• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Tinjauan Pustaka Peranan Astrosit Pada Epilepsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Tinjauan Pustaka Peranan Astrosit Pada Epilepsi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN ASTROSIT PADA EPILEPSI

Oleh:

Ida Ayu Sri Wijayanti

DR.dr. Anna Marita Gelgel, SpS (K)

DISAMPAIKAN DALAM ACARA ILMIAH BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2015

(2)

2 BAB 1 PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan masalah kesehatan pada hampir seluruh negara di dunia. Epilepsi mengenai lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia, lima juta diantaranya mengalami kejang lebih dari satu kali dalam sebulan. Berdasarkan data penunjang, hampir 5-10% keseluruhan populasi mengalami kejang sebanyak satu kali dalam hidupnya, biasanya terjadi pada usia anak-anak, maupun dewasa. Berbagai faktor mempengaruhi insiden dan prevalensi terjadinya kejang. Sebuah laporan menyatakan kejang cenderung terjadi pada pasien dengan masalah inflamasi kronis dibandingkan dengan populasi normal (Rao et al, 2009).

Berbagai kejadian brain injury pada manusia, seperti stroke, neurotrauma, infeksi, kejang demam dan status epilepsi dihubungkan dengan kejadian konvulsi akut dan meningkatkan risiko terjadinya epilepsi. Penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan berbagai kejadian brain injury menurunkan ambang batas terjadinya konvulsi ataupun menimbulkan bangkitan spontan, mendukung dugaan bahwa injuri pada sistem saraf pusat (SSP) berperan dalam peristiwa hipereksitabilitas sel otak. Kerusakan ini akan mencetuskan proses inflamasi pada otak yang berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama. Sehingga menimbulkan kemungkinan bahwa mediator inflamasi berperan pada perkembangan epileptogenesis dan menimbulkan bangkitan spontan (Orozco-Suarez, 2012).

Beberapa tahun lalu, studi pada mekanisme dasar terjadinya epilepsi terbatas terutama pada analisis anatomi, elektrofisiologi dan farmakologi. Namun pendekatan molekuler telah memberikan arti lebih spesifik bagi studi biokimia di dalam otak yang dapat menjelaskan bahwa bangkitan dan berbagai bentuk jejas lain ternyata dapat menginduksi terjadinya perubahan kompleks dalam ekspresi gen. Perubahan ini tampaknya meregulasi bangun molekuler sel neuronal dan sirkuit yang menyebabkan terjadinya proses epiloptogenesis panjang sebagai inisiasi bangkitan, penyebaran dan penghentian bangkitan epileptik. Hal ini berkaitan dengan ditemukannya peranan dari interleukin-1 (IL-1), yang bersifat sebagai sitokin pro-inflamasi yang bertindak sebagai sitokin eksitatorik bagi sel neuron di dalam sistem saraf pusat (SSP) yang

(3)

3

berperan dalam terjadinya epilepsi. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara epilepsi dan sistem imunitas tubuh. Gangguan pada ekspresi sitokin dan sel-sel imunitas tubuh telah diamati pada pasien dengan epilepsi dan pada berbagai hewan coba. Selain itu, sistem imunitas tubuh dan reaksi inflamasi yang terkait tampaknya memainkan peran penting dalam mekanisme epileptogenesis (Orozco-Zuarez, 2012).

Astrosit merupakan jenis sel utama glial dari sistem saraf pusat (SSP), yang diketahui memainkan peran utama dalam regulasi kekebalan / inflamasi respon di beberapa penyakit SSP manusia. Secara khusus, baik in vitro dan in vivo, data menunjukkan peran astrosit baik sebagai sumber utama dan target sinyal inflamasi epileptogenik (Aronica et al, 2012).

(4)

4 BAB 2

STRUKTUR ANATOMI DAN FISIOLOGI ASTROSIT

2.1 Struktur Anatomi Astrosit

Astrosit merupakan tipe sel glia yang dapat dijumpai pada berbagai tempat, namun dideskripsikan sebagai sel yang sedikit memiliki akson, potensial aksi dan potensial sinapsis.

Jumlah astrosit melebihi jumlah neuron, dengan perbandingan mencapai 10:1 dan menempati 25- 50% dari keseluruhan volume otak. Meskipun secara struktur anatomi sel astrosit tampak jelas, namun hingga saat ini fungsinya masih sulit untuk dijelaskan.

Astrosit adalah sel stelatum dengan bentuk yang beraneka ragam. Sel astrosit yang didapatkan pada substansia alba merupakan kompleks sel yang memiliki serat cabang panjang sebanyak 50-60 buah, menyebar dari badan sel hingga permukaan piamater, pembuluh darah dan sejumlah akson. Astrosit pada substansia alba ini disebut sebagai fibrous astrocytes. Sedangkan astrosit yang ditemukan pada substansia grisea disebut dengan protoplasmic astrocytes, terletak tersebar dengan cabang pendek yang berhubungan secara langsung dengan pembuluh darah, permukaan piamater dan disekeliling neuron. Cabang-cabang dari astrosit menutupi seluruh permukaan kapiler intraparenkim. Cabang-cabang ini mengekspresikan glucose transporters dari tipe GLUT-1 dan merupakan tempat penyerapan glukosa. Berbagai penelitian neuroanatomi menyebutkan bahwa kedua subtype astrosit tersebut memiliki hubungan yang luas dengan pembuluh darah. Analisis mikroskop elektron, menunjukkan proses dari protoplasmic astrocytes membungkus sinaps, sedangkan fibrous astrocytes berhubungan dengan nodus Ranvier, dan kedua astrosit tersebut membentuk gap junction diantara bagian distalnya (Magistretti, Ransom, 2002).

Astrosit terdapat pada seluruh SSP dalam keadaan berdekatan dan tidak saling overlapping, tersusun dengan baik dan rapi. Tidak ada bagian neuron pada SSP yang tidak memiliki astrosit. Berbagai teknik anatomi menunjukkan pada SSP sehat, protoplasmic astrocytes tersusun tanpa saling tumpang tindih pada substansia grisea. Astrosit juga ditemukan pada substansia alba, namun dari beberapa penelitian tidak ditemukan secara luas pada SSP.

(5)

5

Protoplasmic astrocytes secara khusus memiliki 5 hingga 10 batang cabang utama, dan setiap cabang akan menyebar menjadi cabang-cabang yang lebih kecil pada seluruh domain astrosit di substansia grisea. Pada hipokampus dan korteks serebri, cabang-cabang kecil yang berasal dari astrosit tunggal diperkirakan berhubungan dengan ratusan dendrit dari berbagai neuron dan membungkus 100.000 sinaps (Sofroniew, Vinters, 2009).

Teknik imunohistokimia mampu menunjukkan penanda molekuler spesifik pada tingkat sel tunggal yang merupakan alat penting untuk mengidentifikasi karakteristik sel pada jaringan sehat maupun patologis. Ekspresi glial fibrillary acid protein (GFAF) merupakan penanda prototipikal dari pemeriksaan imunohistokimia untuk identifikasi astrosit. Namun, sangat penting untuk mengetahui penggunaan yang sesuai dan batasan dari ekspresi GFAF sebagai penanda astrosit. Ekspresi GFAF pertamakali ditemukan sebagai protein konsentrasi tinggi pada demyelinisasi plak pada pasien dengan multiple sklerosis dan kemudian ditemukan berhubungan dengan penemuan melalui pemeriksaan imunohistokimia berupa astrosit reaktif pada beberapa plak dan keadaan patologis lainnya. Pada beberapa penelitian, GFAP bukan merupakan penanda absolut pada astrosit non reaktif dan tidak ditemukan pada pemeriksaan imunohistokimia terhadap astrosit pada jaringan SSP sehat ataupun pada lesi SSP yang tidak luas. GFAP telah diteliti secara luas. GFAP merupakan keluarga dari intermediate filament proteins, yang meliputi vimentin, nestin dan lainnya, dengan fungsi sitoarsitek yang besar. Penanda molekular lainnya yang dapat digunakan sebagai identifikasi imunohistokimia dari astrosit dan astrosit reaktif adalah glutamine synthetase dan S100ϐ, namun molekul ini tidak eksklusif secara menyeluruh terhadap astrosit (Sofroniew, Vinters, 2009).

Lokasi dan distribusi proses pembentukan astrosit sangat penting dalam pengaturan lingkungan ekstraseluler sistem saraf pusat (SSP). Astrosit mempersiapkan energi untuk mengatur fungsi neuron dan memodulasi pembentukan sinaps. Astrosit juga meregulasi glutamat ekstraseluler melalui glutamate transporters dan menggunakan kembali glutamat melalui glutamine dan pada pertengahan siklus asam trikaboksilat.Astrosit akan membersihan kelebihan glutamat dari ruang ekstraseluler sehingga melindungi neuron dari eksitotoksik glutamat yang mampu menyebabkan terjadinya kematian sel neuron (Ventura, Harris, 1999).

(6)

6

Gambar 1. Struktur anatomi astrosit (Sofroniew, Vinters, 2009).

2.2 Fisiologi Astrosit

. Astrosit mengekspresikan potassium dan sodium channels serta menunjukkan arus bangkitan, tetapi tidak seperti neuron, astrosit tidak mampu menyebarkan potensial aksi. Namun, hal ini tidak menunjukkan bahwa astrosit tidak berfungsi dalam neuron. Astrosit berperan dalam peningkatan regulasi dalam konsentrasi kalsium intraseluler yang menunjukkan eksitabilitas dari astrosit. Peningkatan regulasi kalsium intraseluler oleh astrosit, secara signifikan menunjukkan komunikasi astrosit-neuron intraseluler. Peningkatan kalsium bisa terjadi sebagai instrinsic oscillations, sebagai hasil dari pelepasan ion kalsium yang berasal dari cadangan intraseluler, tercetus akibat neurotransmitter yang ada (glutamate dan purin) setelah dilepaskan selama aktivitas neuron dan dapat diperoleh dari pelepasan transmitter astrosit seperti glutamate ke ruang ekstraseluler dan mencetuskan reseptor dari dalam neuron. Astrosit mampu memasangkan dirinya dengan astrosit lain melalui gap junctions yang dibentuk oleh connexins. Hal ini berperan penting dalam fungsi SSP sehat ataupun pada proses kerusakan SSP (Sofroniew, Vinters, 2010).

(7)

7 Gambar 2.

Fungsi astrosit pada sistem saraf pusat (Sofroniew, Vinters, 2010).

Astrogliosis reakif merupakan istilah yang amat luas digunakan dalam mekanisme patologis pada berbagai kerusakan jaringan SSP. Berdasarkan penelitian terhadap hewan coba, definisi astrogliosis reaktif adalah suatu spektrum molekuler potensial, perubahan seluler dan fungsional dari astrosit sebagai respon terhadap berbagai bentuk dan keparahan injuri SSP.

Bentuk-bentuk perubahan yang dialami astrosit bersifat variatif dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda, bersifat progresif dalam ekspresi molekuler, hipertrofi seluler dan dalam kasus dengan tingkat keparahan berat terjadi proses proliferasi dan pembentukan scar. Perubahan astrogliosis reaktif ini diatur oleh sinyal inter dan intraseluler, dan perubahan ini menyebabkan astrosit kehilangan fungsinya yang akan mempengaruhi sel neuron (Sofroniew, Vinters, 2010).

(8)

8 BAB 3

ASTROSIT DAN EPILEPSI

Sistem Saraf Pusat memiliki kemampuan untuk membatasi berbagai elemen sistem imun, termasuk membatasi aktivasi sistem imun di dalam jaringan saraf itu sendiri. Sistem imun pada SSP sebagian tergantung pada sistem sawar darah otak, yang dirancang untuk membatasi masuknya zat terlarut dan ion ke dalam SSP. Namun terdapat pengecualian, dimana beberapa senyawa tertentu dapat memasuki SSP secara selektif melalui kapiler venula. Migrasi sel berlangsung pada post kapiler venula yang dikendalikan oleh molekul adhesi, sitokin, kemokin dan reseptor masing-masing. Selain oleh adanya sistem sawar otak, lingkungan yang bersifat supresif di dalam SSP berpotensi untuk mengganggu respon imun (Rao et al, 2009).

Astrosit dan mikroglia berperan penting dalam mekanisme regulasi ini, sedangkan neuron hanya dianggap berperan secara pasif menjadi korban dari respon imun itu sendiri. Mikroglia menginvasi ke dalam jaringan otak dan berperan sebagai ‘pelindung’, menyebar secara menyeluruh di dalam SSP dan membentuk suatu jaringan sel efektor potensial. Sebaliknya, makrofag perifer efektif menghasilkan respon pro inflamasi, mikroglia berperan berlawanan, yaitu membatasi proses inflamasi. Peranan ini juga terjadi pada astrosit, sel pertama sebagai CNS-infiltrating immune cells encounter. Astrosit menekan aktivasi sel T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2), proliferasi dan fungsi efektor dari sel T teraktivasi dan memiliki banyak variasi mekanisme molekuler untuk menginduksi apoptosis pada sel T teraktivasi. Bertentangan dengan teori bahwa neuron hanya berperan secara pasif pada mekanisme ini, banyak produk (neuropeptida dan transmitter), seperti membran protein neuron CD22, CD47, CD200, CX3CL1 (fractalkine), intracellular adhesion molecule (ICAM), neural cell adhesion molecule (NCAM), semaphorins dan C-type lectins yang berperan dalam regulasi inflamasi. Neuron mengekspresikan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) dalam kadar yag rendah dan mengaktivasi mekanisme apoptosis dalam sel T promote melalui Fas-fas Ligand pathway (CD95-CD95L) reseptor canabinoid (CB1) yang diekspresikan oleh neuron berperan dalam proses supresi inflamasi. Neuron juga berperan dalam proses diferensiasi sel T regulatory,

(9)

9

dengan menyiapkan lingkungan yang didominasi oleh transforming growth factor-b1 (TGF-b1) (Orozco-Zuarez, 2012).

3.1 Mekanisme Seluler Pada Epilepsi

Beberapa penelitian menemukan bahwa patofisiologi epilepsi akibat adanya proses inflamasi pada otak. Inflamasi secara umum terinduksi akibat respon sel terhadap stimulasi noxious (infeksi dan injuri), bertujuan untuk mempertahankan diri dari berbagai patogen. Pada SSP, kerusakan pada jaringan akan menyebabkan aktivasi respon imun non spesifik, kemudian diikuti oleh aktivasi respon imun adaptif, meningkat secara gradual dan menimbulkan perubahan bersifat progresif lambat pada jaringan lokal. Perubahan dalam jangka waktu lama ini akan mengekspresikan penurunan ambang dari sirkuit neuron menjadi spontan, hipernsinkron lebih mudah tereksitasi dan meningkatkan aktivitas neuron (kejang). Meskipun hanya terjadi kerusakan ringan pada sel endotel, hal ini tetap akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah di dalam jaringan otak (disfungsi sistem sawar darah otak), sehingga mampu menginduksi secara cepat (dalam waktu beberapa jam) respon astroglial dan respon imun yang signifikan.

Disfungsi dari sawar darah otak merupakan hal yang amat mudah ditemukan pada kondisi epileptogenik termasuk status epileptikus, traumatik dan injuri otak iskemik. Aktivasi yang cepat dari astrosit dan mikroglia, diikuti oleh ekstravasasi protein ke dalam otak, menunjukkan sawar darah otak berperan dalam mengatur sistem imun non spesifik di dalam otak dan mengatur komunikasi diantara sel otak intrinsik dan sel imunokompeten perifer (Dedeurwaerdere et al, 2012)

Inflamasi merupakan proses fisiologis terhadap serangan infeksi ataupun stress biologis dan dimediasi oleh sistem imun non spesifik. Sistem imun non spesifik dapat diaktivasi oleh invasi patogen atau kerusakan seluler. Pada otak, imunitas non spesifik didominasi oleh sel mikroglia, yang bertindak sebagai resident macrophage pada sistem saraf dan dipresentasikan sebagai mekanisme pertahanan pertama terhadap berbagai injuri, namun bukti terbaru menyatakan neuron dan astrosit memiliki peranan penting dalam mekanisme imun di dalam otak.Mediator kimia dan sinyal berbahaya endogen (alarmins) dilepaskan oleh patogen dan sel

(10)

10

neuron yang telah rusak, menimbulkan pelepasan dan aktivasi mikroglia. Selanjutnya, setelah terjadi proliferasi dari mikroglia tersebut, akan diikuti oleh pelepasan sitokin dan kemokin.

Aktivasi sel mikroglia berfungsi sebagai fagosit melalui mekanisme memakan berbagai material asing dan debris seluler dan bersama astrosit melepaskan substansi sitotoksik seperti hydrogen peroksidase, nitrik oksida dan protease untuk menghancurkan organisme infeksious. Sitokin dan kemokin dilepaskan dari sel mikroglia melalui aktivasi sinyal pro inflamasi sehingga menimbulkan vasodilatasi terlokalisir, ekstravasasi dan perekrutan sel darah putih, serta aktivasi respon imun spesifik, dimana mikroglia berperan sebagai antigen presenting cells (Walker, 2012).

Proses tersebut akan terhenti apabila stimulus yang menyebabkan injuri tersebut berhasil dihilangkan, dimana respon imun akan kembali normal, astrosit dan mikroglia akan kembali terfokus pada perbaikan sel dengan melepaskan sitokin anti inflamasi, menyingkirkan sinaps yang mengalami kerusakan, dan megaktivasi pertumbuhan neuron. Pada proses inflamasi kronik, astrosit dan sel mikroglia cenderung berperan dalam kerusakan sel neuron, dengan melepaskan sitokin pro inflamasi, kemokin dan protease seperti cathepsin dan metalloproteinase (Walker, 2012).

Sistem sawar darah otak terdiri dari struktur morfologi sel endotel noninfestrated dengan interendothelial tight junction dan pemeliharaannya tergantung pada fungsi dari mikroglia perivaskuler, astrosit dan lamina basalis. Dalam keadaan abnormal, sawar darah otak melindungi sistem saraf pusat (SSP) dengan melakukan regulasi berbagai substansi plasma dan sel imun.

Astrosit bertindak sebagai regulator dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas endotel dan permeabilitas dari sawar darah otak. Perubahan sementara dapat dijumpai pada fisiologi dan struktur dari sawar darah otak pada berbagai injuri SSP seperti status epilepsi, infeksi, trauma dan keadaan iskemik. Kerusakan sawar darah otak dan proses inflamasi merupakan keadaan gangguan neurologi yang dapat dihubungkan dengan kejadian epilepsi onset lambat. Sitokin pro inflamasi mengalami peningkatan secara signifikan pada eksperimen dengan menggunakan otak dari hewan coba setelah proses iskemik dan pada pemeriksaan cerebrospinal fluid (CSF) pasien stroke dan epilepsi. Pelepasan sitokin menyebabkan peningkatan regulasi endotel dan molekul adhesi neutrofil pada sel endotel serebrovaskuler selama proses hipoksik, menyebabkan

(11)

11

transmigrasi leukosit melewati endotel dan sawar darah otak. Perekrutan leukosit akan mencetuskan sinyal transduksi, menimbulkan kerusakan sawar darah otak. Meskipun mekanisme epilepsi onset lambat hingga saat ini masih belum jelas, data yang tersedia saat ini menyimpulkan bahwa proses inflamasi dan kerusakan sawar darah otak merupakan komponen penting dari peristiwa epileptogenesis yang diikuti kerusakan dari jaringan otak (Choi, Koh, 2008).

3.2 Peranan Sitokin dalam Epilepsi

Sitokin diekspresikan dalam kadar yang rendah pada jaringan otak dengan kondisi fisiologis yang sehat, namun dapat mengalami peningkatan yang cepat akibat berbagai stimulasi. Beberapa sinyal pro inflamasi mengalami peningkatan yang cepat pada otak tikus ketika terjadi aktivitas epilepsi, termasuk sitokin, kemokin, prostaglandin, toll-like receptor, jalur sinyal transduksi yang merekrut nuclear transcription factor kappa B (NFКB), faktor komplemen dan molekul sel adhesi. Namun hingga saat ini masih belum jelas, apakah faktor pro inflamasi berperan sebagai faktor predisposisi dari terjadinya kejang atau merupakan hasil dari aktivitas kejang itu sendiri.

Sebagai tambahan, sitokin memiliki peran sebagai mediator dalam berbagai bentuk proses neurodegeneratif otak. Proses inflamasi merupakan kofaktor esensial pada penyakit Alzheimer dan penyakit neurodegeneratif lainnya, seperti: penyakit Parkinson, demensia dengan badan Lewy, penyakit Huntington dan Prion. Bangkitan epilepsi akan menyebabkan kerusakan parah dan dalam jangka waktu yang lama dari keadaan arsitektur otak, yaitu kematian sel neuron, neurogenesis dan gliosis reaktif. Faktor neurotrofik merupakan mediator pada mekanisme patofisiologi ini. Sitokin pro inflamasi menghambat proses neurogenesis dan pembentukan jaringan parut (Rao et al, 2009).

Fenomena epileptiform dapat dipelajari melalui penelitian pada hewan coba. Stimulasi elektrikal termasuk zat kimia dan obat-obatan dapat menimbulkan terjadinya kejang.

Chemoconvulsant dapat diberikan secara sistemik (penthylenetetrazole, picrotoxin, asam kainat) dan secara topical (krim aluminium, kobalt, tungstic acid). Pada keadaan tersebut, sitokin memiliki indikasi terlibat dalam mekanisme eksitasi neuron. Beberapa penelitian menemukan

(12)

12

terjadi peningkatan kadar IL-1ϐ dan TNF-α pada seluruh jaringan otak setelah amigdala hewan coba diberikan stimulasi elektrikal. Namun, pada penelitian lain diperoleh hasil bahwa peningkatan kadar IL-1ϐ pada hewan coba dengan epilepsi dan penghambatan terhadap reseptor IL-1ϐ memiliki aktivitas potensial anti epilepsi. Keseluruhan data pendukung ini mendukung peranan sitokin pada epilepsi dengan dan tanpa konvulsi (Rao et al, 2009).

BAB 4

(13)

13 SIMPULAN

Aktivasi sistem imun merupakan penanda respon tubuh terhadap infeksi sistemik, injuri dan proses inflamasi. Perkembangan respon imun meliputi sel limfoid, sel inflamasi dan sel hematopoetik. Interaksi yang kompleks dari sel-sel ini dimediasi oleh sekelompok protein yang membentuk sitokin, yang berperan dalam komunikasi antar sel. Sitokin merupakan protein regulasi dengan berat molekul rendah, disekresikan oleh sel darah putih dan beberapa sel lainnya di dalam tubuh sebagai respon terhadap berbagai stimulasi. Sitokin memiliki peranan lainnya selain sebagai respon inflamasi. Perkembangan saat ini, sitokin berperan dalam mekanisme neurobiologi. Sitokin dilaporkan memiliki kemampuan mempengaruhi neurotransmitter sentral, meliputi noradrenalin, 5-hydroxyl triptamine (5-HT), Gmma amino butyric acid (GABA) dan acethylcholine pada bagian otak tertentu. Namun, hubungan spesifik antara setiap respon neurotransmitter tersebut dan relevansinya terhadap aksi sitokin spesifik hingga saat ini masih belum jelas. Sejumlah sistem second messenger pada neuron dipengaruhi oleh sitokin, termasuk aktivasi dari cyclic adenosine monophosphate (cAMP), aktivitas protein kinase C, sintesis nitric oxide, pelepasan asam arakhidonat dan influx kalsium. Fungsi neuron dipengaruhi secara langsung oleh glia yang merupakan sumber penting dari aksi sitokin di dalam otak. Endotoksin bakteri dan sitokin seperti IL-1, TNF-α, interferon dan macrofag colony stimulating factor (M- CSF) menstimulasi astrosit dan mikroglia untuk memproduksi dirinya sendiri dan sitokin lainnya serta meningkatkan pertumbuhan glia. Sitokin inflamasi dan reseptornya ditemukan pada area forebrain dan secara lokal disintesis oleh neuron dan glia. Reaksi inflamasi di otak diakibatkan oleh berbagi penyakit, diantaranya autoimun, neurodegeneratif dan epilepsi.

(14)

14

DAFTAR PUSTAKA

Aronica E, Ravizza T, Zurolo E et al. 2012. Astrocyte Immune Responses in Epilepsy. Glia Vol.60. Pp 1258-68.

Choi J, Koh Sookyong. 2008. Role of Brain Inflammation in Epileptogenesis. Yonsei Medical Journal Vol.49(1) Pp.1-18.

Dedeurwaerdere S et al. 2012. Finding a Better Drug for Epilepsy: Antiinflammatory Targets.

Epilepsia 53(7). Pp. 1113-1118.

Hinkerohe D, Smikalla D, Haghikia A et al. 2005. Effects of Cytokines on microglial Phenotypes and Astroglial Coupling in an Inflammatory Coculture Model. Glia Vol.52. Pp. 85-97.

Li, Bauer, Nowak et al. 2010. Cytokine and Epilepsy. British Epilepsy Association. Published by Elsevier. Pp 249-56.

Rao Rs, Prakash A, Medhi B. 2009. Role of Different Cytokines and Seizure Susceptibility: A New Dimension Towards Epilepsy Research. Indian Journal of Experimental Biology Vol.47 Pp.625-34.

Orozco-Suarez S, Feria-Romero, Rayo et al. 2012. Adaptive Immune Response in Epilepsy.

Recent Advances in Immunology to Target Cancer, Inflammation and Infections. Pp 135-58.

Sofroniew M, Vinters H. 2010. Astrocytes: Biology and Pathology. Acta Neuropathology Vol 119 Pp. 7-35.

Ventura R, Harris K. 1999. Three-Dimensional Relationships between Hippocampal Synpases and Astrocytes. The Journal of Neuroscience 19 (16). Pp. 6897-6906.

Volterra A, Meldolesi J. 2005. Astrocytes, From Brain Glue to Communication Elements: The Revolution Continues. Available at www.nature.com/reviews/neuro. Accessed: February 3, 2015.

Walker L, Sills G. 2012. Inflammation and Epilepsy: the Foundations for a New Theurapeutic Approach in Epilepsy?. Epilepsy Currents Vol.12, no.1. Pp 8-12.

(15)

15

(16)

16

Referensi

Dokumen terkait

Cedera kepala adalah suatu traumatik dari fungsi otak yang disertai atau.. tanpa di sertai perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa

Respon imun spesifik merupakan suatu mekanisme yang kompleks dari sel tertentu, protein, gen, dan respon biokimia yang berfungsi untuk memberikan pertahanan tubuh

Toll-like receptors (TLR) termasuk kelompok glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor permukaan transmembran dan terlibat dalam respons imun alami terhadap mikroorganisme

aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalama. beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa jam

Antibodi merupakan protein peptida yang dikode oleh gen-gen spesifik, menghasilkan sistem imun sebagai respon terhadap keberadaan antigen yang dapat melindungi

Respons imun spesifik merupakan suatu mekanisme yang kompleks dari protein, respon biokimia, sel tertentu, dan gen yang berfungsi untuk memberikan pertahanan tubuh terhadap

Pada seseorang yang mengalami stroke hemoragik, perdarahan intrakranial mengakibatkan darah yang mengalir dalam arteri intrakranial dipaksa masuk ke dalam jaringan otak, merusak neuron

Peran dan Fungsi Limfosit Terhadap Respon Imun Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B dan Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun