TINJ AUAN PUST AKA
Kepada Yt h:Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal : Kamis / 14 Juli 2016
Waktu : 13.00 WITA
HUBUNGAN INFERTILITAS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL
Oleh :
Nieke Andina Wijaya
Pembimbing :
Dr. dr. AAGP Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KUL IT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/ RSUP SANGLAH
DENPASAR
2016
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Infertilitas 3
2.1.1 Definisi 3
2.1.2 Epidemiologi 3
2.1.3 Faktor Penyebab Infertilitas 4
2.1.4 Diagnosis Infertilitas 5
2.2 Infeksi Menular Seksual 7
2.2.1 Definisi 7
2.2.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual 8
2.2.3 Infeksi Gonokokus 8
2.2.3.1 Morfologi Neisseria gonorrhoeae 8
2.2.3.2 Patogenesis Infeksi Gonokokus 9
2.2.3.3 Manifestasi Klinis Infeksi Gonokokus 10
2.2.3.3.1 Infeksi pada Laki-laki 11
2.2.3.3.2 Infeksi pada Perempuan 11
2.2.3.4 Diagnosis Infeksi Gonokokus 11
2.2.4 Infeksi Klamidia 12
2.2.4.1 Morfologi Chlamydia trachomatis 13
2.2.4.2 Patogenesis Infeksi Klamidia 13
2.2.4.3 Manifestasi Klinis Infeksi Klamidia 15
2.2.4.3.1 Infeksi pada Laki-laki 15
2.2.4.3.2 Infeksi pada Perempuan 15
2.2.4.4 Diagnosis Infeksi Klamidia 15
2.3 Hubungan antara Infertilitas dan Infeksi Menular Seksual 16
2.3.1 Infertilitas pada Laki-laki 17
2.3.1.1 Infertilitas Laki-laki Akibat Infeksi Gonokokus 18 2.3.1.2 Infertilitas Laki-laki Akibat Infeksi Klamidia 20
2.3.2 Infertilitas pada Perempuan 21
2.3.2.1 Infertilitas Perempuan Akibat Infeksi Gonokokus 22 2.3.2.2 Infertilitas Perempuan Akibat Infeksi Klamidia 23
2.3.2.3 Penyakit Radang Panggul 24
2.3.4 Pencegahan dan Penatalaksanaan Infertilitas akibat
Infeksi Menular Seksual 26
BAB III RINGKASAN 28
DAFTAR PUSTAKA 29
BAB I
PENDAH ULUAN
Setiap pasangan suami istri sebagian besar menginginkan kehadiran anak sebagai penerus keturunan dan dianggap dapat mempererat ikatan keluarga.
Ketidakmampuan untuk memiliki anak atau infertilitas merupakan masalah yang sensitif bagi pasangan suami istri. Infertilitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan psikologi. Walaupun tidak mengancam jiwa, infertilitas dapat mengakibatkan masalah sosial dan psikologi yang cukup besar bagi pasangan suami istri. Pemahaman mengenai infertilitas masih kurang adekuat pada beberapa bagian dunia, oleh karena itu perlu diberikan pemahaman tentang infertilitas agar pasangan infertil tidak takut ataupun malu mencari pertolongan ke dokter.
Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terjadi kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan kontrasepsi. Infertilitas dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan frekuensi yang hampir sama. Lebih dari 80% pasangan yang melakukan hubungan seksual secara rutin dan tidak menggunakan kontrasepsi akan terjadi kehamilan dalam waktu 1 tahun, dan sekitar 92% terjadi kehamilan dalam waktu 2 tahun.1,2,3
Penyebab infertilitas meliputi berbagai macam faktor seperti kelainan anatomi, hormonal maupun infeksi. Sebagian besar penyebab infertilitas yang dapat dicegah adalah penyakit infeksi dan diantaranya adalah infeksi menular seksual (IMS). Meskipun hubungan antara IMS dan infertilitas telah diketahui lama, tetapi kejadian infertilitas akibat IMS di seluruh dunia lebih banyak terjadi akhir-akhir ini.1,4,5
Diantara berbagai penyebab IMS, infeksi oleh Neisseria gonorrhoeae (N.
gonorrhoeae) dan Chlamydia trachomatis (C. trachomatis) merupakan penyebab tersering terjadinya infertilitas. Kedua bakteri ini dapat menginfeksi laki-laki maupun perempuan dengan berbagai macam manifestasi klinis. Bila infeksi tidak diobati atau diberikan pengobatan yang tidak adekuat, dapat menyebabkan terjadinya infeksi kronis dan berbagai macam komplikasi yang berujung pada terjadinya infertilitas. Pada laki-laki komplikasi dapat berupa epididimitis dan
orkitis, sedangkan pada perempuan komplikasi tersering adalah penyakit radang panggul (PRP), infertilitas tuba dan kehamilan ektopik.1,5,6
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai dampak infeksi gonokokus dan klamidia pada kejadian infertilitas laki-laki dan perempuan.
Dengan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai infertilitas yang diakibatkan oleh IMS sehingga dapat meningkatkan kesadaran untuk menegakkan diagnosis serta memberikan penanganan yang tepat terhadap IMS untuk mencegah terjadinya infertilitas.
BAB II
TINJ AUAN P USTAKA
2.1. In fertilitas 2.1.1 Definisi
Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk memiliki anak setelah 1 tahun melakukan hubungan seksual rutin tanpa penggunaan kontrasepsi. Infertilitas diklasifikasikan menjadi infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer didefinisikan sebagai infertilitas yang terjadi jika perempuan belum pernah hamil, sedangkan infertilitas sekunder adalah apabila perempuan tidak dapat hamil setelah satu atau lebih kehamilan atau aborsi sebelumnya.1,7
2.1.2 Epidemiologi
Kejadian infertilitas mengenai sekitar 80-160 juta individu di seluruh dunia, dengan perkiraan sekitar 5-26% pasangan mengalami infertilitas. Laju infertilitas bervariasi diantara masing-masing daerah. Di Afrika Sub-Sahara, terdapat pasangan infertil hingga sepertiga dari jumlah pasangan total dan sekitar 52%
diantaranya menderita infertilitas sekunder. Sebaliknya, persentase infertilitas sekunder ini terdapat dengan jumlah paling rendah di Asia dan negara maju, yaitu sebanyak 23% dan 29% secara berurutan. Pada penelitian di Pakistan didapatkan prevalensi infertilitas sebesar 21.9%, dengan kejadian infertilitas primer sebanyak 3.9% dan infertilitas sekunder sebanyak 18%.2,3 ,7 Pada tahun 2000, dari sekitar 30 juta pasangan usia subur di Indonesia terdapat 3.45 juta atau sekitar 10 –15%
pasangan yang memiliki masalah infertilitas.8 Infertilitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap faktor sosio-psikologikal, terutama pada perempuan. Secara psikologis, perempuan infertil menderita psikopatologi yang dapat berupa kecemasan, depresi, mudah marah, menyalahkan diri sendiri dan ingin bunuh diri.
Di Amerika Latin, stigma sosial yang berhubungan dengan infertilitas menyebabkan perempuan cenderung menyalahkan diri sendiri untuk infertilitasnya dan di Mozambique, perempuan infertil dilarang mengikuti aktivitas sosial tertentu dan perayaan tradisional. Perempuan infertil lebih sering
mengakibatkan konflik rumah tangga seperti perceraian, suami menikah lagi dengan orang lain, atau perempuan tersebut dipaksa kembali ke rumah orang tuanya.2 ,7
2.1.3 Fak tor Penyebab Infer tilitas
Banyak faktor yang dapat menyebabkan infertilitas. Secara umum penyebab infertilitas dapat dibagi menjadi penyebab yang tidak dapat dicegah (anatomi, hormonal, imunologi) dan penyebab yang dapat dicegah (penyakit infeksi;
misalnya IMS; paparan bahan beracun; seperti arsenik; serta pengaruh diet (kafein, alkohol) dan kebiasaan merokok). Pada beberapa kasus penyebab infertilitas tidak ditemukan dan dinyatakan sebagai unexplained infertility. Penyebab utama infertilitas pada perempuan meliputi gangguan hormonal, kelainan ovarium atau uterus ataupun kelainan tuba (pembuntuan atau adhesi paratuba). Sedangkan penyebab utama infertilitas pada laki-laki adalah hipogonadisme primer (gangguan hormonal, kelainan testis, trauma pada genitalia, penyakit sistemik, obat-obatan) serta gangguan transpor sperma (obstruksi vas deferens atau epididimis, disfungsi ereksi atau ejakulasi retrograde). Infertilitas primer sebagian besar diakibatkan oleh abnormalitas kromosom, malformasi genital, endokrinopati atau bersifat idiopatik.4,7,10 Penelitian di Rwanda melaporkan bahwa infertilitas sekunder terutama dipengaruhi oleh adanya IMS dan intervensi medis dalam kondisi yang tidak higienis.9
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infertilitas akibat IMS seperti infeksi gonokokus dan klamidia memiliki angka kejadian yang cukup tinggi di seluruh dunia. Infertilitas akibat IMS terjadi 3 kali lebih sering di Afrika, terutama di Afrika Sub-Sahara yang memiliki prevalensi tertinggi di seluruh dunia, dimana infeksi genital yang tidak diterapi merupakan 85% penyebab infertilitas. Pada penelitian di Afrika didapatkan 64% pasangan infertil disebabkan oleh IMS.4,5,9
Ga m ba r 2.1 Faktor Penyebab Infertilitas
Pengaruh IMS pada infertilitas merupakan hal yang cukup penting.
Infertilitas akibat IMS merupakan hal yang sering terjadi dan terutama disebabkan oleh organisme Chlamydia trachomatis dan Neisserria gonorrhoeae. Swinton, dkk.
menyampaikan bahwa 20% insiden IMS yang tidak diobati pada dewasa yang aktif secara seksual akan menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan populasi sebanyak 50% akibat adanya infertilitas.1,6,7 Infeksi menular seksual terutama mengenai traktus reproduksi dan kerusakan jaringan akibat infeksi dapat menyebabkan infertilitas. Patogen IMS dapat menyebabkan terjadinya penyakit radang panggul (PRP) yang mengakibatkan terjadinya pembuntuan tuba, yang menyebabkan infertilitas sekunder pada perempuan. Infertilitas tuba merupakan penyebab dari 30% kasus infertilitas pada perempuan. Infeksi menular seksual pada organ reproduksi laki-laki dapat menyebabkan gangguan pembentukan sperma serta dapat mengakibatkan pembentukan antibodi antisperma yang berperan pada terjadinya infertilitas.1,7,10
2.1.4 Diagnosis Infer tilitas
Deteksi dini infertilitas penting untuk menentukan evaluasi dan penatalaksanaan le bih lanjut. Langkah pertama dalam pemeriksaan infertilitas adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Setiap pasangan harus dievaluasi dan sebaiknya diperiksa secara terpisah. Perlu ditanyakan mengenai frekuensi hubungan seksual serta penggunaan lubrikan ataupun produk lain yang dapat mengganggu fertilitas.
Durasi infertilitas dan riwayat terjadinya kehamilan sebelumnya dapat mempengaruhi prognosis dan dapat membantu menentukan etiologi. Riwayat IMS sebelumnya perlu ditanyakan untuk memastikan penyebab infertilitas. Riwayat menstruasi, gaya hidup (misalnya merokok, konsumsi alkohol, kafein atau obat- obatan), riwayat medis dan psikologis dapat membantu menentukan pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan.1 ,4
Setiap kondisi yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap kualitas dan / atau kuantitas sperma perlu dicurigai sebagai penyebab infertilitas pada laki-laki.
Kunci diagnosis infertilitas pada laki-laki adalah melalui pemeriksaan analisis sperma. Pemeriksaan spermiogram mencakup konsentrasi, motilitas, morfologi,
kecepatan dari sperma dan volume semen. Parameter analisis sperma yang normal berdasarkan World Health Organization (WHO) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Pemeriksaan follicle-stimulating hormone (FSH), kadar testosteron dan kadar prolaktin dapat membantu membedakan hipogonadisme primer dan sekunder.2,4,12
Pada pasien dengan volume ejakulat yang sedikit, pemeriksaan urinalisis paska-ejakulasi dan ultrasonografi (USG) transrektal dapat membantu menentukan adanya ejakulasi retrograde dan obstruksi duktus ejakulatorius. Pemeriksaan USG skrotum juga dapat dilakukan bila dicurigai adanya abnormalitas testis atau skrotum. Parameter sperma yang abnormal seperti adanya aglutinasi, motilitas sperma yang rendah dan viabilitas sperma yang buruk merupakan indikasi untuk pemeriksaan antibodi antisperma (ASA). Antibodi ini dapat dideteksi di dalam serum atau sperma, dengan persentase sebanyak 34-74% pada serum dan 38-60%
terikat pada sperma, tetapi antibodi yang terikat pada sperma saja yang berpengaruh terhadap infertilitas. Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah lengkap (bila dicurigai adanya infeksi), pemeriksaan urin lengkap serta kultur gonore atau klamidia bila dicurigai adanya IMS.3,4,11
Tabel 2.1. Parameter Analisis Sperma yang Normal Berdasarkan WHO4
V a r ia bel Nilai Nor m al
Volume
Konsentrasi sperma Jumlah sperma total Motilitas sperma Morfologi sperma
> 2 ml
> 20 juta / ml
> 40 juta / ejakulat
> 50% motil dan/atau > 25% motil progresif
> 14% bentuk yang normal
Pemeriksaan infertilitas pada perempuan meliputi pemeriksaan fisik pada genitalia (seperti patensi tuba, adanya massa, nyeri serta ada / tidaknya duh tubuh), adanya gejala hiperandrogenisme serta pemeriksaan kadar hormon FSH, prolaktin, estradiol, thyroid stimulating hormone (TSH) dan testosteron. Pada pasien dengan polycystic ovarian syndrome (PCOS) biasanya didapatkan kadar FSH yang rendah, sedangkan kadar FSH yang tinggi biasanya didapatkan pada kerusakan ovarium.
Kadar prolaktin dapat menentukan adanya tumor pituitari, dan kadar TSH diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis hipotiroid. Kadar testosteron membantu evaluasi pasien dengan hipoandrogenisme dan tumor yang mensekresi androgen. Apabila pemeriksaan yang telah dilakukan tidak mendapatkan hasil yang abnormal, dapat dilakukan berbagai pemeriksaan imaging seperti USG, histerosalfingografi (HSG), histeroskopi, dan laparoskopi. Pemeriksaan imaging tersebut bertujuan untuk melihat adanya gambaran tuba atau uterus yang abnormal.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan duh tubuh serta kultur gonore atau klamidia bila dicurigai adanya IMS.4,7 ,12
2.2 In feksi Menu lar Sek sual 2.2.1 Definisi
Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan terutama melalui kontak seksual. Infeksi ini dapat disertai gejala klinis ataupun asimtomatis dan meliputi penyakit-penyakit menular yang ditransmisikan melalui kontak seksual.13,14
Infeksi menular seksual dapat ditularkan melalui kontak langsung; yaitu kontak dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular; melalui media lain seperti darah ataupun transmisi vertikal dari ibu ke janinnya.1 3,14
2.2.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri (C. trachomatis, N. gonorrhoeae, Gardnerella vaginalis, Treponema pallidum, Haemophilus ducreyi, Klebsiella), virus (herpes simpleks virus (HSV) tipe 1 dan 2, human papillomavirus (HPV), human immunodeficiency virus (HIV)), mikoplasma (Mycoplasma genitalium, Ureaplasma urealyticum), protozoa (Trichomonas vaginalis) dan jamur (Candida albicans).10,1 3,15
Penyebab IMS yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya infertilitas terutama N. gonorrhoeae dan C. trachomatis. Beberapa penyebab lain yang lebih
jarang ditemukan meliputi HPV, HSV, HIV, T. vaginalis, Gardnerella vaginalis, U.
urealyticum dan M. genitalium.6,10,15
2.2.3 In feksi Gonokoku s
Infeksi gonokokus merupakan penyakit infeksi terbanyak kedua setelah klamidia yang dilaporkan di Amerika Serikat. Rerata infeksi baru dikatakan semakin menurun sejak adanya program kontrol gonore nasional pada tahun 1970 dan semakin turun pada tahun 1990an. Saat ini didapatkan sekitar 100 kasus baru per 100.000 populasi. Infeksi ini terutama mengenai remaja dan dewasa muda yang aktif secara seksual dengan usia sekitar 15 hingga 24 tahun.16
2.2.3.1 Morfologi Neisser ia gon orr hoeae
Neisseria gonorrhoeae merupakan bakteri diplokokus gram negatif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, yang tumbuh berpasangan dengan berhadapan pada sisi yang datar. Organisme ini biasanya terdapat intraseluler di dalam leukosit polimorfonuklear. Bakteri ini memiliki bermacam-macam tipe koloni saat ditumbuhkan dalam media agar. Koloni bakteri dapat dibedakan berdasarkan ukuran dan opasitas. Berdasarkan ukuran, bakteri ini dibagi menjadi ukuran besar yang tidak mempunyai pili (p-) dan ukuran kecil yang mempunyai pili (p+).
Bakteri gonokokus yang memiliki pili bersifat lebih invasif karena adanya peningkatan adesi ke jaringan sel pejamu. Berdasarkan opasitas, bakteri ini terbagi menjadi koloni opaque (Op) yang lebih gelap dan koloni transparent (Tr). Bakteri N. gonorrhoeae membutuhkan zat besi untuk tumbuh dan tidak dapat tumbuh pada lingkungan yang kering dan suhu yang rendah. Pembiakan bakteri ini dapat dilakukan dalam media Thayer Martin dengan suhu optimal 35-370C pada 5%
CO2 atmosfer dengan pH antara 6,5-7,5.17,18
Saat dilihat menggunakan mikroskop elektron, bakteri gonokokus memiliki membran luar seperti bakteri gram negatif lain yang melapisi lapisan peptidoglikan dan membran sitoplasmik. Bakteri ini memiliki beberapa komponen pada membrannya yang berperan penting pada proses patogenesis infeksi. Pili merupakan bagian patogenik yang terpenting dari gonokokus yang terlibat dalam
perlekatan bakteri ke sel epitel, invasi atau sebagai target dari pertahanan imun pejamu.16,18
2.2.3.2 Patogen esis Infek si Gon okokus
Manusia merupakan satu-satunya pejamu alami dari bakteri gonokokus. Infeksi oleh bakteri gonokokus ditularkan terutama melalui hubungan seksual atau secara vertikal dari ibu ke bayi selama proses persalinan. Bakteri gonokokus hanya menyerang membran mukosa yang tertutup oleh sel epitel kolumner atau kuboid.16,1 7
Patogenesis infeksi ini diawali dengan perlekatan bakteri ke sel epitel kolumner melalui pili atau fimbria, sehingga bakteri gonokokus tidak mudah terlepas dari permukaan mukosa. Protein membran luar seperti PilC dan Opa pada bakteri membantu dalam perlekatan dan invasi lokal. Lokasi perlekatan yang utama adalah pada sel mukosa traktus urogenital laki-laki dan perempuan.
Gonokokus meningkatkan integrin pada sel target sehingga menghambat shedding sel mukosa. Selain itu, bakteri ini juga mampu untuk masuk dan bertahan di dalam aliran darah, melawan mekanisme pertahanan normal, termasuk antibodi, komplemen, dan transferin. Pada membran luar terdapat lipooligosakarida (LOS) yang dilepaskan oleh bakteri pada saat replikasi, yang meningkatkan infektivitas.16,18,19
G a mba r 2.2 Patogenesis infeksi gonore19
Setelah berada didalam sel, organisme akan menjalani replikasi dan dapat tumbuh pada lingkungan aerobik ataupun anaerobik dan menimbulkan respon inflamasi. Berbagai produk ekstraseluler seperti enzim fosfolipase, peptidase dan peptidoglikan juga dihasilkan oleh bakteri gonokokus yang membuat bakteri ini mampu merusak sel pejamu. Diluar sel, bakteri rentan terhadap perubahan suhu, sinar ultraviolet dan kondisi kering.17,18
2.2.3.3 Manifest asi Klinis Infek si Gon okokus
Infeksi gonokokus dapat mengenai berbagai kelompok usia, dengan prevalensi tertinggi pada usia 15 hingga 24 tahun. Infeksi gonokokus memiliki manifestasi klinis yang luas, meliputi infeksi asimtomatis, infeksi simtomatis mukosa lokal, serta penyebaran sistemik. Sekitar 10% laki-laki dan 50% perempuan yang terinfeksi bakteri gonokokus tidak menunjukkan gejala dan bersifat asimtomatis.
Infeksi lokal pada laki-laki yang utama adalah pada uretra, sedangkan pada perempuan biasanya terjadi infeksi pada serviks atau uretra.17 ,20
2.2.3.3.1 In feksi Pada Laki-lak i
Manifestasi infeksi gonokokus yang paling umum pada laki-laki adalah uretritis anterior akut. Sebagian besar laki-laki menderita gejala ini dalam waktu 2-8 hari setelah paparan. Gejala yang dominan adalah berupa duh tubuh uretra atau disuria.
Pada sebagian besar laki-laki, duh tubuh uretra tampak purulen dan banyak.
Inflamasi membran mukosa pada uretra anterior menimbulkan rasa nyeri saat buang air kencing (BAK) dan juga kemerahan dan bengkak pada daerah sekitarnya. Dapat dikeluhkan nyeri dan bengkak pada testis unilateral yang mengindikasikan epididimitis atau orkitis. Bila tidak diobati, gejala klinis akan menghilang dalam waktu 6 bulan.18 ,19 ,20
2.2.3.3.2 In feksi Pada P er empu an
Infeksi N. gonorrhoeae pada perempuan sering menyebabkan infeksi yang asimtomatis. Masa inkubasi infeksi urogenital gonore pada perempuan sulit
ditentukan dan bervariasi dibandingkan dengan laki-laki, tetapi sebagian besar menunjukkan gejala lokal dalam waktu 10 hari setelah infeksi. Infeksi lokal paling sering terjadi pada endoserviks. Gejala uretritis pada perempuan meliputi peningkatan duh tubuh vagina, pruritus pada vagina, disuria, perdarahan uterus intermenstrual dan menoragi. Lokasi infeksi lain adalah pada kelenjar Bartholin dan Skene, yang menyebabkan bengkak dan nyeri. Infeksi dapat terjadi pada traktus genitalia bagian atas, meliputi uterus, tuba falopi dan ovarium. Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat duh tubuh purulen atau mukopurulen pada serviks, eritema dan edema serta perdarahan mukosa endoserviks. Infeksi yang tidak diobati dapat menyebabkan terjadinya PRP yang berhubungan dengan kerusakan tuba falopi dan infertilitas.17 ,18,21
2.2.3.4 Diagnosis Infeksi Gonokok us
Diagnosis infeksi gonokokus ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang laboratorium infeksi gonokokus bergantung pada identifikasi N. gonorrhoeae pada daerah yang terinfeksi dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis hapusan, kultur, atau dengan imunokimia atau deteksi genetik dari mikroorganisme.2 0
Hapusan dengan menggunakan pewarnaan Gram akan menunjukkan adanya bakteri diplokokus gram negatif, baik intraseluler maupun ekstraseluler.
Pemeriksaan ini dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan kultur menggunakan media agar Thayer Martin modifikasi, dengan sensitivitas 80-95%. Saat ini telah tersedia pemeriksaan non kultur untuk mendiagnosis infeksi gonokokus, dengan sensitivitas yang lebih tinggi daripada kultur dan dapat digunakan secara simultan untuk mendeteksi adanya C. trachomatis. Pemeriksaan nonamplified DNA probe memiliki sensitivitas sebesar 89-97% dan spesifisitas 99% dengan biaya yang sama dengan kultur. Pemeriksaan lain seperti nucleic acid amplification test (NAAT), polymerase chain reaction (PCR) dan transcription-mediated amplification (TMA) telah banyak dikembangkan. Teknologi NAAT memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kultur, yaitu nilai sensitivitas yang lebih tinggi sehingga sesuai untuk uji skrining, spesimen tidak membutuhkan
organisme yang hidup, dapat menggunakan spesimen yang tidak invasif seperti urin dan juga dapat mendeteksi C. trachomatis. Tetapi pemeriksaan NAAT ini juga memiliki beberapa kekurangan, diantaranya tidak adanya data resistensi antibiotika serta biaya yang tinggi.17,19,22
2.2.4 In feksi Klamidia
Infeksi C. trachomatis merupakan salah satu IMS yang sering ditemukan di seluruh dunia. Insiden infeksi klamidia semakin meningkat sejak tahun 1990an.
Didapatkan 409 kasus dari 100.000 populasi di AS pada tahun 2009.16,23 Infeksi genital biasanya disebabkan oleh serotipe B dan D sampai K. Infeksi klamidia sebagian besar bersifat asimtomatik sehingga infeksi dapat tidak terdeteksi dan bertahan dalam waktu lama. Infeksi klamidia ditemukan pada 20-23% pasien klinik IMS. Adanya multiseksual partner, kurangnya pemakaian kondom dan adanya konkurensi infeksi gonokokus diketahui berhubungan dengan infeksi klamidia.24,25
2.2.4.1 Morfologi Chlamyd ia tr ach omatis
C. trachomatis merupakan bakteri gram negatif intraselular obligat yang berbentuk bulat atau ovoid. Antigenitas klamidia ditentukan oleh membran luar yang terdiri atas lipopolisakarida (LPS) dan protein yang meliputi major outer membrane protein (MOMP). Klamidia memiliki DNA dan RNA dan menggandakan diri secara berpasangan. Dinding sel klamidia tidak mengandung peptidoglikan sehingga rentan terhadap berbagai agen antimikrobial.24,26
Didapatkan juga bentuk klamidia atipikal yang berukuran besar, non- infeksius dan tidak bereplikasi. Bentuk atipikal ini memiliki antigen MOMP dan LPS yang rendah namun didapatkan produksi heat shock protein 60 (Hsp60) klamidial yang tinggi yang menyebabkan inflamasi kronis dan pembentukan jaringan parut.27,28
2.2.4.2 Patogen esis Infek si Klam idia
Transmisi C. trachomatis biasanya melalui kontak antarmukosa pada kontak seksual ataupun dari ibu ke janinnya pada saat persalinan. C. trachomatis merupakan imunogen yang kuat yang dapat menstimulasi respon imun seluler dan humoral sehingga memicu pembentukan antibodi serta aktivasi sel T. Infeksi C.
trachomatis dapat merupakan infeksi primer ataupun infeksi kronis.23,27
Sel target dari infeksi genital C.trachomatis adalah sel epitel skuamo- kolumnar. Infeksi diawali dengan masuknya partikel infeksius (elementary body;
EB) ke dalam epitel, yang kemudian bermigrasi ke kompleks Golgi dimana EB berdiferensiasi menjadi reticulate body (RB) yang aktif bereplikasi namun tidak infeksius. Setelah bereplikasi, RB akan berdiferensiasi kembali menjadi EB dan menyebarkan infeksi ke sel yang berdekatan. Pada infeksi primer akan terjadi kerusakan sel epitel yang memicu pelepasan sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL)-1, IL6, IL8, tumor necrosis factor (TNF)-αdan granulocyte- macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Pelepasan sitokin ini akan menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas endotelial, aktivasi neutrofil, monosit dan limfosit T serta peningkatan ekspresi molekul adhesi. Pada saat yang sama, klamidia akan bergerak menuju limfodi. Beberapa mikroorganisme tersebar pada daerah interselular sehingga tidak dikenali oleh sistem imun. Hal ini menyebabkan persistensi infeksi klamidia serta rekurensi.24,28,29
G a mba r 2.3. Patogenesis infeksi klamidia pada traktus reproduksi perempuan.29
G a mba r 2.4. Respon imun pejamu terhadap infeksi klamidia
Pada infeksi kronis berhubungan dengan persistensi C. trachomatis pada sel pejamu, rekurensi ataupun reinfeksi. Pada C. trachomatis persisten, gen chlamydia HSP 60 (CHSP60) akan mengalami upregulasi dan dilepaskan ke jaringan. Didapatkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada infeksi klamidia jangka panjang. Proses ini menyebabkan kerusakan jaringan, fibrosis dan pembentukan jaringan parut pada organ yang terkena. Reinfeksi terjadi karena infeksi berulang. Pada saat reinfeksi, sel pejamu akan melepaskan kemokin yang akan menarik sel-sel imun yang spesifik klamidia yang kemudian meningkatkan responnya. Rekurensi disebabkan adanya reservoir klamidia pada limfonodi dan lien.24,26,27
2.2.4.3 Manifest asi Klinis Infek si Klam idia
Diagnosis klinis infeksi klamidia cukup sulit karena infeksi ini bersifat asimtomatik pada 70% perempuan dan 50% laki-laki. Infeksi ini terutama menyerang mukosa seperti serviks dan uretra. Gejala biasanya tampak 2 sampai 6 minggu setelah infeksi. Pada infeksi klamidia yang tidak diobati dapat terjadi sindroma Reiter, suatu artritis reaktif dengan trias berupa uretritis atau servisitis, konjungtivitis dan erupsi mukopurulen yang tidak nyeri pada telapak tangan dan kaki.28,30
2.2.4.3.1 In feksi Pada Laki-lak i
Pada tahun 1981, Centers for Disease Control (CDC) melaporkan 2.1 juta kasus uretritis nongonokokal dan 25-75% diantaranya merupakan infeksi klamidia.
Infeksi klamidia pada laki-laki bermanifestasi sebagai uretritis pada 55% pasien dan pada beberapa kasus juga dapat terjadi epididimitis dan orkitis.25,2 7
Pada uretritis didapatkan keluhan disuria, gatal dan duh tubuh yang berwarna bening sampai putih. Pada epididimitis didapatkan keluhan demam, nyeri dan bengkak pada testis unilateral dan eritema pada skrotum. Epididimitis tidak selalu diawali dengan gejala uretritis dan pada kasus yang jarang dapat disertai peningkatan leukosit pada duh tubuh uretra. Jika tidak diobati, epididimitis dapat berkembang menjadi epididimo-orkitis. Pada pasien usia muda harus disingkirkan kemungkinan torsio. Epididimo-orkitis memiliki manifestasi klinis yang lebih ringan dibandingkan torsio yaitu tidak adanya mual atau muntah, nyeri dirasakan bertahap dan didapatkan eritema dan edema.28,30,31
2.2.4.3.2 In feksi Pada P er empu an
Infeksi C.trachomatis sering ditemukan pada perempuan muda, karena pada serviks perempuan yang lebih muda taut skuamo-kolumnar lebih terekspos. Pada perempuan dengan infeksi klamidia tanpa komplikasi biasanya didapatkan duh tubuh vagina yang mukoid dan tidak berbau serta tidak gatal. Jika didapatkan keterlibatan uretra dapat ditemukan keluhan disuria tanpa urgensi. Pada kasus yang jarang dapat terjadi bartolinitis. Infeksi yang tidak diobati dapat menyebabkan PRP yang dapat memicu terjadinya nyeri panggul berat, kehamilan ektopik dan infertilitas. Jika infeksi telah berkembang menjadi PRP dapat ditemukan keluhan nyeri abdominal, demam, dispareunia, siklus menstruasi yang memanjang dan perdarahan intermenstrual.25,27,32
2.2.4.4 Diagnosis Infeksi Klamid ia
Diagn osis ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan penderita, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang . Pemeriksaan fisik pada laki-laki didapatkan duh tubuh mukopurulen yang pada pemeriksaan gram didapatkan leukosit >5/lapang
pandang dan tidak didapatkan diplokokus gram negatif. Pemeriksaan fisik pada perempuan dapat ditemukan servisitis dengan duh tubuh mukoid dan berwarna bening hingga kekuningan serta edema serviks. Pada pemeriksaan urin dapat ditemukan leukosit > 5/lapang pandang.25,26,3 2
Tes spesifik untuk klamidia diantaranya kultur bakteri, direct fluorescent test (DFA), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan molekular seperti polymerase chain reaction (PCR) dan nucleic acid amplification test (NAAT). Tes non-spesifik diantaranya tes leukosit esterase (LE).24,25,28
Centers for Disease Control merekomendasikan bahwa setiap pasien yang didiagnosis positif menderita infeksi klamidia, sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi gonore. Hal ini disebabkan karena pada infeksi klamidia sering didapatkan konkurensi dengan gonore.22
2.3 Hubu ngan antara Infer tilitas d an In feksi Menu lar Sek sual
Infertilitas menjadi masalah kesehatan yang sering terjadi pada saat ini.
Peningkatan infertilitas didapatkan berkaitan dengan peningkatan kejadian IMS.
Pada daerah dengan angka kejadian infeksi gonokokus dan/atau klamidia yang tinggi, didapatkan pula tingkat infertilitas yang tinggi. Hal ini terjadi terutama pada daerah yang memiliki prevalensi tinggi IMS yang tidak diobati sehingga menyebabkan komplikasi pada organ reproduksi. Infeksi gonokokus dan klamidia dengan komplikasi ini mempengaruhi fertilitas manusia terutama melalui infeksi traktus genitalia bagian atas pada perempuan dan melalui obstruksi epididimis pada laki-laki. Pada studi WHO didapatkan bahwa prevalensi infeksi klamidia pada perempuan infertil adalah sebesar 20-70% dan pada 62% perempuan infertil dengan oklusi tuba bilateral didapatkan antibodi terhadap N. gonorrhoeae.1,5,6
Ga m ba r 2.5 Hubungan antara infeksi menular seksual dengan infertilitas1
2.3.1 In fertilitas pad a Laki-laki
Infeksi pada traktus genitourinarius menyebabkan 15% kasus infertilitas pada laki-laki. Infeksi dapat mengenai berbagai daerah traktus reproduktif, seperti testis, epididimis, dan kelenjar seks aksesoris. Adanya paparan patogen maupun sel radang dan mediator-mediatornya terhadap testis dan epididimis dapat mengganggu fungsi reproduktif laki-laki.5,13
Infeksi kelenjar seks aksesoris laki-laki atau male accesory gland infection (MAGI) meliputi prostatitis, uretritis, epididimitis dan orkitis. Adanya MAGI dapat mempengaruhi kualitas sperma dalam berbagai mekanisme, termasuk penurunan fungsi kelenjar aksesori, obstruksi transpor sperma dan disregulasi spermatogenesis. Infertilitas pada laki-laki terutama dikaitkan dengan epididimitis.
Inflamasi pada epididimis dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi epididimis yang menyebabkan gangguan pada perkembangan sperma yang normal dan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya azoospermia obstruktif. Pada epididimitis duktus epididimis akan terisi dengan leukosit mononuklear dan polimorfonuklear yang secara aktif memfagosit sperma. Selain itu, pada epididimitis juga didapatkan adanya sekresi dari beberapa sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-1b, dan TNFa.10,33,34
Orkitis sebagai penyebaran epididimitis akut terjadi pada 60% pasien.
Orkitis adalah inflamasi pada testis. Testis memiliki dua fungsi utama yaitu untuk pembentukan gamet (spermatozoa) dan produksi serta mengontrol pengeluaran hormon seks steroid (terutama androgen). Komplikasi orkitis dapat menyebabkan
atrofi atau infark testis dan mempengaruhi fertilitas. Pembuntuan vas deferen mengakibatkan terjadinya oligospermia atau azoospermia.5,15,35
2.3.1.1 In fertilitas Laki-laki Akibat Infeksi Gonok okus
Data epidemiologi menunjukkan bahwa pada laki-laki dengan riwayat duh tubuh uretra dan nyeri saat BAK yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat, lebih sering terjadi infertilitas dibandingkan dengan mereka yang mendapat pengobatan yang adekuat. Berbagai literatur telah melaporkan hubungan antara infeksi gonokokus dengan kejadian infertilitas pada laki-laki serta efeknya pada parameter sperma. N. gonorrhoeae pada awalnya menyebabkan infeksi pada traktus genitalia bagian bawah laki-laki, berupa infeksi akut pada uretra.6,10,15
Ga m bar 2.6. Infertilitas laki-laki akibat infeksi gonokokus.10
Pengobatan uretritis akut yang tidak adekuat dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut dan obstruksi kanal epididimis yang dapat menetap setelah pengobatan. Selain itu infeksi dapat menyebar ke traktus genitalia bagian atas dan menyebabkan epididimitis, orkitis dan disfungsi testis. Jika terjadi secara bilateral, infeksi dapat menyebabkan azoospermia obstruktif serta mempengaruhi spermatozoa pada berbagai tingkat perkembangan, maturasi, dan transpor melalui berbagai mekanisme seperti kondensasi inti sperma, fragmentasi inti, penurunan motilitas sperma dan apoptosis.5,15,35
Epididimitis akibat infeksi gonokokus menyebabkan terjadinya fibrosis peritubuler dan akhirnya mengakibatkan obstruksi pada saluran semen yang menyebabkan terjadinya infertilitas. Selain itu, epididimitis kronis akibat infeksi gonokokus juga mempengaruhi beberapa fungsi sperma yang penting (Tabel 2.2).10 ,33
Tabel 2.2. Perubahan parameter semen pada inflamasi epididimis kronis.33
Penurunan jumlah sperma Penurunan motilitas sperma
Pengecatan flagel atipikal meningkat
Gangguan pada integritas DN A dan peningkatan apoptosis spermatozoa, reaksi akrosom patologik
Jumlah leukosit meningkat Elastase granulosit meningkat
Sitokin proinflamasi (seperti IL-6, IL- 8) meningkat a-glikosidase menurun
Mikroorganisme patogen +
Lipopolisakarida (LPS) gonokokus diketahui dapat menurunkan ekspresi dari b-defensin yang ada pada epididimis, terutama SPAG11E. Hal ini mengakibatkan gangguan motilitas sperma dan dapat menyebabkan infertilitas.
Inflamasi pada testis akan mengganggu spermatogenesis serta mengubah jumlah dan kualitas sperma, meliputi kepadatan, motilitas, dan morfologi sperma serta menyebabkan jumlah semen yang tidak adekuat dan selanjutnya terjadi infertilitas.
Uretritis gonokokus pada laki-laki yang disertai dengan orkitis menunjukkan adanya gangguan testis yang berat setelah 2 tahun dan terjadi oligospermia atau
azoospermia yang persisten pada 8-27% pasien yang akhirnya berdampak pada terjadinya infertilitas.1 5,34,36
2.3.1.2 In fertilitas Laki-laki Akibat Infeksi Klam idia
Uretritis non-gonokokal merupakan penyakit yang sering terjadi pada laki-laki dengan penyebab utama adalah C. trachomatis. C. trachomatis dapat menyebabkan uretritis, epididimitis dan orkitis pada laki-laki. Epididimis berperan penting dalam maturasi dan transpor sperma sehingga obstruksi pada struktur ini akan mempengaruhi fungsi dan transpor sperma yang bermanifestasi sebagai oligozoospermia atau azoospermia. Obstruksi epididimis bilateral biasanya terjadi akibat infeksi C. trachomatis rekuren. Jika tidak diobati, infeksi ini akan berlanjut menjadi epididimo-orkitis. Selain itu, ruptur pada duktus epididimis akan mengganggu sawar darah testis yang akan menyebabkan aktivasi respon imun dan menginduksi pembentukan antibodi anti-sperma (ASA). Terbentuknya ASA akan memicu imobilisasi atau aglutinasi spermatozoa yang akan mengganggu motilitas serta fungsi sperma. Adanya ASA juga dapat menghalangi proses implantasi serta mengganggu perkembangan embrio.23,31,37
G am ba r 2.7. Infertilitas laki-laki akibat infeksi klamidia37
Infeksi klamidia kronis pada testis akan menyebabkan orkitis sehingga terjadi gangguan pada proses spermatogenesis (penurunan motilitas, peningkatan proporsi sperma yang abnormal, penurunan densitas, gangguan morfologi dan viabilitas serta peningkatan risiko leukositospermia) yang akan mempengaruhi fertilitas. Pada penelitian Kokab, dkk. didapatkan bahwa pada laki-laki dengan infeksi klamidia terjadi penurunan motilitas sperma yang progresif, peningkatan jumlah leukosit serta peningkatan IL-8.23,28,38
Infeksi klamidia juga dapat merusak sperma secara langsung berupa gangguan parameter dan gangguan fragmentasi DNA yang menyebabkan kematian sperma. Infeksi C.trachomatis diketahui dapat mengganggu fungsi sperma dengan meningkatkan fosforilasi tirosin yang berakibat pada kematian sperma. Pada beberapa studi didapatkan imunoglobulin dan ASA pada plasma seminal sebagai respon terhadap inflamasi. Didapatkan juga penurunan karnitin, zinc, fruktosa dan alfa glukosidase. Pada suatu studi didapatkan bahwa adanya Hsp-60 klamidia pada semen laki-laki berkorelasi positif dengan imunoglobulin (Ig)-A antiklamidia. Antibodi terhadap C. trachomatis juga dapat menurunkan motilitas sperma, peningkatan kematian spermatozoa, peningkatan leukositospermia, penurunan konsentrasi sperma dan peningkatan indeks teratozoospermia.24,28
2.3.2 In fertilitas pad a P eremp uan
Infertilitas dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, baik primer maupun sekunder, namun pada beberapa kelompok masyarakat masih menganggap bahwa infertilitas hanyalah masalah pada perempuan. Pada tahun 2004 WHO menyatakan bahwa lebih dari 186 juta perempuan di negara maju yang telah menikah mengalami infertilitas. Meskipun infertilitas bukan merupakan penyakit yang mengancam nyawa, namun memiliki konsekuensi yang cukup berat bagi pasangan yang mengalaminya, terutama pada perempuan.2,5,39
Infeksi menular seksual merupakan salah satu faktor penyebab infertilitas pada perempuan. Infeksi gonokokus ataupun klamidia yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi seperti salfingitis dan PRP, yang kemudian berperan
pada terjadinya infertilitas. Infertilitas pada serviks meliputi ketidakmampuan spermatozoa untuk menuju uterus karena adanya kerusakan serviks atau faktor- faktor servikal seperti stenosis serviks, mukus servikal yang tidak adekuat, adanya IMS dan ASA. Infertilitas tuba mengacu pada infertilitas yang disebabkan kerusakan tuba falopi meliputi adhesi tuba, gangguan motilitas tuba atau penyumbatan kanal tuba.1,5,7
2.3.2.1 In fertilitas Per empuan Ak ibat Infeksi Gonok okus
N. gonorrhoeae merupakan penyebab IMS yang paling sering menyebabkan infertilitas tuba pada era sebelum ditemukannya antibiotika, yaitu sebanyak 50%
kasus. Sejak adanya antibiotika, insiden infertilitas akibat infeksi gonokokus telah menurun hingga sekitar 10-15%. Di AS, insiden infertilitas sebesar 10 dari 1000 perempuan dengan usia antara 15 hingga 29 tahun.1,4
Pada perempuan, N. gonorrhoeae menyebabkan radang pada mukosa traktus urogenitalia, yaitu berupa servisitis maupun uretritis. Apabila tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat, maka infeksi ini akan naik ke traktus genitalia bagian atas dan menyebabkan komplikasi seperti salfingitis dan PRP. Infeksi yang tidak diobati juga dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut pada uterus.
Penyakit radang panggul merupakan komplikasi paling sering dengan manifestasi yang akut dan dapat menyebabkan sekuele jangka panjang seperti infertilitas, kehamilan ektopik dan nyeri panggul kronis.17 ,19,40
Ga m bar 2.8 da n 2.9. Infertilitas perempuan akibat infeksi gonokokus.19
Pada awalnya N. gonorrhoeae menempel pada sel mukosa tuba yang tidak bersilia yang diperantarai oleh pili dan protein Opa, namun kemudian merusak sel bersilia yang berperan penting dalam transpor sel telur yang telah dibuahi menuju uterus. Proses ini diperantarai oleh LPS yang diekspresikan pada permukaan gonokokus yang memiliki target pada sel bersilia, serta melalui upregulasi produksi TNFα yang secara selektif memiliki target pada sel bersilia. N.
gonorrhoeae menginduksi ekspresi dari sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1α, IL-1βdan TNFα. Peningkatan TNFαmengakibatkan penurunan aktivitas sel epitel bersilia sehingga mengganggu proses transpor tuba. Tumor nekrosis faktor-α menginduksi apoptosis dari sel epitel tuba falopi yang menunjukkan pertahanan pejamu yang melindungi terhadap kerusakan tuba, namun gonokokus dapat memodulasi dan menghambat kerusakan yang disebabkan TNFαsehingga dapat melanjutkan perjalanan infeksi.1,6,36
2.3.2.2 In fertilitas Per empuan Ak ibat Infeksi Klam idia
Pada sekitar 38% perempuan dengan infeksi traktus genitalia akibat klamidia akan terjadi infertilitas. Infeksi klamidia sering dihubungkan dengan kejadian infertilitas tuba dan didapatkan pada 70-85% pasien. Penyakit radang panggul akibat klamidia merupakan penyebab utama infertilitas. Setelah episode pertama PRP akibat infeksi klamidia, risiko terjadinya infertilitas tuba dan kehamilan ektopik adalah sekitar 10% dan episode berulang akan meningkatkan risiko.
Meskipun kebanyakan pasien asimtomatis, tetapi infeksi klamidia persisten atau reinfeksi akan menyebabkan kerusakan tuba yang lebih berat dibandingkan penyebab lain. Didapatkan bukti-bukti yang menghubungkan antara tingginya titer antibodi antiklamidia dengan kehamilan ektopik dan keparahan salfingitis atau PRP.1,10
Inflamasi pada tuba falopi akan menyebabkan degenerasi epitel dan desiliasi sel. Antigen CHSP-60 merupakan antigen sel T poten yang mampu untuk menyebabkan respon inflamasi yang berat bila diaplikasikan pada permukaan mukosa tuba falopi. Edema tuba falopi memicu aglutinasi intraluminal serta endosalfingitis yang kemudian menyebabkan clubbing pada fimbria serta
obstruksi tuba komplit atau parsial. Peritonitis yang disebabkan oleh klamidia dapat menimbulkan eksudat fibrinosa pada permukaan mukosa uterus, tuba falopi dan ovarium sehingga terjadi perlekatan yang biasanya dikaitkan dengan keluhan nyeri panggul. Respon sitokin Th-1 didapatkan pada salfingitis klamidial, dan selain membunuh dan membersihkan klamidia, IFNγjuga dapat menyebabkan fibrosis.1,23,32
G am ba r 2.10 Infertilitas perempuan akibat infeksi klamidia
Pada klamidia persisten, paparan CHSP60 jangka panjang akan menimbulkan respon imun terhadap asam amino yang juga didapatkan pada HSP60 manusia. Respon imun ini akan memicu respon imun terhadap HSP60 manusia yang diekspresikan pada embrio dan menyebabkan keguguran. Antigen CHSP60 berkaitan dengan PRP akut dan berhubungan dengan keparahan infeksi serta kerusakan jaringan.23,27,30
Kerusakan tuba dapat didiagnosis melalui histerosalfingografi (HSG) ataupun laparoskopi. Untuk mendiagnosis patensi tuba, spesifisitas HSG sebesar 83% dan sensitivitas 65%.25,2 6
2.3.2.3 Penyak it Radang P anggul (P RP)
Penyakit radang panggul merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada perempuan usia reproduktif. Penyakit ini merupakan spektrum dari infeksi traktus genital atas yang meliputi endometritis, salfingitis, abses tubo-ovarium, peritonitis
2. Inflamasi berlangsung selama 1-6minggu (eritema, edema),
namunsering tidak menimbulkan gejala. Bakteri kemudian menuju tuba falopi.
3. Terbentuk jaringan parut yang menyumbat tuba falopi
Tub
pelvis, periapendisitis dan perihepatitis. Di Amerika Serikat, terdapat 770.000 kasus PRP akut yang terdiagnosis setiap tahun. Penyakit ini diketahui berhubungan dengan kerusakan tuba falopi dan selanjutnya infertilitas.1,5,36
Penyebab tersering PRP adalah infeksi N. gonorrhoeae dan C. trachomatis.
Infeksi klamidia didapatkan pada 40% kasus PRP. Pada 20% perempuan dengan infeksi traktus genitalia bagian bawah akibat klamidia akan terjadi PRP dan 4%
diantaranya akan terjadi nyeri panggul kronis. Infeksi gonore pada perempuan menyebabkan uretritis dan servisitis, dan PRP akut terjadi melalui penyebaran bakteri secara kanalikuler, dari endoserviks ke endometrium, tuba falopi dan kemudian mengenai struktur sekitarnya (Gambar 2.3). Servisitis kronis dan asimtomatis membentuk tempat penyimpanan bagi bakteri dan dapat mengganggu fungsi sperma ketika berada di tuba falopi. Organisme aerob dan anaerob yang secara normal berada di dalam vagina akan naik dan menyebabkan infeksi di dalam tuba falopi.1,41,42
Pada PRP akut biasanya didapatkan keluhan nyeri perut bawah atau pelvis, duh tubuh abnormal, perdarahan intermenstrual, perdarahan paska koitus, disuria, demam, mual, muntah atau nyeri punggung bawah. Dari pemeriksaan didapatkan adanya suhu tubuh lebih dari 38,30C, peningkatan C-reactive protein (CRP), adanya N. gonorrhoeae atau C.trachomatis.31,42
Ga m ba r 2.11 Skema hubungan antara IMS dengan PRP dan sekuele lanjut.4 1
Penyakit radang panggul merupakan penyebab infertilitas tuba, kehamilan ektopik dan nyeri panggul kronis. Diantara perempuan yang mengalami PRP, skar
pada tuba uterus dapat menyebabkan infertilitas sebanyak 20%, kehamilan ektopik sebanyak 9%, dan nyeri pelvis yang kronis pada 18% penderita. Suatu studi di Swedia mencatat bahwa sekitar 11% perempuan yang didiagnosis PRP akut selanjutnya akan menjadi infertil karena oklusi tuba falopi. Semakin sering seorang perempuan mengalami PRP akut, semakin tinggi pula risiko terjadinya infertilitas. Laju infertilitas yang terjadi setelah satu kali PRP akut adalah 8%, sementara kejadian PRP kedua dan ketiga akan meningkatkan laju infertilitas menjadi 19.5% dan 40%. Keparahan inflamasi juga berkorelasi langsung dengan infertilitas.1,4 3
2.3.4 Pencegahan dan P en atalaksanaan In fertilitas akibat Infek si Menular Seksual
Pencegahan infertilitas meliputi promosi kesehatan reproduksi pada laki-laki dan perempuan mengenai gaya hidup sehat, pemeriksaan teratur untuk mendeteksi infeksi atau penyakit lain, pengobatan terhadap penyakit yang telah ada sebelumnya, pencegahan dan terapi IMS. Diperlukan pendekatan komprehensif terhadap skrining IMS, pengobatan, pencegahan dan edukasi mengenai IMS untuk mencegah infertilitas. Infeksi menular seksual dapat dicegah dengan mempraktekkan hubungan seks yang aman, tidak berganti-ganti pasangan seksual ataupun menggunakan kondom serta skrining rutin terhadap individu yang berisiko.7,42
Pengobatan infeksi gonokokus ataupun klamidia yang dini dapat mencegah terjadinya berbagai macam komplikasi, termasuk infertilitas.
Pengobatan sebaiknya segera diberikan setelah diagnosis ditegakkan, karena pencegahan sekuele jangka panjang seperti PRP ataupun infertilitas bergantung pada pemberian terapi yang cepat dan tepat. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya infertilitas akibat IMS diperlukan diagnosis dini dengan melakukan skrining pada pasien. Deteksi dini dan pengobatan terhadap kasus asimtomatis akan mencegah infeksi asendens yang akan mengganggu fertilitas. Edukasi tentang seks kepada pasangan muda dan remaja mengenai aktivitas seksual serta penggunaan kontrasepsi barier akan menurunkan angka kejadian IMS.5,7,44
Penatalaksanaan infertilitas meliputi edukasi kepada pasangan infertil mengenai frekuensi hubungan seksual yang ideal selama masa subur serta tidak menggunakan bahan-bahan seperti lubrikan ataupun vaginal douche. Kepada pasangan juga dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol ataupun obat-obatan, tidak merokok serta mengurangi konsumsi kafein. Kepada pasangan perlu diberikan dukungan emosional karena infertilitas biasanya mencetuskan stres dan rasa sedih ataupun perasaan bersalah.2 ,4,12
Penatalaksanaan yang lebih spesifik diberikan sesuai kondisi yang menyebabkan infertilitas baik pada laki-laki maupun perempuan. Untuk infertilitas akibat komplikasi IMS, pemberian antibiotik yang sesuai dapat mengatasi inflamasi pada traktus genitalia. Pada PRP akut sebaiknya dipilih regimen antibiotika yang efektif terhadap N.gonorrhoeae, C. trachomatis serta bakteri anaerob.2 2,41
Bila telah terjadi infertilitas akibat faktor tuba dapat dipertimbangkan prosedur pembedahan reparatif tuba. Alternatif lain meliputi inseminasi intrauterin ataupun fertilisasi in vitro (bayi tabung).4,12
BAB III RINGKASAN
Infertilitas merupakan masalah yang cukup sering ditemukan di seluruh dunia dan mengenai 60 hingga 160 juta individu. Kebanyakan penderita infertilitas didapatkan pada negara berkembang. Berbagai macam infeksi, termasuk IMS dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. N. gonorrhoeae dan C. trachomatis merupakan bakteri penyebab IMS yang sering menjadi penyebab infertilitas.
Infeksi kronis dari bakteri ini dapat mengakibatkan komplikasi yang pada akhirnya menimbulkan masalah infertilitas, baik pada laki-laki maupun perempuan. Epididimitis dan orkitis merupakan komplikasi IMS pada laki-laki yang paling sering menimbulkan infertilitas. Hal ini terjadi karena adanya kerusakan pada traktus genitalia ataupun efek terhadap fungsi sperma secara langsung. Pada perempuan komplikasi IMS tersering berupa PRP yang menyebabkan kerusakan tuba falopi dan serviks yang selanjutnya menyebabkan infertilitas.
Untuk mengurangi angka kejadian infertilitas akibat IMS diperlukan pencegahan serta penanganan infeksi yang cepat dan tepat. Diagnosis dini dan pemberian terapi yang tepat pada individu yang berisiko tinggi dapat mencegah terjadinya komplikasi sehingga dapat mengurangi kejadian infertilitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiesenfeld H.C., Cates W. Sexually Transmitted Diseases and Infertility. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.1511-27.
2. Sumera A., Sophie R., Iman A.M., Khan F.I., Ali S.F., Shaikh A., et al. Knowledge, Perceptions and Myths Regarding Infertility among Selected Adult Population in Pakistan: A Cross-Sectional Study. BMC Public Health. 2011; 11: 1-7.
3. Kobayashi H., Nagao K., Nakajima K. Focus Issue on Male Infertility. Advances in Urology. 2012: 1-6.
4. Jose-Miller A.B., Boyden J.W, Frey K.A. Infertility. Am Fam Physician. 2007; 75(6):
849-58.
5. Padubidri V.G., Malhotra S. Sexually Transmitted Infections And Infertility. In:
Gupta S.K.B., ed. Sexually Transmitted Infections. 2nd ed. New Delhi: Elsevier: 2012:
p.1121-7.
6. Apari P., de Sousa J.D., Muller V. Why Sexually Transmitted Infections Tend to Cause Infertility: An Evolutionary Hypothesis. PLOS Pathogens. 2014; 10(8): 1-5.
7. Olooto W.E., Amballi A.A., Banjo T.A. A Review of Female Infertility; Important Etiological Factors and Management . J Microbi ol Biotech Res. 2012; 2(3): 379-85.
8. Suherlin I.F., Ilmiati I. Hubungan Karakteristik dengan Tingkat Pengetahuan Pria Usia Subur tentang Gaya Hidup yang Mempengaruhi Infertil di Lingkungan III Kelurahan Labuhan Deli Kecamatan Medan Marelan Tahun 2008. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2008.
9. Dhont N., Lucht ers S., Muvunyi C., Vyankandondera J., Naeyer L.D., Temmerman M., et al. The Risk Factor Profile of Women with Secondary Infertility: An Unmatched Case-Control Study in Kigali, Rwanda. BMC Women's Health. 2011; 11:
1-7.
10. Brookings C., Goldmeier D., Sadeghi -Nejad H. Sexually Transmitted Infections and Sexual Function in Relation to Male Fertility. Korean J Urol. 2013; 54: 149-56.
11. Fijak M., Meinhardt A. The Testis in Immune Privilege. Immunologi cal Reviews.
2006; 213: 66-81.
12. Covington S.N., Burns L.H. Infertility Counseling, 2nd ed. New York: Cambridge University Press; 2006.
13. Adler M. Why Sexually Transmitted Infections Are Important. In: Adler M., Cowan F., French P., Mitchell H., Richens J. ABC of Sexually Transmitted Infections, Fifth Edition. London: BMJ Publishing Group; 2004: p.1-6.
14. Nelson A.L. Introduction to Sexually Transmitted Infection: A View of the Past and an Assessment of Present Challenges. In: Nelson A.L., Woodward J., Eds. Sexually Transmitted Diseases A Practical Guide for Primary Care. New Jersey: Humana Press Inc; 2006: p.1-20.
15. Ochsendorf F.R. Sexually Transmitted Infections: Impact on Male Fertility.
Andrologia. 2008; 40: 72-5.
16. Sparling P.F. Biology of Neisseria gonorrhoeae. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008: p.607-26.
17. Stary A., Stary G. Sexually Transmitted Infections. In: Bolognia J.L., Jorizzo J.L., Schaffer J.V., editors. Dermatology. 3rd ed. Spain: Elsevier; 2012: p.1367-90.
18. Rosen T. Gonorrhea, Mycoplasma and Vaginosis. In: Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J., Wolff K., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008. p. 2514-26.
19. Virji M. Pathogenic Neisseriae: Surface Modulation, Pathogenesis and Infection Control. Nature Reviews Microbiology. 2009; 7: 274-86.
20. Hook E.W., Handsfield H.H. Gonococcal Infections in the Adult. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.627-45.
21. Walker C.K., Sweet R.L. Gonorrhea Infection in Women: Prevalence, Effects, Screening and Management. International Journal of Womens Health. 2011: 3; 197- 206.
22. Centers for Disease Control and Prevention. Screening Test to Detect Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae Infections. MMWR 2010, 51 (No.RR-15): 1- 38.
23. Stephens A.J., Aubuchon M., Schust D.J. Antichlamydial Antibodies, Human Fertility and Pregnancy Wastage. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
2011; 525182: 1-9.
24. Idahl A. Chlamydia trachomatis as a Risk Factor for Infertility in Women and Men and Ovarian Tumor Development. Sweden: Print and Media Umea University; 2009:
p.1-59.
25. Lanjouw E., Ouburg S., Vries H.J., Stary A., Radcli ffe K., Unemo M. 2015 European Guideline on the Management of Chlamydia trachomatis Infections. Int J STD AIDS.
2015; 1-16.
26. Land J.A. Chlamydia testing in Infertility Management. MEFSJ. 2004; 9(2): 93-100.
27. Malhotra M., Sood S., Mukherjee A., Muralidhar S., Bala M. Genital Chlamydia trachomatis: An Update. Indian J Med Res. 2013; 138: 303-16.
28. Jaramillo-Rangel G., Gallegos-Avilla G., Ramos-Gonzales B., Alvarez-Cuevas S., Morales-Garcia A.M., Sanchez J.J., et al. The Role of Chlamydia trachomatis in Male Infertility. In: Mares M., eds. Chlamydia. Mexico: Intech; 2012: 245-68.
29. Hafner L., Beagley K., Timms P. Chlamydia trachomatis Infections: Host Immune Responses and Potential Vaccines. Mucosal Immunology. 2008: 116-30.
30. Miller K.E. Diagnosis and Treatment of Chlamydia trachomatis Infection. Am Fam Physician. 2006; 73(8): 1411-6.
31. Stamm W.E. Chlamydial Diseases. In: Mandell G.L., Bennel J.E., Dolin R., eds.
Principles and Practices of Infectious Diseases. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2005:
p.2236-56.
32. Stamm W.E. Chlamydia trachomatis Infections of the Adult. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.575-94.
33. Haidl G., Allam J.P., Schuppe H.C. Chronic Epididymitis: Impact on Semen Parameters and Therapeutic Options. Andrologia. 2008; 40: 92–6.
34. Geisler W.M., Krieger J.N. Epididymitis. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008: p.1127-46.
35. Schuppe H.C., Meinhardt A., Allam J.P., Bergmann M., Weidner W., Haidl G.
Chronic Orchitis: A Neglected Cause of Male Infertility? Andrologia. 2008; 40: 84– 91.
36. Cao D.M., Li Y.D., Yang R., Wang Y., Zhou Y.C., Diao H., et al.
Lipopolysaccharide-induced Epididymitis Disrupts Epididymal Beta-Defensin Expression and Inhibits Sperm Motility in Rats. Biolreprod. 2010; 83: 1064-70.
37. Cunningham K.A., Beagley K.W. Male Genital Tract Chlamydia Infection:
Implications for Pathology and Infertility. Biology of Reproduction. 2008; 79: 180-9.
38. Kokab A., Akhondi M.M., Sadeghi M.R., Modaressi M.H., Aarabi M., Jennings R., et al. Raised Inflammatory Markers in Semen from Men with Asymptomatic Chlamydial Infection. Journal of Andrology. 2010; 31(2): 114-20.
39. Dhont N., Luchters S., Muvunyi C., Vyankandondera J., Naeyer L., Temmerman M., et al. The Risk Factor Profile of Women with Secondary Infertility: An Unmatched Case-control Study in Kigali, Rwanda. BMC Women’s Health. 2011; 11(32): 1-7.
40. Walker C.K., Sweet R.L. Gonorrhea Infection in Women: Prevalence, Effects, Screening and Management. International Journal of Women’s Health. 2011; 3: 197- 206.
41. Paavonen J., Westrom L., Escenbach D. Pelvic Inflammatory Disease. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., et al, editors.
Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008:
p.1017-50.
42. Jaiyeoba O. A Practical Approach to the Diagnosis of Pelvic Inflammatory Disease.
Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology. 2011; 753037: 1-6.
43. Cassels S. Gonorrhea, Infertility and Population Decline in Yap during the Japanese Occupation. East-west Center Working Papers. 2004; 5: 1-21.
44. Centers for Disease Control and Prevention. National Public Health Action Plan for the Detection, Prevention and Management of Infertility. 2014; 6: 1-26.