• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Logika Pythagoras, Parmenides, Zeno

N/A
N/A
akunruwi2

Academic year: 2025

Membagikan "Pemikiran Logika Pythagoras, Parmenides, Zeno"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 (UNTAG) SEMARANG

FAKULTAS BAHASA DAN BUDAYA

JL. SETERAN DALAM NO.09 MIROTO TELP/FAKS. (024) 8441772 SEMARANG

TUGAS

TAHUN AKADEMIK 2024/2025

NAMA : RUWIYATI MATA KULIAH : Logika I

NPM : 231003862200084 PRODI : PKTTYME

HARI/TANGGAL : Rabu, 30 Oktober 2024 SEMESTER : 3

PEMIKIRAN LOGIKA PYTHAGORAS, PARMENIDES, ZENO

PENDAHULUAN

Pemikiran logika dalam filsafat Yunani Kuno merupakan dasar penting dalam perkembangan intelektual manusia, baik dalam ilmu pengetahuan, matematika, maupun metafisika. Pada masa ini pemikiran para filsuf tidak hanya mengeksplorasi pengetahuan tentang alam semesta, tetapi berupaya memahami konsep keberadaan, perubahan, dan keteraturan yang menjadi bagian esensial dari kehidupan manusia. Di antara pemikir besar tersebut, Pythagoras, Parmenides, dan Zeno memiliki pengaruh mendalam. Hal ini tidak hanya terhadap perkembangan filsafat, tetapi juga terhadap cara berpikir logis yang relevan hingga saat ini.

Pythagoras dikenal karena pendekatannya yang menggabungkan matematika dan metafisika. Ia memperkenalkan gagasan bahwa angka-angka merupakan esensi dasar realitas, dengan prinsip “segala sesuatu adalah angka”. Pandangan ini tidak hanya melahirkan teori matematika yang terkenal seperti Teorema Pythagoras, tetapi juga meletakkan dasar bagi pemahaman mengenai keteraturan kosmis. Pythagoras memandang dunia sebagai suatu harmoni yang dapat dipahami melalui rasio dan angka.

Permenides di sisi lain menekankan konsep “being” atau “keberadaan” sebagai suatu yang tetap dan tidak berubah. Dalam pandangannya, perubahan hanyalah ilusi, karena realitas sejati adalah kekal dan tidak mengalami pergeseran. Pemikirannya ini menantang ide umum tentang perubahan dan menimbulkan diskusi filosofis mengenai eksistensi, pengetahuan, dan persepsi.

Zeno merupakan murid Permenides yang memperkuat pandangan gurunya melalui serangkaian paradoks yang bertujuan untuk membuktikan bahwa gerakan dan perubahan adalah kontradiktif. Paradoks Zeno, seperti “Achilles dan kura-kura”, berusaha untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara pengalaman indra dengan logika. Dengan demikian Zeno tidak hanya mempertanyakan keberadaan gerakan, tetapi juga membangun diskusi yang mendalam mengenai batas logika dan persepsi.

Pendekatan logika yang di usung oleh ketiga pemikir ini telah memberikan kontribusi signifikan dalam pembentukan dasar-dasar filsafat Barat. Melalui kajian ini, diharapkan dapat dipahami lebih dalam bagaimana pandangan mereka terkait logika dan realitas, serta dampaknya terhadap perkembangan pemikiran filsafat selanjutnya.

(2)

PEMIKIRAN LOGIKA PYTHAGORAS

Pythagoras adalah seorang Matematikawan dan filsuf Yunani yang paling dikenal melalui teoremanya. Ia lahir di Samos, Yunani (570-495 SM) dan dikenal sebagai “bapak bilangan”, beliau memberikan sumbangan yang penting terhadap filsafat dan ajaran keagamaan pada akhir abad ke-6 SM. Teorema Pythagoras adalah peninggalan Pythagoras yang paling terkenal. Teorema Pythagoras menyatakan bahwa kuadrat hipotenusa dari suatu segitiga siku- siku adalah sama dengan jumlah kuadrat dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya). Ia percaya keindahan matematika di sebabkan segala fenomena alam dapat dinyatakan dalam bilangan- bilangan atau perbandingan bilangan (Mytra, 2021).

Pemikiran filsafat Pythagoras memiliki tempat khusus dalam dunia pemikiran Yunani, karena didasari oleh unsur religius dan paham keragaman. Selain itu, Pythagoras juga merupakan penemu hukum geometri yang bermanfaat untuk menghitung panjang sisi miring pada sgita siku-siku. Berdasarkan teoremanya, panjang sisi miring (hipotenusa) dapat ditentukan dengan menghitung akar dari jumlah kuadrat kedua sisi lainya. Teorema sederhana ini berlaku universal dan menjadi dasar bagi pengembangan geometri Non-Euclid. Bahkan teorema Pythagoras menjadi inspirasi bagi Einstein dalam merumuskan teori relativitas umum dan bagi perkembangan fisika modern dalam upaya merumuskan teori terpadu yang berbasis pada konsep ruang-waktu geometri. Pythagoras mendefinisikan filsafat sebagai cinta terhadap kebijaksanaan. Baginya manusia yang paling berharga adalah mereka yang mencintai kebijaksanaan, yang ia artikan sebagai upaya merenungkan Tuhan. Pythagoras sendiri menganggap dirinya sebagai seorang philosophos (pencinta kebijaksanaan), sebab menurutnya kebijaksanaan sejati hanya di miliki oleh Tuhan (Giri, 2020).

Pengetahuan tentang Pythagoras sangat terbatas dan hanya sedikit yang dapat dipastikan secara pasti. Pythagoras meninggalkan Samos pada awal usia selapan belas tahun untuk menimba ilmu di Phoenica dan Mesir. Setelah bertahun-tahun mengembara, sekitar usia 50 tahun, ia akhirnya menetap di Crotona, sebuah kota Yunani di Italia Selatan. Di sana, ia mendirikan sekolah dan menarik sekelompok murid, yang kemudian dikenal sebagai pengikut Pythagoras. Sekolah ini menggunakan metode pendidikan yang menekankan empat mata pelajaran utama : aritamtika, harmonia (musik), geometria (geometri), dan astrologia (astronomi). Pada abad pertengahan, keempat disiplin ini dikenal sebagai quadrivium yang di perluas dengan trivium yang mencangkup logika, tata bahasa, dan retorik, yaitu siplin yang berkaitan dengan penggunaan bahasa.

Pythagoras mengajarkan ilmunya secara lisan dan tidak menulis ajarannya lebih lanjut.

Berdasarkan biografi yang ada, yang ditulis berabad-abad setelah kematiannya, kita dapat menyimpulkan bahwa Pythagoras mungkin lebih mistis daripada seorang pemikir rasional, dan ia sangat dihormati oleh para pengikutnya. Karena tidak ada karya yang dianggap berasal langsung dari Pythagoras, pemahaman tentang doktrin matematis dari sekolahnya hanya dapat di simpulkan dari karya-karya penulis sesudahnya, termasuk kaum “neo-Pythagorean”. Motto terkenal dari Pythagoras adalah “segala sesuatu adalah bilangan” atau “bilangan mengatur alam semesta”. Dalam konsep ini, bilangan dianggap sebagai serangkaian titik yang tersusun dalam bentuk geometris, menghubungkan geometris dan aritmatika. Pythagoras dan para pengikutnya mengembangkan konsep bilangan figuratif, di mana banyak teorema menarik dapat di bentuk.

Seperti bilangan segitiga, bilangan bujur sangkar, bilangan pentagon, bilangan heksagon, dan bilangan persegi panjang (Khafifah dkk., 2022).

Angka-angka memiliki peran fundamental dalam struktur dan keteraturan alam semesta. Bagi Pythagoras, bilangan bukan hanya alat hitung tetapi juga zat atau dasar dari

(3)

semua hal yang ada di dunia. Pythagoras dan murid-muridnya memperluas konsep ini dengan menciptakan bilangan-bilangan figuratif, yaitu representasi bilangan dalam bentuk titik-titik yang di susun dalam pola geometris. Misalnya bilangan segitiga, bilangan bujur sangkar, dan bilangan pentagon adalah contoh bilangan figuratif, di mana pola titik-titik tersebut membentuk segitiga, bujur sangkar, atau pentagon. Hal ini menunjukkan bagaimana geometri dan aritmatika terhubung : angka bukan hanya abstrak, tetapi juga dapat dipahami sebagai bentuk- bentuk visual yang mengikuti keteraturan tertentu. Dengan demikian, mereka percaya bahwa bilangan-bilangan ini mengungkapkan hubungan antara konsep numerik dan struktur alamiah dalam dunia fisik.

PEMIKIRAN LOGIKA PARMENIDES

Parmenides (540-475 SM) berasal dari kota Elea di Italia Selatan dan merupakan tokoh penting dalam aliran relativisme. Ia di kenal sebagai salah satu logikawan pertama dalam sejarah filsafat, bahkan disebit sebagai filsuf pertama yang berpikir secara modern. Salah satu gagasan logis Parmenides adalah bahwa kesatuan merupakan bentuk dasar realitas, segala sesuatu dianggap tetap, tanpa pergerakan dan perubahan. Menurutnya “yang ada adalah ada”, yang mencerminkan realitas dan kebenaran, serta menjadikan akal manusia sebagai tolak ukur kebenaran. Parmenides menekankan bahwa memandang logika sebagai elemen penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan (Sondarika, 2021).

Ajaran Parmenides menyatakan bahwa kenyataan sejati bukanlah gerakan dan perubahan, melainkan suatu kesatuan yang utuh. Menurut Parmenides, ada dua jenis pengetahuan yaitu pengetahuan inderawi (yang didapatkan dari pengamatan langsung) dan pengetahuan rasional (yang berasal dari akal). Jika terjadi pertentangan antara keduanya, ia lebih memilih rasio. Pemikirannya ini membuka jalan bagi cabang ilmu baru dalam filsafat, yakni metafisika, yang menjadi bidang filsafat yang membahas tentang keberadaan.

Pandangan Parmenides mengenai realitas sebagai suatu kesatuan yang tetap dan tidak mengalami perubahan. Baginya kenyataan sejati bukanlah sesuatu yang berubah atau bergerak, melainkan sesuatu yang bersifat tetap dan utuh. Ketika terdapat perbedaan atau pertentangan antara apa yang dilihat oleh indra dan apa yang diyakini oleh akal, Parmenides mengutamakan pengetahuan rasional. Pandangannya ini berpengaruh besar dalam filsafat dan melahirkan bidang baru yang disebut metafisika. Metafisika kemudian berkembang sebagai cabang filsafat yang mendalami konsep tentang “keberadaan” atau “yang ada” dan menjadi dasar untuk memahami esensi dari kenyataan di luar apa yang tampak oleh pancaindra (Raimanu, 2015).

Dalam The Way of Truth, Parmenides mengajukan pertanyaan :

“Apa standar kebenaran dan bagaimana kita mengukur realitas? Bagaimana hal tersebut dapat dipahami?”

Parmenides menjawab bahwa standar kebenaran adalah logika yang konsisten.

Misalnya ada tiga cara untuk memikirkan Tuhan :

1. Tuhan itu ada, karena tidak mungkin mempercayai yang tidak ada sebagai ada.

2. Tuhan itu tidak ada, karena yang tidak ada pasti tidak ada.

3. Tuhan itu ada dan tidak ada, tidak mungkin karena Tuhan tidak dapat ada dan sekaligus tidak ada.

Dengan demikian, kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan logika. Namun, ini menghadirkan masalah karena pernyataan ekstrem dari pandangan ini adalah bahwa kebenaran

(4)

sepenuhnya diukur oleh akal manusia. Menurut Permenides, “yang ada” adalah satu, abadi, tidak berubah, dan tidak terbagi. "Yang ada” tidak bisa lenyap menjadi “tidak ada”, dan “yang tidak ada” tidak mungkin tiba-tiba muncul sebagai “ada”. Oleh karena itu, hanya “yang ada”

yang dapat dipikirkan, sementara “yang tidak ada” berada di luar pemikiran. Menurutnya “yang ada” bersifat tunggal, universal, tetap, dan tak terbagi. Jika “yang ada” terbagi, itu akan melahirkan banyak “ada”, yang menurutnya tidak mungkin. “Yang ada” selalu ada di mana- mana, sehingga tidak ada ruang kosong, dan di luar “yang ada” tidak ada sesuatu lainnya (Sumanto, 2019).

PEMIKIRAN LOGIKA ZENO

Zeno dari Elea, seorang filsuf Yunani dikenal sebagai pendiri sekolah Eleatik. Ia lahir di Elea, sebuah kota di Italia Selatan, sekitar tahun 490 SM. Zeno terkenal karena argumen- argumennya yang mengkritik konsep perubahan dan gerakan, termasuk paradoks terkenal seperti “Achilles dan kura-kura”. Ia merupakan murid dari Parmenides, yang juga merupakan filsuf penting dalam tradisi pemikiran Eleatik.karya-karya Zeno berfokus pada logika dan metafisika, meskipun banyak dari karyanya hanya diketahui melalui tulisan-tulisan selanjutnya.

Zeno seorang filsuf Yunani yang bijak, tidak hanya memberikan ajaran tentang filsafat tetapi juga tentang cara berbicara dan bersikap. Menurutnya berbicara dengan penuh semangat dan kekuatan harus disertai dengan kesederhanaan. Ia menegaskan bahwa waktu adalah aset paling berharga dalam hal ini. Ketika ditanya tentang teman, Zeno menjawab dengan bijak,

“Aku yang lain”. Walaupun tegas dalam prinsip-prinsipnya, Zeno juga menunjukkan kebijaksanaan dan pemahaman dalam tindakannya (Mulyana dkk., 2024).

Paradoks Zeno mengungkapkan kesulitan dalam memahami ide mengenai jumlah tak berhingga kecil yang membentuk besaran kontinu. Zeno berusaha menunjukkan bahwa pergerakan menuju ukuran yang sangat kecil adalah ilusi. Paradoks terkenal Zeno tentang

“Achilles dan kura-kura” menarik perhatian dalam menjelajahi konsep ketakberhingaan.

Menurut Zeno pelari yang lebih lambat tidak akan pernah bisa di susul oleh pelari yang lebih cepat, sehingga Achilles si Gesit tidak akan bisa menyusul kura-kura. Paradoks ini bukan berarti dalam kenyataan lomba lari Achilles tidak bisa menyalip kura-kura, tetapi lebih menggambarkan keterbatasan pemikiran dalam logika formal matematika (Prabowo, 2009).

Metode dialketika yang digunakan Zeno juga sangat penting dalam pemikirannya. Ia berusaha membongkar posisi lawan dengan menunjukkan kelemahan dalam argumen mereka.

Melalui cara ini, Zeno tidak hanya mempertahankan ajaran Parmenides, tetapi juga memberikan kontribusi penting dalam pengembangan logika dan metode pemikiran filosofis yang akan mempengaruhi banyak filsuf setelahnya, seperti Plato dan Aristoteles. Dengan cara ini, Zeno bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga pelopor dalam menganalisis argumen dan membangun logika yang lebih solid dalam filsafat.

KESIMPULAN

Pemikiran logika Pythagoras, Parmenides, dan Zeno mewakili tahap awal pemahaman filosofis tentang realitas, keberadaan, dan perubahan. Pythagoras mengembangkan pandangan bahwa angka dan harmoni matematis adalah dasar dari segala sesuatu, memperkenalkan logika kuantitatif yang memandang alam semesta sebagai struktur yang teratur dan simetris.

Parmenides kemudian memperkenalkan pandangan radikal bahwa realitas itu satu dan tidak berubah, menolak pluralitas dan perubahan sebagai ilusi yang tidak dapat dibuktikan secara

(5)

logis. Zeno, sebagai pendukung Parmenides memperkuat argumen ini melalui paradoks- paradoks yang menunjukkan kontradiksi dalam konsep gerakan dan perubahan. Bersama-sama ketiga filsuf ini mengarahkan filsafat Barat pada pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hakikat keberadaan, struktur logis dunia, dan batasan dari persepsi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Giri, I. P. A. A. (2020). Pandangan Hindu terhadap Pemikiran Kefilsafatan Pythagoras.

Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 10(2), 101. https://doi.org/10.25078/sjf.v10i2.1496 Khafifah, K. L., Safitri, L. D., & Yulianasari, N. (2022). Sejarah Perkembangan Matematika

Yunani Kuno dan Tokoh-Tokohnya.

Mulyana, A., snava Tratasukma, D., Rohmawati Sondjaya, S., & Mohammad, A. P. (2024).

Logika dalam Stoik. FORIKAMI.

https://journal.forikami.com/index.php/praxis/article/view/647/420 Mytra, P. (2021). Tokoh-Tokoh (Matematikawan), Aliran, dan Pengaruhnya.

https://doi.org/10.31219/osf.io/kxz3e

Prabowo, A. (2009). Aliran-Aliran Filsafat dalam Matematika. Jurnal Ilmiah Matematika dan Pendidikan Matematika, 1(2), 25. https://doi.org/10.20884/1.jmp.2009.1.2.2979 Raimanu, O. G. (2015). Filsafat dan Metode Penelitian.

Sondarika, W. (2021). Perkembangan Ilmu Pegetahuan di Yunani dari Abad Ke-5 SM Sampai Abad Ke-3 SM. Jurnal Artefak, 8(1), 87. https://doi.org/10.25157/ja.v8i1.5170

Sumanto, E. (2019). Filsafat Jilid I. Penerbit Vanda.

http://repository.iainbengkulu.ac.id/4099/1/Bahan%20Ajar%20%20Filsafat%20%20Ji lid%20I%20Edi%20Sumanto,%20M.Ag.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini membahas tentang pengertian dan macam-macam logika, komponen- komponen logika, hubungan pengertian, simbol dan term, macam-macam term, hubungan isi dan luas

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AHMAD KHATIB SAMBAS Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah SSIII II.. Dosen Pembimbing

Materi pembelajaran dalam Mata Kuliah Logika disusun dalam 6 pokok bahasan, yaitu: konsep logika proposisi yang mencangkup operator, hukum, dan tabel logika, konsep logika predikat

Secara garis besar makalah filsafat ilmu yang saya susun ini yang berkenaan dengan judul yang saya usung yaitu Logika Inferensi membahas tentang Pengertian Logika,Sejarah Ringkas

1. Penggunaan teorema Pythagoras untuk menyelesaikan permasalahan yang dibuat pada tugas proyek yang telah diberikan... Media, Alat dan Sumber Pembelajaran 1. Media.. Tayangan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui nilai kebenaran dari suatu pernyataan, operasi-operasi yang terdapat dalam logika matematika,

Dokumen ini berisi Rencana Pembelajaran Semester (RPS), kontrak kuliah, dan pengenalan mata kuliah Logika

KONTRAK PERKULIAHAN Kesepakatan Antara Dosen dan Mahasiswa Dalam Proses Pembelajaran Kuliah Mata Kuliah : Logika Fuzzy Kode Mata Kuliah : TEC 331 Semester : IV Tahun Ajaran : 2024 /