• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual Di Negara ... - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual Di Negara ... - Unud"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:

Dipersentasikan pada Hari/Tanggal : Waktu :

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL

DI NEGARA BERKEMBANG

Oleh:

Made Narindra Mahaputra Wisnu Pembimbing

Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RS SANGLAH DENPASAR

2016

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Infeksi Menular Seksual di Negara Berkembang ... 3

2.2 Prinsip-Prinsip dan Prioritas dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual ... 4

2.2.1 Dinamika Transmisi Infeksi Menular Seksual ... 6

2.2.2 Prioritas Program Infeksi Menular Seksual ... 8

2.3 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual ... 9

2.3 1 Pencegahan Primer ... 9

2.3.3.1 Program Perubahan Perilaku ... 10

2.3.1.2 Intervensi Struktural ... 11

2.3.1.3 Teknologi Pencegahan ... 11

2.3.2 Pencegahan Sekunder ... 13

2.3.2.1 Pengobatan Infeksi Menular Seksual Individu yang Simtomatik ... 15

2.3.2.2 Penemuan Kasus dan Skrining ... 18

2.3.2.3 Intervensi Tertarget dan Pengobatan Presumtif ... 20

2.4 Elemen Lainnya dari Pengobatan Kasus Secara Komprehensif ... 21

2.4.1 Edukasi Kesehatan dan Konseling ... 21

2.4.2 Pengenalan Pasangan Seksual ... 22

2.4.3 Peresepan Antibiotik dan Ketaatan Pasien ... 23

2.5 Komponen Penunjang Program Infeksi Menular Seksual ... 24

(3)

2.6 Tantangan dalam Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Menular Seksual di Negara Berkembang ... 26

2.6.1 Pemanfaatan Sektor Swasta ... 26

2.6.2 Perubahan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual ... 27

2.6.3 Integrasi Kolaboratif Program ... 28

2.6.4 Perluasan Cakupan Program ... 29

BAB III RINGKASAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dinamika Transmisi IMS Pada Tingkat Populasi ... 7 Gambar 2. Model Operasional Strategi Pelayanan IMS ... 14

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Peran Pemerintah dalam Program Pencegahan dan Pengendalian IMS Komprehensif ... 5 Tabel 2 Keuntungan dan Kerugian Pengobatan Berdasarkan Sindrom ... 18 Tabel 3 Informasi untuk Pengambilan Keputusan pada Program Pengendalian IMS . 25

(6)

BAB I PENDAHULUAN

Infeksi menular seksual (IMS) merupakan sekelompok infeksi yang saat ini bertanggung jawab terhadap sejumlah besar morbiditas dan mortalitas di negara berkembang, karena IMS memiliki peran dalam memfasilitasi transmisi human immonodeficiency virus (HIV) serta memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan reproduksi dan anak-anak. Komplikasi dari IMS dapat menyebabkan infertilitas baik pada laki-laki maupun perempuan, kehamilan ektopik, kanker serviks, kematian prematur, sifilis kongenital, berat lahir rendah, prematuritas dan oftalmia neonatorum.

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 340 juta kasus baru dari 4 jenis IMS yang dapat disembuhkan (gonore, infeksi klamidia, sifilis dan trikomoniasis) terjadi setiap tahunnya, dengan 85% diantaranya terjadi di negara berkembang.1 Selain itu, berjuta-juta kasus IMS yang disebabkan oleh virus juga telah dilaporkan di seluruh dunia, terutama infeksi HIV, human herpes simpleks virus (HSV), human papilloma virus (HPV) dan virus hepatitis B.2,3 Tidak hanya menyebabkan morbiditas dan mortalitas, secara global IMS juga memberikan beban ekonomi yang tinggi di negara berkembang dengan menyumbang 17% economic loss di bidang kesehatan.1,2,4

Surveilans IMS yang sistematis dan komprehensif hampir tidak pernah dilakukan di negara berkembang, dengan demikian kebanyakan data epidemiologis diperoleh dari studi prevalensi dan surveilans khusus di tempat-tempat tertentu.

Beberapa faktor yang menyebabkan tinginya prevalensi dan insiden IMS di negara berkembang diantaranya adalah: (1) faktor demografis (tinginya populasi muda yang aktif secara seksual), (2) urbanisasi yang diikuti dengan perubahan sosiokultural, (3) tingginya jumlah prostitusi akibat kesulitan ekonomi, (4) pasangan seksual multipel

(7)

dan konkuren, (5) kurangnya akses ke pelayanan IMS yang efektif dan terjangkau, serta (6) tingginya prevalensi resistensi antibiotik pada beberapa patogen.2

Sementara itu, upaya pengendalian IMS di negara berkembang juga masih mengalami hambatan karena gagalnya implementasi prinsip-prinsip dasar penanganan IMS. Selain itu, upaya advokasi untuk mendapatkan komitmen politik dan finansial dalam menangani IMS dan komplikasinya masih terhalang oleh adanya stigma di masyarakat dan kurangnya data mengenai beban penyakit serta rendahnya pencatatan mengenai efektifitas pengobatan.5,6,7

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai prinsip-prinsip pencegahan dan pengendalian IMS. Selain itu juga akan membahas mengenai berbagai strategi yang dapat dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian IMS terutama di negara berkembang serta tantangan-tantangan dalam meningkatkan upaya tersebut.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Menular Seksual di Negara Berkembang

Negara berkembang adalah negara yang rakyatnya memiliki tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup taraf sedang atau dalam perkembangan. Negara berkembang dicirikan dengan keadaan ekonomi yang sedang dalam perkembangan yaitu memiliki pendapatan perkapita rendah, adanya kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin, ketergantungan akan sektor primer (biasanya pertanian), sumber daya alam yang tidak diolah dengan baik dan adanya keterbatasan modal. Sementara itu dari sektor penduduk, negara berkembang dicirikan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan angka kelahiran yang tinggi, tingkat pengangguran yang tinggi serta tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah. Angka insiden dan prevalensi IMS secara signifikan didapatkan lebih tinggi di negara berkembang, akan tetapi hal ini dapat bervariasi diantara berbagai negara.6 Perkiraan global mengenai dampak IMS di negara berkembang masih belum dapat dihitung dengan pasti karena IMS seringkali tidak terdiagnosis atau bahkan tidak dilaporkan. Terdapat bukti bahwa angka IMS yang disebabkan oleh bakteri mengalami penurunan di berbagai negara sebagai akibat dari implementasi penanganan kasus-kasus IMS, termasuk penanganan kasus berdasarkan sindrom, bersama-sama dengan berbagai usaha pencegahan HIV.

Namun demikian, angka IMS yang disebabkan oleh virus semakin mengalami peningkatan.5,6

Infeksi menular seksual juga memiliki kaitan erat dengan infeksi HIV. Selain stadium dari infeksi HIV, IMS merupakan penentu penting yang dapat meningkatkan penyebaran virus HIV secara genital. Pengobatan terhadap IMS yang menyertai HIV telah terbukti menurunkan penyebaran virus HIV pada saluran genital. Infeksi HIV dan IMS memiliki hubungan timbal balik, dengan infeksi HIV yang menyebabkan imunokompromais dapat merubah perjalanan penyakit, manifestasi klinis dan

(9)

mempengaruhi pengobatannya, sementara itu IMS dengan mengakibatkan ulserasi dan inflamasi, dapat meningkatkan transmisi HIV.3

Penanganan IMS di negara berkembang seringkali tidak adekuat karena berbagai alasan, diantaranya adalah akibat rendahnya prioritas pemerintah dalam strategi dan perencanaan yang selanjutnya mengakibatkan rendahnya pendanaan program. Sementara itu hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk melibatkan dan meningkatkan pelayanan pada sektor swasta, padahal mungkin sebagian besar pasien akan mencari pengobatan sektor swasta pada awalnya. Rendahnya pembiayaan juga menyebabkan terhambatnya penyediaan alat-alat diagnostik dan obat-obatan.

Seringkali pemerintah juga gagal mengidentifikasi besarnya permasalahan IMS di populasi akibat kurangnya data. Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai gejala IMS, adanya stigma mengenai gejala IMS, perjalanan alamiah IMS yang seringkali asimtomatik serta kurangnya akses ke pelayanan kesehatan menyebabkan tertundanya pasien dalam mencari pengobatan IMS.2,5,8

2.2 Prinsip-Prinsip dan Prioritas dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual

Pencegahan dan pengendalian IMS secara komprehensif di negara berkembang haruslah mencakup berbagai pendekatan untuk mengatasi IMS pada semua tingkat sistem kesehatan dan juga mencakup komunitas target yang sesuai dengan prioritas nasional. Idealnya pendekatan ini harus dimasukkan ke dalam suatu strategi IMS komprehensif dengan rencana implementasi yang dengan jelas menuangkan tujuan dan prioritas dari program.5,7 Pada Tabel 1 ditampilkan peran pemerintah dalam program pencegahan dan pengendalian IMS secara komprehensif.5

(10)

Tabel 1 Peran Pemerintah dalam Program Pencegahan dan Pengendalian IMS Komprehensif5

Kebijakan pada tingkat nasional

Tujuan pengaturan dan penjabaran prioritas Alokasi sumber daya untuk:

- Pencegahan dan pengobatan IMS - Kebutuhan data tambahan

Advokasi politik untuk satu kebijakan pendukung dan kerangka hukum

Pidato komunitas dari pemimpin untuk permasalahan seksual, stigma dan diskriminasi

Evaluasi program nasional

Fungsi normatif pada tingkat nasional Pengembangan dan distribusi panduan kerja

- Panduan penanganan kasus untuk populasi umum dan subpopulasi risiko tinggi

- Jaminan kepastian laboratorium dan kualitasnya

- Sistem surveilans

Perencanaan dan panduan untuk aktivitas spesifik pengendalian IMS

- Intervensi terpusat untuk subpopulasi risiko tinggi (biasanya bersama dengan program HIV)

- Skrining dan pengobatan sifilis serta pencegahan komplikasi mata pada klinik antenatal

- Program imunisasi HPV

- Skrining dan pengobatan klamidia untuk wanita

- Kerjasama sektor swasta - Lain-lain sesuai dengan yang

diprioritaskan

Kesinambungan rencana evaluasi dengan indikatornya

Pengembangan sistem pengawasan dan evaluasi

Fungsi operasionalisasi

Pengorganisasian pelayanan kesehatan untuk mencapai tujuan

- Integrasi klinik IMS delivery - Supervisi oleh pelayanan kesehatan

primer dan swasta

- Pengembangan sistem rujukan untuk penanganan yang lebih kompleks Pengembangan pelayanan khusus untuk

memenuhi kebutuhan bagi kelompok kunci subpopulasi risiko tinggi dan dikaitkan dengan program pencegahan HIV Pengembangan jaringan dengan pelayanan

kesehatan seksual dan reproduktif, pelayanan HIV dan lain-lainnya sesuai prioritas Desain untuk komunikasi perubahan perilaku

untuk

- Mengurangi stigma dan diskriminasi - Menurunkan perilaku berisiko IMS - Meningkatkan perilaku dalam mencari

pengobatan

Pengorganisasian sistem manajemen logistik untuk memastikan suplai komoditi yang berkelanjutan, antimikroba, kondom, lubrikan berbasis air dan reagen laboratorium

Pengembangan sistem pelatihan untuk melatih penyedia layanan kesehatan dalam hal:

- Manajemen klinis termasuk kualitas - Fungsi infrastruktur klinik

- Sistem monitoring

Memantau informasi yang sedang berkembang tentang masalah-masalah teknis

Pengembangan sistem supervisi penunjang dan monitoring balik

Membantu pengembangan data yang didapat untuk digunakan pada semua tingkat

Program pengendalian IMS bertujuan untuk menurunkan angka insiden infeksi melalui suatu kombinasi strategi pencegahan primer dan pengobatan. Strategi

(11)

tersebut termasuk diantaranya adalah perubahan prilaku dalam menurunkan risiko seksual, meningkatkan penggunaan metode barier dan pengobatan terhadap individu yang terkena IMS. Upaya pengendalian IMS ini akan semakin meningkat apabila didukung oleh pengetahuan mengenai dinamika transmisi IMS, peningkatan teknologi dan pengobatan terbaru seperti terapi supresif atau profilaksis, peningkatan angka sirkumsisi pada laki-laki, serta pengembangan vaksin dan mikrobisida untuk IMS.5,9

2.2.1 Dinamika Transmisi Infeksi Menular Seksual

Pengetahuan tentang dinamika transmisi IMS telah mengalami perkembangan dalam 20 tahun terakhir sebagai akibat dari pandemi infeksi HIV dan meningkatnya usaha dalam mengendalikan IMS lainnya. Model matematika dan penelitian telah menunjukkan pentingnya jaringan seksual dalam menentukan penyebaran IMS.

Peningkatan pengetahuan akan dinamika transmisi IMS akan berperan dalam menentukan desain intervensi untuk pencegahan dan pengendalian IMS.4,10 Anderson dan May menyampaikan model klasik dari suatu penyebaran IMS yaitu R0= c x β x D.

Intervensi dapat mencegah penyebaran suatu IMS didalam satu populasi dengan cara:

menurunkan laju pertukaran pasangan (c), mengurangi efesiensi transmisi dari patogen (β) atau memperpendek durasi infeksius seseorang dengan cara mengobati IMS yang diderita (D).4,5

Dalam suatu populasi, distribusi penyebaran IMS tidaklah bersifat statis. Dari waktu ke waktu, epidemi berkembang melalui berbagai fase yang ditandai dengan perubahan pola distribusi dan transmisi patogen IMS inter dan antar populasi. Secara umum, pada awal suatu epidemi di suatu daerah, patogen IMS mulai ditularkan dari atau di dalam populasi risiko tinggi dengan laju infeksi yang tinggi dan pertukaran pasangan yang cepat (core group). Seiring dengan berkembangnya epidemi, patogen mulai disebarkan kepada populasi dengan risiko lebih rendah (bridging population), yang merupakan penghubung seksual penting antara core group dengan populasi

(12)

umum. Berbagai konsidi sosial atau ekonomi dari kelompok bridging population tersebut akan meningkatkan kerentanan untuk mendapatkan IMS dan mengelompokkan mereka sebagai populasi penghubung. Jaringan seksual bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain, namun secara umum, pasangan seksual dari individu dengan laju infeksi lebih tinggi (seperti bridging population) selanjutnya akan menginfeksi pasangan seksualnya, seperti suami atau istrinya dan pasangan tetapnya yang berada pada populasi umum. Skema dinamika transmisi IMS tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1,3,4

Epidemiologi mengenai penularan IMS dapat menjadi dasar strategi dalam intervensi untuk pencegahan IMS. Beberapa intervensi dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran suatu IMS pada satu populasi, diantaranya adalah: (1) mengurangi laju paparan IMS dengan cara menurunkan laju pertukaran pasangan; (2) mengurangi efesiensi transmisi; dan (3) memperpendek durasi infeksius seseorang dengan cara mengobati infeksinya.5

Gambar 1. Dinamika Transmisi IMS Pada Tingkat Populasi4

(13)

2.2.2 Prioritas Program Infeksi Menular Seksual

Idealnya penentuan prioritas dalam pengendalian IMS haruslah berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana epidemi IMS di negara tersebut. Pada kebanyakan negara berkembang data yang dimiliki sangat terbatas. Meskipun demikian, data mengenai prilaku seksual pada tingkat populasi menjadi semakin tersedia dengan semakin meningkatnya program pencegahan HIV dan adanya survei-survei khusus yang dilakukan di negara tersebut.5,11

Subpopulasi berisiko tinggi memainkan peran besar dalam transmisi IMS dan HIV dan sebaiknya menjadi fokus utama dalam program pengendalian dan pengobatan IMS. Selain itu, individu simtomatik terutama pasien dengan ulkus genital dan duh tubuh uretra, yang datang mencari pengobatan harus mendapatkan pelayanan yang efektif. Individu-individu ini juga harus dilibatkan dalam pencarian dan pengobatan terhadap pasangan seksualnya dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah berisiko tinggi, tempat intervensi pencegahan seharusnya difokuskan.1,3,12

Setelah berfokus pada subpopulasi risiko tinggi, program pengendalian IMS harus memutuskan jenis IMS apa yang sebaiknya menjadi prioritas program.

Keputusan tersebut akan bergantung pada beberapa faktor diantaranya: (1) bagaimana insiden, prevalensi, distribusi dan dampak kesehatan dari patogen IMS tersebut; (2) bagaimana karakteristik klinis (misalnya simtomatik atau tidak) dan komplikasi dari IMS tersebut; (3) bagaimana ketersediaan sarana dan teknologi penunjang untuk mengatasi IMS tersebut, seperti alat diagnostik, obat-obatan dan vaksin; (4) bagaimana kemampuan dari sistem kesehatan dalam menyerap intervensi terbaru; dan (5) bagaimana penerimaan intervensi tersebut dari segi politik dan budaya. Sebagai contohnya, pencegahan sifilis kongenital harus diimplementasikan oleh setiap program karena tingginya morbiditas dan mortalitas, sementara itu pemberian vaksin HPV walaupun menawarkan manfaat yang tinggi dalam mencegah kanker serviks, namun masalah pembiayaan yang tinggi harus menjadi pertimbangan.5

(14)

2.3 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual

Program pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk: (1) mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan IMS, (2) mencegah infeksi HIV, (3) mencegah komplikasi serius pada kaum perempuan, dan (4) mencegah efek kehamilan yang buruk.13 Tujuan program akan dapat dicapai melalui upaya pencegahan primer yang secara langsung akan menurunkan insiden IMS dan melalui pencegahan sekunder yang akan menurunkan prevalensi IMS dengan memperpendek durasi penyakit, sehingga akan menurunkan kemungkinan komplikasi dan sekuale dari IMS tersebut.1,8

2.3 1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah didapatnya suatu infeksi atau penyakit melalui perilaku seksual yang aman atau penggunaan kondom untuk aktivitas seksual penetratif. Hanya melalui pencegahan primer yang memiliki efek besar terhadap IMS yang tidak dapat disembuhkan yang terutama disebabkan oleh virus. 8,14,15 Pencegahan primer merupakan komponen penting dalam program pengendalian IMS terutama pada daerah-daerah yang miskin akan sumber daya disertai dengan keterbatasan obat- obatan dan alat diagnostik, dan dalam menghadapi pola perubahan dari IMS bakteri yang dapat disembuhkan ke IMS virus yang tidak dapat disembuhkan. Selain itu strategi pencegahan primer dapat menurunkan paparan dari individu infeksius melalui pengurangan pasangan seksual atau menurunkan efisiensi transmisi melalui penggunaan kondom atau metode barier lainnya, yang selanjutnya akan memiliki dampak besar dalam menurunkan transmisi dari seluruh IMS, jika dibandingkan dengan vaksin, terapi supresif atau pemeriksaan skrining yang hanya spesifik untuk patogen tertentu.5,14

(15)

2.3.1.1 Program Perubahan Perilaku

Salah satu strategi pencegahan primer bertujuan untuk mengubah perilaku seksual yang dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: menunda aktivitas seksual untuk pertama kalinya, abstinensia seksual dan setia pada pasangan serta promosi tentang perilaku seksual yang aman, meliputi penurunan jumlah pasangan seksual, praktek seksual yang aman tanpa penetrasi genital dan promosi penggunaan kondom yang benar. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian komunikasi, informasi dan edukasi atau melalui program edukasi kelompok. Program perubahan perilaku terutama penting untuk usia remaja karena kelompok ini memiliki angka IMS yang tinggi serta lebih mudah mengubah perilaku mereka.2,16,17

Intervensi perubahan perilaku dapat dilakukan dengan berpusat pada individu, pasangan atau kelompok kecil, dengan melakukan lokakarya atau program lainnya yang menyediakan informasi tertentu kepada masyarakat. Intervensi ini juga dapat mengubah norma sosial karena informasi tersebut didapat dari pimpinan daerah atau individu yang terpercaya. Informasi melalui media massa juga dapat dilakukan untuk meningkatkan jangkauan populasi.16,18

Saat memilih metode komunikasi yang akan digunakan untuk menyampaikan informasi tentang perubahan perilaku, sangat penting untuk mengetahui metode apa yang akan secara efektif dapat menjangkau populasi tersebut. Secara umum, upaya yang cukup baik dilakukan untuk intervensi tertarget adalah melalui edukasi teman sebaya atau melalui opini pimpinan. Seminar kesehatan pada suatu institusi atau kelompok-kelompok lainnya juga terbukti efektif. Sementara itu, bagi kelompok subpopulasi risiko tinggi dan untuk kelompok yang mungkin memiliki akses rendah terhadap pelayanan kesehatan akibat adanya isu sosial (pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki), strategi komunikasi melalui penjangkauan secara aktif dan melalui teman sebaya dapat digunakan sebagai landasan intervensi untuk mengubah perilaku.4,5,10 Metode komunikasi apapun yang dipilih, sangat penting untuk menggunakan bahasa yang dimengerti oleh kelompok yang menerima

(16)

informasi. Selain itu, perlu kehati-hatian dalam menyampaikan informasi yang sensitif seperti isu gender dan budaya, yang nantinya akan mempengaruhi norma setempat.4

2.3.1.2 Intervensi Struktural

Intervensi strukrural dan lingkungan memiliki potensi untuk mengubah lingkungan sehingga mendukung program perubahan perilaku, baik di tingkat pelayanan kesehatan, sosial atau politik. Pendekatan ini dapat berfokus untuk memastikan ketersediaan komoditas, peralatan dan bahan yang diperlukan untuk praktek perilaku sehat. Hal ini termasuk diantaranya memastikan ketersediaan kondom, lubrikan, pelayanan IMS, konseling dan pemeriksaan HIV, atau membuat kebijakan untuk memastikan kondom bisa diakses di tempat-tempat yang berhubungan dengan aktivitas seksual.5,11,19 Salah satu contohnya adalah kebijakan penggunaan kondom 100% di Thailand yaitu kebijakan pemerintah mewajibkan bahwa kondom harus digunakan pada hubungan seks komersial di rumah bordil dan memastikan pemilik usaha bertanggung jawab untuk penggunaan kondom oleh klien mereka. Intervensi struktural lainnya pada tingkat pembuat kebijakan diantaranya pembuatan undang- undang untuk melegalkan pekerja seks, namun memberikan denda hukum untuk pemilik hotel atau rumah bordil jika peraturan pencegahan tidak diimplementasikan.1

2.3.1.3 Teknologi Pencegahan

Saat digunakan dengan benar dan konsisten kondom merupakan salah satu metode barier yang paling efektif dalam memberikan perlindungan terhadap IMS dan HIV.

Terdapat bukti kuat bahwa kondom lateks laki-laki dapat menurunkan transmisi HIV hingga 80-85%, infeksi gonorea dan klamidia, virus herpes simpleks (HSV), HPV dan menurunkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan.2,5

Kondom dapat disediakan dalam skala luas melalui distribusi atau pemasaran dengan harga yang terjangkau.19,20 Namun meskipun berbagai upaya telah dilakukan

(17)

dalam penyediaan kondom, hanya sebagian kecil populasi yang aktif secara seksual menggunakan kondom di berbagai negara, dan mereka yang memakai sekalipun tidak menggunakannya secara konsisten dan hanya digunakan pada pasangan tertentu.1,2 Selain itu, wanita juga sering dipaksa untuk melakukan hubungan seksual tanpa kondom oleh pasangan seksualnya. Kegagalan kondom terjadi akibat kegagalan metode atau karena kerusakan pada kondom serta kesalahan penggunaan. Program promosi kondom yang efektif sebaiknya berpusat untuk memastikan kualitas kondom yang baik, kemudahan akses dan edukasi mengenai penggunaan kondom yang baik dan konsisten.21

Sementara itu, metode barier terkontrol pada wanita yaitu penggunaan kondom wanita juga memberikan proteksi yang hampir sama dengan penggunaan kondom lateks laki-laki.1,20 Akan tetapi, terdapat beberapa kendala dalam mengimplentasikan penggunaan kondom wanita dalam skala besar, diantaranya biaya yang lebih tinggi, sulitnya pemasangan, kurangnya promosi audiovisual dan reaksi yang berbeda-beda dari pasangannya.2

Teknologi pencegahan lainnya adalah penggunaan mikrobisida vagina.

Mikrobisida vagina telah mulai dikembangkan sejak awal tahun 1990an. Suatu bahan kimia berbahan detergen yang memiliki aktivitas virusidal dan bakterisidal awalnya memberikan harapan yang menjanjikan, namun ternyata efektivitasnya dalam mencegah HIV tidak memberikan hasil yang baik. Beberapa bahan juga tidak selalu efektif melawan patogen IMS dan penggunaannya memiliki dampak terhadap integritas epitel vagina, terutama apabila digunakan berulang kali, sehingga mungkin menyebabkan patogen lebih mudah masuk ke dalam tubuh. Namun, sejumlah komponen baru yang lebih aman saat ini sedang dikembangkan, yang nantinya akan memerlukan evaluasi lebih lanjut.1,2,22

Penggunaan vaksin yang efektif dan aman sangat berpotensi meringankan beban program pencegahan dan pengendalian IMS. Namun sayangnya, hanya vaksin hepatitis B yang saat ini tersedia dan bersifat efektif melawan patogen, walaupun

(18)

beberapa penelitian telah melaporkan efektivitas penggunaan vaksin HPV. Vaksin terhadap HSV masih terus dilakukan pengembangan karena penelitian sebelumnya belum mendapatkan efektivitas yang baik dalam pengunaannya.2,18,22 Vaksin di negara maju telah banyak digunakan, namun tingginya pembiayaan menghalangi penggunaan rutin vaksin di negara berkembang.2,18

Sirkumsisi pada laki-laki nampaknya nampaknya memberikan proteksi terhadap kejadian sifilis, canchroid, infeksi HIV dan HSV-2, walaupun pada beberapa penelitian hal tersebut tidak terjadi secara signifikan.20,21 Sementara itu, terapi supresif HSV-2 menunjukan penurunan transmisi ke pasangan heteroseksual yang tidak terinfeksi, dan terapi supresif harian dan kondom sangat direkomendasikan untuk pasangan yang memiliki perbedaan status HSV-2. Pada laporan terbaru terapi supresif HSV-2 menurunkan kadar HIV baik pada sekret genital maupun plasma dari wanita yang terinfeksi.5

2.3.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder mengacu pada pengobatan dan pelayanan terhadap individu yang terinfeksi, dengan aktivitas yang meliputi: (1) promosi perilaku dalam mencari pengobatan, tidak hanya untuk mereka yang memiliki gejala IMS, tapi juga untuk mereka yang berisiko terkena IMS, (2) penyediaan pelayanan kesehatan yang mudah diakses, diterima masyarakat dan efektif baik untuk individu simtomatik maupun asimtomatik, serta pasangannya, (3) menyediakan pelayanan konseling untuk IMS dan termasuk HIV.8,14,15 Pengalaman di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan sedang seperti di Thailand, Nairobi, Botswana dan beberapa bagian di Afrika Selatan telah menunjukan bahwa sangat memungkinkan untuk mengendalikan IMS yang dapat disembuhkan, bahkan pada daerah dengan dinamika transmisi yang tinggi, melalui suatu strategi pencegahan dan pengobatan yang komprehensif.5

Tujuan pengobatan kasus IMS adalah: untuk membuat diagnosis yang tepat, menyediakan pengobatan yang efektif, mencegah/mengurangi perilaku berisiko di

(19)

masa yang akan datang, menyarankan ketaatan dalam berobat, promosi dan penyediaan kondom serta memastikan pasangannya dikenali dan ditangani dengan baik.8 Bahkan pada klinik IMS dengan peralatan yang paling lengkap akan memiliki keterbatasan dalam mengendalikan IMS jika pemanfaatan pelayanan IMS masih buruk. Suatu model operasional telah dibuat untuk menilai berbagai hambatan dalam penanganan kasus IMS dan strategi dalam mengatasinya seperti terlihat pada Gambar 2.5

Gambar 2. Model Operasional Strategi Pelayanan IMS5

(20)

2.3.2.1 Pengobatan Infeksi Menular Seksual Individu yang Simtomatik

Diagnosis dini dan pengobatan yang efektif dari suatu IMS merupakan salah satu komponen terpenting dari program pengendalian IMS.2 Penyediaan layanan yang efektif untuk pasien IMS yang simtomatik dan pasangannya harus menjadi prioroitas utama dari suatu program pengendalian IMS. Pasien IMS yang memiliki gejala mungkin akan menyadari bahwa mereka telah terinfeksi dan lebih mungkin untuk mencari pengobatan. IMS yang disebabkan oleh bakteri dan protozoa biasanya dapat disembuhkan sementara IMS yang disebabkan oleh virus hanya dapat ditangani untuk menurunkan tingkat keparahan dari satu episode penyakit dan menurunkan rekurensinya. Namun bagaimanapun, individu dengan IMS yang disebabkan oleh virus masih mendapatkan manfaat dari pelayanan kesehatan dengan menerima konseling tentang bagaimana hubungan seksual yang aman, pengenalan pasangan, konseling pemeriksaan HIV dan menerima informasi kesehatan secara umum.3,5

Secara umum, suatu kecurigaan terhadap IMS selanjutnya dapat didiagnosis baik hanya dengan gejala klinisnya saja ataupun dengan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, yang biasanya bersifat kompleks, mahal dan menunda pengobatan karena menunggu hasil laboratorium. Diagnosis berdasarkan laboratorium seringkali terbatas, terutama di negara berkembang, karena membutuhkan biaya besar dalam pemeliharaan dan penyediaan sarana laboratorium.

Dengan alasan ini, maka WHO merekomendasikan pengobatan kasus berdasarkan sindrom, yaitu pasien yang datang dengan gejala dan tanda tertentu ditangani menurut alur bagan pengobatan sindrom.1,4

Pengobatan kasus berdasarkan sindrom merupakan suatu pendekatan yang didasari atas pengenalan sindrom yang berhubungan dengan IMS (sekelompok sindrom dan gejala klinis yang dengan mudah dapat diidentifikasi), diikuti dengan pengobatan yang menargetkan patogen yang paling sering menjadi penyebab sindrom tersebut. Pengobatan kasus disederhanakan mengikuti alur bagan dan peresepan obat yang terstandardisasi. Pendekatan ini terutama cocok pada daerah-daerah dengan

(21)

fasilitas diagnosis tidak tersedia ataupun kurang. Selain itu, pengobatan sindrom memberikan kesempatan untuk mengobati penyakit dengan segera, tanpa mengharuskan pasien untuk datang kembali menunggu hasil pemeriksaan laboratorium.2,3,8

Pendekatan sindrom bersifat efektif dan hemat biaya untuk sindrom duh tubuh uretra dan ulkus genital. Namun sebagian besar algoritma kurang baik dalam mendeteksi infeksi herpes. Algoritma duh tubuh vagina tidak terlalu efektif dalam menangani infeksi gonokokal dan klamidia serviks karena sebagian besar kasus bersifat asimtomatik. Kombinasi dari penilaian risiko dan gejala klinis dari inflamasi serviks memberikan nilai prediktif positif yang lebih tinggi untuk infeksi serviks.

Gejala duh tubuh vagina lebih sering suatu manifestasi dari infeksi vagina, yaitu trikomoniasis, vaginosis bakteri atau kandidiasis. Pada populasi wanita dengan angka infeksi gonokokal dan klamidia yang rendah, hanya direkomendasikan pengobatan sindrom untuk infeksi vagina. Pada daerah dengan prevalensi tinggi pengobatan sindrom atau pengobatan presumtif harus dipertimbangkan. Sementara itu pada daerah dengan prevalensi infeksi yang sedang, skrining selektif mungkin akan diperlukan. Oleh karena adanya keterbatasan sarana untuk skrining infeksi gonokokal atau klamidia pada wanita, strategi sebaiknya di pusatkan untuk menemukan laki-laki yang memiliki gejala dan meningkatkan konseling serta mengenali pasangannya.3,4,5

Pengobatan berdasarkan sindrom paling banyak disalahgunakan pada tempat- tempat pelayanan perempuan (seperti klinik keluarga berencana dan pelayanan antenatal), yaitu sebagian besar infeksi gonokokal atau klamidia serviks pada perempuan bersifat subklinis atau asimtomatik, dengan demikian tidak akan terdapat manifestasi sindromik. Kesalahan kedua tentang pengobatan berdasarkan sindrom adalah bahwa pendekatan ini digunakan sebagai solusi sederhana untuk suatu masalah yang kompleks. Penyediaan pelayanan untuk individu yang bergejala merupakan komponen kunci dari program pengendalian IMS yang komprehensif, dengan demikian pelayanan ini tidak dapat berdiri sendiri. Pendekatan untuk

(22)

pengendalian IMS akan memerlukan strategi yang lebih komprehensif dari berbagai program untuk dapat mencapai tujuan.5

Panduan pengobatan kasus berdasarkan sindrom ini perlu diadaptasi berdasarkan daerah lokal masing-masing, tergantung dari penyebab paling sering dari sindrom tersebut di suatu daerah dan bagaimana kepekaan antibiotik dari isolat di daerah tersebut, terutama untuk Neisseria gonorrhoeae dan Haemophilus ducreyi.

Suatu laboratorium sangat diperlukan untuk mengawasi parameter ini, dengan parameter tersebut mungkin bisa berubah dengan cepat.2

Pengobatan berdasarkan sindrom bukan merupakan strategi yang sempurna namun merupakan pendekatan yang bersifat hemat dari segi biaya jika dibandingkan dengan diagnosis laboratorium. Sampai dengan dikembangkan suatu metode diagnostik IMS yang murah, sederhana dan akurat serta dapat tersedia untuk digunakan di negara berkembang, suatu pendekatan sindrom yang dimodifikasi dan diadaptasi masih menjadi pendekatan penaganan kasus simtomatik yang paling baik.5 Beberapa keuntungan dan kerugian dari pengobatan berdasarkan sindrom dapat dilihat pada Tabel 2.

(23)

Tabel 2 Keuntungan dan Kerugian Pengobatan Berdasarkan Sindrom2,3,5 Keuntungan

Berorientasi terhadap permasalahan (Respon terhadap keluhan pasien)

Memiliki sensitivitas tinggi untuk mendeteksi infeksi pada pasien simtomatik dan tidak menyingkirkan infeksi campuran

Menyediakan pengobatan segera saat muncul gejala klinis pada kunjungan pertama Memberikan kesempatan untuk melakukan edukasi dan konseling

Mengobati infeksi yang paling mungkin (tergantung dari desain algoritme) Menghindari biaya pemeriksaan laboratorium yang mahal

Dapat diimplementasikan pada tingkat pelayanan primer

Laporan terstandar untuk meningkatkan pelaporan kasus, supervisi, jaminan kualitas dan manajemen stok

Dapat dimodifikasi dengan menyertakan pemeriksaan laboratorium sederhana Sensitif dan spesifik untuk duh tubuh uretra dan ulkus genital

Kerugian

Pengobatan berlebihan yang menyebabkan meningkatnya biaya pengobatan, dan mungkin efek samping obat, gangguan keseimbangan flora vagina dan berpotensi terjadi resistensi antibiotik

Terbatas penerapannya untuk wanita dengan duh tubuh vagina (direkomendasikan untuk infeksi vagina hanya pada populasi dengan prevalensi IMS rendah)

Memerlukan pelatihan staf dan selanjutnya terus dilatih kembali Dokter menolak menggunakan pendekatan ini

Pembuat program kesehatan gagal memehami tujuan pengobatan sindrom ini Tidak dapat digunakan untuk skrining pasien asimtomatik

2.3.2.2 Penemuan Kasus dan Skrining

Infeksi menular seksual seringkali muncul tanpa adanya gejala, terutama pada wanita.

Strategi yang berbeda diperlukan untuk mendeteksi dan menangani infeksi yang bersifat asimtomatik ini. Beberapa strategi yang dapat diterapkan diantaranya adalah penemuan kasus dan skrining, yang diperkuat dengan intervensi dalam menjangkau pasangan seksual untuk memberikan pengobatan presumtif IMS serta meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan terhadap risiko individu.4,23

(24)

Penemuan kasus artinya melakukan pemeriksaan terhadap individu yang mencari pelayanan kesehatan untuk alasan lain selain IMS. Salah satu aplikasi penting dari penemuan kasus ini adalah memberikan pelayanan IMS pada klinik antenatal, klinik ibu dan anak serta klinik keluarga berencana. Sebagai contoh, yaitu melakukan pemeriksaan rutin sifilis untuk wanita hamil di klinik antenatal.Sementara itu, skrining berarti melakukan pemeriksaan terhadap individu yang tidak secara langsung mencari pelayanan kesehatan.1,4

Proses skrining dua tahap dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi individu dengan risiko tinggi infeksi melalui suatu penilaian risiko dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk mereka yang teridentifikasi memiliki risiko tinggi, dengan demikian hal ini akan mengurangi biaya program skrining IMS. Selain skrining terhadap individu asimtomatik pasien IMS simtomatik yang mencari pengobatan juga harus diskrining untuk IMS lainnya.5,8

Beberapa jenis skrining yang didapatkan hemat dari segi biaya dan dapat diterapkan di negara berkembang diantaranya adalah skrining sifilis antenatal, skrining kanker serviks dan skrining terhadap subpopulasi risiko tinggi. Program skrining sifilis antenatal harus diimplementasikan oleh seluruh program pengendalian IMS karena komplikasi yang tinggi terhadap bayinya diantaranya lahir mati, kematian perinatal dan infeksi neonatal serius.3,5 Skrining untuk kanker serviks memiliki manfaat yang besar karena kanker serviks masih menjadi kanker penyebab kematian utama pada wanita, dengan 80% kasus terjadi di negara berekembang. Sementara itu, skrining subpopulasi risiko tinggi bersifat hemat dari segi biaya karena satu kasus yang diobati atau dicegah dari satu orang dalam subpopulasi ini akan dapat mencegah penyebaran infeksi ke beberapa orang lainnya. Subpopulasi risiko tinggi yang perlu dilakukan skrining diantaranya adalah para pekerja seks wanita ataupun laki-laki, kelompok pelanggan pekerja seks, laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki- laki, pengguna obat injeksi, serta remaja yang telah aktif secara seksual terutama yang tidak bekerja dan tidak bersekolah (anak jalanan).3,8,24

(25)

2.3.2.3 Intervensi Tertarget dan Pengobatan Presumtif

Intervensi tertarget didasari oleh konsep dinamika transmisi IMS yang terdiri dari core group, bridging population dan populasi umum. Beberapa intervensi komprehensif yang menargetkan core group telah dilakukan di beberapa negara berkembang dan menunjukkan dampak yang baik dalam menurunkan angka IMS dan HIV pada populasi target, dan kadang-kadang terhadap pasangannya.1,2,3

Suatu kesuksesan intervensi core group pada komunitas tambang di Afrika Selatan telah dilaporkan, dengan cara menyediakan pelayanan pengobatan IMS, termasuk pengobatan presumtif periodik (setiap bulan) dengan azithromisin, dan pemberian edukasi pencegahan terhadap sekelompok pekerja seks wanita yang tinggal di sekitar area tambang. Intervensi tersebut secara signifikan menurunkan infeksi gonore, infeksi klamidia dan ulkus genital pada wanita risiko tinggi dalam jangka waktu pendek. Gejala IMS juga menurun diantara para pekerja tambang di daerah intervensi dibandingkan dengan daerah yang tidak dilakukan intervensi.

Namun masih belum jelas, berapa lama intervensi ini dapat mempertahankan hal tersebut. Sementara itu, program pengobatan massa tertarget dengan menggunakan azithromisin saat terjadi wabah sifilis di Vancouver Kanada berhasil menurunkan kasus dalam 6 bulan, namun terjadi efek rebound setelahnya. Hal ini mempertegas bahwa walaupun intervensi massa tertarget mudah untuk dilakukan, intervensi ini seharusnya tidak dikerjakan secara rutin dan harusnya hanya dilakukan dengan kehati-hatian.2

Pengobatan presumtif atau disebut juga pengobatan epidemiologis pada seorang individu atau populasi diberikan saat terdapat kemungkinan yang tinggi mereka mengalami infeksi. Pengobatan tidak tergantung dari adanya gejala atau tanda, atau tidak tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium, tapi berdasarkan adanya peningkatan risiko yang berhasil diidentifikasi untuk terjadi suatu infeksi.5 Pengobatan presumtif ditujukan untuk mengatasi permasalahan dari suatu infeksi asimtomatik, terutama pada wanita dan pasangan seksual yang berisiko.4,10 Sebagai

(26)

contohnya adalah pengobatan presumtif untuk pasangan seksual dari pasien yang menderita IMS dengan pasangan tersebut berada pada risiko tinggi memiliki infeksi yang sama.1 Pengobatan presumtif saat ini telah diimplementasikan, baik sebagai intervensi tunggal pada waktu pasien kontak pertama kali dengan pelayanan kesehatan, atau secara periodik seperti intervensi pengendalian IMS pada subpopulasi risiko tinggi contohnya pada pekerja seks.5

2.4 Elemen Lainnya dari Pengobatan Kasus Secara Komprehensif 2.4.1 Edukasi Kesehatan dan Konseling

Konsultasi IMS tidak hanya menyediakan kesempatan untuk mendiagnosis dan mengobati IMS namun juga menyediakan kesempatan untuk mengedukasi bagaimana cara mencegah infeksi di masa yang akan datang. Keputusan pasien untuk mendatangi suatu klinik menandakan bahwa mereka akan lebih bersifat reseptif dan hal ini akan menyediakan kesempatan untuk berkonsultasi tentang penanganan terhadap pasangannya, mengedukasi penggunaan kondom, menerima pengobatan dan menerima penjelasan tentang risiko infeksi HIV.8,25 Sebagai bagian dari konseling untuk menurunkan risiko IMS dan HIV, masing-masing individu harus diberikan informasi yang memungkinkan dia untuk memutuskan secara sukarela tentang pemeriksaan HIV. Mengingat adanya potensi koinfeksi antara IMS dan HIV dan dampak yang besar dari infeksi HIV akut pada dinamika transmisi seksual, maka pasien dengan IMS harus di konseling dengan baik agar bersedia melakukan pemeriksaan HIV.8,20,26

Konseling berbeda dengan edukasi kesehatan, yaitu konseling sangat penting untuk menurunkan risiko dan penting dalam memberikan dukungan secara psikososial. Konseling membutuhkan keterampilan khusus dan waktu yang cukup, sehingga seorang penyedia pelayanan kesehatan perlu dilatih untuk dapat memberikan konseling. Pada beberapa keadaan, individu dari subpopulasi risiko

(27)

tinggi juga dapat dilatih untuk menjadi konselor dan mereka seringkali lebih diterima oleh pasien.5,15,26

2.4.2 Pengenalan Pasangan Seksual

Pengenalan pasangan seksual juga merupakan komponen penting dalam penanganan kasus IMS komprehensif namun seringkali sulit untuk dilaksanakan dan memerlukan biaya yang tinggi.22,27,28 Untuk dapat mengendalikan transmisi IMS, pengenalan pasangan seharusnya meliputi pengobatan terhadap semua pasangan seksual dari pasien IMS, setidaknya dalam 3 bulan terakhir dan mengobati pasangannya dengan pengobatan IMS yang sama dengan pasien.8

Pasangan dari index patient, yaitu seseorang yang terindentifikasi mengalami suatu IMS, dapat dijangkau melalui beberapa strategi: (1) patient referral, index patient mencari dan merujuk pasangannya (dengan disediakan kartu rujukan), atau diberikan obat untuk mengobati pasangannya; (2) provider referral, penyedia layanan mengenali pasangan seksual berdasarkan informasi yang diberikan oleh index patient;

dan (3) contract referral, index patient diminta untuk mengenali dan merujuk pasangannya pada tanggal tertentu dan setelahnya penyedia layanan kesehatan akan dapat mengidentifikasi pasangannya tersebut.8,12,29 Provider referral di negara berkembang memiliki kelemahan yaitu lebih terbatasnya akses ke pasangan seksual yang potensial, seperti nomer telepon dan alamat, selain itu diperlukan biaya program tambahan dan kekhawatiran tentang kerahasiaan yang membatasi pengungkapan informasi identitas pasangan.30,31 Sementara itu, untuk paient referral terdapat hambatan yaitu ketakutan terjadinya perselisihan dengan pasangannya, penghakiman terhadap pasangan multipel atau pasangan yang dianggap sebagai penyebab, dan penerimaan dari pasangan seksual untuk datang ke lokasi pengobatan.5,27,31

Pasien yang diminta untuk mengobati pasangannya seperti yang telah dievaluasi di Uganda, nampaknya menunjukkan efektivitas yang lebih efektif dibandingkan strategi rujukan oleh index patient. Pendekatan ini mungkin dapat

(28)

mengatasi beberapa hambatan yang telah dijelaskan sebelumnya dan mungkin lebih diterima oleh index patient. Oleh karena keterbatasan pendekatan sindrom dan pilihan diagnostik untuk wanita, pengenalan pasangan oleh laki-laki yang mengalami uretritis, laki-laki dan wanita yang mengalami ulkus genital dan individu dengan hasil serologi sifilis yang reaktif, haruslah menjadi prioritas.5,29 Pengenalan pasangan sebaiknya bersifat sukarela dan rahasia, dan pengobatan dari index patient tidak boleh dihambat dalam upaya untuk mengobati pasangannya.12,30

2.4.3 Peresepan Antibiotik dan Ketaatan Pasien

Pada banyak negara berkembang terdapat penggunaan obat yang salah baik yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan maupun pasien. Selain itu, penggunaan antibiotik yang luas, bebas dan tidak diatur menyebabkan sering dilakukan pengobatan diri sendiri baik untuk terapi maupun pencegahan sebelum hubungan seksual berisiko.5 Penelitian yang dilakukan oleh Pidari pada tahun 2016 di Denpasar Bali mendapatkan bahwa dari 45 subyek penelitian yang menderita gonore, 44,5%

diantaranya telah melakukan pengobatan diri sendiri menggunakan antibiotik yang salah yaitu tetrasiklin, amoksisilin, tiamfenikol, ampisilin dan siprofloksasin. Obat- obat ini didapatkan dengan mudah dari apotek, toko obat dan warung.32 Sementara itu, saat obat-obat diresepkan, ketaatan dalam hal regimen dosis seringkali buruk karena rendahnya pemahaman pasien ataupun karena masalah biaya. Dilihat dari sudut pandang penyedia layanan kesehatan, kurangnya pengetahuan dan pelatihan, persepsi mengenai keinginan pasien, tekanan ekonomi dan norma sosial menjadi hambatan dalam pemberian pengobatan yang baik.5

Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, telah dikembangkan paket pengobatan sindrom IMS. Paket blister obat untuk sindrom IMS dapat meningkatkan ketaatan pasien berobat saat dosis antibiotik diberikan dalam beberapa hari. Paket pengobatan sindrom ini dapat ditambahkan dengan kartu rujukan pasangan, kondom dan materi edukasi IMS. Paket pengobatan dapat dijual oleh dokter swasta atau

(29)

apotek di sekitarnya melalui resep dan telah dilaporkan kepatuhan yang tinggi dari pasien serta dilaporkan juga tingginya rujukan pasangan dan penggunaan kondom selama pengobatan.1

2.5 Komponen Penunjang Program Infeksi Menular Seksual

Sistem manajemen program yang efektif merupakan hal yang sangat penting dalam mengembangkan dan mempertahankan suatu pelayanan dan pencegahan IMS yang efektif. Sangat penting untuk mengadakan koordinasi antara pemerintah dan komponen penunjang eksternal lainnya untuk menghindari duplikasi program serta memastikan arah intervensi menuju strategi prioritas yang ditetapkan oleh negara.3,5

Kapasitas pembangun (capacity building) untuk meningkatkan sumber daya manusia dan kapasitas operasional dari suatu institusi merupakan salah satu prasyarat untuk dapat menjalankan program IMS yang efektif. Kapasitas pembangun tidak hanya berarti melatih staf namun juga mengacu pada upaya penguatan seluruh sistem dan aktivitas penunjang yang memungkinkan staf dapat bekerja dengan efektif, mulai dari infrastrukstur fisik yang baik, suplai sarana prasarana yang cukup hingga proses supervisi.1,4

Komponen penunjang lainnya yang diperlukan untuk menunjang program pencegahan dan pengendalian IMS adalah informasi. Beberapa informasi dari berbagai tingkat program sangat diperlukan untuk dapat merencanakan, menjalankan serta mengevaluasi suatu program IMS nasional. Informasi ini dapat digunakan untuk mengambil keputusan selanjutnya. Informasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu informasi saat dilakukan penilaian formatif, proses monitoring, evaluasi efektivitas dan penelitian khusus.4,5,18 Beberapa contoh data informasi yang diperlukan pada masing-masing kelompok informasi dapat diliha pada Tabel 3.

(30)

Tabel 3 Informasi untuk Pengambilan Keputusan pada Program Pengendalian IMS5 Penilaiaan formatif

Prevalensi HIV berdasarkan kelompok populasi

Prevalensi IMS berdasarkan kelompok populasi

Penilaian kualitas pelayanan

Perilaku mencari pelayanan kesehatan

Pemetaan dan perkiraan jumlah untuk subpopulasi yang diprioritaskan

Proses monitoring

Kualitas dan cakupan pelatihan

Upaya penjangkauan lapangan dan edukasi

Pemanfaatan pelayanan

Durasi gejala

Perkiraan cakupan subpopulasi risiko tinggi dengan pelayanan IMS

Perkiraan serapan (jumlah pengunjung baru)

Jumlah kunjungan klinik (baru atau lama/follow up), umur, dan jenis kelamin pengunjung

Jumlah dan distribusi sindrom IMS

Jumlah kondom yang didistribusikan, jumlah kondom di toko-toko

Persentase hari habisnya antibiotik

Kualitas pelayanan- penilaian rutin dan khusus

Evaluasi efektivitas

Pelaporan sentinel

Survei berkala mengenai perilaku seksual dan perilaku mencari pengobatan pada berbagai kelompok subpopulasi

Survei berkala mengenai prevalensi dan insiden HIV pada berbagai kelompok subpopulasi

Survei berkala mengenai prevalensi IMS pada berbagai kelompok subpopulasi

Penilaian berkala mengenai etiologi sindrom IMS

Pelaporan kasus

Resistensi antimikroba (sebaiknya rutin namun seringkali berupa penelitian khusus)

Penelitian khusus

Evaluasi dan perbaruan algoritme pengobatan sindrom IMS untuk populasi umum, pekerja seks dan LSL

Biaya, keuntungan dan efektivitas biaya

Insiden dan prevalensi

komplikasi dari IMS seperti PID atau sifilis kongenital

Penilaian prevalensi IMS yang disebabkan oleh virus seperti HSV-2, HPV dan HBV

Investigasi wabah

Perkiraan biaya ekonomi dari IMS

Evaluasi lapangan dari suatu alat diagnostik cepat yang baru

Penelitian sistem kesehatan untuk mencari solusi praktis dari implementasi sistem kesehatan saat ini

Penelitian untuk mengetahui bagaimana jalannya program pencegahan infeksi HIV

(peralatan, pendekatan,biaya, dll)

Selain kapasitas pembangun dan informasi, penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas pada fasilitas pelayanan kesehatan primer akan mendorong pasien- pasien IMS untuk mencari pelayanan pada fasilitas ini. Pelayanan berkualitas secara teknis merupakan suatu pelayanan yang berdasarkan pada panduan dan prosedur

(31)

standar berbasis bukti, yang efisien, hemat biaya, mudah diskses dan diterima oleh pasien, serta dapat memastikan standar etis, menjaga kerahasiaan dan mampu menghasilkan kepuasan pasien.1,5,9 Penyediaan pelayanan laboratorium juga harus terus diperkuat pada suatu program IMS. Pelayanan laboratorium dasar seperti pemeriksaan serologis sifilis, pemeriksaan HIV dan pemeriksaan mikroskopis dasar sebaiknya tesedia di pusat pelayanan kesehatan perifer, dengan terus dikembangkannya kemampuan diagnostik sejalan dengan perkembangan pelayanan.3,5,8

2.6 Tantangan dalam Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual di Negara Berkembang

2.6.1 Pemanfaatan Sektor Swasta

Pelayanan kesehatan pemerintah tidak selalu dapat diterima oleh pasien walaupun pasti tersedia, bahkan di negara yang miskin akan sumber daya. Pilihan pasien tergantung dari ketersediaan pelayanan, kebutuhan dan persepsi pasien tentang keseriusan penyakitnya, biaya, kerahasiaan, keramahan dan efikasi serta dukungan sekitar secara keseluruhan. Telah tercatat beberapa upaya bagaimana penyedia pelayanan swasta dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam mencapai tujuan kesehatan IMS di masyarakat.4,5

Banyak pengamat melaporkan bahwa apoteker dan petugas obat adalah sumber daya yang kurang dimanfaatkan untuk penanganan sindrom IMS, karena sebenarnya mereka dapat dilibatkan dalam penanganan duh tubuh uretra dan vagina serta dapat sebagai perantara pesan dalam pencegahan IMS. Beberapa laporan pemanfaatan apoteker di negara berkembang dalam program pencegahan dan pengendalian IMS mendapatkan bahwa pemanfaatan apoteker dapat meningkatkan penanganan kasus IMS, terutama mereka dapat menilai adanya gejala IMS, mempromosikan pengobatan untuk pasangan dan promosi penggunaan kondom.

Selain itu, intervensi ini juga bersifat hemat dari segi biaya. Namun penggunaan apoteker sebagai penyedia layanan yang sah akan membutuhkan modifikasi kebijakan

(32)

dari pemerintah dengan dibuatnya papan regulasi farmasi, infrastruktur untuk mendukung diadakannya pelatihan farmasi, supervisi dan landasan hukum serta persetujuan dari dokter.5 Selain apoteker, beberapa pihak yang juga dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian IMS diataranya adalah mahasiswa kedokteran, perawat, pegawai laboratorium dan penyuluh kesehatan masyarakat.4

Pemanfaatan sektor swasta juga dapat dilakukan melalui pembentukan sistem franchise kesehatan, yaitu sektor swasta dikelompokan di bawah satu nama dan ditunjang dengan latihan, supervisi, pengiklanan dan bantuan-bantuan lainnya. Upaya ini sedang dievaluasi, namun nampaknya pelayanan franchise ini dapat meningkatkan kepuasan pasien dan juga menunjukan beberapa peningkatan pelayanan kesehatan, walaupun terdapat beberapa tantangan terkait dengan jaminan kualitas dan pembiayaan. Tantangan lainnya dalam sistem franchise IMS ini adalah bagaimana menempatkan pelayanan IMS ini sedemikian rupa sehingga tidak memberikan stigma bagi praktek swasta tersebut dan mereka dapat berpartisipasi secara aktif. Intervensi lainnya yang telah diupayakan adalah kerjasama dengan perusahaan komersial swasta, yang sejumlah besar karyawannya adalah single atau berada jauh dari rumah sehingga berada dalam risiko tinggi IMS, seperti perusahaan minyak atau konstruksi.5

2.6.2 Perubahan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual

Tantangan lainnya dalam program pengendalian IMS adalah meningkatnya kemampuan patogen untuk menjadi resisten terhadap antibiotik dan meningkatnya dengan cepat prevalensi beberapa patogen yang menjadi kofaktor penting dalam transmisi HIV, seperti infeksi HSV-2,. Pada negara berkembang, angka isolat Neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap antibiotik yang sering digunakan didapatkan tinggi. Dengan demikian, diperlukan regimen yang dapat mengatasi hal ini sesuai dengan keadaan lokal masing-masing. Tidak seperti di negara maju yang rutin mengadakan surveilans terhadap kepekaan N. gonorrhoeae, di negara

(33)

berkembang data berkelanjutan jarang diperoleh, dan hal ini masih menjadi tantangan dalam pengendalian IMS terutama gonore.1,2

Sementara itu, saat ini terjadi perubahan epidemiologis mengenai patogen penyebab dari ulkus genital. Sebelumnya, sifilis dan chancroid menjadi penyebab utama dari sindrom ulkus genital, namun saat ini infeksi HSV-2 menyumbang 40- 50% penyebab sindrom ulkus genital. Hal ini sangat penting karena terjadi pergeseran pola dari patogen bakteri yang dapat disembuhkan menjadi patogen virus yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena tingginya angka insiden dan prevalensi infeksi HSV-2 di negara berkembang, maka sangat dibutuhkan intervensi yang menargetkan secara khusus infeksi HSV-2, seperti pemberian terapi supresif maupun terapi episodik.1,2

2.6.3 Integrasi Kolaboratif Program

Rancangan strategi global yang baru untuk pencegahan dan pengendalian IMS saat ini sedang dikembangkan untuk diimplementaskan secara kolaboratif dengan program lainnya. Beberapa program kesehatan yang dapat dikolaborasi dengan program pencegahan dan pengendalian IMS diantaranya adalah program keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduktif remaja, imunisasi dan pencegahan HIV.3,4

Terdapat kesepakatan bersama untuk dapat mengintegrasikan pelayanan IMS dengan pelayanan kesehatan reproduktif. Pertimbangan untuk hal ini adalah karena program kesehatan reproduktif telah berjalan dengan baik dan mungkin dapat menarik sponsor dana yang ditujukan untuk pengobatan IMS. Selain itu, pelayanan terintegrasi ini akan dapat menjangkau populasi wanita secara lebih luas. Setidaknya, penilaian risiko IMS dan pelayanan pencegahan dapat disediakan pada seluruh klinik ibu dan keluarga berencana, dan pelayanan terintegrasi ini harus meliputi pemeriksaan sifilis dan pengobatannya bagi ibu hamil yang mendatangi klinik antenatal. Namun demikian, pelayanan IMS dan kesehatan reproduksi terintegrasi ini

(34)

dapat kehilangan salah satu populasi target yang penting, yaitu laki-laki. Hal ini menjadi penting karena perilaku seksual berisiko dan mobilitas pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan pelayanan IMS dan reproduktif yang tidak hanya menjangkau kaum wanita, tetapi juga kaum laki-laki.1,2

Keberhasilan implementasi dari sudut pandang ini telah ditunjukkan oleh keberhasilan upaya integrasi program HIV/IMS dengan program keluarga berencana serta program kesehatan ibu dan anak, yang mampu meningkatkan pengendalian dan penyebaran HIV dan IMS serta meningkatkan kesehatan reproduktif wanita. Analisis dari usaha integrasi ini mendapatkan bahwa meskipun formulasi kebijakan sudah jelas, pelaksanaanya sering tidak terorganisir dengan baik, terhalang oleh kegagalan alokasi tanggung jawab secara jelas diantara staf program terkait ataupun karena kurangnya komunikasi. Selain itu, hambatan lainnya adalah karena rendahnya komitmen organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan.5

2.6.4 Perluasan Cakupan Program

Banyak dari program pengendalian IMS hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki dampak karena program hanya menyediakan pelayanan pada sejumlah kecil populasi. Dengan demikian, diperlukan upaya mendesak dalam mengoptimalkan cakupan dan intensitas program IMS pada semua tingkat untuk dapat memberikan dampak yang signifikan. Peningkatan cakupan intervensi diantaranya dapat dilakukan dengan meningkatkan cakupan geografis dan target, meraih populasi target tambahan, memperluas lingkup dan intensitas intervensi, serta melakukan advokasi terhadap kebijakan nasional.4

Peningkatan skala cakupan program akan memberikan dampak besar apabila berpusat pada populasi target, seperti populasi yang sangat mempengaruhi dinamika transmisi IMS, dan menjangkau sebanyak mungkin individu dari populasi ini.4 Pada sebagian besar negara berkembang terdapat beberapa hambatan besar dalam meningkatkan skala intervensi yang efektif. Meskipun demikian, pengalaman

(35)

dibeberapa negara telah menunjukkan bahwa masih memungkinkan untuk meningkatkan skala cakupan intervensi yang efektif dan inovatif. Beberapa komponen kunci yang diperlukan dalam meningkatkan skala cakupan diantaranya:

(1) komitmen politik yang kuat dengan melibatkan multisektor; (2) keterlibatan masyarakat yang memadai dan menggerakkan masyarakat untuk bekerja secara kolektif dalam memastikan program dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat; (3) desain teknis intervensi yang dapat diadopsi oleh sektor pemerintah dan swasta; (4) dukungan teknis dan kapasitas pembangun yang memadai; (5) sistem manajemen desentralisasi yang efektif; dan (6) tujuan jelas dan terfokus.5,6

(36)

BAB III RINGKASAN

Infeksi menular seksual masih menjadi permasalahan utama di negara berkembang, dengan angka insiden dan prevalensi kasus IMS yang tinggi. Upaya pencegahan dan pengendalian IMS sangat diperlukan untuk dapat menghambat permasalahan tersebut.

Terbatasnya keberhasilan pengendalian IMS di negara berkembang tidak hanya semata-mata karena kurangnya alat diagnostik pelayanan, meningkatnya resistensi antibiotik, pergeseran pola patogen IMS, rendahnya perilaku mencari pengobatan atau dinamika transmisi yang kompleks, namun secara lebih mendasar, hal ini disebabkan oleh rendahnya kebijakan politik untuk berinvestasi dalam langkah- langkah pengendalian yang tepat serta untuk mempertahankan dan memperkuat sistem kesehatan dasar, dan juga sedikitnya data yang tersedia dalam hal beban penyakit dan efektivitas program yang telah dijalankan.

Beberapa strategi umum yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan dan pengendalian IMS di negara berkembang yaitu mulai dari pencegahan primer hingga berbagai strategi pengobatan. Intervensi pencegahan primer terdiri dari program perubahan perilaku, intervensi struktural dan penggunaan berbagai teknologi pencegahan. Sementara itu pendekatan pengobatan yang dapat dilakukan adalah pengobatan kasus simptomatik dengan pendekatan berdasarkan sindrom, penemuan kasus dan skrining untuk kasus asimtomatik, serta intervensi tertarget dan pengobatan presumtif untuk populasi risiko tinggi. Elemen lainnya yang juga menunjang pengobatan ini adalah pemberian edukasi dan konseling, pengenalan pasangan seksual dan peresepan antibiotik yang benar. Saat ini terdapat beberapa tantangan dalam meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian IMS di negara berkembang, yaitu pemanfaatan secara efektif sektor swasta, adanya perubahan epidemiologi patogen IMS, mengintegrasikan program secara kolaboratif dan memperluas cakupan program.

Gambar

Gambar 1. Dinamika Transmisi IMS Pada Tingkat Populasi 4
Gambar 2. Model Operasional Strategi Pelayanan IMS 5
Tabel 3 Informasi untuk Pengambilan Keputusan pada Program Pengendalian IMS 5 Penilaiaan formatif

Referensi

Dokumen terkait

Komersial dengan Tindakan Pencegahan Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) di Bandar Baru Kecamatan Sibolangit ” , dimana mendapatkan hasil tidak ada hubungan

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “ Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja Seks Komersial Dengan Pemanfaatan Klinik IMS Dan Tindakan

Helti M.R.T, 2011, Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Pemakaian Kondom Dalam Upaya Pencegahan Penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) Di Kota Medan Tahun

Besar responden pada kelompok kontrol mengetahui cara pencegahan, penularan, dan gejala IMS hal tersebut dibuktikan dengan tingkat pengetahuan yang tinggi, dan

Menyiapkan agar Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dengan sumber daya terbatas dapat menerapkan pencegahan dan pengendalian infeksi, sehingga dapat

Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap 6 variabel bebas terhadap kejadian IMS yaitu konsistensi penggunaan kondom, sikap terhadap pencegahan IMS, akses kondom, akses

Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap 6 variabel bebas terhadap kejadian IMS yaitu konsistensi penggunaan kondom, sikap terhadap pencegahan IMS, akses kondom, akses

Dokumen ini membahas tentang pentingnya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan