i
TESIS
PEMBERIAN MELATONIN ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN LIMFOSIT DAN LEUKOSIT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN
YANG DIBERI METILPREDNISOLON
WIDYA CHRISTINE MANUS NIM 1490761042
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
PEMBERIAN MELATONIN ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN LIMFOSIT DAN LEUKOSIT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN
YANG DIBERI METILPREDNISOLON
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
WIDYA CHRISTINE MANUS NIM 1490761042
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 30 MEI 2016
Mengetahui, Pembimbing I
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila Sp.And., FAACS NIP. 194612131971071001
Pembimbing II
Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK NIP. 194606191976021001
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK NIP.1958052119850312002
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP.195902151985102001
iv
PENETAPAN PENGUJI
Tesis ini telah diuji pada Tanggal………
Penguji tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : ……/UN14.4/HK/2016, Tanggal:…………..
Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Sekretaris : Prof. dr. I Gusti.Made Aman, Sp.FK
Anggota : 1. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And 2. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes 3. Dr. dr. Desak Made Wihandani, M. Kes
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : dr. Widya Christine Manus
NIM : 1490761042
PROGRAM STUDI : ILMU BIOMEDIK
JUDUL TESIS : PEMBERIAN MELATONIN ORAL MENGHAMBAT
PENURUNAN LIMFOSIT DAN LEUKOSIT
PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIBERI METILPREDNISOLON
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 1 Maret 2016
(dr. Widya Christine Manus)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kepada Tuhan atas rahmat dan karunia serta penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis dan penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang telah dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Direktur Program Pascasarjana Prof. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), serta Dr. dr. Gde. Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana.
Terima kasih Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS, selaku Pembimbing I, yang selalu meluangkan waktu dan pemikiran untuk membimbing, mengarahkan, mengoreksi dan memberikan tantangan serta masukan yang berharga kepada Penulis dalam penelitian dan seluruh proses pembuatan tesis ini.
Terima kasih kepada Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, selaku pembimbing II untuk kesabaran, pemikiran, bimbingan dan waktu yang sangat berharga yang telah diberikan kepada penulis dalam setiap tahap penyusunan tesis ini.
vii
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis ini, yaitu Prof dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And, dan Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes,, yang telah menginspirasi penulis dalam proses menemukan tema dan judul pembuatan tesis serta koreksi dan masukan yang sangat berharga.
Terima kasih sebesar-besarnya juga untuk Dr. dr. Desak Made Wihandani, M.Kes telah dengan sabar dan teliti memberikan koreksi, bimbingan dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Hormat dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama masa pendidikan yang tentunya akan bermanfaat untuk masa depan penulis.
Kepada seluruh staf biomedik Bapak Eddy Suantara, Geg Wahyu, Geg Amie, Geg Enni, Mba Yethi yang selalu membantu serta menyemangati penulis selama menjalankan studi dan menyelesaikan tesis. Terima kasih juga untuk Bapak Gede Wiranatha selaku staf bagian Farmakologi serta Ferbian Siswanto, SKH untuk bantuan dan masukan dan ilmu selama penelitian.
Kepada semua teman-teman AAM Angkatan IX terima kasih untuk kekompakan serta semangat bersama-sama menyelesaikan setiap proses dalam perkuliahan, penelitian hingga penyusunan tesis. Teristimewa untuk sahabat, kakak-kakakku teman seperjuangan (dr.Iftitah Yuniar Sashanti, dr. Herti Silalahi, dr. Ni Nyoman Susiyati, dr. Ni Gusti Ayu Nyoman Sri Aryani, dr. Juriah, dr. Syska Martala Dewi, dr.
Sugeng Ibrahim) penulis sangat bangga menjadi bagian dari keluarga ini.
viii
Untuk papaku tercinta Dr. Ir. Oddy Arnold Manus, M.Sc., yang selalu menjadi penyemangat dan inspirasi, terima kasih untuk teladan, cinta yang tidak terhingga, guru dalam kehidupan dan selalu menjadi sumber kekuatan. Mama tersayang Ir. Fetty Indriaty, adik-adikku tersayang Arini Manus, S.H., dan Noriko Manus serta yang terkasih Prayudi Utomo untuk cinta, kesabaran, limpahan doa dan dukungan yang tiada henti kepada penulis serta terima kasih untuk pengertian, pengorbanan dan serta kepercayaan yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tesis ini.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi kita semua.
Denpasar, Maret 2016 Penulis,
Widya Christine Manus
ix
ABSTRAK
PEMBERIAN MELATONIN ORAL MENGHAMBAT PENURUNAN LIMFOSIT DAN LEUKOSIT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
JANTAN YANG DIBERI METILPREDNISOLON
Sistem imun yang adekuat berfungsi dalam mempertahankan tubuh dari infeksi, penyakit autoimun serta kanker. Limfosit dan leukosit berperan penting dalam mengatur sistem kekebalan manusia. Penurunan sistem imunitas tubuh seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Limfosit dan leukosit memiliki peranan yang penting dalam menentukan status imunitas seseorang. Baik kuantias maupun kualitas limfosit dan leukosit harus dalam keadaan homeostasis, supaya sistem imun dapat bekerja secara optimal. Metilprednisolon adalah salah satu jenis kortikosteroid sering digunakan sebagai obat anti inflamasi. Salah satu efek samping pada penggunaan jangka panjang metilprednisolon adalah imunosupresi.
Menurunnya kadar melatonin seiring proses penuaan memiliki peran dalam gangguan sistem imun. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pinea berperan dalam siklus sirkadian berfungsi untuk melindungi sistem imun. Reseptor melatonin juga terdapat pada sel limfosit dan leukosit dengan meningkatkan ekpresi gen yang mentranskripsi sitokin untuk proliferasi dan kemotaksis sel imun. Tujuan dari penelitian ini untuk membuktikan bahwa pemberian melatonin oral dapat menghambat penurunan limfosit dan leukosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon.
Rancangan penelitian ini adalah eksperimental murni dengan post-test only control group design menggunakan 32 ekor tikus putih jantan. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol diberikan metilprednisolon 0,144 mg/200 g tikus 3 kali sehari dan aquades sedangkan kelompok perlakuan diberikan metilprednisolon 0,144/200 g tikus 3 kali sehari dan melatonin 0,054 mg/200 g tikus, malam hari. Penelitian dilakukan selama 14 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan metilprednisolon dan melatonin memiliki jumlah limfosit yang lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok kontrol yang hanya diberikan metilprednisolon dan plasebo (4,95±1,58 103/L vs 3,091,33103/L darah (p<0,01). Kelompok yang diberikan metilprednisolon dan melatonin memiliki jumlah leukosit yang lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok kontrol yang hanya diberikan metilprednisolon dan plasebo (8,37±2,02x103/L darah vs 6,70±1,96 x 103/L darah) (p<0,05).
Disimpulkan bahwa melatonin oral dapat menghambat penurunan limfosit dan leukosit pada tikus yang diberikan metilprednisolon.
Kata kunci: melatonin, leukosit, limfosit, sistem imun, metilprednisolon
x
ABSTRACT
ORAL MELATONIN INHIBIT THE DECREASE LYMPHOCYTE AND LEUKOCYTE IN MALE ALBINO RAT (RATTUS NORVEGICUS)
TREATED WITH METHILPREDNISOLON
Adequate immune system function is defend the body from infection, autoimmune disease and cancer. Lymphocytes and leukocytes play an important role in regulating the human immune system. Decline in the immune system as the aging process causes the body vulnerable to diseases. Lymphocytes and leukocytes have an important role in determining a person's immune status. Both the quantity and quality of the lymphocytes and leucocytes should be in a state of homeostasis, so the immune system can work optimally. Methylprednisolone is one type of corticosteroid often used as an antiinflammatory medications. One of the side effects of the long-term use of methylprednisolone is immunosuppressed. The reduced levels of melatonin as the aging process is believed have a role in the immune system havoc. Melatonin is a hormone produced by the pineal gland and plays a role in the circadian cycle and to protect the immune system. Melatonin receptors present at lymphocytes and leukocytes that play role in the human’s immune system by increasing the expression of genes that transcribes cytokines in proliferation and chemotaxis of immune cell.
Aim of this study to prove that the administration of oral melatonin can inhibit the decrease of lymphocytes and leukocytes in rats (Rattus norvegicus) male Wistar strain were given methylprednisolone.
The design of this study was true experimental with post-test only control group design using 32 male rats. Rats were divided into 2 groups: control group and the treatment group. Control group was given methylprednisolone 0.144 mg/200 g rat 3 times a day and aquadest while the treatment group was given methylprednisolone 0.144/200 g rat 3 times a day and 0.054 mg/200 g melatonin once daily. The blood was taken after 14 days of treatment.
The results showed that the group that was given methylprednisolone and melatonin has a number of lymphocytes significantly higher than the control group
who were given methylprednisolone and placebo (4.95±1.58x103/L vs 3.091.33x103/L blood (p<0.01). In addition the group was given
methylprednisolone and melatonin had a number of leukocyte significantly higher than the control group who were given methylprednisolone and placebo (8.37±
2.02x103/ L blood vs 6.70 ± 1.96x103/L blood) (p<0.05).
This study concluded that oral melatonin inhibited the decrease number of lymphocytes and leukocytes in rats given methylprednisolone.
Keywords: melatonin, leukocyte, lymphocyte, immune system, methylprednisolone
xi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PENETAPAN PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...……… xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………... 1
1.2 Rumusan Masalah………..… 6
1.3 Tujuan Penelitian………... 6
1.4 Manfaat Penelitian………... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan………... 8
2.2 Sistem Imun……… 10
2.2.1 Sistem Imun Nonspesifik ……….……….. 11
2.2.2 Sistem Imun Spesifik ………..……….. 12
2.2.3 Sitokin……… 13
2.2.4 Leukosit………. 14
2.2.5 Limfosit………. 14
2.3 Hubungan SistemImun dan Penuaan………. 15
2.3.1 Sistem Imun Nonspesifik dan Penuaan………. 16
2.3.2 Sistem Imun Spesifik dan Penuaan………... 17
2.3.3 Penuaan dan Gangguan Fungsi Imun….………... 18
2.4 Imunomodulator………..……….…..……… 19
2.5 Kortikosteroid……… 19
2.5.1 Metilprednisolon……… 24
xii
2.6 Melatonin………... 25
2.6.1 Fisiologi Melatonin………..…………. 25
2.6.2 Fungsi dan Manfaat Melatonin……….……. 31
2.6.3 Melatonin sebagai Imunomodulator……….. 31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir……….……….. 39
3.2 Konsep Penelitian……… 41
3.3 Hipotesis Penelitian……… 41
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan penelitian………. 42
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 43
4.2.1 Lokasi Penelitian………..……... 43
4.2.2 Waktu Penelitian ………..…….. 44
4.3 Subjek dan Sampel……….. 44
4.3.1 Variabilitas Populasi……… 44
4.3.2 Kriteria Sampel……… 44
4.3.3 Besaran Sampel……… 45
4.3.4 Teknik Penentuan Sampel……… 46
4.4 Variabel Penelitian………. 46
4.4.1 Klasifikasi Variabel ………. 46
4.4.2 Definisi Operasional Variabel……….. 47
4.4.3 Perhitungan Dosis Melatonin ………..…………... 49
4.4.4 Perhitungan Penghentian Paparan Cahaya Setelah Konsumsi Melatonin……….. 50
4.4.5 Perhitungan Dosis Metilprednisolon………. 50
4.5 Bahan dan Alat Penelitian ………. 51
4.6 Prosedur Penelitian………. 52
4.6.1 Pemeliharaan hewan tikus percobaan………... 52
4.6.2 Pelaksanaan Pemeriksaan………. 53
4.6.3 Pengambilan Darah Perifer Tikus Wistar ………... 54
4.6.4 Alur Penelitian……….. 56
4.7 Analisis Data………... 57
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Analisis Deskriptif……….… 58
5.2 Uji Normalitas………... 59
5.3 Uji Homogenitas……….... 60
xiii
5.4 Analisis Komparabilitas………..… 61
5.4.1 Analisis Komparabilitas Jumlah Leukosit………... 61
5.4.2 Analisis Komparabilitas Jumlah Limfosit……….……..……… 62
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian……….………... 64
6.2 Pengaruh Metilprednisolon Terhadap Jumlah Leukosit dan Limfosit…... 65
6.3 Pengaruh Melatonin Terhadap Jumlah Leukosit dan Limfosit………….. 67
6.4 Peran Melatonin Pada Sistem imun dan AAM…………...……….. 69
6.5 Kelemahan Penelitian………. 70
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan………. 71
7.2 Saran……… 71
DAFTAR PUSTAKA………. 75
LAMPIRAN………. 78
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Gambaran Umum Sistem Imun……….……...… 10
2.2 Dasar Molekular Hubungan Penuaan Dan Sistem Imun……….…….…….... 18
2.3 Mekanisme Penghambatan NF-kB oleh Glukokortikoid……….………….... 20
2.4 Efek Glukokortikoid Terhadap Sel-sel Imun………..………. 23
2.5 Biosintesis Melatonin………... 26
2.6 Jalur Sintesis Melatonin………...……… 26
2.7 Pengaruh Cahaya Dalam Sekresi Melatonin……….………... 27
2.8 Reseptor Melatonin………...……….……... 28
2.9 Kadar Sekresi Melatoin Malam Hari Dihubungkan Dengan Usia………….. 30
2.10 Efek Aktivasi Sistem Imun Oleh Melatonin………...…… 34
. 2.11 Melatonin Melalui Reseptor Membran Inti Meningkatkan IL-2………...…..………… 36
2.12 Mekanisme Autokrin IL-2 pada Sel T……… 37
3.1 Konsep Penelitian………... 41
4.1 Bagan Rancangan Penelitian……….………. 42
4.2 Hubungan antara Variabel Bebas dan Tergantung………. 47
4.4 Bagan Alur Penelitian……….………..56
5.1 Rerata Jumlah Leukosit Kelompok Kontrol dan Perlakuan………. 62
5.2 Rerata Jumlah Limfosit Kelompok Kontrol dan Perlakuan………. 63
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Efek Kortikosteroid dan Transkripsi Gen………... 21
2.2 Distribusi Reseptor Melatonin Pada Berbagai Organ Tubuh……….. 29
5.1 Analisis Deskriptif Hasil Penelitian………. 59
5.2 Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian………... 60
5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Penelitian………... 60
5.4.1 Rerata Jumlah Leukosit antar Kelompok………... 61
5.3.2 Rerata Jumlah Limfosit antar Kelompok………63
xvi
DAFTAR SINGKATAN APC : Antigen Presenting Cell
cAMP : Cyclic adenosine monophosphate CD : Cluster of Differentiation
COX-2 : Cyclooxygenase-2 DNA : Deoxyribonucleic Acid
ERK : Extracellular signal-regulated kinase
GH : Growth hormone
GM-CSF : Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor HIOMT : Hydroxyindole-O-methyl-transferase
HIV : Human Immunodeficiency Virus IFN-y : Interferon gamma
IL : Interleukin
JAK : Janus Kinase
LPS : Lipopolisakarida
MAPK : Mitogen-Activated protein kinase
MHC-II : Major Histocompatibility Complex-Class II NAT : N-acetyl-transferase
NF-кB : Nuclear Factor kappa B
NK : Natural Killer
NO : Nitrit oxide
NOS : Inducible nitric oxide synthase RHT : Retinohypothalamic
RNS : Reactive Nitrogen Spesies ROS : Reactive Oxygen Species SCN : Supra Chiasmatic Nuclear SLE : Systemic Lupus Erythematous
Sel T : Limfosit T
Sel B : Limfosit B
STAT : Signal Tranducer and Activator of Transcription
Tc : Limfosit T cytotoxic
TGF-β : Transforming Growth Factor β
Th : Limfosit T helper
TLR : Toll Like Receptor
TNF-α : Tumor Nuclear Factor alpha Treg : Limfosit T regulator
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Ethical Clearance ... 78
2. Hasil Penelitian Pendahuluan……….. .. 79
3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 82
4. Analisis deskriptif ... 83
5. Uji Normalitas ... 84
6. Uji Homogenitas ... 85
7. Uji Komparasi ... 86
8. Dokumentasi Penelitian ... 87
xviii BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman, bahaya yang berasal dari infeksi mikroorganisme patogen, autoimun ataupun kanker. Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah sekumpulan gejala atau penyakit akibat adanya defek pada sistem imun.
Leukosit terdiri dari sel neutrofil, eosinofil, basofil yang memiliki granul pada permukaan sitoplasma serta limfosit dan monosit yang tidak memiliki granul pada sitoplasma.Jumlah normal total leukosit adalah 4,3–10,8 x 109/L, terdiri dari neutrofil 45-74%, limfosit 16–45%, monosit 4-10%, eosinofil 0-7% dan basofil 0-2%.
Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme patogen secara fagositik sedangkan limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang tidak memiliki fungsi fagositik. Limfosit dan leukosit berperan penting dalam sistem imun.
Baik kuantitas maupun kualitas dari limfosit dan leukosit penting dalam menjaga homeostasis dari fungsi sistem imun (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
Penuaan didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan menjadi tua atau kemunduran fungsi tubuh yang tidak terelakkan sejalan dengan peningkatan usia.
Menjadi tua adalah bagian alami dari proses kehidupan itu sendiri. Kedokteran 1
xix
konvensional memandang proses penuaan tidak dapat dicegah sehingga lebih mengupayakan pada pengobatan penyakit sedangkan pada anti aging medicine (AAM) dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, penuaan dianggap sebagai penyakit
yang dapat dicegah, diobati serta dikembalikan ke keadaan semula. Melalui paradigma baru ini, diharapkan manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
(Pangkahila, 2011).
Penuaan merupakan proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan sejumlah reaksi biokimia disertai dengan perubahan molekul yang diwujudkan dalam sebuah sel tunggal maupun dalam keseluruhan organisme. Proses ini mencerminkan terjadinya perubahan yang terjadi pada organisme hidup yakni, bertambahnya usia menyebabkan gangguan fungsional dan peningkatan patologi. Penuaan ditandai dengan menurunnya kemampuan untuk menanggapi stres. Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh dikenal sebagai immunosenescence. Situasi ini menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap penyakit menular dan kanker akibat kapasitas penurunan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi rangsangan antigen, berubahnya lingkungan mikro sitokin serta penurunan kemampuan kedua imunitas, yakni imunitas bawaan dan imunitas yang didapat (Srinivasan dkk., 2005).
Adanya peningkatan maupun penurunan jumlah leukosit dan limfosit, di perifer maupun pada sumsum tulang, dihubungkan dengan berbagai keadaan penyakit yang menyebabkan gangguan pada sistem imunitas. Di pihak yang lain, meskipun jumlah sel-sel imun dalam batas normal, dibutuhkan morfologi normal serta kemapuan sel-
xx
sel imun menanggapi respon yang efektif diperlukan dalam mengatur keseimbangan sistem imun (Carrillo-Vico dkk., 2013).
Kortikosteroid adalah obat yang telah digunakan sejak tahun 1940 dan hingga saat ini masih sering digunakan dalam dunia kedokteran. Kortikosteroid paling banyak digunakan sebagai obat alergi dan anti inflamasi sebab kortikosteroid dapat menghambat pelepasan mediator radang melalui penghambatan NF-кB. Namun di sisi lain, penggunaan kortikosteroid juga dapat menghalangi respon yang berperan dalam kemotaksis neutrofil, hambatan fagositosis makrofag dan pelepsan sitokin oleh makrofag serta menginhibisi proliferasi limfosit T dan limfosit B melalui penghambatan IL-2. Efek samping yang bisa terjadi umumnya disebabkan oleh terapi dosis tinggi atau penggunaan jangka panjang kortikosteroid (Zendkk., 2011). Salah satu jenis kortikosteroid adalah metilprednisolon. Saat ini, metilprednisolon sering dipakai dalam jangka waktu yang panjang oleh manusia untuk mengatasi penyakit alergi dan inflamasi. Adapun efek samping dan komplikasi pada penggunaan metilprednisolon adalah osteoporosis, gangguan pertumbuhan, kelemahan otot, gangguan emosi, imunosupresi hingga imunodefisiensi (Coutinho dan Chapman, 2010).
Hormon memegang peranan penting dalam proses fisiologis tubuh. Fungsi hormon ini bekerja dengan baik pada usia muda dan menurun fungsinya seiring dengan pertambahan usia. Hormon yang berkaitan dengan pemeliharaan fungsi imunitas juga menurun seiring usia sehingga mengakibatkan perubahan fisiologi normal dan memediasi penyakit degeneratif. Penurunan dalam produksi sejumlah
xxi
hormon yang terkait dengan usia diantaranya adalah growth hormone (GH), estrogen, testosteron dan melatonin (Pangkahila, 2011).
Melatonin, merupakan hormon yang berperan dalam siklus sirkadian diproduksi terutama oleh kelenjar pineal serta dalam jumlah yang kecil diproduksi pula pada retina dan sel-sel euchromatin saluran pencenaan bagian bawah. Banyak studi mengatakan bahwa melatonin berfungsi secara umum untuk meningkatkan kualitas tidur pada orang sehat. Selain digunakan untuk terapi pada kasus jet-lag, melatonin memiliki aktivitas antioksidan serta berperan pada sistem imun manusia (Pangkahila dan Wong, 2015). Menurunnya kadar melatonin seiring proses aging diyakini memiliki peran dalam immunoscenecence (Carrillo-Vico dkk., 2013). Penurunan melatonin seiring proses penuaan dihubungkan dengan kerentanan terhadap infeksi, penyakit autoimun serta kanker (Srinivasan dkk., 2005).
Para ahli dalam penelitiannya menunjukkan adanya kemungkinan interaksi antara melatonin dan sistem kekebalan tubuh. Penghambatan sintesis melatonin menyebabkan penghambatan respons imunitas seluler dan respons imunitas humoral pada tikus (Salucci dkk., 2013).
Kadar melatonin yang tinggi pada bayi baru lahir terbukti sebagai efek protektif dari respiratory distress syndrome. Pemberian melatonin pada tikus yang terinfeksi dengan Venezuelan Equine Encephalomyelitis Virus (VEEV) terbukti menekan mortalitas hingga 16% daripada tikus yang tidak diberikan melatonin (Carrillo-Vico dkk., 2013). Kadar melatonin yang rendah ditemukan pada orang dengan infeksi HIV.
xxii
Pada penelitian yang melibatkan 77 orang terinfeksi HIV ditemukan kadar melatonin rendah, sel Th1 yang rendah serta IL-12 yang rendah (Pandi-Perumnal dkk., 2006).
Melatonin memiliki cara yang unik dalam mengatur sistem imunitas tubuh.
Melatonin terbukti berperan sebagai anti inflamasi dan antioksidan. Melatonin juga memiliki kemampuan baik sebagai anti apoptosis dan proapoptosis (Da-Silva-Ferreira dkk., 2010). Melatonin memiliki kemampuan melindungi serta turut meregulasi sel- sel hematopoiesis, mencegah atrofi timus terhadap efek dari obat kemoterapi kanker (Salucci dkk., 2013). Pada studi in vivo pemberian implan melatonin dapat meningkatkan sel Th2 (Pandi-Perumal dkk., 2006). Melatonin memiliki peran dalam melindungi sel imun dan efek imunostimulan, melalui kemampuan peningkatan IL-2 yang berperan dalam proliferasi limfosit serta memperkuat fungsi limfosit, sel dendritik, makrofag dan sel imun yang lain (Carrillo-Vico dkk., 2013; Szczepanik, 2007).
Penelitian keterkaitan tentang hubungan hormon dan sistem imun masih terbatas.
Penelitian tentang manfaat melatonin sudah banyak dilakukan tetapi yang dikaitkan dengan sistem imunitas juga masih terbatas. Sehingga perlu dibuktikan secara ilmiah adanya keterkaitan antara sistem imun dan hormon. Kortikosteroid paling banyak digunakan sebagai obat alergi dan anti inflamasi. Di masyarakat luas, sering terjadi penyalahgunaan kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan imunosupresi. Salah satu jenis kortikosteroid yang sering digunakan adalah metilprednisolon. Limfosit dan leukosit baik kuantitas dan kualitasnya penting dalam menjaga integritas sistem imun. Dalam hal ini jumlahnya memegang peranan
xxiii
yang penting dalam status imunitas. Atas dasar hal tersebut maka penelitian ini dibuat untuk membuktikan apakah melatonin mampu mencegah imunodefisiensi sekunder akibat penggunaan jangka panjang kortikosteroid.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.2.1 Apakah melatonin dapat menghambat penurunan jumlah limfosit pada tikus
putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon?
1.2.2 Apakah melatonin dapat menghambat penurunan jumlah leukosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk membuktikan bahwa pemberian melatonin dapat menghambat penurunan jumlah limfosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon.
1.3.2 Untuk membuktikan bahwa pemberian melatonin dapat menghambat penurunan jumlah leukosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon.
xxiv 1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Memberikan informasi ilmiah mengenai peran melatonin dalam menghambat penurunan jumlah limfosit dan leukosit. Dapat dipergunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya tentang penggunaan melatonin sebagai imunostimulator.
1.4.2 Manfaat Aplikasi
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat dipakai sebagai acuan masyarakat agar lebih memahami manfaat dari penggunaan melatonin.
xxv BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah sekumpulan gejala atau penyakit akibat adanya defek pada sistem imun. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman, bahaya yang berasal dari infeksi mikroorganisme patogen, autoimun ataupun kanker. Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang disebabkan oleh usia (Ponnappan dan Ponnappan, 2011).
Para ahli mencoba menyodorkan banyak teori untuk menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Sacara umum teori tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear pada prinsipnya berusaha menjelaskan bahwa tubuh menjadi lemah dan lelah lalu meninggal adalah akibat dari penggunaan dan kerusakan yang berlangsung terus menerus, meliputi teori kerusakan DNA, glikoslasi dan radikal bebas. Teori program, berkeyakinan bahwa tubuh memiliki jam biologis meliputi terbatasnya replikasi, proses imun dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2011). Beberapa teori tentang penuaan antara lain:
1. Teori Radikal Bebas
Pada tahun 1954 muncul teori radikal bebas yang memiliki argumen bahwa penumpukan radikal bebas dalam tubuh menyebabkan penuaan dan kematian
8
xxvi
makhluk hidup dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas eksogen dan endogen dapat memicu serangkaian kerusakan pada struktur meolekular yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fungsi fisiologis (Winarsi, 2010).
2. Teori Proses Imun
Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh dikenal sebagai immunosenescence. Situasi ini menyebabkan peningkatan kerentanan tubuh terhadap penyakit menular dan kanker akibat kapasitas penurunan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi rangsangan antigen, berubahnya lingkungan mikro sitokin serta penurunan kemampuan kedua imunitas, yakni imunitas bawaan dan imunitas yang didapat (Srinivasan dkk., 2005).
Teori ini juga menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi pada kelenjar timus. Timus ini adalah sumber dari sel T dewasa yang berperan penting pada sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak berkurang secara drastis namun terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011).
3. Teori Neuroendokrin
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofisis dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh pada usia muda, namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan produksi hormon,
xxvii
yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman dan Klatz, 2007).
2.2 Sistem Imun
Sistem imun berfungsi mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbentuk dari gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam melawan infeksi. Respons imun terbentuk dari koordinasi dan komunikasi reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
Gambar 2.1 Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Renggani, 2009)
Sistem Imun
Nonspesifik spesifik
Fisik Seluler Larut
Kulit
Selaput lendir
Silia
Batuk
bersin
Biokimia:
Asam lambung
Lisozime
Laktoferin
Asam neurominik Humoral:
Komplemen
Mediator asal lipid
sitokin
Fagosit mononuklear
Pomorfo- nuklear
Sel NK
Sel Mediator
Basofil
Sel mast
Sel B
IgA
IgG
IgM IgE
IgD
Sitokin
Humoral seluler
Sel T
Th1
Th2
Ts/Tr/Th3
Tdth
CTL/Tc
NKT
Th7
xxviii
Imunitas (kekebalan) merupakan terminologi yang digunakan untuk respons spesifik dari sistem imun. Kekebalan terhadap infeksi, baik yang terbentuk mengikuti paparan organisme penyebab maupun yang dapat dirangsang secara buatan dengan imunisasi terutama untuk resiko paparan. Pada gambar 2.1 dengan jelas menerangkan pembagian sistem imun. Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Kresno, 2013).
2.2.1 Sistem Imun Nonspesifik a. Pertahanan fisik
Pertahanan fisik terdiri dari kulit yang utuh dan epitel lapisan mukus yang dalam kondisi normal tidak dapat ditembus mikroorganisme patogen. Disamping itu, tubuh melakukan gerakan yang dapat membuang mikroorganisme, seperti pada refleks batuk, bersin dan muntah, bersama-sama dengan gerakan yang konstan seperti bergetarnya silia pada traktus respiratorius dan peristaltik usus (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
b. Pertahanan biokimia
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu mengandung laktosidase dan asam neuraminik yang bersifat antibakteri terhadap E.coli dan asam dalam saluran pencernaan oleh enzim proteolitik dan cairan empedu dalam usus halus dan oleh asiditas vagina. Zat kimia
xxix
ini membentuk lingkungan yang tidak nyaman untuk bakteri yang bukan flora normal (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
c. Pertahanan humoral
Sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai molekul larut. Faktor larut lainnya diproduksi ditempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid dan sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α (Kresno, 2013).
d. Pertahanan Seluler
Fagosit, sel natural killer (NK), sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun nonspesifik seluler. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Fagositosis adalah garis pertahanan kedua tubuh terhadap agen infeksius. Pertahanan ini terdiri dari proses penelanan dan pencernaan mikroorganisme serta toksin setelah berhasil menembus tubuh (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
2.2.2 Sistem Imun Spesifik a. Humoral
Pemeran utama dalam sistem sel imun spesifik humoral adalah sel B atau limfosit B. Sel B berasal dari sel multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berpoliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepaskan dapat ditemukan di dalam serum (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
xxx b. Seluler
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T berasal dari sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam timus. Sel T terdiri dari beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu CD4+ (Th1, Th2), CD8+ ( CTL/Tc) dan T regulator (Th3). Fungsi sistem imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.
(Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
2.2.3 Sitokin
Sitokin merupakan protein pemberi sinyal intraseluler yang bekerja secara lokal dengan parakrin atau autokrin dengan terikat pada reseptor yang memiliki afinitas dan memacu reaktivitas sistem imun, baik pada imunitas spesifik atau nonspesifik.
Sitokin diproduksi oleh makrofag atau monosit, limfosit, sel-sel endotel, hepatosit, sel-sel epitel keratinosit dan fibroblas. Sitokin jika dijumpai dalam sirkulasi, biasanya terdapat dalam konsentrasi pikogram permililiter (pg/mL) (Kresno, 2013).
Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik dan spesifik untuk mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respons nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh sitokin disamping juga makrofag memproduksi sitokin-sitokin tersebut. IL-1, IL-6, TNF-α, merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Inteleukin juga berperan dalam proliferasi sel-sel imun diantaranya IL-1,IL-2 dan IL-6 (Kresno, 2013).
xxxi 2.2.4 Leukosit
Leukosit merupakan sel darah yang memiliki nukleus dan tidak bewarna.
Bentuknya bulat dalam peredaran darah, tetapi berupa sel ameboid pleimorfik dalam jaringan, atau pada substrat padat in vivo. Leukosit terdiri dari leukosit leukosit granular atau leukosit nongranular. Leukosit granular terdiri dari eosinophil, basofil, dan neutrofil. Leukosit nongranular terdiri dari dari limfosit dan monosit. Jumlah leukosit adalah 4,3–10,8 x 109/L, dengan neutrofil 45–74%, limfosit 16–45%, monosit 4–10%, eosinofil 0–7%, dan basofil 0–2% (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
Pelepasan zat kimia dan sitokin oleh jaringan yang rusak pada proses inflamasi menyebabkan leukosit bergerak mendekati (kemotaksis positif) atau menjauhi (kemotaksis negatif) sumber zat. Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme patogen secara fagositik sedangkan limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang tidak memiliki fungsi fagositik (Kresno, 2013).
2.2.5 Limfosit
Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa merupakan limfosit yang terdiri dari sel B dan sel T yang merupakan kunci pengontrol sitem imun. Pada keadaan normal, sel limfosit hanya memberikan reaksi terhadap zat asing tetapi tidak terhadap selnya sendiri. Limfosit berasal dari sel-sel sumsum tulang merah, tetapi melanjutkan diferensiasi dan proliferasinya dalam organ lain (Chaplin, 2009).
xxxii
Sel T imatur (pada organ timus) ditandai dengan sel timus double negative (CD4- dan CD8-) sedangkan sel T yang sudah matur akan bersirkulasi ke darah perifer ditandai dengan double positive (CD4+ dan CD8+). Sel T yang naïve (imatur) akan berkembang menjadi dua subset, yaitu sel Th1 dan Th2. Polarisasi ke arah sel Th1 atau Th2 bergantung pada berbagai faktor tanskripsi yang diaktivasi maupun lingkungan mikro dan sitokin khususnya IL-12, IFN-γ dan IL-4. Keseimbangan antara limfosit Th1 dan Th2 harus dalam keadaan seimbang untuk mempertahankan inegritas sistem imun (Kresno, 2013).
Sel B bertanggung jawab atas pembentukan immunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Terdapat hubungan antara sel B dan sel T, dimana sel Th2 dapat membantu produksi antigen oleh sel B (Kresno, 2013).
Sel NK adalah sel yang tidak mengekspresikan reseptor antigen di permukaan sehingga dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa perlu disensitisasi terlebih dahulu tanpa bergantung pada produk MHC (Kresno, 2013).
2.3 Hubungan Sistem Imun dan Penuaan
Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia. Sistem imunitas tubuh berfungsi membantu perbaikan DNA, mencegah infeksi organisme patogen serta menghasilkan antibodi untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Fungsi sistem imunitas tubuh menurun sesuai umur. Seiring bertambahnya usia manua lebih rentan terhadap seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik.
xxxiii
Pada keadaan immunosenescence dapat terjadi penurunan fungsi pada sistem imun nonspesifik dan dan spesifik (Srinivasan dkk., 2005).
2.3.1 Sistem Imun Nonspesifik dan Penuaan
Pada sistem imun nonspesifik, terjadi penurunan fungsi pertahanan epithelial seperti kulit, paru, dan saluran gastrointestinal dan tubuh lebih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Granulosit, makrofag dan monosit secara jumlah relatif sama, namun menunjukkan pergeseran fungsi. Pengamatan yang dilakukan pada granulosit terutama neutrofil pada orang lanjut usia dan pada tikus tua terlihat adanya penurunan signifikan fungsi utama granulosit, seperti penurunan kemotaksis dan menurunnya kemampuan fagositosis. Fungsi Penurunan respons juga dialami oleh neutrofil terhadap GM-CSF dan tejadi peningkatan apoptosis neutrofil seiring usia (Ponnappan dan Ponnappan, 2011).
Makrofag adalah monosit yang berfungsi sebagai sensor patogen di jaringan.
Pada usia lanjut fungsi fagositosis makrofag juga menurun disertai penurunan reseptor MHC-II di permukaan sel dan ditemukan ekspresi toll-like reseptor (TLR).
Adanya ekspresi TLR dipercaya dapat menginduksi sitokin proinflamasi (Ponnappan dan Usha Ponnappan, 2011).
Sel NK merupakan mediator alamiah tubuh terhadap virus dan sel tumor. Sel NK berfungsi untuk menjadi jembatan antara respons imun nonspesifik dan spesifik.
Adanya penurunan sel NK dipercaya sebagai salah satu patogenesis terjadinya kanker (Solana dkk., 2006).
xxxiv
Terdapat juga pengaruh penuaan terhadap sel-sel dendritik. Orang tua mempunyai jumlah sel-sel dendritik yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang lebih muda meskipun sel-sel tersebut masih menunjukkan kemampuannya sebagai antigen presenting cell dan dalam merangsang aktifasi dan proliferasi sel limfosit T namun terjadi penurunan kemampuan sel-sel tersebut dalam memproses, menyaji dan melakukan fagositosis terhadap antigen (Ponnappan dan Ponnappan, 2011).
2.3.2 Sistem Imun Spesifik dan Penuaan
Sistem imun spesifik diperankan oleh sel limfosit T dan limfosit B. Adanya antigen akan merangsang respons imun spesifik. Pada mulanya akan mengaktifasi sel limfosit T. Sekali sel limfosit T teraktifasi, sel tersebut akan melawan antigen dan merangsang aktifasi sel limfosit B. Sel limfosit B yang teraktifasi akan merangsang pembentukan antibodi yang akan melawan antigen tersebut. Masalah utama penuaan pada sistem imun spesifik terletak pada kemampuan sel limfosit T dan limfosit B untuk mengadakan pembelahan sel secara cepat. Sel limfosit B akan menghasilkan antibodi bila terpapar antigen. Pada proses penuaan, terjadi keterlambatan respons dalam memproduksi imunoglobulin. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua (Srinivasan dkk., 2005).
xxxv 2.3.3 Penuaan dan Gangguan Fungsi Imun
Gambar 2.2 Dasar Molekular Hubungan Penuaan Dan Sistem Imun (Ponnappan dan Ponnappan, modified, 2011)
Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang disebabkan oleh usia. Pada proses penuaan, terjadi pergeseran faktor transkripsi, stres oksidatif yang menumpuk, ketidakmampuan DNA untuk memperbaiki diri, kerusakan telomer, involusi timus serta perubahan sel T, Sel B dan APC mengakibatkan akumulasi dan peningkatan NF-кB. Peningkatan NF-кB dihubungkan dengan inflamm-aging/oxi- inlamm-aging yang akan menyebabkan apoptosis sel imun, peningkatan risiko infeksi
xxxvi
serta penurunan imunitas nonspesfik dan spesifik, seperti yang dijelaskan pada gambar 2.2 (Ponnappan dan Ponnapan, 2011).
2.4 Imunomodulator
Imunomodulator adalah obat yang diharapkan memperbaiki dan mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun yang fungsinya terganggu atau menekan fungsinya yang berlebihan. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation. Imunostimulan atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun (Carrillo-Vico dkk., 2013).
Bahan yang disebut imunostimulator yaitu hormon, timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, ekstrak leukosit, bahan asal bakteri dan jamur juga bahan sintetik seperti levamisol, isoprinosin, muramil dipeptida dan lain-lain. Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau autoinflamasi. Bahan yang berfungsi sebagai agen imunosupresi seperti metotreksat, steroid (glukokortikoid dan kortikosteroid) dan lain-lain.
(Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
2.5 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat bertahan menghadapi
xxxvii
perubahan lingkungan dan infeksi. Kortikosteroid dihasilkan dari korteks adrenal kelenjar suprarenal yang terdiri dari hormon glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Homon ini banyak fungsi metabolisme karbohidrat, keseimbangan cairan dan elektrolit. Dapat memperbaiki gejala klinik penyakit tetapi bukan merupakan terapi kausalis. Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulator. Hormon ini menghambat transkripsi terhadap gen yang mengkode sitokin proinflamasi dengan cara menurunkan aktivitas NF-кB sehingga, kortikosteroid akan menghambat sintesis atau
aksi
sebagian besar sitokin proinflamasi (Rhen dan Cidlowski, 2005).
xxxviii
Gambar 2.3 Mekanisme Penghambatan NF- кB oleh Glukokortikoid (Rhen dan Cidlowski, 2005)
Glukokortikoid, bermanfaat untuk menghambat NF-кB dan turunan-turunannya (gambar 2.2). Terdapat tiga bukti yaitu: (1) Glukokortikoid meningkatkan mRNA IкB (Inhibitor famili NF-кB), yang menyebabkan meningkatnya protein IкB dan peningkatan sekuestrasi NF-кB di sitoplasma; (2) Reseptor glukokortikoid bersaing dengan NF-кB untuk berikatan dengan kofaktor; (3) Reseptor glukokortikoid secara langsung berikatan dengan subunit p65 NF-кB dan menghambat pengaktifannya (Rhen dan Cidlowski, 2005).
Tabel 2.1
Efek Kortikosteroid dalam Transkripsi Gen (Barnes, 2006)
xxxix
Kortikosteroid sintetik sebagai imunosupresan, mampu menghambat transkripsi sejumlah sitokin, kemokin, molekul peptide, enzim inflamasi, peptida yang dapat menurunkan jumlah ataupun kemotaksis sel radang seperti leukosit, limfosit dan makrofag (Barnes, 2006).
Penghambatan terhadap proses inflamasi juga terlihat pada penghambatan NO, COX-2 dan phospholipase A2 oleh kortikosteroid. Mekanime ini melalui penghambatan NF-кB secara tidak langsung mempengaruhi kemotaksis leukosit dan sistem imun nonspesifik (Kresno, 2013). Ekpresi iNOS dipengaruhi oleh infeksi bakteri, LPS dan sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNF-α, IFNγ). Kortikosteroid besama dengan IL-10, TGFβ berefek negatif terhadap ekspresi iNOS (Sukumaran dkk., 2012).
Limfosit Th1 dan Th2 memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan perbedaan sitokin yang dihasilkan. Sel Th2 memproduksi IL-10, sebaliknya sel Th1 tidak.
Fungsi IL-10 adalah dengan menghambat beberapa jenis sitokin (IL-1, TNF, kemokin dan IL-12). Kortikosteroid melalui induksi IL-10 menghambat fungsi makrofag karena menghambat ekspresi MHC II. Dampak akhir dari aktivitas IL-10 adalah hambatan sistem imun nonspesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T (Kresno, 2013).
Efek imunosupresi kortikosteroid pada sel-sel imun akibat terjadinya penghambatan transkripsi gen untuk induksi pelepasan terutama oleh IL-1 dan IL-2.
xl
IL-1 yang diroduksi oleh makrofag akan merangsang ekspresi IL-2 pada permukaan limfosit T serta pembentukan IL-2. IL-2 dapat menginduksi proliferasi sel T terutama berperan pada fase G1 ke fase S dari siklus sel. IL-2 juga berfungsi merangsang proliferasi limfosit B dan produksi antibodi, serta aktivitas Sel NK. Akibat penghambatan terutama terhadap IL-1 dan IL-2 mengakibatkan limfopenia (Kresno, 2013).
Peningkatan annexin A1 sebagai efek glukokortikoid mampu menimbulkan efek imunosupresi pada imunitas nonspesifik dengan cara mengganggu aktivitas dan migrasi leukosit dan makrofag. Di sisi yang lain, efek imunosupresi glukokortokoid ternyata menekan annexin A1 sehingga menurunkan proliferasi dan aktivasi sel T serta menurunkan diferensiasi sel Th1 dan meningkatkan aktivitas dan diferensiasi sel Th2 pada respon imun didapat (gambar 2.4).
Gambar 2.4 Efek Glukokortikoid Terhadap Sel-Sel Imun
xli
(Perretti dan D'Acquisto, 2009)
Kortikosteroid sistemik yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang terutama pada pasien asma dihubungkan dengan hipogammaglobulinemia (Aun dkk., 2010). Penghambatan aktivitas sel B juga dapat diakibatkan penurunan IL-6, dimana IL-6 merupakan faktor induksi utama pada diferensiasi sel fase terminal, juga mempercepat pertumbuhan dan diferensiasi sel B (Kresno, 2013).
TNF-α merupakan mediator utama pada proses inflamasi akut diproduksi terutama oleh makrofag, sel T, B, dan NK (Kresno, 2013). Metilprednisolon mampu menghambat produksi maupun jalur pembentukan TNF-α. Metilprednisolon ternyata juga mampu memperkuat TGF-β dengan cara meningkatkan ekspresi SMAD3 dan menurunkan ekspresi SMAD7 yang merupakan inhibitor terhadap cascade SMAD, dalam hal ini merupakan imunosupresan yang kuat dengan menekan proliferasi dan maturasi sel T, B serta menekan aktivitas makrofag (Davis dkk., 2013). Hambatan terhadap kemotaksis dan perlekatan makrofag juga diinhibisi oleh kortikosteroid (Flaster dkk., 2007).
Kortikosteroid dosis tinggi dan yang dilepaskan selama inflamasi terlihat meningkatkan apoptosis timosit yang dimediasi oleh induksi caspase-9 (Zen dkk., 2011). Timus merupakan organ limfoid primer yang berfungsi dalam maturasi sel T.
Thymopoiesis dipengaruhi diantaranya oleh sitokin seperti IL-1, IL-3, IL-6, IL-7 macrophage-colony stimulating factor, granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sel T imatur ditandai dengan sel timus double negarive (CD4- dan
xlii
CD8-) sedangkan sel T yang sudah matur ditandai dengan double positive (CD4+ dan CD8+). Double positive sel adalah paling sensitif terhadap reaksi glukokortikoid yang menginduksi apoptosis melalui aksi TGF-β. Medula timus menghasilkan IL-6.
Timosit dalam proliferasi dan perkembangan membutuhkan IL-6 (Lynch, 2009).
Sedangkan kortikosteroid menurunkan ekpresi IL-6 (Barnes, 2006).
2.5.1 Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah derivat dari prednisolon yang mempunyai kelebihan sebagai anti inflamasi yang sangat kuat dengan efek samping yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan steroid yang lain. Berbeda dengan kortikosteroid yang lain yang memiliki efek kuat terhadap mineralokortikoid, efek glukokortikoid metilprednisolon lebih dominan. Metilprednisolon mempunyai waktu paruh 6-12 jam di dalam darah, dan mempunyai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam setelah diberikan.
Metilprednisolon 4-48 mg per oral lazim digunakan pada kasus alergi dan inflamasi kronik (Sinha dan Bagga, 2008). Adapun efek samping dan komplikasi pada penggunaan metilprednisolon adalah osteoporosis, gangguan pertumbuhan, kelemahan otot, gangguan emosi dan penurunan fungsi sistem imun (Coutinho dan Chapman, 2010).
2.6 Melatonin
2.6.1 Fisiologi Melatonin
Dalam kelenjar pineal, terdapat dua tipe sel yaitu pinealocytes, yang dibedakan menjadi asidofil dan basofil yang berfungsi menghasilkan indolamin (terutama
xliii
melatonin) dan peptida, dan sel neuroglial (Al- Hussain, 2006). Melatonin atau yang juga disebut N-acethyl-5-methoxytryptamine disintesis dari serotonin. Pada biosintesis melatonin yang diilustrasikan pada gambar 2.5 tryptophan yang sedang bersirkulasi diambil dan diubah menjadi 5- hydroxytryptophan oleh tryptophan hydroxylase. 5-hydroxytryptophan kemudian didekarboksilasi menjadi serotonin.
Serotonin diubah menjadi melatonin melalui rangkaian proses yang melibatkan enzim N-acetyl-transferase (NAT) sebagai pembatas sintesis melatonin dan enzim hydroxyindole-O-methyl-transferase (HIOMT). Aktivasi kedua enzim ini ditentukan oleh mRNA yang dipengaruhi oleh siklus siang malam (Sanchez dkk., 2015) .
Gambar 2.5 Biosintesis Melatonin (Sanchez dkk., 2015)
Melatonin berperan penting dalam sinkronisasi peristiwa biologis yang dicetuskan oleh isyarat lingkungan eksternal. Supra chiasmatic nuclear (SCN) yang terletak pada hipotalamus anterior berfungsi sebagai pacemaker yang mengatur sekresi melatonin (gambar 2.6). Irama sekresi dipengaruhi oleh ransangan cahaya
xliv
dalam hal ini siklus terang dan gelap. Sekresi melatonin dirangsang oleh kegelapan dan dihambat oleh cahaya (Doghramji, 2007).
Gambar 2.6 Pengaruh Cahaya Dalam Sekresi Melatonin (Dubocovich, 2007) Informasi cahaya ditangkap oleh sel rod dan cone pada retina. Sepanjang hari, SCN secara aktif memproduksi arousal signal yang mempertahankan kesadaran dan menghambat dorongan untuk tidur. Fotoreseptor di mata terhubung melalui saluran retinohypothalamic (RHT) ke SCN. Pada malam hari, sebagai respons pada keadaan gelap, terjadi feedback loop pada SCN yang diawali dengan pengiriman sinyal untuk memicu produksi hormon melatonin yang menghambat aktivitas SCN (gambar 2.7).
Jalur ini akan aktif pada saat gelap, karena aktivitas saraf ganglion cervical superior dihambat oleh terang. Noradrenalin disekresikan oleh saraf terminal dari ganglion cervical superior dan menstimulasi kelenjar pineal melalui reseptor B, yang akan mensintesis cAMP untuk mengaktifkan NAT (Yonei dkk., 2009).
xlv
Gambar 2.7 Jalur Sintesis Melatonin (Yonei dkk., 2009)
Melatonin dapat memicu tidur dengan cara menekan wake promoting signal atau neuronalfiring pada SCN. Pemicu tidur pada hypothalamic ventrolateral preoptic nucleus dan aktivitas pemicu terjaga pada locus coeruleus, dorsal raphe, dan tuberomammillary nuclei, sistem yang dapat mengatur sleep switchin. SCN dapat mempengaruhi kedua subsistem ini melalui ventral subparaventricular zone menuju ke hypothalamic dorsomedial nucleus, dimana berbagai fungsi sirkadian diregulasi.
Proyeksi dari dorsomedial nucleus menuju ventrolateral preoptic nucleus dapat memicu tidur, sedangkan proyeksi menuju lateral hypothalamus berhubungan dengan aktivitas yang terjadi dalam keadaan terjaga. Melatonin dapat mempengaruhi switching mechanism ini dan mempercepat sleep onset melalui reseptor-reseptor yang banyak terdapat pada SCN (Yonei dkk., 2009).
xlvi
Gambar 2.8 Reseptor Melatonin (Slominski dkk., 2012)
Seperti pada gambar 2.8, melatonin mengakibatkan berbagai aktivitas biologi melalui reseptor MT1 dan MT2 membran reseptor (G protein-coupled) atau melalui reseptor nuklear (ROR/RZR). Di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan calmodulin. (Srinivasan dkk., 2005). MT3 hanya ditemukan pada hamster dan kelinci (Slominski dkk., 2012). Reseptor MT1 dan atau MT2 ini ditemukan pada sistem saraf pusat, hipofisis, duodenum, kolon, caecum, appendikx, epitel saluran kencing, kelenjar paratiroid, kelenjar eksokrin pancreas, sel β pankreas, epitel kelenjar mamme, miometrium, plasenta, epitel granulosa dan luteal, ginjal, ventrikel jantung, aorta, koronaria, arteri serebral, lemak, trombosit serta sel-sel darah yang berperan dalam sistem imun seperti pada limfosit, leukosit, dan monosit (Srinivasan dkk., 2005; Slominski dkk., 2012).
xlvii Tabel 2.2
Distribusi Reseptor Melatonin Pada Berbagai Organ Tubuh (Slominski dkk., 2012)
Kadar melatonin di kelenjar pineal dan darah mengikuti irama sirkadian. Saat malam hari, sintesis melatonin meningkat. Pada manusia, kadar melatonin di plasma mulai meningkat setelah 9.00 PM-11.00 PM dan mencapai puncak sekitar 2.00 AM hingga 4.00 AM, lalu menurun di pagi hari. semakin menurun seiring dengan pertambahan usia (Gambar 2.9). Nilai plasma melatonin malam hari paling tinggi terdapat pada tahun pertama kehidupan, dan makin menurun saat dewasa (Pandi- Perumal et al., 2006).
xlviii
Gambar 2.9 Kadar Melatonin Waktu Malam Dihubungkan dengan Usia (Harrison dan Pierzynowski, 2008)
Sekitar 90% melatonin pada manusia diekskresi dari dalam tubuh melalui hepar, dimana sel hepar membentuk 6-hydroxymelatonin sebagai sisa metabolisme yang kemudian diubah menjadi 6-sulfatoxymelatonin dan glucuronide. Sejumlah kecil melatonin akan dibuang melalui urin dan air liur (Buscemi dkk., 2004).
Pada tikus berumur 10 hari, puncak kadar melatonin pada malam hari adalah mencapai hingga 120pg/ml kemudian berangsur menurun hingga 45-60 pg/ml pada tikus 20-25 hari (Yu dan Retler, 1992).
2.6.2 Fungsi dan Manfaat Melatonin
Penelitian menunjukan bahwa melatonin membantu memperbaiki kualitas tidur pada orang sehat. Melatonin digunakan pada kasus jet lag dan delayed sleep phase syndrome. Pemberian melatonin terbukti membantu mengatasi gangguan tidur pada anak yang memiliki gangguan neuropsikiatri, autisme, gangguan penglihatan, epilepsi. Terapi sulih melatonin pada orang tua juga terbukti memperbaiki kualitas tidur (Pangkahila dan Wong, 2015).
xlix
Melatonin merupakan sebuah antioksidan yang sangat kuat. Bahkan dalam dosis kecil, melatonin mampu menetralisir radikal bebas dan menghambat terjadinya stres oksidatif (Tan dkk., 2007; Espino dkk., 2012). Melatonin juga bekerja secara tidak langsung dalam sistem imun dengan cara meningkatkan kapasitas total antioksidan dan atau menurunkan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen spesies (RNS). Melatonin juga melindungi mitokondria dengan cara memperbaiki fungsi sistem antioksidan mitokondria dengan cara meningkatkan kadar glutation dan aktivitas glutation reduktase serta menurunkan peroksidasi lipid pada berbagai jaringan (Carrillo-Vico dkk., 2013).
2.6.3 Melatonin sebagai Imunomodulator
Studi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bahwa melatonin memiliki peran imunomodulator. Penghambatan sintesis melatonin menurunkan sistem imun baik seluler dan sistem imun humoral pada tikus. Melatonin juga telah dapat melindungi sel prekursor hematopoietik dari efek toksik dari agen kemoterapi kanker. Pemberian melatonin telah terbukti melawan keadaan imunodefisiensi sekunder (Pandi-Perumal dkk., 2006).
Penurunan produksi sejumlah hormon yang berhubungan dengan penuaan, seperti melatonin, memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi bagi imunodefisiensi terkait usia. Ketika mencapai usia 30-an hormon melatonin kadarnya mulai menurun. Akibat penurunan kadar melatonin, terjadi ketidakseimbangan ROS dan antioksidan endogen karena melatonin berfungsi sebagai antioksidan yang sangat kuat. Sebagai konsekuensinya, terjadi penurunan fungsi sel imun (Espino dkk., 2012).
l
Pemberian melatonin baik pada tikus normal maupun tikus immunocompromise terbukti menghasilkan respons antibodi yang tinggi baik pada penelitian in vitro dan in vivo. Pada proses penuaan terjadi kehilangan sel timus hingga atrofi timus baik secara struktural dan penurunan berat timus. Pemberian melatonin terbukti dapat mencegah atrofi timus sehingga dapat memperbaiki sistem imun. Involusi timus oleh melatonin dapat dicegah karena dapat mempertahankan jumlah sel-sel timus terhadap apoptosis serta peningkatan proliferasi sel timus (Espino dkk., 2012).
Melatonin telah terbukti menghambat produksi sitokin proinflamasi, menunjukkan indolamin yang dapat membantu untuk mengurangi peradangan akut dan kronis. Melatonin mampu mengurangi kadar TNF-α dan IL-1β dan meningkatkan IL-6 dan IL-10. Efek imunomodulator melatonin pada penuaan juga jelas dalam sistem saraf pusat (SSP) yaitu melatonin meningkatkan respons otak serta menghambat proses inflamasi pada otak yang diinduksi oleh LPS (Song dkk., 2015).
Kemampuan antioksidan melatonin yang poten serta produk metabolitnya berperan pada aspek anti apoptosis sel-sel imun terkait usia. Melatonin juga mampu menunda kerusakan yang disebabkan apoptosis di neutrofil dan limfosit tua akibat proses degeneratif dan stres oksidatif (Espino dkk., 2012).
Melatonin mampu berperan sebagai anti inflamasi dengan cara menekan respons radang dengan cara memblok signal NF-кB dan menghambat translokasi ke inti sel, menghambat pengikatan NF-кB subunit p50 dan mensupresi signal STAT-1.
Melatonin juga mampu menurunkan TLR-3 yang dimediasi oleh TNF-α dan ekspresi iNOS, menurunkan COX-2 serta menurunkan leukotrin yang dapat mempengaruhi
li
kemotaktis dan perlekatan neutrofil serta sel-sel radang yang lain Pada kasus asma, melalui aktifasi respetor melatonin pada CD4+, melatonin mampu menurunkan IgE, IL-4, dan IFN-γ (Carillo-Vicco dkk., 2013).
Menurut beberapa studi, ditemukan adanya peningkatan prevalensi penyakit autoimun pada musim dingin akibat meningkatnya sistem imum yang distimulasi oleh melatonin pada malam yang lebih panjang. Hal ini membuktikan adanya hubungan melatonin dan pengaruh waktu malam yang lebih panjang sebagai signal pada sistem imun. Pada orang dengan penyakit autoimun, ditemukan adanya kadar melatonin yang lebih tinggi pada malam hari (Pandi-Perumal dkk., 2006). Pada penelitian yang lain, disebutkan bahwa adanya penurunan sitokin proinflamasi pada pasien dengan SLE namun, belum dapat dipastikan apakah pemberian melatonin pada kondisi autoimun bermanfaat atau memberikan efek yang lebih buruk (Carrillo-Vico dkk., 2013).
Pada studi in vitro, pemberian glukokortikoid, mengubah fungsi dan fisiologis konsentrasi melatonin. Pemberian melatonin eksogen, ternyata mampu mengaktifasi reseptor melatonin pada sel-sel imun, terutama limfosit sehingga mengaktifkan sitokin-sitokin yang berperan dalam kontrol jumlah limfosit.