• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Kompos dari Sampah Pasar dengan Teknologi Open-Windrow

N/A
N/A
Aisyia Effendi

Academic year: 2024

Membagikan "Pembuatan Kompos dari Sampah Pasar dengan Teknologi Open-Windrow"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

avalilable at http://www.agroinotek.ub.ac.id

1

Pembuatan kompos dari sampah pasar dengan teknologi open-windrow

Niken Rani Wandansari 1*), Retno Suntari 2), Soemarno 3)

1) Politeknik Pembangunan Pertanian Malang, Indonesia

2) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Indonesia

Corresponding author: E-mail: [email protected] Diterima: 2 Januari 2020 Disetujui: 28 Maret 2020

Abstrak: Pasar sayur tradisional Karangploso Malang merupakan salah satu sumber penghasil sampah organik yang cukup besar sebagai bahan utama pembuatan kompos. Penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi pemanfaatan sampah organik sebagai kompos. Metode pelaksanaan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat dengan demonstrasi (praktik) langsung pembuatan pupuk organik di lapangan menggunakan sampah organik pasar sebanyak ± 600 kg dan bioaktivator (EM4) dengan metode pengomposan open windrow. Proses pengomposan dilaksanakan selama 6 minggu. Berdasarkan hasil kajian, kandungan hara pada pupuk organik atau kompos yang dihasilkan dari sampah organik pasar sayur sudah memenuhi prasyarat kualitas kimiawi kematangan kompos SNI 19-7030-2004, berturut-turut untuk nilai C, N, P, C/N, C/P dan pH kompos adalah 12,33 %, 1,07 %, 0,34 %, 11,50, 35,90, dan 8,29. Selain itu juga memenuhi prasyarat kualitas fisik yang ditetapkan antara lain: 1) kadar air 46 %, 2) temperatur 28 0C, 3) berwarna kehitaman, 4) berbau seperti tanah, dan 5) bertekstur halus (remah).

Kata kunci : sampah organik pasar, kompos, open windrow, kompos

Open windrow technology for compost processing from traditional market wastes. Abstract: Karangploso Malang traditional market is one of traditional market that supplies organic waste as raw material of organic fertilizer (compost). The research was conduct to find out the potential use of organic wastes as compost. In the field, the experiment was done by using ± 600 kg of organic wastes, bioaktivator (EM4) and The Open-windrow Technology. The composting process was carried out for six weeks. The result showed the nutrient content of organic fertilizer from organic waste has fulfill the chemical quality requirement of compost maturity based on SNI (The Indonesian National Standard) 19-7030-2004, respectively the value of C, N, P, C/N, C/P and pH of compost are 12.33%, 1.07%, 0.34%, 11.50, 35.90, and 8.29. The compost also has been fulfill the physical quality requirements such as 46% of water content, 280C temperature, blackish color, typical earthy smell, and fine texture (crumb).

Keywords: organic wastes, compost, open-windrow, compost

Pendahuluan

Menurut Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, definisi sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.

Ditambahkan oleh (Rahayu & Sukmono, 2013), bahwa sampah merupakan bahan buangan yang dianggap tidak berguna lagi namun perlu dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Berdasarkan kandungan materinya, sampah dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu sampah organik (merupakan jenis sampah yang sebagian besar tersusun oleh senyawa organik yang berasal dari sisa tanaman, hewan, atau kotoran, dan mudah diuraikan oleh jasad renik) dan sampah anorganik (merupakan jenis sampah yang tersusun oleh senyawa anorganik atau bahan mineral seperti logam, kaca atau plastik, dan sangat sulit untuk diuraikan oleh jasad renik (Taufiq & Maulana, 2015). Sampah organik mengandung berbagai

(2)

2

macam senyawa organik seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, sehingga secara alami lebih mudah terdekomposisi atau terurai.

Sampah merupakan salah satu permasalahan penting yang belum bisa teratasi di Indonesia hingga saat ini. Bahkan jumlah timbulan sampah semakin bertambah seiring bertambahnya populasi penduduk. Selain jumlah penduduk, jumlah, keberagaman jenis dan karakteristik sampah dipengaruhi oleh perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat, serta aktivitas manusia. Permasalahan sampah menjadi permasalahan wilayah yang harus dikelola dengan tepat. Penanganan sampah yang tidak tepat dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan mengganggu estetika. Dalam Undang-undang disebutkan bahwa pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Namun secara umum pola penangan sampah kota di Indonesia dengan metode kumpul – angkut – buang, sehingga pada akhirnya berubah menjadi praktik pembuangan sampah secara sembarangan tanpa mengikuti ketentuan teknis atau menumpuk begitu saja dan rawan longsor (open dumping) di lokasi yang sudah ditentukan.

Kondisi ini terjadi pula di pasar tradisional sebagai salah satu wadah perekonomian sebagian besar masyarakat perkotaan. Adanya aktivitas jual beli antara pedagang dengan pengunjung atau pembeli secara tidak langsung menyebabkan adanya timbulan sampah yang cukup besar di pasar tersebut setiap harinya. Pada umumnya sampah akan menjadi masalah utama yang jumlahnya terus bertambah bagi pengelolaan sampah jika hanya mengandalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa adanya proses pengolahan pendahuluan. Keadaan ini menyebabkan lahan TPA cepat penuh dan pengelolaan sampah menjadi kurang efektif untuk jangka panjang, karena ketersediaan lahan TPA semakin terbatas dan sangat potensial dalam mencemari lingkungan.

Pasar sayur Karangploso merupakan salah satu pasar tradisional terbesar (pasar kelas 1) di Kabupaten Malang yang menyuplai sebagian besar kebutuhan sayur di dalam maupun luar daerah Malang raya. Pasar ini berdiri di atas tanah bengkok desa Girimoyo seluas 2,5 ha yang terletak di Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. BPS Kabupaten Malang menyebutkan bahwa lebih dari 845 pedagang menggantungkan hidupnya dari berjualan di pasar ini, dengan kategori 662 pedagang menggunakan mobil dan 83 lainnya menggunakan dasaran/ gelaran di lapak pasar. Berdasarkan observasi di lapangan, pasar sayur Karangploso terlihat cukup padat dipenuhi pedagang dan masih dijumpai sampah yang menumpuk dan berserakan dimana-mana, meskipun di lingkungan pasar sendiri telah tersedia Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sementara yang keberadaannya di pintu masuk pasar dan setiap harinya diangkut oleh petugas Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang menuju TPA Sampah Randuagung Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang (Gambar 1). Lebih lanjut disebutkan dalam Laporan Akhir Masterplan Persampahan Kabupaten Malang tahun 2014 (Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Malang, 2014 (Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang, 2014) bahwa volume sampah yang terlayani dan terangkut ke TPA dari pasar Karangploso sebesar 4,29 m3/hari dengan jumlah ritasi pengangkutan setiap hari sebanyak 1 truk arm roll (kapasitas maksimal sampah yang bisa diangkut 6 m3) menggunakan proses pengangkutan sistem kontainer angkat (Hauled Container System).

(3)

3

Gambar 1. Tumpukan sampah di TPS Karangploso dan di TPA Randuagung

Sampah pasar memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan sampah dari perumahan. Komposisi sampah pasar sayur didominani jenis sampah organik dibandingkan jenis sampah anorganik. Sampah sayuran yang paling banyak dijumpai adalah bayam, kangkung, sawi, kol, wortel, mentimun, tomat, cabai dan buah-buahan lainnya. Cara yang efektif dalam menangani permasalahan sampah pasar adalah dengan mengurangi jumlah dan toksisitas sampah yang dihasilkan, salah satunya dengan memanfaatkan sampah tersebut sebagai bahan baku pupuk organik atau kompos. Pengomposan sampah organik dapat dilakukan pada skala rumah tangga (home composting), skala kawasan dan skala besar (centralised composting). Pada prinsipnya proses pengomposan adalah proses menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan rasio C/N tanah (< 20) (Diah Setyorini, Saraswati, & Anwar, 2006). Umumnya metode pengkomposan untuk skala kawasan atau skala besar menggunakan sistem open windrow, bak aerasi, atau sistem cetak. Secara alami sampah organik dapat terurai dengan sendirinya namun membutuhkan waktu sangat lama Penambahan bioaktivator, baik mikroorganisme lokal (MOL) maupun effective microorganisme 4 (EM4), dapat mempercepat proses pengomposan (de Fátima Souza, Gates, Batista, & Tinôco, 2017;

Namsivayam, Narendrakumar, & Kumar, 2011). Pupuk organik yang dihasilkan dari sampah sayur ini bermanfaat untuk memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produksi tanaman, serta alternatif pengganti pupuk anorganik yang masih banyak digunakan oleh petani saat ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan Sampah Pasar Sayur sebagai bahan baku untuk membuat kompos (Pupuk Organik) dengan teknologi Open- Windrow. Diharapkan melalui kegiatan ini, pemahaman masyarakat tentang dampak negatif timbulan sampah terhadap lingkungan maupun pemanfaatan sampah sebagai pupuk organik dapat meningkat, sekaligus membantu pemerintah dalam menanggulangi permasalahan sampah dengan membuat model pengolahan sampah organik berbasis pasar.

Metode pelaksanaan

Penelitian di lakukan di pasar sayur Karangploso kabupaten Malang selama Januari- Maret 2020. Metode kegiatan yang dilakukan adalah demonstrasi (praktik) langsung pembuatan kompos (pupuk organik) di lapangan. Tahapan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1) berkoordinasi dengan pihak terkait (UPT Dinas Lingkungan Hidup Kecamatan Singosari dan petugas kebersihan di TPS Pasar Sayur Karangploso), 2) membuat rumah kompos, serta pengadaan alat dan bahan selama pengomposan, 3) mengumpulkan sampah pasar dan mengangkutnya ke rumah kompos, 4) memilah sampah organik dan anorganik

(4)

4

(karena masih banyak sampah anorganik ikutan), 5) pembuatan kompos menggunakan bioaktivator (EM4) dengan metode open windrow, 6) pengamatan berkala untuk parameter pH, temperatur dan kadar air, rasio C/N dan C/P selama pengomposan.

Kegiatan pengomposan diawali dengan penumpukan sampah organik, penyiraman bioaktivator (EM4+molase+air) dan pengadukan. Kegiatan pengadukan dan penyiraman selama proses pengomposan dilakukan berdasarkan pengamatan temperatur dan kelembaban.

Sebagai langkah akhir dilakukan pengeringanginan kompos yang sudah matang. Bahan sampah ditimbun pada kotak pengomposan berukuran 1 m3 dengan volume awal bahan 0,5 m3 (setara 1 kuintal berat basah sampah). Akan tetapi pada 8 HSP (Hari Setelah Pengomposan), bahan sampah dipindahkan ke kotak berukuran 0,125 m3 karena penyusutan volume bahan yang signifikan sebesar 80 % (atau tersisa 0,1 m3). Pemantauan temperatur, kelembaban dan pH dilakukan secara berkala empat hari sekali berturut-turut dengan menggunakan termometer, oven, dan pH meter. Pengomposan diakhiri setelah enam minggu. Kompos yang telah matang mempunyai ciri berwarna gelap, berbau seperti tanah, perubahan ukuran partikel bahan, dan temperatur sama dengan suhu lingkungan. Penetapan rasio C/N dan C/P dilakukan time series pada 0, 15 dan 30 HSP (Gambar 2).

Gambar 2. Tahapan pembuatan kompos berbahan baku sampah sayur organik Hasil dan Pembahasan

Sampah organik yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik, sebanyak ± 600 kg, berasal dari kegiatan perdagangan di Pasar Sayur Karangploso yang umumnya merupakan sayuran sisa yang tidak terjual atau hasil pemilahan pembeli karena kerusakan yang terdapat pada sayuran. Meskipun sampah yang digunakan lebih dari 90 % merupakan bahan organik, namun masih terdapat diantaranya bahan anorganik ikutan di dalamnya (seperti tali rafia, sedotan, gelas plastik, tutup botol, bungkus rokok, dll) sehingga sebelum dilakukan pengomposan, perlu dilakukan pemilahan bahan terlebih dahulu. Seperti disebutkan sebelumnya, secara alami sampah organik dapat terurai dengan sendirinya namun membutuhkan waktu sangat lama, sehingga untuk mempercepat proses pengomposan

(5)

5

ditambahkan bioaktivator. Bioaktivator yang digunakan adalah EM4, karena aktivator ini cukup mudah diperoleh dan alasan kepraktisan dalam pembuatan kompos (Gambar 3).

Ditambahkan oleh Indriani (2011), EM4 terdiri dari: 1) Bakteri fotosintetik, merupakan bakteri bebas yang dapat mensintesis senyawa nitrogen, gula, dan subtansi bioaktif lainya; 2) Lactobacillus sp., merupakan bakteri yang memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat lain; serta 3) Streptomyces sp., yang terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Ragi yang berperan memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara fermentasi dan b. Actinomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur yang mengambil asam amino dan zat serupa yang di produksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik untuk mengendalikan pathogen. Penambahan EM4 dan molase pada sampah daun (daun Angsana dan Akasia) dapat mempercepat waktu pengomposan (Kusuma et al., 2017). Kematangan pupuk organik hasil pengomposan dicapai pada hari ke 21 hingga 28, dibandingkan proses alaminya yang membutuhkan waktu sekitar 5 minggu hingga 2 bulan. Selain mempercepat waktu pengomposan, penambahan EM4 1%

memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan hara N, P dan K pada pupuk Bokashi kotoran kelinci dan limbah nangka (Kurniawan et al., 2013).

Gambar 3. Persiapan bioaktivator pengomposan

Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisiko-kimia yang melibatkan aktivitas biologi mikrorganisme dan mesofauna. Secara alami proses dekomposisi bahan organik dapat terjadi dalam keadaan aerobik (dengan O2) dan anaerobik (tanpa O2). Pada pengomposan aerobik ini, kurang lebih dua pertiga unsur karbon menguap (menjadi CO2) dan sisanya satu pertiga bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerobik tidak menimbulkan bau busuk. Sedangkan pengomposan anaerobik, diawali dengan penguraian bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dll oleh bakteri fakultatif penghasil asam, kemudian bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, amoniak, CO2 dan hidrogen (Setyorini et al., 2006). Dalam proses pengomposan bahan organik, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju pengomposan, antara lain (Syafrudin & Zaman, 2007):

1) Ukuran bahan (semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat terdegradasi. Ukuran partikel yang sesuai untuk pengomposan adalah 2,5 – 7,5 cm)

2) Komposisi bahan baku kompos (J. I. Chang & Hsu, 2008; Neugebauer & Sołowiej, 2017), rasio C/N (rasio C/N awal menentukan keberhasilan proses pengomposan karena prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio

(6)

6

C/N tanah. Rasio C/N ideal pengmposan adalah 20 – 40) (Guo et al., 2012; Topal, Ünlü,

& Topal, 2016)

3) Kelembaban (kelembaban/ kadar air bahan kompos mempengaruhi aktivitas mikroorganisme pengurai (Jolanun et al., 2005). Proses dekomposisi secara aerobik berlangsung dengan baik pada kelembaban 40 – 60 %).

4) Temperatur (temperatur optimum pada proses pengomposan adalah 35 – 55 °C. Pada temperatur >55 °C, diharapkan mikroorganisme patogen dan benih gulma dalam kompos akan mati) (R. Chang, Li, Chen, Guo, & Jia, 2019)

5) Aerasi (kecukupan oksigen sangat penting dalam pengomposan aerobik (Arslan, Ünlü, &

Topal, 2011). Dalam pembuatan kompos paling sedikit 50 % dari konsentrasi oksigen di udara harus mencapai seluruh bagian dari bahan yang dikomposkan)

6) Derajat keasaman (pH optimal kompos adalah 6 – 8)

7) Mikroorganisme (mikroorganisme berperan merombak bahan organik menjadi kompos.

Mikroorganisme yang terlibah dalam proses pengomposan adalah mikroorganisme mesofilik dan termofilik)

Metode pengomposan open windrow merupakan cara pembuatan kompos ditempat terbuka beratap tanpa komposter dan menggunakan aerasi alamiah (Kurnia et al, 2017).

Menurut istilah, windrow artinya gundukan-gundukan material yang memanjang. Oleh karena itu biasanya tumpukan kompos dibentuk seperti gundukan yang memanjang dan diberi celah untuk pertukaran udara. Dengan sistem pengomposan windrow, sampah organik yang dikomposkan akan mendapatkan aerasi yang cukup sehingga kompos lebih cepat matang.

Fluktuasi temperatur, kelembaban dan pH harian selama proses pengomposan

Grafik fluktuasi temperatur, kelembaban dan pH selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 4 dan 5. Rerata temperatur sampah organik pada awal pengomposan sebesar 30

oC dan menunjukkan peningkatan pada hari keempat mencapai 37 oC. Selanjutnya mengalami penurunan temperatur hingga stabil setelah satu bulan pengomposan. Pada minggu kedua proses pengomposan dikarenakan terjadi penyusutan volume bahan yang cukup sifnifikan (sekitar 80 %), maka dilakukan pemindahan bahan kompos ke kotak pengomposan yang berukuran lebih kecil, sehingga sempat terjadi penurunan temperatur kompos pada masa tersebut. Berdasarkan

Gambar 4 menunjukkan rerata temperatur kompos tidak pernah mencapai > 40 oC. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme yang mendominasi proses pengomposan adalah mikroorganisme mesofilik. Salah satu penyebab rendahnya suhu kompos diduga karena jumlah sampah sayuran yang diproses sebagai bahan baku pupuk organik tidak cukup memberikan proses insulasi panas. Ketinggian tumpukan kompos yang baik adalah 1 – 1,2 meter.

Peningkatan temperatur yang terjadi pada awal proses pengomposan menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme pengurai bahan organik yang melepaskan sejumlah energi dalam bentuk panas (Morisaki et al., 1989; Widarti et al., 2015). Apabila temperatur terlalu tinggi, maka dilakukan pembalikan agar temperatur turun dan kemudian naik lagi. Pada kondisi aerob terdapat dua fase pengomposan oleh mikroorganisme pengurai yaitu fase termofilik 45 – 65 oC di awal proses yang dilanjutkan fase mesofilik 23 – 45 oC menuju pematangan kompos (Chang et al., 2019).

(7)

7

Gambar 4. Fluktuasi temperatur dan kelembaban kompos selama pengomposan

Gambar 5. Fluktuasi pH kompos selama pengomposan

Kadar air atau kelembaban menjadi salah satu faktor penting pada proses pengomposan yang berperan dalam proses metabolisme mikroorganisme dan secara tidak langsung terhadap suplai oksigen dengan kadar optimal adalah 40% - 50%. Apabila kadar air melebihi 60%

maka volume udara berkurang, sehingga menimbulkan kondisi anaerob dan berpotensi menghasilkan bau tidak sedap. Sedangkan berkurangnya kadar air pada tumpukan kompos selama proses pengomposan dapat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme, sehingga laju dekomposisi diperlambat. Oleh karenanya pengukuran kadar air dilakukan setiap empat hari agar kelembaban tetap terjaga. Apabila kadar air kurang dari yang ditentukan dilakukan penambahan air, sedangkan apabila kadar air melebihi dari yang ditentukan maka dilakukan pembalikan agar udara masuk ke dalam tumpukan atau pengeringan bahan kompos.

Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa rerata kadar air awal sampah organik sebesar 74 % yang disebabkan jenis sampah sayur yang mendominasi antara lain sayur bayam, kangkung, sawi, kol, wortel, mentimun, tomat, cabai dan buah apel, pir, alpukat, pisang, dll. Menurut Muchtadi (2008), pada umumnya sayuran mempunyai kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 70 – 95 %. Kemudian mengalami penurunan rerata kadar air hingga mencapai 46 % setelah satu bulan pengomposan. Terjadinya penurunan kadar air ini disebabkan karena pelepasan air dari

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0

0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44

Kelembaban (%)

Temperatur (OC)

Hari ke-

Temperatur Kelembaban

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44

pH

Hari ke-

(8)

8 0.00

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00

0.00 5.00 10.00 15.00

0 15 30

Rasio C/P

Rasio C/N

Hari ke-C/N C/P

sampah organik, melalui proses penguapan dan pelindian selama proses (Nada, 2015; Shen, Yang, Huang, Hu, & Long, 2015)

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa rerata pH awal sampah organik sebesar 7,26.

Kondisi ini sudah sesuai dengan pH optimal bagi mikroorganisme bekerja, yaitu kisaran agak asam hingga netral (pH 5,5 – 8). Nilai pH pada pengomposan pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri pengurai. Pada minggu pertama pengomposan terjadi penurunan pH menjadi agak asam karena terbentuknya asam-asam organik sederhana, dan kemudian meningkat dengan cepat menjadi basa pada minggu selanjutnya akibat terurainya protein dan terjadinya pelepasan ammonia (Supadma & Arthagama, 2008). Setelah bahan organik reaktif telah selesai diuraikan, bahan resisten seperti lignin, hemiselulosa, dan selulosa diuraikan oleh jamur dan Actinomycetes. Selain itu sebagian ammonia dilepaskan atau dikonversi menjadi nitrat dan nitrat didenitrifikasi oleh bakteri sehingga pH kompos mendekati netral (Suwatanti, 2017).

Pada akhir pengomposan, rerata pH kompos adalah 8,29. Nilai ini cukup basa dibandingkan dengan pH kompos ideal menurut spesifikasi kompos dari sampah organik domestik SNI: 19- 7030-2004, yaitu kisaran 6,8 - 7,49. Hal ini dimungkinkan karena tingginya kandungan Nitrogen dalam sampah organik, sehingga selama pengomposan NH3 yang dilepaskan semakin tinggi dan pH menjadi basa.

Rasio C/N dan C/P pupuk organik selama proses pengomposan

Hasil penetapan kandungan C-organik, N total dan P kompos sampah organik disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 6. Berdasarkan SNI 19-7030-2004, standar kualitas unsur hara dalam kompos matang yang berasal dari sampah organik domestik antara lain: 1) C organik sebesar 9,8 – 32 %, 2) N total sebesar >0,4 %, 3) P (P2O5) sebesar >0,10 %, dan 4) rasio C/N pada kisaran 10 – 20. Berdasarkan tabel di bawah, diketahui bahwa kandungan hara pada kompos yang dihasilkan sudah memenuhi prasyarat kimia kualitas kompos, berturut-turut nilai C, N dan P dari kompos tersebut adalah 12,33 %, 1,07 % dan 0,34 %.

Tabel 1. Kandungan C, N dan P dalam Kompos Selama Proses Pengomposan

Parameter 0 HSP 15 HSP 30 HSP

C (%) 14,09 11,97 12,33

N (%) 1,74 1,27 1,07

P (%) 0,31 0,31 0,34

C/N 8,11 9,44 11,50

C/P 45,45 39,25 35,90

Gambar 6. Rasio C/N dan C/P pupuk organik selama pengomposan

(9)

9

Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan karbon (C) pada kompos sebelum dan sesudah pengomposan mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan senyawa karbon organik digunakan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dan selanjutnya karbon tersebut hilang sebagai CO2, sehingga nilainya lebih rendah. Karbondioksida (CO2) yang dibebaskan melalui oksidasi dalam pengomposan menggambarkan populasi dan tingkat aktivitas mikroorganisme pengurai.

Berdasarkan hasil analisis awal sampah organik, diketahui bahwa kandungan N sebesar 1,78 %. Nilai ini melebihi dari nilai kritis bahan baku kompos agar dapat mengalami mineralisasi yang baik, yaitu 1,2 % (Apriwulandari, 2008). Apabila lebih rendah maka mikroorganisme akan kekurangan N untuk mensintesis protein sehingga proses pendekomposisian akan berjalan dengan lambat. Berbanding terbalik dengan kandungan C organik, selama proses dekomposisi terjadi peningkatan kadar N total. Hal ini disebabkan karena terjadi mineralisasi N organik menjadi N anorganik (Sánchez-Monedero et al., 2001).

Namun pada tabel di atas dapat dilihat bahwa rerata kandungan N semakin menurun seiring lamanya waktu pengomposan. Kondisi ini diduga karena senyawa N-organik mengalami perombakan oleh jasad mikro (Tiquia & Tam, 2000; Zhou et al., 2018) selama proses ini terjadi dinamika dan transformasi bentuk-bentuk senyawa organik menjadi anorganik (Wei, Z. M., Wang, S. P., Xi, B. D., Zhao, Y., He, L. S., Jiang, Y. H., & Liu, 2007), dan terjadi kehilangan sejumlah karbon menjadi CO2 dan sejumlah N hilang dalam bentuk N tervolatil (N-NH3) selama proses pengomposan (Ogunwande, G. A., Osunade, J. A., Adekalu, K. O., & Ogunjimi, 2008). Menurut (Kurniawan et al., 2013) dan (Siburian, 2008), penurunan nilai N disebabkan karena pengaruh metabolisme sel yang mengakibatkan nitrogen terasimilasi dan sejumlah N menguap sebagai amoniak (Chen et al., 2019). Pada tahap awal, bahan organik yang kaya sumber nitrogen (protein) akan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme (termasuk jenis- jenis bakteri fungsional) (Chen, Huang, Wang, & Gao, 2020) menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi, tahap selanjutnya terjadi mineralisasi menjadi N anorganik (N-NH4+ dan N-NO3-) yang dikenal dengan proses amonifikasi dan nitrifikasi (Irshad et al., 2011; Cáceres et al., 2018), kedua bentuk N ini mudah diserap tanaman (Zhu et al., 2019).

Pada analisis bahan baku didapatkan kandungan P sebesar 0.31 %. Nilai tersebut cukup baik menurut (Etika, 2007), karena pada umumnya titik kritis kandungan P di bawah kandungan N, yaitu minimal 0,1 %. Rerata kandungan P mengalami peningkatan seiring dengan lamanya waktu pengomposan. Menurut (Amanillah, 2011) dan Kurniawan et al. ( 2013), peningkatan bahwa kandungan P ini diduga merupakan dampak dari aktivitas Lactobacillus yang mengubah glukosa pada sampah organik menjadi asam laktat (Cui, Li, &

Wan, 2011), sehingga menciptakan lingkungan menjadi lebih masam dan menyebabkan sejumlah senyawa P yang sukar larut menjadi lebih mudah larut dan tersedia bagi tanaman (Chien, S. H., Prochnow, L. I., Tu, S., & Snyder, 2011). Selama proses pengomposan terjadi perombakan dan transformasi senyawa fosfat oleh jasad mikro, dan sebagian senyawa P- organik menjadi bentuk P-anorganik yang dapat diserap oleh akar tanaman (Eneji, A. E., Honna, T., Yamamoto, S., Masuda, T., Endo, T., & Irshad, 2003; Ghosh, Chattopadhyay, &

Baral, 1999; Irshad, Inoue, Shezadi, Khan, & Faridullah, 2011; Jakubus, 2016; Wei, Z. M., Wang, S. P., Xi, B. D., Zhao, Y., He, L. S., Jiang, Y. H., & Liu, 2007).

Rasio C/N bahan baku kompos sebesar 8,11, sedangkan rasio C/P sebesar 45,45. Rasio tersebut cukup ideal untuk bahan baku kompos, karena C/N yang terlalu tinggi dapat menghambat proses pematangan kompos. Setelah 30 hari masa pengomposan, terlihat pada grafik bahwa rasio C/N meningkat, sedangkan rasio C/P menurun, berturut-turut sebesar 11,50

(10)

10

dan 35,90. Meskipun demikian rasio C/N yang diperoleh tersebut masih memenuhi prasayat kualitas kematangan kompos menurut SNI 19-7030-2004, yaitu pada kisaran 10 – 20 %.

Selama proses dekomposisi bahan organik, sejumlah C dan N digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan sebagai penyusun sel-selnya (Li, Q., Wang, X. C., Zhang, H. H., Shi, H. L., Hu, T., & Ngo, 2013). Oleh karenanya terjadi penurunan kandungan C-organik dan peningkatan kandungan N total di dalam kompos yang dihasilkan. Secara umum konsentrasi C-organik turun secara bertahap disebabkan oleh lepasnya karbondioksida melalui respirasi mikroorganisme (Hartz, T. K., Mitchell, J. P., & Giannini, 2000). Sedangkan meningkatnya konsentrasi N total disebabkan oleh terjadinya dekomposisi bahan organik yang mengakibatkan pelepasan sejumlah karbon menjadi CO2, sehingga konsentrasi N pada material yang tersisa cenderung meningkat dan C/N menurun.

Selain penilaian kualitas kimiawi pupuk organik yang dihasilkan, kematangan kompos juga dapat diamati dari penilaian kualitas fisik pupuk organik. Prasyarat kualitas fisik yang ditetapkan dalam SNI 19-7030-2004 antara lain: 1) kadar air <50 %, 2) temperatur sesuai dengan temperatur air tanah, 3) berwarna kehitaman, 4) berbau seperti tanah, dan 5) tekstur atau ukuran partikel sekitar 0.55 – 25 mm. Berdasarkan pengamatan, pupuk organik (kompos) dari sampah organik yang dihasilkan sudah memenuhi prasyarat tersebut (Gambar 7).

Gambar 7. Perubahan fisik sampah organik selama pengomposan

Kesimpulan dan saran

1. Peran serta pedagang, masyarakat sekitar dan pemerintah daerah sangat penting dalam mengelola sampah pasar sayur. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi volume sampah organik pasar sayur adalah memanfaatkannya sebagai bahan baku pembuatan kompos dengan Teknologi Open-windrow

2. Berdasarkan SNI 19-7030-2004, kandungan hara pada kompos yang dihasilkan dari sampah organik pasar sayur sudah memenuhi prasyarat kualitas kimiawi kematangan kompos.

Kandungan C, N, P, C/N, C/P dan pH kompos adalah 12,33 %, 1,07 %, 0,34 %, 11,50, 35,90, dan 8,29. Selain itu kualitas fisik kompos juga telah memenuhi persyaratan kualitas,

(11)

11

yaitu kadar air kompos <50 % (46%), temperatur sesuai dengan temperatur tanah (28 oC), kompos berwarna kehitaman, kompos berbau tipikal bau-tanah, dan teksturnya remah atau ukuran partikel sekitar 0,55 – 25 mm.

Ucapan terima kasih

Kegiatan pembuatan kompos ini terlaksana atas bantuan bantuan Unit Pelayanan Persampahan (UPTPP) Singosari, Dinas Lingkungan Hidup Kab. Malang dalam penyediaan bahan baku sampah organik dari pasar sayur Karangploso.

Daftar pustaka

Amanillah, Z. (2011). Pengaruh Konsentrasi EM4 pada Fermentasi Urin Sapi Terhadap Konsentrasi N, P, dan K. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Brawijaya. Malang.

Apriwulandari, I. (2008). Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi dan Pupuk Nitrogen terhadap Perubahan Sifat Kimia Tanah dan Pencucian Nitrat serta Pertumbuhan Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata) pada Entisol Wajak, Malang. Skripsi. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

Arslan, E. I., Ünlü, A., & Topal, M. (2011). Determination of the effect of aeration rate on composting of vegetable–fruit wastes. CLEAN–Soil, Air, Water, 39(11), 1014–1021.

Cáceres, R., Malińska, K., & Marfà, O. (2018). Nitrification within composting: A review. Waste Management, 72, 119–137.

Chang, J. I., & Hsu, T.-E. (2008). Effects of compositions on food waste composting. Bioresource Technology, 99(17), 8068–8074.

Chang, R., Li, Y., Chen, Q., Guo, Q., & Jia, J. (2019). Comparing the effects of three in situ methods on nitrogen loss control, temperature dynamics and maturity during composting of agricultural wastes with a stage of temperatures over 70° C. Journal of Environmental Management, 230, 119–127.

Chen, M., Huang, Y., Wang, C., & Gao, H. (2020). The conversion of organic nitrogen by functional bacteria determines the end-result of ammonia in compost. Bioresource Technology, 299, 122599.

Chen, M., Wang, C., Wang, B., Bai, X., Gao, H., & Huang, Y. (2019). Enzymatic mechanism of organic nitrogen conversion and ammonia formation during vegetable waste composting using two amendments. Waste Management, 95, 306–315.

Chien, S. H., Prochnow, L. I., Tu, S., & Snyder, C. S. (2011). Agronomic and environmental aspects of phosphate fertilizers varying in source and solubility: an update review. Nutrient Cycling in Agroecosystems, 89(2), 229–255.

Cui, F., Li, Y., & Wan, C. (2011). Lactic acid production from corn stover using mixed cultures of Lactobacillus rhamnosus and Lactobacillus brevis. Bioresource Technology, 102(2), 1831–1836.

https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.biortech.2010.09.063

de Fátima Souza, C., Gates, R. S., Batista, M. D., & Tinôco, I. de F. F. (2017). Effective Microorganisms (EM) As Biofeeders For Anaerobic Digestion. Revista Engenharia Na Agricultura, 25(6), 491–499.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang. (2014). Laporan Akhir Masterplan Persampahan Kabupaten Malang Tahun 2014.

Eneji, A. E., Honna, T., Yamamoto, S., Masuda, T., Endo, T., & Irshad, M. (2003). Changes in humic substances and phosphorus fractions during composting. Communications in Soil Science and Plant Analysis, 34(15–16), 2303–2314.

Etika, Y. V. (2007). Pengaruh pemberian kompos kulit kopi, kotoran ayam dan kombinasinya terhadap ketersediaan unsur N, P dan K pada Inceptisol. Skripsi. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

(12)

12 Ghosh, M., Chattopadhyay, G. N., & Baral, K. (1999). Transformation of phosphorus during vermicomposting.

Bioresource Technology, 69(2), 149–154.

Guo, R., Li, G., Jiang, T., Schuchardt, F., Chen, T., Zhao, Y., & Shen, Y. (2012). Effect of aeration rate, C/N ratio and moisture content on the stability and maturity of compost. Bioresource Technology, 112, 171–178.

Hartz, T. K., Mitchell, J. P., & Giannini, C. (2000). Nitrogen and carbon mineralization dynamics of manures and composts. HortScience, 35(2), 209–212.

Hidup, D. L. (2014). Laporan Akhir Masterplan Persampahan Kabupaten Malang Tahun 2014. Kabupaten Malang.

Irshad, M., Inoue, M., Shezadi, M., Khan, T., & Faridullah. (2011). Ammonium, phosphorus and potassium release from animal manure during composting. Journal Of Food Agriculture & Environment, 9(2), 629–

631.

Jakubus, M. (2016). Estimation of phosphorus bioavailability from composted organic wastes. Chemical Speciation & Bioavailability, 28(1–4), 189–198.

Kurnia, V. C., Sumiyati, S., & Samudro, G. (2017). Pengaruh Kadar Air Terhadap Hasil Pengomposan Sampah Organik Dengan Metode Open Windrow. Jurnal Teknik Mesin Mercu Buana, 6(2), 119–123.

Kurniawan, D., Kumalaningsih, S., & Sunyoto, N. M. S. (2013). Pengaruh Volume Penambahan Effective Microorganism 4 (Em4) 1% Dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Pupuk Bokashi Dari Kotoran Kelinci Dan Limbah Nangka. Industria: Jurnal Teknologi Dan Manajemen Agroindustri, 2(1), 57–66.

Kusuma, A. P. M., Biyantoro, D., & Margono. (2017). Pengaruh Penambahan EM-4 dan Molasses terhadap Proses Composting Campuran Daun Angsana (Pterocarpus indicun) dan Akasia (Acasia auriculiformis). Jurnal Rekayasa Proses, 11(1), 19–23.

Li, Q., Wang, X. C., Zhang, H. H., Shi, H. L., Hu, T., & Ngo, H. H. (2013). Characteristics of nitrogen transformation and microbial community in an aerobic composting reactor under two typical temperatures. Bioresource Technology, 137, 270–277.

Morisaki, N., Phae, C. G., Nakasaki, K., Shoda, M., & Kubota, H. (1989). Nitrogen transformation during thermophilic composting. Journal of Fermentation and Bioengineering, 67(1), 57–61.

Muchtadi, T. R. (2008). Jenis dan Varietas Hortikultura. Jakarta: Universitas Terbuka.

Nada, W. M. (2015). Stability and maturity of maize stalks compost as affected by aeration rate, C/N ratio and moisture content. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 15(3), 751–764.

Namsivayam, S. K. R., Narendrakumar, G., & Kumar, J. A. (2011). Evaluation of Effective Microorganism (EM) for treatment of domestic sewage. Journal of Experimental Sciences.

Neugebauer, M., & Sołowiej, P. (2017). The use of green waste to overcome the difficulty in small-scale composting of organic household waste. Journal of Cleaner Production, 156, 865–875.

Ogunwande, G. A., Osunade, J. A., Adekalu, K. O., & Ogunjimi, L. A. O. (2008). Nitrogen loss in chicken litter compost as affected by carbon to nitrogen ratio and turning frequency. Bioresource Technology, 99(16), 7495–7503.

Rahayu, D. E., & Sukmono, Y. (2013). Kajian Potensi Pemanfaatan Sampah Organik Pasar Berdasarkan Karakteristiknya (Studi Kasus Pasar Segiri Kota Samarinda). Jurnal Sains Dan Teknologi Lingkungan, 5(2), 77–90.

Setyorini, D., Saraswati, R., & Anwar, E. A. (2006). Kompos. In R. D. M. Simanungkalit, D. A. Suriadikarta, R.

Saraswati, D. Setyorini, & W. Hartatik (Eds.), Pupuk Organik Dan Pupuk Hayati (Vol. 11–40). Bogor:

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Shen, D.-S., Yang, Y.-Q., Huang, H.-L., Hu, L.-F., & Long, Y.-Y. (2015). Water state changes during the composting of kitchen waste. Waste Management, 38, 381–387.

Siburian, R. (2008). Pengaruh konsentrasi dan waktu inkubasi EM4 terhadap kualitas kimia kompos. Jurnal Bumi Lestari, 8(1), 1-15.

Suwatanti, E. P. S. & Widyaningrum, P. (2017). Pemanfaatan MOL Limbah Sayur Pada Proses Pembuatan Kompos. Jurnal MIPA, 40(1), 1–6.

(13)

13 Syafrudin, & Zaman, B. (2007). Pengomposan Limbah Teh Hitam Dengan Penambahan Kotoran Kambing Pada Variasi Yang Berbeda Dengan Menggunakan Starter EM4 (Efective Microorganism-4). TEKNIK, 28(2), 125–131.

Taufiq, A., & Maulana, M. F. (2015). Sosialisasi Sampah Organik Dan Non Organik Serta Pelatihan Kreasi Sampah. Asian Journal of Innovation and Entrepreneurship, 4(01), 68–73.

Tiquia, S. M., & Tam, N. F. Y. (2000). Fate of nitrogen during composting of chicken litter. Environmental Pollution, 110(3), 535–541.

Topal, E. I. A., Ünlü, A., & Topal, M. (2016). Determination of the effect of C/N ratio on composting of vegetable- fruit wastes. International Journal of Environment and Waste Management, 18(2), 181–194.

Wei, Z. M., Wang, S. P., Xi, B. D., Zhao, Y., He, L. S., Jiang, Y. H., & Liu, H. L. (2007). Changes of humic substances and organic nitrogen forms during municipal solid waste composting. Acta Scientiae Circumstantiae, 27(2), 235–240.

Widarti, B. N., Wardhini,W.K. & Sarwono, E. (2015). Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku Pada Pembuatan Kompos Dari Kubis Dan Kulit Pisang. Jurnal Integrasi Proses, 5(2), 75–80.

Zhou, H., Zhao, Y., Yang, H., Zhu, L., Cai, B., Luo, S., … Wei, Z. (2018). Transformation of organic nitrogen fractions with different molecular weights during different organic wastes composting. Bioresource Technology, 262, 221–228.

Zhu, L., Zhao, Y., Zhang, W., Zhou, H., Chen, X., Li, Y., … Wei, Z. (2019). Roles of bacterial community in the transformation of organic nitrogen toward enhanced bioavailability during composting with different wastes. Bioresource Technology, 285, 121326.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik tandan kosong kelapa sawit dengan penambahan kompos sampah organik

Tujuan Umum penelitian adalah untuk mengetahui potensi bahan organik dan pengembangannya dalam pengolahan sampah di Kabupaten Jember, meiiputi menganalisis karakteristik

dari proses pengolahan sampah organik menjadi kompos ini yaitu untuk.. mengurangi

PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS PELET DENGAN PEREKAT TEPUNG.. BIJI DURIAN (Durio

Khusus untuk sampah organik berupa sisa makanan atau sampah basah bisa dibuat pupuk kompos, selain itu juga sampah organik berupa daun daunan atau serbuk gergaji bisa dibuat

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pemanfaatan gas biometan sebagai bahan bakar Bis Transjakarta berdasarkan potensi sampah organik Pasar Induk Kramat Jati

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi pemanfaatan kompos azolla dan arang sekam terhadap ketersediaan unsur fosfor serta pertumbuhan dan hasil tanaman Padi

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi mitra maka solusi yang ditawarkan adalah : 1) Perlu dilakukan pengolahan sampah organik khususnya sampah sayuran menjadi kompos,