disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks (jatuh tiba- tiba tanpa penurunan kesadaran), vertigo, mual dan muntah, gangguan saraf otak, ataxia, defisit sistem sensorimotorik kontralateral (hemiparese alternans). Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan lapang pandang tetapi tidak spesifik untuk stroke yang disebabkan sistem vertebrobasiler.
2.1.3 Epidemiologi Stroke
Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan tertinggi di dunia, serta merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50-100 dari 100.000 orang penderita (Ahmad dan Amir, 2003). Stroke diklasifikasikan menjadi stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki angka kejadian 85% dari seluruh stroke yang terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli.11
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama hampir di seluruh RS di Indonesia.
5
Angka kejadian stroke meningkat dari tahun ke tahun. Setiap tujuh orang yang meninggal di Indonesia, satu diantaranya disebabkan stroke. 4
2.1.4 Klasifikasi Stroke
Terdapat beberapa pengelompokkan stroke. Klasifikasi stroke telah banyak dikemukakan oleh beberapa institusi, seperti yang dibuat oleh Stroke Data Bank, World Health Organization (WHO,1989) dan National Institute of Neurological Disease and Stroke (NINDS,1990). Pada dasarnya klasifikasi tersebut dikelompokan atas dasar manifestasi klinik, proses patologi yang terjadi di otak dan area lesinya. Hal ini berkaitan dengan pendekatan diagnosis neurologis untuk menetapkan diagnosis klinis, diagnosis topik dan diagnosis etiologi.4,5 Lebih jauh, stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinik, patologi anatomi, sistem darah dan stadiumnya. Pengelompokkan yang berbeda-beda ini menjadi landasan untuk menentukan terapi dan usaha pencegahan stroke.5,6,7
1. Berdasarkan Patalogi Anatomi dan Penyebabnya a. Stroke iskemik
i. Transient Ischemic Attack (TIA) ii. Trombosis serebri
iii. Embolia serebri b. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intraserebral ii. Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan Stadium/ Pertimbangan Waktu a. TIA
b. Stroke-in-evolution c. Completed stroke
d. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) 3. Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebra-basiler
Stroke memiliki tanda klinik yang spesifik, tergantung dengan daerah otak yang mengalami inskemik atau infark. Walaupun telah terdapat
6
pngelompokkan stroke berdasarkan patologi anatominya, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik, namun penegakkan klinis stroke (hemoragik maupun non- hemoragik) tidak dapat semata-mata ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis saja, karena semua gejala pada kedua kelompok stroke ini hampir sama. Untuk itu diperlukan pemeriksaan tambahan yang lebih komprehensif untuk menegakkan diagnosis stroke, seperti CT-scan.8
2.1.5 Faktor Risiko Stroke
2.1.6 Diagnosis Stroke
Diagnosis stroke dibuat berdasarkan adanya gejala klinis neurologik mendadak yang beraneka ragam mulai dari gejala motorik fokal, gejala sensorik, gangguan fungsi luhur hingga gangguan kesadaran. Gejala tersebut dapat disertai nyeri kepala, mual muntah, kejang, kaku kuduk dan lain sebagainya. Diagnosis stroke seperti juga diagnosis lain di bidang Ilmu Penyakit Saraf mencakup diagnosis klinis, topis dan etiologis. Pemahaman ilmu dasar mengenai anatomi otak dan bangunan intrakranial di sekitarnya, sistem perdarahan otak serta fisiologi dan metabolisme otak diperlukan dalam menentukan diagnosis stroke.
Selain itu, anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, dan pemeriksaan psikoneurologis perlu dicari dan disimpulkan dalam sindrom-sindroma klinik yang dapat memberikan arah diagnosis topis dalam pengelolaan pasien. Diagnosis etiologis menempati tempat utama yang harus segera disimpulkan untuk dapat memberikan terapi yang cepat dan tepat.
7 1. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis stroke ditetapkan dari pemeriksaan fisik neurologis dimana didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pemnbuluh darah otak tertentu.4,9,10
Gangguan pada sistem karotis menyebabkan: gangguan penglihatan, gangguan bicara, disafasia atau afasia bila mengenai hemisfer serebri dominan, gangguan motorik, hemiplegi/ hemiparesis kontra lateral, dan gangguan sensorik.
Gangguan pada sistim vertebrobasilar menyebabkan: gangguan penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital, gangguan nervi kranalis bila mengenai batang otak, gangguan motorik, gangguan koordinasi, drop attack, gangguan sensorik, gangguan kesadaran, dan kombinasi. Pada beberapa keadaan didapat gangguan neurobehaviour, hemineglect, afasia, aleksia, anomia maupun amnesia. 1,2
2. Diagnosis Topik
Menurut klasifikasi Bamford, diagnosis topik stroke dapat dibagi menjadi :3,4 a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) bila memenuhi 3 gejala di
bawah:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia
b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) bila memenuhi 2 gejala di bawah ini atau cukup 1 saja tetapi harus merupakan gangguan fungsi luhur:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia, apraksia
c. Lacunar Circulation Infarct (LACI) bila:
8 - Gangguan motorik murni - Gangguan sensorik murni - Hemiparesis dengan ataksia
d. Posterior Circulation Infarct (POCI) bila memberikan gejala:
- Diplopia - Disfagia - Vertigo - Disartria
- Hemiparesis alternans
- Gangguan motorik/sensorik bilateral
- Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract sign 3. Diagnosis Etiologis
Diagnosis etiologis stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Baku emas yang digunakan untuk menentukan etiologi adalah CT-scan kepala. 1,2
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah dan urin), elektrokardiogram, ekhokardiogram, foto toraks, pungsi lumbal, elektroensefalogram, arteriografi, doppler sonography diperlukan untuk membantu diagnosis etiologis stroke hemoragik (intraserebral, subaraknoid) atau iskemik (emboli, trombosis) serta mencari faktor risiko.3,4
2.2 Stroke Hemoragik
2.2.1 Definisi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid. Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh
9
hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis. Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat melukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak (Price, 2005).
2.2.2 Klasifikasi Stroke Hemoragik
Pembagian stroke hemorgaik dapat dibedakan berdasarkan penyebab perdarahannya1,2, yaitu:
a. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan intaserebral primer dan perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan intraserbral primer disebabkan oleh hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibta pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat adanya anomaly vaskular congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun akibat obat-obat antikoagulan. Diperkirakan sekitar 50% dari penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensi kronik.4
b. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang subarachnoid sehingga menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit keapala yang hebat dan bahkan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya aneurisma sakuler.
2.2.3 Patogenesis Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial hemorrhage, hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial hemmorhage terjadi
10
akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi kronis, akan menyebabkan perubahan patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan patologis dari dinding pembuluh darah tersebut dapat berupa hipohialinosis, nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Kenaikan tekanan darah dalam jumlah yang mencolok dan meningkatnya denyut jantung, dapat menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga dapat terjadi perdarahan. Perdarahan ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-gejala klinis (fase hematoma expansion).1,2,12 Pada fase hematoma expansion, gejala-gejala klinis mulai timbul seperti peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya tekanan intracranial akan mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood brain-barrier. Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya inflamasi sekunder dan terbentuknya edema serebri (fase peri-hematoma edema). Pada fase ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase hematoma expansion, akan terus berkembang. Kerusakan pada parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intracranial dan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis pun akan semakin berkembang.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan prognosis.
Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa darah menerobos atau menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan splitting” tanpa merusaknya. Dalam keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi- fungsi neurologi. Sedangkan bila perdarahan yang terjadi dalam jumlah besar, maka akan merusak struktur anatomi dari otak, peningkatan tekanan intracranial dan bahkan dapat menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen magnum. Perdarahan intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan menyebar hingga ke ventrikel otak sehingga menyebabkan perdarahan intraventrikel. Perdarahan intraventrikel ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif dan akan memperburuk prognosis. Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan meningkatkan resiko kematian hingga 93%.1,2,14
11 2.2.4 Gejala Stroke Hemoragik
Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang bersifat akut, baik deficit motorik, deficit sensorik, penurnan kesadaran, gangguan fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak.6 Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun. Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis berupa:
a. Terjadi pada waktu aktif
b. Nyeri kepala, yang di ikuti dengan muntah dan penurunan kesadaran c. Adanya riwayat hipertensi kronis
d. Nyeri telinga homolaterlal, afasia e. Hemiparese kontralateral
2. Gejala perdarahan subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan gejala klinis berupa:
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia d. Meningismus e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.
2.2.5 Diagnosis Stroke Hemoragik 1. Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mengot atau bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain itu, pada anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti diabetes mellitus atau kelainan jantung. Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada anamnesa.4,5
2. Pemeriksaan Fisik
12
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti tingkat kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks patologis dan fungsi saraf kranial.4,5
Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut :
Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motorik
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1
Derajat kesadaran :
Kompos mentis = GCS 15-14 Somnolen = GCS 13-8
Sopor = GCS 7-4
Koma = GCS 3
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang
13
sakit dalam perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata- mata menentukan suatu kelumpuhan.4,5
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut : 0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu menahan gravitasi 4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh
Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinsky, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.4
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui otak, berbeda dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang.
Saraf kranial merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).4,5
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata, kontriksi pupil, akomodasi
Diplopia (penglihatan kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit kepala, dan gigi; gerak mengunyah
”mati rasa” pada wajah;
kelemahan otot rahang
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
14 3. Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan stroke infark dengan stroke perdarahan. Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan menunjukkan gambaran hiperdens.
b. Pemeriksaan MRI
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum pada platum dan telinga luar; sekresi kelenjar lakrimalis, submandibula dan sublingual; ekspresi wajah
Hilangnya kemampuan mengecap pada duapertiga anterior lidah; mulut kering; hilangnya lakrimasi; paralisis otot wajah
VIII: Vestibulokoklearis Pendengaran;
keseimbangan
Tuli; tinitus(berdenging
terus menerus);
vertigo;nistagmus IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum
pada faring dan telinga;
mengangkat palatum;
sekresi kelenjar parotis
Hilangnya daya
pengecapan pada sepertiga posterior lidah; anestesi pada faring; mulut kering sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum pada faring, laring dan telinga; menelan; fonasi;
parasimpatis untuk jantung dan visera abdomen
Disfagia (gangguan menelan) suara parau;
paralisis palatum
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala;
leher dan bahu
Suara parau; kelemahan otot kepala, leher dan bahu XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah
15
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak (sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama untuk mendeteksi pendarahan posterior.
c. Pemeriksaan Angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma pada pembuluh darah.
d. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial, menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.
e. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada stroke perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).
f. Pemeriksaan Penunjang Lain.
Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar), elektrolit darah, foto toraks, EKG, echocardiografi.4,5
2.2.6 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik 1. Terapi umum
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500- 2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika
16
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP)
≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
17 2. Terapi Khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP- shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM). 1,2,15
2.2.7 Prognosis Stroke Hemoragik 1. Perdarahan Intraserebral
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri (PIS) adalah volume PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GCS), dan adanya darah intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan sensitivitas sebesar 96% dan spesifitas 98%. Prognosis buruk biasanya terjadi pada pasien dengan volume perdarahan (>30mL), lokasi perdarahan di fossa posterior, usia lanjut dan MAP >130 mmHg pada saat serangan. GCS <4 saat serangan juga bisa memberi prognosis buruk.
Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS ≤ 8 memiliki tingkat mortalitas sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19%
pada PIS dengan volume <30 mL dan GCS skor ≥ 9. Perluasan PIS ke intraventrikel meningkatkan mortalitas secara umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa memperhatikan lokasi PIS, sebagai bagian dari adanya hidrosefalus obstruktif akibat gangguan sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran volume hematom dapat dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis, edema berperan dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang tinggi berhubungan dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang
18
menimbulkan suatu kerancuan apakah edema harus dijadikan target terapi atau hanya merupakan variabel prognostik.4,5
2. Perdarahan Subarachnoid
Tingkat mortalitas pada tahun pertama dari serangan stroke hemoragik perdarahan subarachnoid sangat tinggi, yaitu 60%. Sekitar 10% penderita perdarahan subarachnoid meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan. Perdarahan ulang juga sangat mungkin terjadi.
Rata-rata waktu antara perdarahan pertama dan perdarahan ulang adalah sekitar 5 tahun.4,5
2.3 Managemen Stroke dengan Ventilator
Pasien stroke mungkin memerlukan intubasi untuk obstruksi jalan napas atau gagal napas akut. Obstruksi jalan napas berkembang karena tiga alasan. Pertama, pada pasien stroke akut dengan penurunan tingkat sensorium, lidah jatuh ke belakang, menghalangi jalan napas, karena kurangnya nada pada lidah dan otot faring. Kedua, pada pasien dengan stroke batang otak, refleks muntah dan batuk berkurang. Selain itu pasien mungkin tidak dapat membersihkan sekresi. Mode ventilasi mekanis yaitu Intubasi oral adalah metode intubasi teraman pada pasien dengan stroke. Pilihan ventilasi biasanya didasarkan pada alasan intubasi, baik neurologis (proteksi jalan napas) atau kegagalan pernapasan primer. Jumlah tekanan tambahan disesuaikan untuk mencapai volume total 5-8ml/ kg dan laju pernapasan <25 napas / menit..12
Pola ventilasi dapat dibagi menjadi Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV), Positive End-Expiratory Pressure (PEEP), Continious Positive Airway Pressure (CPAP), Intermittent Mandatory Ventilation (IMV), dan Ventilasi Frekuensi Tinggi.
Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV) merupakan pola umum berupa pengembangan paru oleh penerapan tekanan positif ke jalan napas dan dapat mengempis secara pasif. Dengan ventilator modern, variabel utama yang dapat dikendalikan meliputi volume tidal, frekuensi napas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran inspirasi, dan konsentrasi oksigen inspirasi.
19
Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) sering berguna meningkatkan PO2 arterial pada pasien dengan gagal napas. Nilai sekecil 5 cm H2O sering kali bermanfaat. Akan tetapi, tekanan setinggi 20 cm H2O atau lebih kadang kala digunakan. Katup khusus tersedia untuk memberi tekanan. Keuntungan PEEP adalah alat ini memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan sehingga mengurangi risiko toksisitas oksigen.
Continious Positive Airway Pressure (CPAP) digunakan pada beberapa pasien yang sedang disapih dari ventilator bernapas spontan, tetapi masih diintubasi. Pasien demikian mendapat keuntungan dari tekanan positif yang diberikan kontinu ke jalan napas melalui sistem katup pada ventilator. Perbaikan oksigenasi dihasilkan dari mekanisme yang sama seperti PEEP.
Intermittent Mandatory Ventilation (IMV) adalah merupakan modifikasi IPPV, yaitu pemberian volume tidal besar pada interval yang relatif jarang kepada pasien diintubasi yang bernapas spontan. IMV sering dikombinasi dengan PEEP atau CPAP.
Ventilasi Frekuensi Tinggi adalah Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan positif berfrekuensi tinggi (sekitar 20 siklus/detik) dengan volume sekuncup yang rendah (50-100 ml). Paru digetarkan bukan dikembangkan seperti cara konvensional, dan transpor gas terjadi melalui kombinasi difusi dan konveksi.
20 BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : AM
No. RM : 19027347
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Umur : 61 Tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Malukun Gg VI/I Br Jematang Denpasar Diagnosis : Stroke Haemoragik
MRS : 19 Juni 2019
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Kelemahan Separuh Tubuh Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki usia 60 tahun, datang pukul 16.30 WITA, diantar keluarga dengan keluhan kelemahan separuh tubuh sebelah kiri yang muncul mendadak saat pasien baru bangun tidur sekitar 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat baru bangun tidur pasien dikatakan langsung terjatuh karena kelemahan tersebut. Saat dipindahkan ke tempat tidur pasien dikatakan sempat muntah 1 kali. Keluhan kelemahan membuat pasien tidak bisa mengangkat tangan dan kaki, hanya bisa menggerak otot-otot saja.
Keluhan kelemahan disetai dengan bibir mencong dan suara pelo yang muncul bersamaan. Pasien juga sempat mengeluhkan nyeri kepala yang dirasakan berdenyut pada seluruh kepala, pasien menyangkal adanya kesemtan, pandangan kabur, kejang. Ini merupakan keluhan yang pertama kali dialami oleh pasien.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU DAN PENGOBATAN
Pasien memiiki riwayat penyakit hipertensi tidak terkontrol. Riwayat tensi tinggi 180/200. Pasien tidak ada mengkonsumsi obat-obatan
21 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Keluarga pasien memiliki riwayat hipertensi pada satu keluarga dan stroke pada ayah pasien.
RIWAYAT SOSIAL DAN PRIBADI
Pasien tidak bekerja dapat beraktivitas tanpa keluhan sebelum sakit. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok ataupun minum-minuman beralkohol.
3.3 Pemeriksaan Fisik
BB : 100 kg, TB : 175 cm, BMI : 32,7 kg/m2, Suhu aksila : 36oC, NRS diam:
0/10, NRS bergerak : 0/10
• SSP : GCS E1VxM1, pupil isokor 2/2 mm, RC/RK +/+, ikterus -/-, anemis -/- , ptosis +/+
• Respirasi : Frekuensi 16x/menit, tipe vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), SpO2 98% (ventilator)
• KV : TD 150/90 mmHg, HR 86 x/menit, bunyi jatung S1-S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
• GIT : Supel, bising usus (+) normal, ascites (-),
• UG : BAK via DC
• MS : akral hangat + + , edema - - + + - -
• 3.4 Pemeriksaan Penunjang
• Darah Lengkap (21/6/19, 08.18 WITA) - WBC 19,52 x10µ/µL (4,1-11,0)
- NE% 89,09 x10µ/µL (47-80) - LY% 5,56 % (13-40)
- HGB 14,68 g/dL (12,0-16,0) - HCT 46,55 % (36,0-46,0) - PLT 312,30 x 10µ/µL (150-440)
• Kimia Klinik (21/6/19, 08.18 WITA) - SGOT 11,8 u/L (11,00-33,00)
- SGPT 10,80 u/L (11,00-50,00)
22 - BUN 28,40 mg/dL (8,00-23,00),
- Serum Kreatinin 2,69 mg/dL (0,50-0,90), e-LFG 24,62 (>= 90)
- Glukosa darah sewaktu 150 mg/dL (70-140).
• Analisa Gas Darah (23/6/19), 07.00 WITA) - pH 7,17 (7,35-7,45)
- pCO2 67,6 mmHg (35,00-45,00) - pO2 72,60 mmHg (80,00-100,00) - BEecf -4,6 (-2-2)
- HCO3- 23,90 mmol/L (22,00-26,00) - TCO2 26,00 mmol/L (24,00-30,00) - SO2c 89,8% (95%-100%)
• Elektrolit (23/6/19, 07.00 WITA) - K 4,50 mmol/L (3,50-5,10) - Na 147 mmol/L (136-145) - Cl 111 mmol/L (96-108)
• Faal Hemostasis (19/6/19, 22.55 WITA) - PPT 13,4 detik (10,8-14,4)
- APTT 25,3 detik (24-36) - INR 1,08 (0,9-1,1)
• Profil Lipid (21/6/19, 09.39 WITA)
- Kolesterol total 187 mg/dL (140,00-199,00) - LDL 148 mg/dL (<130)
- HDL 56 mg/dL (40,00-65,00) - Trigliserida 91 mg/dL (<150) - Asam urat 8.8 mg/dL (2,00-7,00) 3.5 Permasalahan Dan Kesimpulan Permasalahan Aktual : - SH
- Hipernatremi Permasalahan Potensial : Pendarahan
Kesimpulan : Status Fisik ASA IV
23 3.6 Manajemen Pasien
• Hari 1 (21 Juni 2019)
Feeding : E : Peptibren 6x150 ml
P : Nacl 1500 ml/24 jam iv Analgesia : Fentanyl 200 mcg tiap 24 jam
Paracetamol 1 gr tiap 8 jam Sedation : Midazolam drip target RAAS -2 Trombus Profilaksis : -
Head of the bed up : - Head up 30-45derajat Ulcer gaster protektif : -
Glucose control : -
Terapi lain : - Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12
jam
- Suction berkala
- Nebulizer combivent dengan Nacl 0,9% tiap 8 jam
- Citicolin 250 mg tiap 12 jam - Omeprazole 40 mg tiap 12 jam - Manitol 100 ml tiap 5 jam
- Nicardipin titrasi target sistol ≤ 160 mmHg
• Hari 2 (22 Juni 2019)
Feeding : E : Peptibren 6x150 ml
P : Nacl 1500 ml/24 jam iv Analgesia : Fentanyl 200 mcg tiap 24 jam
Paracetamol 1 gr tiap 8 jam Sedation : Midazolam drip target RAAS -2 Trombus Profilaksis : -
Head of the bed up : - Head up 30-45derajat Ulcer gaster protektif : -
Glucose control : -
Terapi lain : - Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12 jam
24
- Suction berkala
- Nebulizer combivent dengan Nacl 0,9% tiap 8 jam
- Citicolin 250 mg tiap 12 jam - Omeprazole 40 mg tiap 12 jam - Manitol 100 ml tiap 5 jam
- Nicardipin titrasi target sistol ≤ 160 mmHg
25 BAB IV DISKUSI KASUS
Stroke hemoragik dapat dibedakan berdasarkan penyebab perdarahannya yaitu perdarahan intraserebral dan pendarahan subarachnoid. Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan intaserebral primer dan perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan intraserbral primer disebabkan oleh hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi akibat adanya anomaly vaskular congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun akibat obat-obat antikoagulan. Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang subarachnoid sehingga menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit keapala yang hebat dan bahkan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya aneurisma sakuler. Pada pasien ini stroke hemoragik disebabkan oleh adanya hipertensi kronik dan pecahnya aneurisma.
Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang bersifat akut, baik defisit motorik, defisit sensorik, penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak. Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala perdarahan intraserebral dan gejala pendarahan subarachnoid. Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun. Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis berupa terjadi pada waktu aktif, nyeri kepala , yang diikuti dengan muntah dan penurunan kesadaran, adanya riwayat hipertensi kronis, nyeri telinga homolaterlal (lesi pada bagian temporal), afasia (lesi pada thalamus), hemiparese kontralateral. Gejala perdarahan subarachnoid akan menimbulkan tanda dan gejala klinis berupa nyeri kepala yang hebat dan mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual dan muntah dan tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk. Pada pasien ini berumur 61 tahun. Pada pasien juga ditemukan gejala stroke hemoragik berupa mual, muntah, penurunan kesadaran, ada riwayat hipertensi kronis dan hemiparese kontralateral.
26
Pada penatalaksanaan diberikan terapi umum dengan meletakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang. Pada pasien ini kepala diletakkan dengan posisi 30-45º. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan. Pada pasien diberikan Nacl 1500 mL. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Pada pasien diberikan fentanyl 200 mcg dan parasetamol 1 g untuk nyerinya, Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit. Pada pasien diberikan manitol 100 mL. Prognosis buruk biasanya terjadi pada pasien dengan volume perdarahan (>30mL), lokasi perdarahan di fossa posterior, usia lanjut dan MAP >130 mmHg pada saat serangan. GCS <4 saat serangan juga bisa memberi prognosis buruk. Pada pasien usia lanjut dengan GCS <4 yang artinya memiliki prognosis buruk.
27 BAB V KESIMPULAN
Stroke hemoragik dapat dibedakan berdasarkan penyebab perdarahannya yaitu perdarahan intraserebral dan pendarahan subarachnoid. Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang bersifat akut, baik defisit motorik, defisit sensorik, penurunan kesadaran, gangguan fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak. Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala perdarahan intraserebral dan gejala pendarahan subarachnoid. Diagnosis stroke hemoragik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tatalaksana stroke hemoragik dibagi menjadi stadium hiperakut, stadium akut berupa terapi umum dan terapi khusus dan stadium sub-akut. Prognosis dapat dibagi menjadi dua berdasarkan pendarahan intraserebral maupun pendarahan sub arachnoid.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.
Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative study. Bull World Health Organ. 1980; 58:113–30.
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
3. Misbach J, Jannis J, Soertidewi L. 2011. Epidemiologi Stroke, dan Anatomi Pembuluh Darah Otak dan Patofisiologi Stroke dalam Stroke Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
4. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.
5. Morgenstern, Lewis B., Hemphill J.C., et al. 2010.Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association / American Stroke Association. Journal of the American Heart Association.
(http://stroke.ahajournals.org/content/41/9/2108. Diakses Maret 18, 2017).
6. Misbach, dr.H. Jusuf. 1999. Stroke: Aspek Diagnotik, Patofisiologi, Manajemen. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Indonesia.
7. Mardjono, Prof. dr. Mahar. Prof. dr. Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar cetakan ke-13. Dian Rakyat, Jakarta, Indonesia.
8. Magistris, Fabio. Stephanie Bazak, Jason Martin. 2013. Intracerebral Hemmorhage: Pathophysiology, Diagnosis and Management (Clinical Review). MUMJ. Vol 10 No.1 halaman 15-22.
29
9. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology.Edisi 8. BAB 4. Major Categories of Neurological Disease:Cerebrovascular Disease. McGraw Hill: New York, 2005.
10. Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape.
11. Basuki, Andi dan Dian Sofiati (ed.). Neurology in Daily Practice. 2010.
Bandung: Bagian Ilmu Pena Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD
12. A.K. Meena, A. Suvarna, S. Kau. Neurology India, Vol. 50, (Suppl. 1), Dec, 2002, pp. S37-S49