• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan

N/A
N/A
Zolasip 19

Academic year: 2025

Membagikan "Pembahasan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pembahasan

Tingginya persentase tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, paparan asap dapur, serta kurangnya ventilasi udara. Faktor-faktor ini dapat melemahkan sistem imun, sehingga tubuh lebih rentan terhadap infeksi kuman tuberculosis (Elisa dkk. Rahmawati,2016)

Berdasarkan hasil tersebut dapat diperoleh bahwa sebagian besar responden tuberkulosis paru di RSU Al-Fatah kota Ambon distribusi usia responden relatif merata, namun kelompok usia muda (17–25 tahun) dan lanjut usia (>65 tahun) merupakan kelompok terbanyak. Hal ini menunjukkan bahwa penderita tuberkulosis paru tidak hanya berasal dari usia lanjut saja, melainkan juga usia muda, yang berkaitan dengan imunitas tubuh, paparan lingkungan, dan gaya hidup.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), usia 46–55 tahun dikategorikan sebagai masa lansia awal, sementara usia 56–65 tahun merupakan masa lansia akhir. Pada usia tersebut, umumnya terjadi penurunan sistem kekebalan tubuh yang dapat mempermudah infeksi TB. Meskipun demikian, usia muda (17–25 tahun) yang termasuk usia remaja akhir dan awal dewasa, juga menunjukkan jumlah penderita yang cukup tinggi. Hal ini bisa disebabkan oleh aktivitas sosial yang tinggi dan interaksi yang intens dengan lingkungan luar, sehingga meningkatkan risiko penularan TB.

Sementara itu, responden dengan usia produktif (26–45 tahun) cukup signifikan, yaitu sebanyak 5 responden (13.9%). Usia produktif merupakan rentang usia di mana seseorang aktif bekerja dan berinteraksi secara luas, sehingga berisiko tinggi terhadap penularan tuberkulosis. Selain itu, tekanan kerja dan gaya hidup yang kurang sehat juga dapat menjadi faktor risiko tambahan.

(2)

Dengan demikian, hasil ini menegaskan pentingnya pendekatan pencegahan dan pengobatan TB yang menyeluruh di semua kelompok usia, tidak hanya pada lansia, tetapi juga kelompok usia muda dan produktif.

Pengobatan ini ditujukan untuk pasien tuberkulosis paru baru, baik yang terdiagnosis TB BTA positif maupun TB BTA negatif dengan gejala klinis dan radiologis toraks yang sesuai. Rejimen yang digunakan adalah 2(HRZE)/4(HR) dengan dosis harian, yaitu dua bulan pertama (fase intensif) menggunakan kombinasi Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol, kemudian dilanjutkan empat bulan (fase lanjutan) dengan kombinasi Isoniazid dan Rifampisin.

Obat diberikan dalam bentuk tablet kombinasi dosis tetap yang disesuaikan dengan berat badan pasien berdasarkan pedoman nasional tahun 2019. Dosis di hitung berdasarkan berat badan pasien dimana Isoniazid 5 mg/kgBB dengan dosis maksimum 300 mg per hari, Rifampicin 10 mg/kgBB dengan dosis maksimum 600 mg per hari, Pirazinamid 15 mg/kgBB,Etambutol 15 mg/kgBB dan Streptomicin 15 mg/kgBB.

Penyesuaian dosis ini bertujuan untuk memastikan efektivitas pengobatan, mengurangi risiko toksisitas, dan mencegah terjadinya resistensi obat.

Penggunaan KDT dinilai lebih praktis karena jumlah tablet yang dikonsumsi lebih sedikit, sehingga meningkatkan kepatuhan pasien. Selain itu, pemberian obat secara kombinasi tetap memudahkan pengawasan oleh tenaga kesehatan dan menekan kemungkinan kesalahan dalam penggunaan obat.

Selain dari gejala yang dialami penderita, dapat digunakan dokter sebagai dasar pertimbangan diagnosis tuberkulosis paru pada pasien terduga tuberkuosis paru, yaitu uji bakteriologis. Uji bakteriologis yakni berupa pemeriksaan dahak mikroskopis

(3)

langsung yang bertujuan menegakan diagnosis dan untuk mengetahui bakteri yang berada didahak pasien merupakan basil tahan asam atau tidak. Hasil tes dahak BTA (Basil Tahan Asam) positif artinya pasien postif menderita tubekulosis.

Ketepatan dosis dalam penelitian ini mengacu pada Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, di mana pemberian obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) harus disesuaikan dengan berat badan pasien. Adapun dosis yang dianjurkan dalam pedoman tersebut adalah Isoniazid 5 mg/kgBB dengan dosis maksimum 300 mg per hari, Rifampicin 10 mg/kgBB dengan dosis maksimum 600 mg per hari, Pirazinamid 15 mg/kgBB, Etambutol 15 mg/kgBB, dan Streptomisin 15 mg/kgBB.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketidaktepatan dosis disebabkan oleh pemberian resep dengan dosis yang kurang. Terdapat 6 kasus di mana pasien menerima dosis obat yang lebih rendah dari yang seharusnya. Pada pasien dengan berat badan 54 kg, diberikan OAT KDT kategori 1 berupa RHZE (150/75/400/275) mg sebanyak 3 tablet dan RH (150/75) mg sebanyak 3 tablet. Berdasarkan perhitungan berat badan, dosis harian Rifampicin yang dibutuhkan adalah 10 mg × 54 kg = 540 mg, dan dosis harian Isoniazid adalah 5 mg × 54 kg = 270 mg. Dengan demikian, pasien tersebut seharusnya mendapatkan 4 tablet, bukan 3 tablet, agar sesuai dengan dosis yang dianjurkan dalam pedoman. Selanjutnya, pada pasien dengan berat badan 38 kg, diberikan RHZE (150/75/400/275) mg sebanyak 3 tablet dan RH (150/75) mg sebanyak 3 tablet. Berdasarkan pedoman, Rifampicin dengan dosis 10 mg/kgBB seharusnya diberikan sebanyak 380 mg per hari dan Isoniazid 5 mg/kgBB sebanyak 190 mg per hari. Dengan formulasi yang tersedia, 3 tablet RHZE dan RH memberikan

(4)

Rifampicin 450 mg dan Isoniazid 225 mg, yang secara nominal melebihi kebutuhan.

Namun, karena sistem dosis tetap tidak bisa dipisahkan per komponen, maka dosis ini masih dapat diterima. Namun dalam praktiknya, pasien dengan berat badan 38 kg seharusnya diberikan 2 tablet, bukan 3 tablet. Selanjutnya, pasien dengan berat badan 54 kg juga diberikan RHZE (150/75/400/275) mg sebanyak 3 tablet dan RH (150/75) mg sebanyak 3 tablet. Berdasarkan perhitungan, Rifampicin seharusnya diberikan sebanyak 540 mg per hari dan Isoniazid 270 mg per hari. Pemberian 3 tablet hanya mencukupi 450 mg Rifampicin dan 225 mg Isoniazid, sehingga dosis ini tergolong kurang. Pasien dengan berat badan 54 kg seharusnya menerima 4 tablet untuk mencapai dosis yang sesuai pedoman. Pada pasien dengan berat badan 72 kg, diberikan RHZE (150/75/400/275) mg sebanyak 4 tablet dan RH (150/75) mg sebanyak 4 tablet. Dengan berat badan tersebut, dosis Rifampicin yang dibutuhkan adalah 720 mg dan Isoniazid 360 mg. Pemberian 4 tablet RHZE dan RH menghasilkan Rifampicin sebanyak 600 mg dan Isoniazid sebanyak 300 mg, yang masih di bawah dosis yang seharusnya. Meskipun dosis tersebut masih dalam batas maksimum yang diizinkan (maksimal Rifampicin 600 mg dan Isoniazid 300 mg), berdasarkan bobot badan, dosis ini seharusnya dinaikkan atau ditambahkan formulasi tunggal untuk mencapai dosis optimal. Pasien dengan berat badan 54 kg yang diberikan kombinasi obat terpisah, yaitu H (75 mg) sebanyak 3 tablet, R (150 mg) sebanyak 3 tablet, dan E (250 mg) sebanyak 2 tablet. Berdasarkan perhitungan, pasien ini seharusnya menerima Isoniazid 270 mg, Rifampicin 540 mg, dan Etambutol 810 mg. Namun dengan dosis tersebut, pasien hanya menerima Isoniazid 225 mg, Rifampicin 450 mg, dan Etambutol 500 mg, yang seluruhnya di bawah dosis yang dianjurkan.Pasien dengan

(5)

berat badan 52 kg diberikan RHZE (150/75/400/275) mg sebanyak 3 tablet dan RH (150/75) mg sebanyak 3 tablet. Dengan berat badan tersebut, pasien seharusnya mendapatkan Rifampicin sebanyak 520 mg dan Isoniazid sebanyak 260 mg. Namun, kombinasi 3 tablet hanya memberikan Rifampicin 450 mg dan Isoniazid 225 mg, sehingga dosis ini juga termasuk kurang.

Ketidaktepatan dosis dalam penelitian ini umumnya terjadi karena dosis yang diberikan berada di bawah standar perhitungan berdasarkan berat badan pasien, sesuai dengan pedoman nasional. Hal ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam menentukan jumlah tablet yang diberikan agar pengobatan tuberkulosis dapat berlangsung efektif dan sesuai standar.

Obat Anti Tuberkulosis diberikan supaya menyembuhkan penyakit tuberkulosis dan meningkatkan kepatuhan pasien. Tetapi apabila terjadi kesalahan dalam peresepan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), maka akan terjadi kelebihan atau kekurangan dosis pada semua jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan resiko toksisitas atau kekurangan dosis memudahkan resistensi obat. Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu pengobatan cukup lama, apabila terdapat kekurangan dosis dikhawatirkan pengobatan tidak efektif sehingga pasien timbul resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan memungkinkan pasien melakukan pengobatan ulang jika hasil akhir BTA (Basil Tahan Asam) tetap positif (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan data yang didapat bahwa terdapat penderita tuberkulosis kekurangan dosis dan kelebihan dosis. Kekurangan dosis dapat menyebabkan resistensi dan dosis obat belebih dapat menyebabkan toksisitas obat.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab lain adalah p€nggu- naan kombinasi dosis tetap yang produlGinya tidak dilakukan de- ngan baik Resistensi obat TB juga disebabkan p€nyediaan obat lEng tidak reguler

 Benar Dosis : Memastikan dosis yang diberikan sesuai dengan rentang pemberian dosis untuk cara pemberian tersebut, berat badan dan umur klien; periksa dosis pada label obat

Dosis yang kurang sesuai dibedakan menjadi dua, yaitu dosis obat yang berlebih dalam penggunaan (Overdose) dan dosis obat yang masih kurang dalam mengatasi penyakit yang

Dosisnya (jumlah tablet yang diminum / disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. Paket

Tabel 1. Dosis Antibiotik sesuai Umur dan Berat Badan Balita ... Dosis Parasetamol sesuai Umur dan Berat Badan Balita ... Pilihan Antibiotik untuk ISPA Berdasarkan Educated Guess

• Pemilihan dosis obat (C3) / dosis subterapi : dosis obat yang digunakan saat ini tidak disesuaikan dengan BSA pasien sehingga dosis obat yang diberikan

International Union Against Tuberculosis and lung Disease (IULTD) dan WHO menyarankan untuk mengganti panduan obat tunggal dengan kombinasi dosis.. tetap yang

Jumlah asupan kalori harus benar disesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan pada tinggi dan berat badan. Penderita gangguan asam urat yang kelebihan berat