• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Universitas Widyagama NOPEMBER, 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Universitas Widyagama NOPEMBER, 2008"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

MEMBANGUN MODEL PERLINDUNGAN ANAK DALAM VICTIM-OFFENDERS RELATIONSHIP TINDAK

PIDANA PENCURIAN AKIBAT ORANG TUA SEBAGAI TENAGA KERJA INDONESIA KE LUAR NEGERI

(STUDI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KEPANJEN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR)

Oleh

IBNU SUBARKAH, SH.MH (KETUA) SOLEHODDIN SH.MH (ANGGOTA) Ir. WAHYU ANNY W. MS (ANGGOTA)

Universitas Widyagama

NOPEMBER, 2008

(2)

BAB I. PENDAHULUAN

Perspektif anak berorientasi Pengadilan yang memegang tampuk pemidanaan sebagai sarana penanggulangan penal yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini hakim ketika memeriksa, mengadili dan memutus dipengaruhi oleh bekerjanya sistem peradilan itu sendiri yaitu pada aspek kekuasaan dan birokrasi yang dijalankan. Oleh karena itu dikatakan bahwa bekerjanya sistem peradilan pidana berpengaruh pada ketika hakim melakukan pemidanaan. 1) Pasal 103 KUHP yang telah memerintahkan untuk diaturnya adanya UU di luar KUHP secara yuridis merupakan payung hukum guna menyikapi pentingnya asas lex specialis derogate legi generalis dan asas legalitas. Dalam permasalahan anak yang melakukan kejahatan dalam hal ini yang masuk kategori kejahatan anak/ulang (recidive), sebagaimana menunjuk pada data primer tahun 2000, yaitu memperoleh hasil bahwa pengaturan ketentuan khusus tentang recidive anak dalam perundang-undangan sangat perlu, yang terakomodir dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut Muladi, kiranya penegakan hukum pidana di Indonesia dalam upaya penanggulangan penal perlu ditinjau ulang mengingat suatu sistem yang tidak efektif itu akan menimbulkan kondisi-kondisi seperti adanya disparitas pidana, Legislated Environment, korban kejahatan, stigma sosial, dan prisonisasi yang merupakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana, dan untuk permasalahan yang berkaitan dengan legislated environment, akibat warisan klasik yang menciptakan fragmentaris penerapan hukum pidana.2). Upaya yang harus dilakukan dengan cara pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio- kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal dan

1) Ibnu Subarkah, dkk, Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Ulang (Recidive) Anak (studi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Malang, Laporan Hasil Penelitian Dosen Muda Dikti, Jakarta, 2005. h. 134.

2) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist.

Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan I, Universitas Diponegoro, Semarang,1995, h.

24-25 )

(3)

kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy. Didalam setiap kebijakan terkandung pula peritimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Pada aspek anak dengan usia menurut hukum telah terjadi fase perkembangan yang sangat mencolok baik secara fisik, psikologis, sosial dan moralitas, dimana masa adolelsen, umur 13-21 tahun, anak-anak sedang mengalami kegoncangan jiwa.3) Sarana“penal”, berupa penerapan hukum pidana seyogyanya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penal mempunyai banyak keterbatasan yang selama ini dijadikan sandaran hukum bagi penegak hukum. Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu gejala (Kurieren am Sympton) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Keterbatasan kemampuan hukum pidana antara lain dapat dilihat juga dari sifat/fungsi pemidanaan selama ini, yaitu pemidanaan individual/personal dan bukan pemidanaan yang bersifat struktural/funsional.

Penanggulangan Non Penal menitikberatkan pada upaya pembinaan atau penyembuhan terpidana/pelanggar hukum (treatment of offenders) maupun dengan pembinaan/penyembuhan masyarakat (treatment of society). Treatment of society mempunyai arti upaya pembinaan/penyembuhan masyarakat dari kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan (antara lain faktor kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran, kebodohan, rendahnya standar hidup yang layak, kemiskinan, diskriminasi rasial dan sosial). Bertolak dari konsep “treatment of society” patut pula kiranya dikembangkan kebijakan struktural/fungsional. Dalam sistem pemidanaan yang struktural/fungsional pertanggungjawaban dan pembinaan tidak hanya tertuju secara sepihak dan fragmentair pada pelaku kejahatan, tetapi lebih ditekankan pada fungsi pemidanaan yang bersifat totalitas dan struktural, yang artinya pemidanaan tidak hanya berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina si pelaku kejahatan, tetapi berfungsi pula untuk mempertanggungjawabkan dan membina/mencegah pihak-pihak lain yang secara struktural/fungsional mempunyai potensi besar untuk terjadinya kejahatan serta berfungsi pula memulihkan atau mengganti akibat-akibat/kerugian yang

3) Sudarsono, Kenakalan Remaja, edisi ke dua, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 155

(4)

timbul pada diri korban. Lebih lanjut secara individual, tidak terlepas dari faktor sosial yang berlaku mengisyaratkan bahwa semakin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang tingkah lakunya itu.4) Berangkat dari paparan di atas stigma victim/korban akan selalu ada apabila di tataran yuridis belum sepenuhnya diperhatikan dengan kata lain integrasi penegakan hukum tidak cukup tanggung jawab penegak hukum saja, akan tetapi juga masyarakat melalui partsipasinya dalam hal penelitian ini berpayung pada kepastian, keadilan dan kemanfaatan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana dikatakan bahwa UU ini sarat akan nuansa Politiknya.

Kenyataan sampai sejauh ini perhatian Pemerintah, masyarakat, terhadap anak kurang khususnya bagi anak sebagai pelaku pencurian, karena hanya dipandang sebagai tanggung jawab Pemerintah saja. Bagaimana tanggung jawab ini juga dibebankan pada orang tuanya, PJTKI serta system peradilan pidana dengan regulasi yang disempurnakan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. A. Aspek Hubungan Pengadilan dengan Kejahatan Anak

Perlindungan hak-hak asasi manusia terdakwa pada tingkat pengadilan dapat direfleksikan melalui tindakan seorang hakim sebagai penegak hukum tentang tugasnya untuk menjatuhkan pidana melalui upayanya untuk melakukan pemidanaan yang bernafaskan keadilan dan kebenaran. Sampai saat ini meskipun telah disusun suatu produk legeslatif berupa Undang-undang Pengadilan Anak yaitu Undang-undang No.3 Tahun 1997, serta Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, permasalahan-permasalahan diperkirakan akan muncul berkenaan dengan pemidanaan,5) khususnya pada perlindungan anak sebagai pelaku kejahatan ulang. Perlu untuk disimak meskipun perangkat undang-undang mengatur pemidanaan terhadap pelaku di kategorikan dewasa dan anak-anak adalah berbeda, akan tetapi suatu kondisi aparat penegak hukumnya dalam hal ini hakim merupakan pintu penutup yanng nantinya akan menjembatani perlindungan terhadap hak-hak terdakwa dengan keadilan dan kebenaran

4) Alimandan,Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, dari George Ritzer, Siciologi : A Multiple Paradigm Science, Rajawali Pers, Jaakarta, 1992, h. 60.

5) Pemidanaan, menurut Soedarto adalah merupakan penyempitan arti dari istilah penghukuman yakni penghukuman dalam perkara pidana (lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan kebijakan pidana, edisi revisi, Alumni, Bandung, 1992, h. 1).

(5)

itu sendiri. Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief sebagaimana di sunting oleh Romli Atmasasmita bahwa prinsip umum pemidanaan dengan melihat pertanggung jawaban individual terhadap orang dewasa merupakan hal yang wajar, karena orang dewasa memang sudah selayaknya dipandang sebagai individu yang bebas dan mandiri (independent) dan bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan prinsip umum ini kepada anak patut dikaji karena anak belum dapat dikatakan sebagai individu yang mandiri secara penuh. Oleh karena itu penerapan prinsip ini dilakukan sangat hati-hati dan selektif, dengan mengingat tingkat kematangan /kedewasaan setiap anak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada baiknya dikembangkan gagasan yang mengimbangi sistem pemidanaan/pertanggungjawaban individual itu dengan sistem pertanggungjawaban struktural/fungsional.6) Beliau mengemukakan bahwa diperlukan adanya prinsip-prinsip yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi (pidana/tindakan) kepada hakim, khususnya dalam hal menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Hal ini dipandang sangat penting, karena masalah ini yang menjadi pusat perhatian dari dokumen-dokumen internasional, yaitu pasal 17.1 SMR-JJ (The Beijing Rules), dan Resolusi PBB 45/113 tentang UN Rules the Protection of juvenile Deprived of Their Liberty.7)

Perlu diketahui juga bahwa negara melalui hakim dalam menjatuhkan pidana tentunya memperhatikan pembenaran-pembenaran yang ada. Suatu sasaran yang diharapkan akan dipengaruhi oleh kedudukannya sebagai aparat birokrasi dan dominasinya aspek individu. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh, bahwa seorang hakim akan mudah mengambil kesimpulan apabila seorang hakim mengerti tujuan-tujuan apakah yang akan dicapai dengan membebankan pidana. Dengan ini baik kekuasaan kehakiman maupun publik dan orang yang di hukum, begitu pula pelaksana pidana akan mempunyai pegangan. Sebab merekalah yang harus melaksanakan keputusan hakim dan oleh karenanya pula seharusnnya berbuat sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh hakim itu.8) Tidak semua putusan hakim itu memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan ataupun bagi si terdakwa itu sendiri. Menurut penulis,

6) Romli Atmasasmita, d. k. k, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, h.80, menyunting dari Barda Nawawi Arief, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, makalah dalam Seminar Nasional Peradilan Anak, Unpad, Hotel Panghegar, Bandung, 5 Oktober 1996.

7) ibid, halaman 76-77

8) Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,h. 28-29

(6)

dalam hasil penelitian tentang Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan ulang (recidive) anak Tahun 2005, bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatananak adalah karena ketidakmampuan keluarga dalam hal ini orang tua melakukan pemberian kasih sayangnya pada pelaku kejahatan ulang anak.9) Tercatat juga disini bahwa faktor lain adalah berkenaan dengan bekerjanya sistem peradilan, yakni subjektivitas pemeriksaan masih kuat berpengaruh ketika memeriksa perkara pidana dengan pelaku anak.10) Oleh karena itu dalam kerangka penegakan hukum pidana di Indonesia diharapkan sistem yang ada dapat berjalan seefektif mungkin, karena sistem yang tidak efektif itu akan menimbulkan kondisi-kondisi seperti adanya disparitas pidana, Legislated Environment, korban kejahatan, stigma sosial, dan prisonisasi yang merupakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana.11) Selanjutnya dikemukakan oleh penulis, bahwa selama ini hakim dalam menjatuhkan putusan masih mengikuti pola-pola tradisional, dari sudut pandang pembalasan semata.

Terhadap pemidanaan recidive anak berlaku ketentuan pemberatan pidana. Hakim diharapkan tidak menutup mata sebelah tentang mengapa mereka melakukan kejahatan ulang12).

Berdasar paparan di atas, kajian terhadap permasalahan ini masih relevan untuk ditindak lanjuti dengan mengingat manusianya dalam suatu birokrasi ini menentukan efektivitas bekerjanya suatu Sistem yang ada yaitu Sistem Peradilan Pidana, khususnya seberapa jauh bekerjanya hukum pidana dan pemidanaan di Indonesia mengandung aspek tujuan pemidanaan.

II. A. 1. Teori-teori dan Aliran Pemidanaan.

Hak memidana bagaimanapun selalu dihadapkan pada suatu paradoxialitas, yang artinya pada satu sisi pemerintah atau negara harus menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati, tetapi di lain

9) Ibnu Subarkah dkk, loc.cit

10) ibid,

11) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist.

Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, loc.cit )

12) Ibnu Subarkah, Persepsi Hakim Terhadap Pemidanaan Recidive Anak, Thesis, Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Undip, Semarang, 2000, 195.

(7)

pihak kadang-kadang sebaliknya, yaitu negara atau pemerintah menjatuhkan hukuman dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah atau negara sendiri diserang. Mengapa hal demikian terjadi, suatu kecenderungan negara akan mengadakan pembalasan adalah bukan pada mereka yang melakukan kejahatan pertama kali yaitu sebagai pemula, tetapi ada pada mereka yang melakukan kejahatan ulangan atau lebih dikenal dengan recidive.

Oleh karena itu terhadap persoalan pemidanaan ini perlu dipecahkan dengan mengingat pada teori-teori tentang pemidanaan yang berlaku serta aliran-aliran yang mendasari. Sampai seberapa jauh pengaruh teori-teori tersebut bagi pemidanaan.

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).

Teori ini termasuk teori yang tertua, dan pidana dipandang sebagai pembalasan terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana. Nigel Welker, sebagaimana dikutip oleh Sahetapy memberikan tiga pengertian mengenai pembalasan, yaitu :retaliatory retribution, yang berarti dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita oleh seseorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya; distributive retribution, yang berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan; quantitative retribution, yang berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk- bentuk pidana itu tidak melampaui tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang dilakukan.13) Teori ini mempunyai dasar pembenaran, yang menyatakan bahwa pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Menurut Johannes Andenaes yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.14)

13) Masruchin Ruba’I, Pidana dan pemidanaan, cet-1,Ikip, Malang, 1994, h. 6

14) Muladi, & Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op.cit, h. 11

(8)

KUHP menetapkan the limiting retributivist dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas maksimum tersebut.

Charles W. Thomas dan Donna M. Bishop, mengemukakan, bahwa retributive mempunyai kemampuan dalam memilih rasionalitas asli dengan dasarnya baik dan buruk, pidana dan bukan pidana sebagai pilihan-pilihannya, the amount or type of punishment which may be justified is limited by what is referred to as the principle of just deserts or the principle of proportionality .15)

Jadi apabila seseorang mengadakan suatu penderitaan istimewa terhadap seorang anggota masyarakat lain, maka sudah seimbanglah bahwa orang itu diberi suatu penderitaan yang sama besarnya dengan penderitaan yang telah dilakukannya terhadap orang lain anggota masyarakatnya tersebut.16)

Meskipun telah dikemukakan karakteristik dari teori pembalasan pada kenyataannya, pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang kearah sifat-sifat sadistis, sentimental. Sehingga pembicaraan terhadap teori ini dirasakan kepentingan tujuan untuk penghukuman sebenarnya lebih diutamakan.

b. Teori Relatif atau Tujuan

Pandangan dari teori ini mengisyaratkan bahwa hukuman merupakan suatu cara untuk mencapai suatu tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Tujuan penghukuman itu sendiri adalah untuk melindungi ketertiban, untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum dan ditujukan pula kepada pelanggar agar tidak mengulangi pelanggarannya. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa hukuman disamping mempunyai suatu prevensi umum juga mengandung prevensi khusus. Leonard Orland, berpendapat bahwa hukum pidana bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kejahatan, pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang cenderung melakukan kejahatan.17)

15) Charles W. Thomas, Donna M. Bishop, Criminal Law : Understanding Basic Principle, Vol. 8 Law and Criminal Justice Series, Clifornia : Sage Publication, Inc. Newbury Park, 1987, p. 76

16) Gerson Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, Pradsnya Paramita, Jakarta, 1997, h. 58

17) Leonard Orland, Justice, Punishment, Treatment The Correctional process, New York, 1973. h. 184

(9)

Charles W. Thomas dan Donna M.Bishop, mengemukakan bahwa teori tujuan (utilitarian) dari hukuman merupakan pandangan ke depan (forward looking) daripada ke belakang (backward looking). Hukuman dilukiskan sebagai sesuatu tanpa dasar moral.

Menurutnya ruang lingkup pencegahan kejahatan ada tiga, yaitu : general deterrence (pencegahan umum), berhubungan dengan bagaimana ancaman specific deterrence, and incapacition. 18)

Berkenaan dengan pemidanaan recidive anak, terjadinya pengulangan dapat didekati berdasarkan teori ini, yang lebih mengarahkan pada pengaruh pidana itu.

c. Teori Campuran atau Konvergensi

Toeri ke tiga dipelopori oleh Pellegrino Rossi (1787-1848), yang menurutnya tujuan pidana disamping pembalasan dalam aspek lain bertujuan perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi umum. Penulis-penulis lain yang berpendirian seperti ini adalah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schimid, dan Beling. 19)

Tujuan pidana menurut teori ini, beberapa sarjana berpendapat. Richard D.

Schawrt dan Jerome H. Skolnick mengemukakan bahwa sanksi pidana dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism); mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the performance of similar acts); menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam (to provide a channel for the expression of retaliatory motive);.20)

Hingga dewasa ini ada tiga konsep pemikiran yang mendominasi hukum pidana, sebagaimana dikemukakan oleh Antonio A.G. Peters, yaitu pertama aliran klasik (the Classical School), yang menitikberatkan pada permasalahan undang-undang dalam usaha untuk memberantas kejahatan; kedua, aliran modern/kriminologi (modern of criminology), yang menitikberatkan pada pencegahan kejahatan serta perlakuan terhadap pelaku kejahatan; ketiga, aliran pengawasan sosial (school of social control), yang menitikberatkan kepada pembahasan politik perencanaan dan organisasi.21) Disamping

18) op.cit. p. 79

19) op.cit. h. 19

20) ibid. h. 19-24

21) Antoni A. G. Peter, Aliran-aliran Utama dalam Teori-teori Hukum Pidana, terj. S2 Ilmu Hukum Undip, Semarang, 1996

(10)

ada yang menyebutkan dua aliran saja dalam hukum pidana yaitu aliran klasik dan aliran modern.

Lembaga dimana hakim tersebut bekerja yaitu pengadilan merupakan organisasi yang unik dan pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat.

Chamblis, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo22) memberikan kriteria penentu yang disebut dengan faktor penentu, dalam mencermati pengadilan, yaitu Tujuan yang hendaknya dicapai dengan penyelesaian sengketa itu.; Tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat.

Perkembangan hukum menuju hukum modern dewasa ini, membawa karakteristik perubahan pada aspek sosiologi pengadilan. Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo 23), bahwa sejak munculnya hukum modern, maka segalanya berubah dan pengadilan menjadi struktur yang formal rasional, prosedural, dan birokratis. Ini adalah bagian dari perkembangan hukum yang makin menjadi institusi otonom dalam administrasi, metodologi, dan seterusnya.

Selanjutnya dengan munculnya hukum modern ini, mengakibatkan makin meluas pula pembicaraan tentang pengadilan, terutama hakim sebagai wujud personalitas pengadilan dituntut cakap dan professional dalam menghadapi setiap realitas permasalahan. Dalil-dalil yang diterapkan oleh hakim semuanya merujuk pada peraturan- peraturan yang berlaku. Untuk pelaksanaan proses verbal pada pelaku kejahatan anak, yang tidak secara substansial pada recidive anak, hakim disamping merujuk pada hukum pidana formil, juga merujuk pada hukum pidana materil, yatiu Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Selama pengambilan keputusan masih belum dilakukan dengan peralatan mekanik, selama itu pula faktor manusia, yaitu hakim masih perlu dipelajari dalam berbagai seluk beluk. John P. Dawson, mengemukakan bahwa, hakim itu adalah manusia dan dengan begitu tidak selalu memenuhi harapan. Di Amerika Serikat, menurutnya pemakaian Pemilihan Umum dan pemilihan dengan cara penunjukkan bagi seseorang hakim tidak diharapkan untuk mendapatkan hakim yang terbaik dan teradil.24) Apabila dicermati di sidang pengadilan,

22) Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, h. 52.

23) ibid, h.alaman 2.

24) Jhon P. Dawson, dikutip dari Berman, Harold J. Ceramah-ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, terj. Gregory Churchil, Jakarta, PT Tata Nusa, 1996, h. 23

(11)

muncul konflik dan itu nyata, yaitu ada dalam pikiran yang bertentangan satu dengan yang lain. 25) Alam pikiran dari terdakwa, yang bersifat subjektif dan secara vital terlibat dengan suatu kejadian yang penting sekali baginya sendiri, disamping itu adalah alam pikiran dari hakim, yang mengejar objektivitas, dan tidak vital terlibat pada kejadian dalam sidang pengadilan itu serta penyelesaian perkara pidana yang dipandang sebagai pekerjaan biasa. Dengan keadaan ini dua alam pikiran itu bertabrakan keras, tetapi kadang-kadang pula keduanya ini sama sekali tidak saling menyinggung..

Lebih lanjut dikemukakan Satjipto Rahardjo26), mengadili itu bukanlah melakukan sesuatu terhadap hal-hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili adalah suatu proses yang dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan manusia. Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Oleh karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia antara hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan sebagai memperlakukan ketidakadilan.

Mengingat persoalan hakim sebagai pribadi dan interaksi sosialnya berpngaruh pada pemberian pidana, maka Djoko Prakoso27) mengemukakan bahwa berkenaan dengan pemberian pidana faktor perkembangan masyarakat sudah semestinya menjadi pertimbangan pula dari hakim, karena hakim dalam menjatuhkan pidana wajib mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau meringankan pidana.

Faktor-faktor ini tidak hanya dicari pada diri si pembuat, akan tetapi juga pada hal-hal yang objektif yang terletak di luar motif dan sifat si pembuat.

Atas persoalan tersebut sebelum hakim memutus suatu perkara bersalah atau tidak bersalah, seorang hakim itu harus dapat mengemban nilai-nilai cultural masyarakat, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa jauh pindah tugas dari hakim atau masa kerja di Pengadilan tertentu, untuk dapat memahami kondisi sosio-kultual di daerah-daerah Indonesia. Pemahaman terhadap masalah ini, sungguh besar pengaruhnya yang dimungkinkan pada objektivitas keputusan yang mencerminkan keadilan substansial. Menurut Nicholas Henry, dikutip oleh Alo Liliweri28), ketertutupan organisasi pengadilan menurut perkembangan hukum dan masyarakat, pada sisi-sisi

25) Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakartas, 1984., h. 22

26) op.cit., 23

27) op.cit. 21

28) Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 33

(12)

tertentu mempunyai kendala. Kendala tersebut tercermin apabila pengadilan sebagai organisasi, kurang memperhatikan pola-pola perkembangan masyarakat dimana institusi itu berada. Ketertutupan organisasi mengakibatkan pembicaraan tentang pengadilan dan keadilan tiada putus-putusnya.

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono ini, space untuk mencanangkan pola dan sasaran pembangunan cukup besar. Strategi politik telah berimbang, bahwa kekuatan rakyat dapat mengimbangi kekuatan pemerintah baik eksekutif, legislative dan yudikatif. Dalam Pembangunan di bidang hukum khususnya, hukum yang bersifat responsive, yang menanggalkan hukum represif dan otonom, secara pragmatis terimplementasikan dalam tahapan formulasi peraturan, baik pusat maupun di daerah.

Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan29) more specifically, responsive law fosters civility in two basic ways : overcoming the parochialism of communal morality;

and encouraging a problem-centered and socially integrative approach to crises of public order.

Responsivitas tersebut dapat dilakukan dengan merumuskan suatu model sebagai langkah pembangunan bidang hukum yaitu dari aspek penanggulangannya. Menurut Willis,30) (1964,1965), menyebut suatu teori dengan istilah model, model itu hanya menggambarkan suatu keadaan, tidak mencari hubungan sebab-akibat, yang juga memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang nyata (possibilities) yang benar-benar terjadi, sedangkan teori membahas juga kebolehjadian (probability) yang secara teoritis bisa terjadi, tetapi dalam kenyataannya belim tentu akan terjadi. Sampai saat ini upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Bahkan akhir-akhir ini pada bagian akhir kebanyakan perundang-undangan hampir selalu dicantumkan sub bab tentang “ketentuan pidana”. Pada hampir setiap produk legislatif hukum pidana selalu dipanggil/digunakan untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang. Fenomena legislatif tersebut demikian

29) Philippe Nonet, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Harper & Row Publishers, New York, Hagerstone, San Fransisco, page 91.

30) Willis, RH, Descriptive Models of Social Respons, Technical Report, Norn Contract, 816 (12), Washington University, 1964

(13)

menarik untuk dikaji dari sudut kebijakan hukum pidana (penal policy) sebagai sarana penanggulangan kejahatan.31) Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penal mempunyai banyak keterbatasan yang selama ini dijadikan sandaran hukum bagi penegak hukum. Sudarto mengemukakan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu gejala (Kurieren am Sympton) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.32) Lebih lanjut Johannes Andenaes mengemukakan bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita.33) Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.34) Sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas dari “general deterrence” karena mekanisme pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti

“kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.35) Efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih effisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.36) Karl O. Christiansen mengemukakan pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral

31) Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen, 2002, halaman 1-2

32) Sudarto, Hukum pidana dan Perkembangan Masyarakat, 1983, halaman 35

33) J. Andenaes, Does Punishment Deter Crime ? dalam Philosopical Perspektive on Punishment, Gertrude Ezorsky (Ed), New York, 1972, 346.

34) H.D Hart (ed), Punishment : For and Agains, New York, 1971, hal 21

35) H.D Hart. Ibid, hal 15

36) Donald R. Taft and Ralp W. England. Criminology, 1964. h. 315

(14)

(reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (strenghening the collective solidarity), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of public feeling of security), mengurangi atau meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan-ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya.

Sanksi hukum pidana selama ini terhadap pelaku kejahatan bukanlah obat (remidium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, tetapi sekadar untuk mengatasi gejala/akibat dari penyakit, atau dengan kata lain sanksi pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekadar pengobatan simptomatik.

Disamping itu pendekatan pengobatan yang ditempuh oleh hukum pidana selama ini sangat terbatas dan fragmentair yaitu terfokus pada dipidananya si pembuat (sipenderita penyakit), dengan demikian efek preventif dan upaya perawatan/penyembuhan (treatment atau kurieren) lewat sanksi pidana lebih diarahkan pada tujuan mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana/kejahatan” (efek prevensi spesial maupun prevensi general) dan bukan untuk mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi.

Dengan kata lain keterbatasan kemampuan hukum pidana antara lain dapat dilihat juga dari sifat/fungsi pemidanaan selama ini, yaitu pemidanaan individual/personal dan bukan pemidanaan yang bersifat struktural/funsional.

Herbert L. Packer mengemukakan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu

“pengancaman yang utama”.37)

Penanggulangan Non Penal ini menitikberatkan pada upaya pembinaan atau penyembuhan terpidana/pelanggar hukum (treatment of offenders) maupun dengan pembinaan/penyembuhan masyarakat (treatment of society).Habib-Ur-Rahman Khan mengatakan apabila kejahatan dipandang sebagai produk masyarakat, maka masyarakatlah yang membutuhkan perawatan/pembinaan dan bukan si penjahat, I suggest that, just as in the 19th century attention was diverted from to its author- the criminal, we should go a step further and focus our attention, not on the criminal, but on to its author- society. We will have to change our socio-political and economic system that breeds

37) Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968. h. 366

(15)

criminals.38) Pengertian treatment of society mempunyai arti upaya pembinaan/penyembuhan masyarakat dari kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan (antara lain faktor kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran, kebodohan, rendahnya standar hidup yang layak, kemiskinan, diskriminasi rasial dan sosial). Bertolak dari konsep “treatment of society”patut pula kiranya dikembangkan kebijakan struktural/fungsional. Dalam sistem pemidanaan yang struktural/fungsional pertanggungjawaban dan pembinaan tidak hanya tertuju secara sepihak dan fragmentair pada pelaku kejahatan, tetapi lebih ditekankan pada fungsi pemidanaan yang bersifat totalitas dan struktural, yang artinya pemidanaan tidak hanya berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina si pelaku kejahatan, tetapi berfungsi pula untuk mempertanggungjawabkan dan membina/mencegah pihak-pihak lain yang secara struktural/fungsional mempunyai potensi besar untuk terjadinya kejahatan serta berfungsi pula memulihkan atau mengganti akibat-akibat/kerugian yang timbul pada diri korban.

II.A.2. Aspek Kebijakan Pembaharuan hukum pidana

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Urgensi diadakannya pembaharuan hokum pidana dapat ditinjau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dengan demikian pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hokum di Indonesia. Pembaharuan hokum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy. Didalam setiap kebijakan terkandung pula peritimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hokum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Pembaharuan hokum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan adalah a. sebagai bagian dari kebijakan social, artinya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah social (termasuk didalamnya masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu

38) Habib-Ur-Rahman Khan. Prevention of Crime-It is society which needs “The Treatment, Not The Criminal, dalam Resource Material Series No. 6, 1973, halaman 132-133

(16)

kesejahteraan masyarakat, b. sebagai bagian dari kebijakan criminal, artinya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan), c.

sebagai bagian dari kebijakan penegakan hokum, artinya bagian dari upaya memperbaharui substansi hokum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.39) Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (re-orientasi dan re- evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan substantive hokum yang dicita-citakan.

II. B.. Hasil yang sudah dicapai

Hasil penelitian di LPAN Blitar, dan Pengadilan Negeri Blitar serta pada individu anak pidana dan recidivistnya diketahui pada Tahun 2000 yang dilakukan peneliti tentang sebab-sebab mereka melakukan kejahatan/pengulangan kejahatan, adalah karena dilatarbelakangi dari keluarga yang tidak mampu, disamping penyebab karena orang tua ke Luar Negeri, rata-rata sebagai TKI. Dapat di simpulkan bahwa masalah ekonomi sebagai primer problem. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di negara berkembang saja akan tetapi di negara majupun demikian. Kesepakatan negara-negara untuk mencegah tidak terjadinya faktor kondusif, penyebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka mencegah kejahatan diadakan usaha memperbaiki keadaan sosial, ekonomi masyarakat.

Sebenarnya hal ini sudah diformulasikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari strategi kebijakan kesejahteraan sosial (sosial welfare policy), sekaligus strategi pembangunan yang dicanangkan dalam landasan operasional di Indonesia. Standard ekonomi itu sendiri dapat dikatagorikan pada destitution, proverty, normal, confort, dan luxury . Dalam mengulas masalah delinquency, didasari oleh para penganut teori Marx, para sosial workers dan kaum humanitarian yang dianggap sebagai teori tertua yang mempersepsikan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan.

Kemudian pada tahun 2005, dengan hasil yang dicapai untuk mengetahui sebab- sebab terjadinya recidive anak, lokasi wilayah hukum PN Kota Malang, diketahui bahwa akibat itu karena keluarga yang tidak mampu; orang tua kurang perhatian, karena keluar negeri ; persidangan yang tidak dihadiri oleh orang tua. Tentang keluarga yang

39) Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1996, halaman 31-32

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan mengeksploitasi anak sebagai pengemis jalanan adalah faktor internal yaitu Faktor Kejiwaan/Psikologis,

Berdasarkan penelitian, Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan berencana yang dilakukan di Kota Palu antara lain karena faktor ekonomi, lingkungan

Setelah memaparkan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah terhadap anak kandung atau dengan kata lain kejahatan

Berdasarkan penelitian, Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan berencana yang dilakukan di Kota Palu antara lain karena faktor ekonomi, lingkungan

Dari uraian faktor-faktor tersebut di atas dapat dilihat bahwa untuk mengetahui penyebab terjadinya kejahatan terhadap anak maka harus dilihat faktor-faktor yang

Banyak dugaan mengenai faktor penyebab terjadinya banjir di ruas jalan krakatau sampai jalan Tawes salah satu nya karena saluran drainase yang tidak di rawat dengan baik

• Obesitas merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya stroke, karena obesitas dapat mengganggu sistem sirkulasi darah yang diakibatkan karena penyempitan pembuluh

Berdasarkan penelitian, Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan berencana yang dilakukan di Kota Palu antara lain karena faktor ekonomi, lingkungan