Finna Christianty, Ahmad Dian Wahyudiono Bagian Otorhinolaryngology Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RSUD Dr.Saiful Anwar Malang
Laporan Kasus
Kata kunci: otitis media supuratif kronik, kolesteatoma rekuren, mastoidektomi revisi
Latar Belakang: Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan peradangan kronis yang mengenai ruang telinga tengah dan menjadi beban terutama di negara berkembang. Mastoidektomi tetap menjadi pengobatan utama pada OMSK dengan kolesteatoma. Kolesteatoma berulang dan proses supurasi mengindikasikan perlunya revisi mastoidektomi. Hingga saat ini, penelitian mengenai mekanisme kolesteatoma berulang dan penatalaksanaannya masih sedikit. Tujuan: Untuk menganalisis faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kolesteatoma berulang dan penatalaksanaannya. Laporan kasus: Kasus otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma berulang yang menjalani mastoidektomi revisi. Pertanyaan klinis: Apa saja faktor yang berhubungan dengan terjadinya kolesteatoma berulang dan bagaimana
penatalaksanaannya? Metode: Studi literatur dasar bukti tentang otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma berulang dan pengobatan bedah dilakukan melalui database PubMed, ProQuest, dan Google Scholar. Hasil: Kolesteatoma berulang yang terjadi pasca mastoidektomi dapat disebabkan oleh sisa kolesteatoma itu sendiri, atau terbentuknya kantong retraksi yang baru. Revisi mastoidektomi diperlukan untuk mengevakuasi kolesteatoma dan memberikan drainase yang baik ke mastoid. Kesimpulan: Tindak
lanjut rutin pasca mastoidektomi merupakan hal yang penting untuk membantu mencegah kekambuhan OMSK terutama dengan kolesteatoma.
ABSTRAK
Kata kunci: otitis media supuratif kronis, kolesteatoma rekuren, mastoidektomi revisi
Penatalaksanaan otitis media supuratif kronis berulang dengan
kolesteatoma
Latar belakang: Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan suatu kondisi inflamasi kronis pada mukosa telinga tengah dan merupakan masalah kesehatan terutama pada negara berkembang.
DAN “perawatan bedah.” Hasil: Kolesteatoma rekuren dapat terjadi pasca dilakukan mastoidektomi akibat adanya residu, atau terbentuknya kembali kantong retraksi. Revisi mastoidektomi diperlukan untuk membersihkan jaringan kolesteatoma dan memperbaiki drainase dari mastoid. Kesimpulan:
Pemantauan ketat pasca mastoidektomi adalah hal yang penting untuk mencegah rekurensi dari OMSK, terutama OMSK dengan kolesteatoma.
Pada kasus OMSK dengan kolesteatoma, mastoidektomi merupakan terapi utama. Adanya
kolesteatoma rekuren, serta kondisi supurasi, merupakan indikasi diperlukannya revisi mastoidektomi.
Hingga saat ini, masih diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai mekanisme terjadinya kolesteatoma rekuren serta talaksanaannya. Tujuan: Untuk menganalisis faktor-faktor yang berperan pada kolesteatoma rekuren serta penatalaksanaannya. Laporan kasus: Satu kasus OMSK dengan kolesteatoma rekuren yang menjalani operasi mastoidektomi revisi. Pertanyaan klinis: Apa saja faktor
penyebab dan bagaimana tatalaksana OMSK dengan kolesteatoma rekuren? Metode: Telaah literatur
berdasarkan bukti melalui pencarian PubMed, ProQuest, dan Google Scholar dengan kata kunci “recurrent cholesteatoma”
ABSTRAK
Timpanomastoidektomi rekonstruksi dinding kanal (CWR) adalah teknik yang menggabungkan CWD dan CWU dengan tujuan mengoptimalkan pemberantasan jaringan kolesteatoma, dan memberikan blokade pada loteng, sehingga mengurangi risiko kekambuhan dan pembentukan kantong retraksi. Teknik CWR diperkenalkan oleh Mercke pada tahun 1987 dan dilakukan dengan obliterasi mastoid menggunakan beberapa metode seperti flap osteoperiosteal, aloplast keramik, semen tulang, dan tulang rawan kosta.9
OMSK merupakan masalah kesehatan dunia dengan prevalensi di Asia Tenggara sebesar 7,8%
berdasarkan World Health Organization (WHO).4 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Desbassarie et al.5 di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2011, terdapat 117 kasus OMSK dengan 43
diantaranya merupakan kasus OMSK dengan komplikasi.
Selanjutnya OMSK dibagi lagi berdasarkan ada tidaknya kolesteatoma menjadi OMSK tubotimpanik/
tipe aman/jinak, dan OMSK tipe atticoantral/berbahaya/
ganas. Tipe tubotimpani ditandai dengan perforasi membran timpani sentral, sedangkan tipe atticoantral ditandai dengan keterlibatan bagian postero-superior telinga tengah (termasuk loteng, antrum, dan mastoid) dengan perforasi marginal atau atic pada membran timpani. Adanya kolesteatoma dan erosi tulang-tulang pendengaran merupakan gambaran OMSK
atticoantral.2,3
Kolesteatoma berulang yang muncul setelah operasi mastoidektomi dapat terjadi akibat sisa kolesteatoma yang tidak dibersihkan selama operasi, atau terbentuknya kantong retraksi pada membran timpani melalui saluran telinga yang telah direkonstruksi sebelumnya. Kehadiran kolesteatoma berulang dapat meningkat
Istilah otitis media mengacu pada sekelompok kelainan pada telinga tengah akibat infeksi dan peradangan. Diperkirakan sebanyak 80% anak-anak di seluruh dunia pernah mengalami episode otitis media.
Otitis media secara umum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu otitis media akut (OMA) dan otitis media kronis, yang mencakup otitis media supuratif kronik (OMSK).1 Secara klinis, OMSK didefinisikan sebagai infeksi telinga tengah berkepanjangan yang ditandai dengan adanya cairan bernanah. keluarnya cairan dari telinga melalui membran timpani yang berlubang selama minimal 2 bulan.
Mastoidektomi tetap menjadi terapi andalan pada OMSK maligna/atticoantral. Tujuan dari prosedur ini adalah menciptakan telinga yang kering dan aman dengan menghilangkan granulasi dan jaringan patologis di telinga tengah, sehingga menghilangkan infeksi. Tujuan selanjutnya setelah infeksi diberantas adalah pelestarian dan rekonstruksi fungsi pendengaran yang tersisa. Mastoidektomi dinding kanal bawah (CWD) dilakukan dengan membuka rongga mastoid dan membiarkannya terbuka dengan membuang seluruh dinding meatus posterior. Teknik ini dikenal sebagai mastoidektomi radikal di mana seluruh rongga telinga tengah beserta loteng dan antrum mastoid menjadi rongga besar yang menyatu. Sedangkan teknik canal wall up (CWU) dilakukan dengan membersihkan seluruh jaringan patologis dengan tetap menjaga meatus posterior, sehingga sebaliknya rongga mastoid tidak dibiarkan terbuka.8
PERKENALAN
Etiologi dan patofisiologi otitis media bersifat
multifaktorial dan tumpang tindih, termasuk gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius dan proses infeksi yang melibatkan biofilm dan bakteri anaerob.6,7
Alamat korespondensi: Finna Christianty. Departemen Bedah Otorhinolaryngologi Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/Dr. RSUD Saiful Anwar. Jl. Jaksa Agung Suprapto no.2,
Malang, Jawa Timur 65112, Indonesia. Surel: [email protected]
Gambar 2. HRCT mastoid: tidak terlihat tulang tulang, dengan lesi isodens di mesotympanum, diduga kolesteatoma
Gambar 1. Pemeriksaan otoskopi 2 tahun setelah mastoidektomi primer pada 349 subjek pasca mastoidektomi, sebanyak 19
subjek (8,3%) mengalami kolesteatoma berulang dalam rentang waktu bervariasi antara 2-12 tahun setelah mastoidektomi pertama/primer. Mastoidektomi revisi adalah istilah yang mengacu pada operasi ulang/bedah tampilan kedua untuk mengangkat jaringan patologis yang kambuh setelah mastoidektomi primer.
Laporan kasus ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut faktor-faktor yang berperan dalam kolesteatoma berulang dan penatalaksanaannya.
Sebelum melakukan revisi mastoidektomi, beberapa hal perlu diperhatikan, antara lain mengevaluasi kembali kelainan OMSK yang dialami sebelum mastoidektomi primer, hingga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi mastoidektomi primer.11
Tomografi Komputasi Resolusi Tinggi Mastoid (HRCT) dilakukan dan menunjukkan: tidak ada tulang tulang yang terlihat, dengan lesi isodens di mesotimpanum, diduga kolesteatoma. (Gambar 2)
Pemeriksaan otoskopi menunjukkan sekret mukopurulen pada telinga kiri, dengan jaringan granulasi dan kolesteatoma terlihat pada daerah postero-superior.
(Gambar 1).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Vartiainen10
tahun setelah mastoidektomi primer, pasien mengalami keluarnya cairan mukopurulen dari telinga dan gangguan pendengaran pada telinga yang sama.
angka kesakitan dan memerlukan pemberantasan.10
Seorang wanita, 20 tahun, dengan keluhan utama sekret mukopurulen berbau busuk pada telinga kiri, dan gangguan pendengaran sejak 12 tahun terakhir. Ia datang ke klinik THT RSUD Dr Saiful Anwar untuk konsultasi.
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Juli 2018, beliau mengalami sakit kepala hebat disertai penurunan kesadaran dan telah menjalani operasi drainase abses otak oleh dokter bedah saraf. Pasien dirujuk ke klinik THT setelah pulih dari operasi. Pada bulan Oktober 2018, dilakukan mastoidektomi radikal yang dimodifikasi.
Kolesteatoma dan jaringan granulasi ditemukan intra- operatif di seluruh rongga mastoid; maleus sudah membusuk, stapes dan inkus ditutupi dengan jaringan granulasi, terlihat perforasi loteng dan membran timpani yang melekat. Mastoidektomi radikal termodifikasi pada prosedur mastoidektomi primer ini dilakukan dengan cara melenyapkan rongga mastoid dengan jaringan fibrosa.
LAPORAN KASUS
Audiometri nada murni menunjukkan pendengaran normal (16,25 dB) pada telinga kanan dan gangguan pendengaran konduktif ringan pada telinga kiri (36,25
Gambar 3. Jaringan kolesteatoma pada dinding meatus posterior
Faktor risiko kolesteatoma berulang setelah mastoidektomi primer sebelumnya dapat dibagi menjadi faktor pra operasi, intra operasi, dan pasca operasi. Faktor pra operasi yang berperan terhadap terjadinya kolesteatoma berulang antara lain usia, serta adanya riwayat otitis media adhesif sebelumnya yang umumnya terjadi pada usia muda. Hal ini mengakibatkan tekanan negatif yang berkepanjangan, meningkatkan risiko terbentuknya kantong retraksi.
Faktor intraoperatif yang berperan dalam kolesteatoma berulang antara lain perluasan kolesteatoma itu sendiri. Kolesteatoma yang ukurannya cukup besar hingga meluas hingga ke antrum, sinus timpani, dan mastoid, memiliki risiko lebih tinggi untuk meninggalkan residu dan kambuh, karena dapat menghambat visualisasi intraoperatif. Selain itu, teknik terkait pengangkatan jaringan kolesteatoma juga dianggap sebagai faktor intraoperatif yang berhubungan dengan kekambuhan.
Dua bulan tindak lanjut setelah revisi
Beberapa penelitian menyatakan bahwa teknik CWU memiliki risiko kekambuhan yang lebih besar dibandingkan CWD atau mastoidektomi radikal modifikasi. Namun hingga saat ini hal tersebut dinilai belum memberikan
pengaruh yang signifikan karena tidak semua penelitian serupa Apa saja faktor yang berhubungan dengan
terjadinya kolesteatoma berulang, dan bagaimana cara penanganannya?
Dalam database PubMed-Medline, serta Goggle Scholar, diperoleh 20 literatur yang kemudian disaring berdasarkan publikasi 10 tahun terakhir, relevan dengan topik, dan tersedia dalam teks lengkap.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vartiainen,10 kolesteatoma berulang dapat terjadi 2-12 tahun setelah dilakukan mastoidektomi primer.
Tingkat kekambuhan kolesteatoma ditemukan berbeda pada anak-anak dan orang dewasa; dimana pada anak-anak, kekambuhan setelah 5 tahun mastoidektomi primer 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan pada orang dewasa. Hal ini disebabkan adanya perbedaan fungsi tuba eustachius yang lebih baik pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak, sehingga risiko terjadinya tekanan negatif pada telinga tengah lebih rendah.10,12
HASIL Pada bulan Januari 2021, dilakukan
mastoidektomi revisi kiri dengan obliterasi mastoid.
Kolesteatoma yang ditemukan pada dinding posterior diangkat, dan antrum mastoid dilatasi. Tulang rawan tragal diambil sebagai bahan cangkok, dan digunakan untuk menutupi kerusakan dinding meatus posterior (Gambar 3).
PERTANYAAN KLINIS
operasi mastoidektomi, menunjukkan telinga kering.
Penelusuran literatur dilakukan pada bulan Februari 2021 dengan kata kunci “otitis media supuratif kronik”, DAN “kolesteatoma berulang”, DAN
“mastoidektomi revisi”.
METODE TINJAUAN
Pasca operasi mastoidektomi, diperlukan tindak lanjut rutin yang meliputi pemeriksaan otoskopi rutin dan toilet telinga, serta pemeriksaan timpanogram dan audiometri. Pemeriksaan dengan otoskopi bertujuan untuk menilai ada tidaknya kantong retraksi dan kolesteatoma yang terbentuk pasca operasi.
Selain itu, kondisi membran timpani juga perlu dievaluasi, dan pada kebanyakan kasus kolesteatoma berulang seringkali tidak disertai dengan perforasi ulang membran timpani yang telah direkonstruksi sebelumnya. Gambaran timpanogram Tipe A menunjukkan ventilasi telinga tengah yang baik sehingga kemungkinan terjadinya kolesteatoma sisa dan berulang dapat disingkirkan. Evaluasi pasca operasi tahunan dianjurkan setidaknya selama 5 tahun untuk mencegah kekambuhan.12,13
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kolesteatoma berulang setelah mastoidektomi primer dapat dibagi menjadi faktor pra-operasi, intra-operasi, dan pasca-operasi.
Adanya kolesteatoma berulang merupakan tanda kegagalan operasi sebelumnya, dan pada pasien kami kondisi ini terjadi 2 tahun setelah
mastoidektomi primer. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vartiainen10 dimana kolesteatoma berulang dapat terjadi 2-12 tahun setelah dilakukan mastoidektomi primer.
Beberapa teori menyimpulkan bahwa, kolesteatoma berulang lebih sering terjadi pada anak-anak kurang dari 18 tahun dibandingkan orang dewasa, karena belum matangnya fungsi tuba Eustachius. Penelitian yang dilakukan oleh Volgger dkk.13 menyimpulkan bahwa usia tidak berpengaruh signifikan terhadap kekambuhan kolesteatoma.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Nadol11 melaporkan kegagalan mastoidektomi primer bervariasi antara 3%-36%.
Faktor yang berperan dalam kegagalan mastoidektomi primer bervariasi dan multifaktorial, antara lain faktor anatomi pasca mastoidektomi primer, hingga kombinasi perluasan OMSK itu sendiri dengan teknik pembedahan yang dipilih.11,12
Kasus yang dilaporkan adalah OMSK dengan kolesteatoma berulang yang sebelumnya telah menjalani mastoidektomi primer dengan teknik mastoidektomi radikal yang dimodifikasi.
memiliki kesimpulan yang sama. Rekonstruksi dinding meatus posterior dengan cangkok tulang rawan diduga berperan dalam kekambuhan kolesteatoma, karena diduga 'mengubur' jaringan patologis di telinga tengah.
Sejauh ini hal itu belum terbukti; dan di sisi lain, rekonstruksi dinding meatus posterior akan
mengembalikan anatomi normal saluran pendengaran eksternal.12,13
Otitis media supuratif kronik merupakan peradangan kronik berkepanjangan pada rongga telinga tengah yang terbagi menjadi dua subtipe yaitu OMSK atticoantral dan OMSK tubotimpanik. Terapi bedah dengan mastoidektomi merupakan terapi lini pertama pada kasus OMSK dengan kolesteatoma yang bertujuan untuk memberantas infeksi, membuat telinga kering, dan menjaga pendengaran. Terapi bedah pada kasus OMSK harus dicapai: menghilangkan perkembangan penyakit yang menyebabkan telinga kering, modifikasi anatomi timpanomastoid untuk mencegah kekambuhan penyakit, dan rekonstruksi/
pelestarian pendengaran.
Pada kasus yang dilaporkan ini, tidak dilakukan evaluasi terhadap struktur adenoid, sehingga kekambuhan penyakit pada subjek masih mungkin disebabkan oleh gangguan tuba Eustachius yang dapat terhambat oleh adenoid. Fungsi tuba eustachius merupakan salah satu faktor pra operasi yang berperan terhadap kekambuhan kolesteatoma, selain usia, juga kondisi histopatologi telinga tengah pada OMSK. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji fungsi tuba Eustachius.
DISKUSI
Dalam kasus yang kami sajikan, temuan pada operasi mastoidektomi primer, dan juga revisinya menunjukkan adanya jaringan granulasi, yang dapat menjadi faktor risiko kekambuhan penyakit pada pasien. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Merchant et al.,14 adanya jaringan granulasi menandakan adanya cacat pada mukosa telinga tengah akibat tekanan negatif yang berkepanjangan, sehingga memudahkan terjadinya infeksi ulang telinga tengah yang mengakibatkan
Dalam kasus yang dijelaskan dalam penelitian ini, HRCT mastoid dilakukan sebagai pemeriksaan rutin sebelum mastoidektomi revisi. Pemeriksaan HRCT sendiri bukan merupakan tindak lanjut rutin/
HRCT mastoid yang dilakukan sebelum mastoidektomi revisi menunjukkan lesi isodens yang mengindikasikan proses sklerotik pada tulang mastoid.
Faktor histopatologi telinga tengah dengan OMSK juga penting sebagai prediktor outcome mastoidektomi.
Pada infeksi kronis, endapan granulasi dan jaringan ikat terjadi di submukosa, mengakibatkan sekuestrasi sel udara mastoid yang sebelumnya mengalami pneumatisasi dengan baik. Selain itu, aktivitas osteoklas di mastoid dan tulang tulang dapat terjadi pada OMSK. Kedua kondisi tersebut dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan radiografi sebagai tulang mastoid dengan pneumatisasi buruk/sklerotik yang tampak sebagai kekeruhan pada sinar X, atau gambaran isodens pada HRCT mastoid. Adanya kondisi ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan kesulitan dalam mengidentifikasi landmark bedah intraoperatif, dan meningkatkan risiko meninggalkan sisa
kolesteatoma. Dalam kasus yang dijelaskan dalam penelitian ini, HRCT mastoid dilakukan sebagai pemeriksaan rutin sebelum mastoidektomi revisi.
Pemeriksaan HRCT sendiri bukan merupakan modalitas tindak lanjut/monitoring rutin setelah mastoidektomi, namun diperlukan pada kasus infeksi telinga tengah kronis. 11,14
pantau modalitas setelah mastoidektomi, tetapi hal ini diperlukan pada kasus infeksi telinga tengah kronis.
TIDAK ADA REF MANA??
Kolesteatoma dengan granulasi dan sekret akan memberikan gambaran yang sama pada pemeriksaan HRCT mastoid. Sedangkan pada MRI, jaringan kolesteatoma akan memberikan gambaran hiperintens yang jelas yang disebabkan oleh adanya molekul air di dalamnya, sehingga akan mempengaruhi difusi sinyal pada pemeriksaan MRI, sehingga lebih mudah dibedakan dengan jaringan granulasi atau proses inflamasi lainnya. Namun pada ukuran kolesteatoma yang kecil yaitu kurang dari 5 mm, HRCT akan memberikan gambaran yang lebih jelas dibandingkan MRI karena kolesteatoma yang kecil kemungkinan dapat diidentifikasi sebagai artefak pada pemeriksaan MRI.
Faktor intraoperatif yang berperan dalam kekambuhan kolesteatoma, antara lain perluasan kolesteatoma itu sendiri, dan teknik pembedahan yang dipilih. Perluasan ke sinus timpani dan antrum secara statistik merupakan faktor risiko kolesteatoma berulang. Hal ini dikarenakan sinus timpani merupakan daerah yang sulit dijangkau, dan adanya kolesteatoma pada daerah ini berisiko meluas secara vertikal dan medial ke arah saraf fasialis sehingga semakin sulit diidentifikasi.10,11
Prosedur adenoidektomi yang dilakukan sebelum mastoidektomi primer mempunyai efek yang menarik pada kolesteatoma berulang.
kelenjar gondok adalah salah satu faktor risiko
independen yang mempengaruhi kekambuhan kolesteatoma.
kambuh.
Operasi mastoidektomi primer pada pasien kami dilakukan dengan mastoidektomi radikal yang dimodifikasi dimana saluran meatus posterior diangkat.
HRCT mastoid saat ini merupakan pemeriksaan radiologi utama dalam identifikasi jaringan
kolesteatoma. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fathy et al.15, pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) lebih unggul dibandingkan HRCT mastoid dalam mengidentifikasi kolesteatoma berulang, karena penampakannya
Dengan teknik ini diharapkan seluruh jaringan kolesteatoma yang terbentuk sebelumnya dapat diangkat secara optimal sehingga mencegah kekambuhan. Beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa mastoidektomi
Hal ini menjadi faktor yang berperan dalam terjadinya kolesteatoma berulang karena pembersihan pasca operasi yang tidak maksimal dan fungsi pendengaran tidak terpantau yang dapat menjadi tanda kambuhnya penyakit. Evaluasi pasca operasi dianjurkan dilakukan minimal 5 tahun untuk mencegah kekambuhan.11 Dalam revisi mastoidektomi yang dilakukan pada
pasien kami yang dilaporkan, pengerasan dan obliterasi cangkok dilakukan menggunakan tulang rawan tragus dan fasia temporalis. Teknik ini dilakukan untuk mencegah terbentuknya kantong retraksi terutama pada bagian loteng dan diharapkan dapat memberikan akses yang lebih baik untuk aural toilet pasca operasi. Beberapa modifikasi yang perlu diperhatikan dalam revisi mastoidektomi untuk mencegah kekambuhan adalah meatoplasti,
canaloplasty, dan graft pengerasan. Pada teknik CWU dan CWD, teknik meatoplasti yang memadai dengan menghilangkan sebagian kecil tulang rawan conchae yang cekung di bagian posterior saluran pendengaran eksternal dapat memudahkan pemeriksaan dan pembersihan telinga setelah prosedur. Canaloplasty umumnya dilakukan pada kasus yang disertai dengan stenosis saluran akustik eksternal dan memiliki tujuan yang sama dengan meatoplasty. Pengerasan cangkok bertujuan untuk mencegah retraksi membran timpani, dan dapat dicapai dengan menggunakan tulang rawan dari tragus. Teknik obliterasi dilakukan untuk
memperkecil ukuran rongga yang terbentuk dan menciptakan penghalang antara kulit dan struktur kecil seperti labirin dan saraf wajah. Teknik obliterasi diharapkan mampu mencegah terjadinya jaringan granulasi dan kolesteatoma terutama pada daerah ujung mastoid, sudut sinodural, dan timpani.
Perawatan pasca mastoidektomi sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik dan mencegah kekambuhan. Setelah tindakan, pasien perlu menjalani pembersihan telinga secara rutin (aural toilet) minimal dua kali seminggu, dan dapat dilanjutkan seminggu sekali setelah epitelisasi dan telinga kering terbentuk, selanjutnya dapat dilanjutkan sebulan sekali. Jaringan granulasi yang terbentuk pada perawatan pasca operasi dapat dibersihkan dengan kauterisasi, dan rongga yang terbentuk dapat dibersihkan dengan tampon telinga yang mengandung cairan antiseptik seperti povidone yodium.16 Selain itu, perlu dilakukan pemantauan fungsi pendengaran pasien dengan nada murni. audiometri dan timpanometri. Perbaikan ambang pendengaran dan timpanogram tipe A pasca mastoidektomi menunjukkan kecil kemungkinan terjadinya kolesteatoma berulang, sehingga pemeriksaan pencitraan dengan HRCT mastoid sebagai pertimbangan evaluasi pasca operasi dapat ditunda.10,16
teknik dengan CWU berisiko meninggalkan sisa kolesteatoma yang akan menyebabkan kekambuhan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Volgger dkk.10 ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara teknik CWU dan CWD sebagai faktor risiko kolesteatoma berulang. Selain itu, rekonstruksi dinding meatus posterior dengan cangkok tulang rawan diduga berperan terhadap terjadinya
kolesteatoma berulang karena dianggap 'mengubur' jaringan patologis di telinga tengah. Sejauh ini, hal ini belum terbukti, dan sebaliknya, rekonstruksi dinding meatus posterior akan mengembalikan anatomi normal saluran akustik eksternal.10,11
Selain itu, pasien juga tidak melakukan kontrol rutin pasca mastoidektomi primer.
Pada kasus yang kami laporkan, didapatkan pasien memiliki timpanogram B pada telinga kiri yang sebelumnya pernah menjalani mastoidektomi primer disertai otorrhea, sehingga dapat dicurigai kambuh.
tegmen.11
Berdasarkan pembahasan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa adanya kolesteatoma berulang merupakan tanda kegagalan dari prosedur
mastoidektomi sebelumnya yang dapat disebabkan oleh faktor pra operasi, intra operasi, dan pasca operasi, serta dapat disebabkan oleh faktor pre operasi, intra operasi, dan pasca operasi. terjadi
pada 110 kasus operasi revisi. Braz J 3. Casselbrant M, Mandel EM. Otitis media
Wilkins; 2014. hal. 1479–502.
Klinik Otolaryngol Utara Am. 2006; 39:
Schrötzlmair F. Identifikasi risiko
Profil pasien dengan komplikasi kronik
Januari– Desember 2011. Althea Med J. 2015;
2(2):108–13.
7. Prakash R, Juyal D, Negi V, Adekhandi S,
Shelton C, Arriaga M, editor. Otologis
selama lebih dari 33 tahun. Lengkungan THT.
2020; 24(5): 18–23.
2. Dhingra S, Dhingra P, Dhingra D.
Mesir J Radiol Nucl Med. 2015;46(2):391–5.
otitis media supuratif. Bedah Kepala Leher J THT Nepal. 2010;1(1):14– 6.
Rekonstruksi Wilkinson E.CanalWall
Otol. 1995; 109(2): 590–2.
2015;64(10):1103–16.
Otorhinolaryngol.2018; 727(8):1–8.
4. Muftah S, Mackenzie I, Faragher B, Brabin
Faber CE. Kekambuhan kolesteatoma - Sebuah penelitian retrospektif yang mencakup 1006 pasien
Laringoskop.1997;107 (1):872–7.
6. Srivastava A, Singh R, Varshney S, Gupta P, Rumah Sakit Umum Bandung, Indonesia.
8. Purnami N, Rahmawati R. Bakteri biofilm mempunyai korelasi yang signifikan dengan OMSK tipe tidak aman. Folia Medica Indonesia.
1. Mittal R, Lisi C, Gerring R, Mittal J, Mathee
anak-anak dan orang dewasa: studi retrospektif
ed. Pennsylvania: Lippincott Williams dan
10. Vartiainen E. Faktor yang berhubungan dengan Timpanomastoidektomi. Dalam:Brackmann D, di era resistensi antimikroba. Dalam: Johnson JT, Rosen CA, editor. Bedah Kepala dan Leher Otolaringologi Bailey. tanggal 5
otitis media supuratif di dr. Hasan Sadikin
Pal S, Sharma M.Mikrobiologi otitis media supuratif kronis di perawatan tersier di negara bagian Uttarakhand, India. Utara Am J Med Sci. 2013;5(4):282–7.
723–40.
faktor untuk sisa kolesteatoma di
Operasi. edisi ke-4. Filadelfia: Elsevier; 2016.
15. Fathy A, Ghany A. Diagnosis kolesteatoma berulang menggunakan MRI tertimbang difusi.
dari tipe tubotimpani aktif kronis
11.Nadol JB. Revisi mastoidektomi.
13. Volgger V, Lindeskog G, Krause E, Kolesteatoma dan otitis media kronis. Di dalam:
Dhingra D, editor. Penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan. edisi ke-6. India: Elsevier; 2014. hal. 62.
5. Desbassarie WF, Dermawan A, Hadi S.
16. Bolotow N. Mastoidektomi Radikal. Lengkungan THT. 2015;29(2):269–86.
12. Møller PR, Djurhuus BD, Pedersen CN,
9. Gantz B, Eppstein R, Gubbels S,
14. Pedagang SN, Wang P, Jang C, Glynn RJ, Rauch SD, McKenna MJ, dkk. Kemanjuran operasi
timpanomastoid untuk mengendalikan infeksi pada Otitis Media Kronis Aktif.
B. Prevalensi otitis media supuratif kronik (OMSK) dan gangguan pendengaran terkait pada anak usia sekolah di Yaman. OmanMed J.2015;30(5):358–65.
Bist S, Bhagat S. Evaluasi mikrobiologi
2014;51(1):208–13.
berperan dalam patogenesis OMSK dan
kekambuhan kolesteatoma. J. Laringol K, Narasimhan G, dkk.Konsep terkini dalam patogenesis dan pengobatan otitis media supuratif kronis. J Med Mikrobiol.