• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan dan Metodologi Perencanaan Pembangunan RSUD Matraman di Jakarta Timur

N/A
N/A
Andri Arifin7

Academic year: 2024

Membagikan "Pendekatan dan Metodologi Perencanaan Pembangunan RSUD Matraman di Jakarta Timur"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

DATA TEKNIS 4

P ENDEKATAN & M ETODOLOGI

4.1. P

ENDEKATAN

Pendekatan Pekerjaan “Perencanaan Pembangunan RSUD Matraman di Jakarta Timur” secara Rasional Menyeluruh (Rational Comprehensive Approach) adalah suatu kerangka pendekatan yang logis dan teratur mulai dari diagnosis sampai kepada tindakan-tindakan yang didasarkan pada analisis fakta yang relevan, diagnosa masalah dikaji melalui kerangka teori nilai-nilai, perumusan tujuan dan sasaran dalam rangka pemecahan pemecahan masalah, merancang alternatif cara-cara untuk mencapai tujuan dan pengkajian atas efektivitas cara-cara tersebut.

Pendekatan rasional menyeluruh secara konsepsual dan analitis mencakup pertimbangan penilaian yang luas. Didalam pertimbangan dan penilaian tersebut tercakup berbagai unsur atau subsistem yang membentuk suatu sistem secara menyeluruh. Pertimbangan dan penilaian ini termasuk pula hal-hal yang berkaitan dengan seluruh rangkaian tindakan pelaksanaan serta berbagai pengaruhnya terhadap keluaran dalam pekerjaan ini.

Produk Pencapaian Pekerjaan Perencanaan Pembangunan RSUD Matraman di Jakarta Timur tujuan perencanaan Penyusunan Detail Engeneering Design Pembangunan Perencanaan Pembangunan RSUD Matraman di Jakarta Timur”, jadi permasalahan yng ditinjau tidak dilihat secara terpilah - pilah melainkan dalam suatu cakupan. Pendekatan perencanaan rasional menyeluruh ini menempatkan permasalah tersebut selain sebagai suatu kesatuan secara internal juga dalam hubungannya dengan hal-hal eksternal, yaitu unsur-unsur dari sistem yang berada diluar atau disekitarnya. Walaupun suatu perencanaan rasional menyeluruh ini tidak bermaksud merealisasikan semua unsur atau subsistem dari suatu sistem tersebut, tetapi lingkup wawasan perencanaanya sudah merinci keseluruhan aspek dalam suatu kaitan yang terpadu.

Ciri-ciri utama dari suatu pendekatan perencanaan rasional menyeluruh ini adalah sebagai berikut (Banfield, Mayerson):

(2)

ingin dicapai sebagai suatu kesatuan yang utuh

2. Didasari oleh seperangkat spesifikasi tujuan yang lengkap, menyeluruh, dan terpadu.

3. Peramalan yang tepat serta ditunjang oleh sistem informasi (masukan data) yang lengkap, andal dan rinci.

4. Peramalan yang diarahkan pada tujuan-tujuan jangka panjang

Asumsi yang mendasarinya adalah suatu konsesus umum terhadap cara dan tujuan yang mempunyai makna kepentingan atau kesejahteraan umum dapat dicapai dan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh suatu mekanisme perencanaan yang sentralistik serta pemilihan rencana terbaik yang pada dasarnya merupakan suatu proses tertentu yang dapat diselesaikan melalui analisis yang akurat atas data-data yang relevan.

Pada hakekatnya pendekatan ini mengutamakan unsur atau subsistem tertentu sebagai yang perlu diprioritaskan tanpa perlu melihatnya dalam wawasan yang meluas. Pendekatan ini dianggap memungkinkan bagi para pembuat keputusan untuk menerapkan strategi pengambilan keputusan dengan kapasitas kognitif yang terbatas dan lebih rasional.

Suatu perencanaan pencapaian terpilah tidak perlu ditunjang oleh sistem informasi yang lengkap, menyeluruh serta akurat mengenai keadaan keseluruhan, cukup data yang terinci tentang unsur atau subsistem tertentu yang diprioritaskan tersebut. Ini dianggap sebagai suatu penghematan dana dan waktu untuk penelahan, analisis dan proses teknis penyusunan rencana.

Sasaran dan tujuan yan digariskan di dalam rencana bersifat langsung pada kebutuhan pengembangan suatu unsur atau subsistem tertentu saja.

Jadi ciri-ciri utama suatu produk pencapaian terpilah adalah:

1. Penilaian terpilah tidak perlu ditunjang oleh penelaahan serta evaluasi alternatif rencana secara menyeluruh.

2. Hanya mempertimbangkan bagian-bagian dari kebijaksanaan umum (kalau sudah ada) yang berkaitan langsung dengan unsur atau subsistem yang diprioritaskan.

(3)

tertentu saja maka ada anggapan bahwa pelaksanaannya lebih mudah dan realistik.

Permasalahan yang dihadapi oleh produk penilaian terpilah ini adalah:

1. Karena kurang berwawasan meneluruh serta kurang berwawasan sistem, maka sering terjadi dampak atau masalah ikutan yang tidak terduga sebelumnya.

2. Hanya merupakan usaha penyelesaian jangka pendek yang kurang mengkaitkan dengan sasaran dan tujuan jangka panjang.

3. Suatu produk penilaian terpilah hanya merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah secara tambal sulam yang bersifat penyelesaian sementara sehingga harus dilakukan secara terus menerus, kenyataan ini dinilai sebagai hal yang tidak efisien.

Pendekatan ini melihat potensi yang terkandung di kedua pendekatan perencanaan terdahulu. Pada hakekatnya pendekatan ini mengkombinasikan pendekatan rasional menyeluruh dan pendekatan terpilah masing-masing dalam kadar lingkup tertentu yaitu menyederhanakan tinjauan menyeluruh dalam lingkup wawasan sekilas (scan) dan memperdalam tinjauan atas unsur atau subsistem yang strategis dalam kedudukan sistem terhadap permasalahan menyeluruh. Oleh karena itu, maka pendekatan ini disebut sebagai pendekatan perencanaan terpilah berdasarkan perimbangan menyeluruh (mixed-scanning).

Ciri-ciri utama model pendekatan penilaian pencapaian ini adalah:

1. Penilaian pencapaian mengacu kepada garis kebijakan umum yang ditentukan pada tingkat tinggi atau wawasan makro.

2. Penilaian pencapaian dilatarbelakangi oleh suatu wawasan menyeluruh serta memfokuskan pendalaman penelaahan pada unsur-unsur atau subsistem-subsistem yang diutamakan

3. Ramalan mendalam tentang unsur-unsur atau subsistem-subsistem yang diprioritaskan dilandasi oleh ramalan sekilas tentang lingkup menyeluruh serta didasarkan kepada wawasan sistem

4. Perumusan rencana dengan pendekatan ini dinilai sebagai usaha penghematan waktu dan dana dalam lingkup analisis, penelaahan, analisis,

(4)

dalam penelaahan dan analisis makronya.

5. Untuk menunjang hasil ramalan dan analisis sekilas maka proses pemantauan, pengumpulan pendapat, komunikasi serta konsultasi dengan masyarakat yang berkepentingan serta dengan pengelola (pemerintah).

Masalah yang sering dirisaukan tentang produk pendekatan penilaian pencapaian ini adalah adanya kemungkinan kemelesatan dari ramalan- ramalan, khususnya yang menyangkut tujuan-tujuan jangka panjang karena hanya ditunjang oleh sistem informasi yang didasarkan kepada hasil penelaahan sekilas.

Pendekatan pencapaian advokasi/ transaktif adalah suatu proses sosial yang tidak terlalu peduli dengan penyusunan rencana, melainkan lebih memperhatikan perubahan terarah yang sedang berlangsung, dimana tujuan dan sasaran secara terus menerus. Pendekatan ini menekankan pada pendekatan interaktif dimana terdapat tindakan yan dilakukan segera setelah terjadi kesepakatan antara planner dan client.

Ciri-ciri pendekatan ini adalah :

1. Penekanan pendekatan interaktif yaitu adanya tindakan-tindakan yang dilakukan segera setelah terjadi kesepakatan antara planner dan klien.

2. Memberdayakan kelompok-kelompok supaya lebih mengetahui bargaining position terhadap pelaku-pelaku yang lebih kuat.

Asumsi yang mendasari model tersebut :

1. Suatu proses perencanaan dimana sel-sel kecil yang terdesentralisasikan menciptakan interaksi tatap muka (face to face) yang bermakna antar perencana dengan client.

2. Consensus yang sifatnya luas diantara sel-sel tersebut tidak diperlukan dalam pelaksanaan.

Pencapaian dengan pendekatan partisipatif atau biasa disebut sebagai participatory planning ini, jika dikaitkan dengan pendapat Friedmann, sebenarnya merupakan suatu proses politik untuk memperoleh kesepakatan bersama (collective agreement) melalui aktivitas negosiasi antar seluruh pelaku pembangunan (stakeholders).

(5)

keterlibatan unsur-unsur dasar yang memiliki apresiasi dalam turut berperan serta mengemukakan gagasan, pengalaman, saran-saran pemikiran dan pertimbangan merupakan unsur yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses penyusunan rencana.

Sebagai suatu proses maka Pencapaian yang partisipatif akan mencakup sejumlah tahapan yang harus dilalui dengan melibatkan seluruh stakeholders.

Tahapan-tahapan ini diawali oleh kegiatan identifikasi kebutuhan dan potensi daerah dan diakhiri dengan kegiatan monitoring dan evaluasi dalam rangka memperoleh umpan balik untuk penyusunan visi dan misi berikutnya.

Pendekatan ini berpandangan bahwa pemahaman perilaku tiap unsur-unsur yang terlibat dalam proses perencanaan harus dijadikan pertimbangan utama, bahkan harus diikutsertakan secara aktif. Pendekatan ini lebih dikenal dengan pendekatan partisipatory atau community based approach atau dikenal sebagai bottom up.

4.2. M

ETODOLOGI

Untuk mencapai tujuan sesuai sasaran yang ditentukan di dalam kerangka Acuan Kerja maka sebelum dibuat metode terperinci perlu ditentukan lebih dahulu prinsip-prinsip dasar dan penyederhanaan pelaksanaan. Harus lebih dahulu dipastikan tujuan dan prinsip yang benar sehingga keputusan yang akan diambil dapat mencapai sasaran.

Tanpa hal ini maka program yang dilaksanakan kemungkinan akan gagal dan tidak efisien selama pelaksanaannya sehingga tujuan akhir tidak tercapai.

Sangat diperlukan membuat identifikasi dan mengerti ruang lingkup, pekerjaan yang akan dilaksanakan nantinya sebelum memutuskan metode pelaksanaan yang diperlukan.

4.2.1. METODOLOGI PELAKSANAAN

Berdasar dari lingkup pekerjaan yang telah disampaikan melalui Kerangka Acuan Kerja agar didapat hasil yang sesua dengan tujuan utama pekerjaan, maka dalam penyusunan desain ini akan dilakukan metode:

1. Studi Observasi

Studi ini berupa pengumpulan data untuk diolah dalam perancangan ini. Pada proses pekerjaan perencanaan ini data yang dibutuhkan antara lain, diagram

(6)

bangunan yang dibutuhkan, dan penggunaan ruang.

2. Studi Literatur

Adalah kajian penulis atas referensi-referensi yang ada baik berupa buku maupun karya-karya ilmiah yang berhubungan dengan pekerjaan perenceanaan ini.

Beberapa referensi yang dibutuhkan untuk perancangan ini antara luasan kebutuhan yang dibutuhkan setiap orang yang dibutuhkan untuk melakukan aktifitasnya disesuaikan dengan tingkat pekerjaannya.

Studi literature juga dilakukan melalui internet untuk mencari literature mengenai contoh bangunan Rumah Sakit yang baiks dan mampu diterapkan di Indonesia dan tentu saja menyesuaikan dengan kondisi Indonesia.

3. Analisa data dan Perancangan

Pengolahan data dan analisa data yang kemudian digunakan sebagai masukan dalam penghitungan secara manual dan dengan program simulasi bangunan seperti Autodesk Ecotect Analysis maupun Design Builder untuk menganalisi kesesuaian suhu dengan kebutuhan serta perancangan instalasi dengan program AutoCad.

4. Studi Bimbingan

Konsultan dalam proses perencanaan pembangunan ini bersama pemberi tugas yang merupakan pengguna gedung Rumah Sakit merupakan sumber data dan masukan sebagai penyesuaian desain dengan keinginan pengguna bangunan.

(7)

Gambar 4.1. Bagan Alur Metodologi Pelaksanaan Kegiatan

(8)

4.2.2. PENDEKATAN PERENCANAAN

4.2.2.1. Pendekatan Environmental (Green Building Concept)

1. Permasalahan Konsumsi Energi dan Polusi di Indonesia

Masyarakat modern yang berbasis pada teknologi mengkonsumsi energi dalam jumlah yang besar. Di Indonesia, bagian terbesar dari energi yang digunakan berasal dari energy fosil yang tidak dapat diperbarui untuk memproduksi listrik. Kondisi ini menimbulkan beberapa problem, yaitu:

1) Nasional

Laju pertumbuhan pemakaian energi di Indonesia dalam kurun waktu 1985-2000 mencapai rata rata 7%/tahun (bandingkan dengan pemakaian energi di dunia rata rata 1,2%/tahun, negara negara APEC 2,6%/tahun) yang diakibatkan beberapa faktor yaitu jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kehidupan masyarakat.

2) Global

Proses pembakaran energi fosil menjadi listrik menimbulkan gas buang CO2 dalam jumlah besar yang dilepaskan ke atmosfer secara konstan dan terus menerus yang pada akhirnya menimbulkan efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global (global warming).

Saat ini Jakarta merupakan kota dengan kualitas udara yang berada pada urutan ketiga terburuk dunia setelah Meksiko dan Panama, dan peningkatan polusi udara tersebut mengakibatkan penurunan produkifitas dan peningkatan pembiayaan kesehatan yang berarti terjadinya pemborosan anggaran keuangan negara.

Kondisi kualitas udara di Jakarta diketahui sangat memprihatinkan. Hal tersebut perlu diperhatikan demi kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya.

Dari ilmu Arsitektur, usaha untuk menghargai dan menjaga keberlangsungan hidup lingkungan terhadap dampak dari perkembangan bangunan adalah dengan merancang bangunan yang sadar akan energi, bagaimana meminimalisasi konsumsi energi dari bangunan dengan menggunakan sumber daya alam terbarukan.

Perancangan bangunan yang sadar energi dalam ilmu arsitektur biasa disebut sebagai arsitektur berkelanjutan atau sustainable architecture.

2. Sustainable Design

Sustainable design (desain berkelanjutan) merupakan reaksi dari krisis lingkungan global.

Sustainable design (juga mengarah pada green design, eco design, atau design for environment) adalah seni mendesain objek fisik dan lingkungan sekitarnya untuk keseimbangan prinsip berkelanjutan dengan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.

(9)

Gambar 4.2. Sustainable Construction Elements Sumber: Sustainable Design and Constructions

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mendorong pembangunan bangunan ber-arsitektur lokal terasa lebih ramah lingkungan dan selaras dengan lingkungan asal. Desain bangunan (green building) hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi bahan, dan material ramah lingkungan (green product).

Bangunan hijau mensyaratkan layout desain bangunan (10 persen), konsumsi dan pengelolaan air bersih (10 persen), pemenuhan energi listrik (30 persen), bahan bangunan (15 persen), kualitas udara dalam (20 persen), dan terobosan inovasi (teknologi, operasional) sebesar 15 persen.

Skala bangunan dan proporsi ruang terbuka harus memerhatikan koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien dasar hijau (KDH) yang berkisar 40-70 persen ruang terbangun berbanding 30-60 persen untuk ruang hijau untuk bernapas dan menyerap air.

1. Tingkat Sustainable Bangunan

(10)

Ke-sustainable-an suatu bangunan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Diantaranya adalah tolak ukur yang digunakan The Leadership in Energy and Environment Design (LEED) System menggunakan beberapa faktor yang harus dianalisa terlebih dahulu sebelum merencanakan sebuah desain bangunan beserta lingkungannya, yaitu:

a. Site planning

b. Efficient water consumption c. Energy and atmosphere

d. Materials and resource protection e. Indoor air quality

f. Innovativeness and design/contruction process

2. Penerapan Teori Sustainable

Desain arsitektur adalah sebuah proses untuk mewujudkan sebuah visi.

Menerapkannya dalam langkah nyata dengan pemilihan material dan penentuan sistem struktur yang layak dan sesuai dengan karakter site- nya. Hal yang dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:

a. Menganalisa keadaan lingkungan alamnya, seperti topografi, karakter iklim, keadaan tanah dan hidrologinya, flora dan faunanya, serta keadaan udaranya.

b. Belajar dengan mengamati spirit of the place, lansekap, dan kebudayaannya.

c. Harmonisasi dengan masyarakat setempat, hal ini karena biasanya bangunan tidak berdiri sendiri

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam suistenable desain adalah:

1. Site

Site merupakan faktor besar dalam penentuan sebuah desain.

Berbagai faktor berpengaruh tergantung pada site.

a. Landform/Microclimate

Sumber panas utama bagi permukaan bumi adalah matahari (Jacobson, 2002). Setelah melewati atmosphere bumi sinar matahari diurai menjadi komponen-komponen antara lain sinar inframerah yang menyebabkan naiknya suhu dipermukaan bumi.

(11)

Semua bagian setting yang menghambat sinar matahari baik dalam bentuk gelombang panjang maupun energi thermal dianggap dapat mengurangi suhu di permukaan bumi. Oleh karena itu dapat dihipotesakan bahwa suhu di suatu lingkungan akan dipengaruhi oleh bayangan yang ditimbulkan oleh bangunan dan vegetasi.

Topography

Dengan mengetahui topografi lahan akan memudahkan penentuan solusi desain bangunan. Perataan lahan akan mempermudah desain bangunan yang sama tinggi. Namun disisi lain dengan adanya perbedaan ketinggian tanah, akan memberi kesan yang menarik dan berfariasi pada lingkungan.

Pada tapak yang memiliki perbedaan ketinggian atau topografi miring, pengelompokan bangunan cenderung ditempatkan secara informal sesuai dengan kondisi konturnya. Dalam pemecahan perancangan secara tradisional (konvensional) pada puncak bukit, efek dari bentuk bangunan terlihat secara nyata yaitu jalan-jalan dan bagian depan bangunan berbentuk kurva yang secara teratur mengikuti kontur.

Light-colored surfacing

Penggunaan warna dinding diberi warna muda karena mampu menyerap sebagian radiasi matahari dengan baik daripada warna gelap. Bahan pelapis dengan warna terang dapat mengurangi cooling load hingga 40 %. Untuk permukaan gedung dapat dipilih material yang cenderung memantulkan panas daripada menyerapnya. Atau material yang mempunyai kemampuan insulasi yang tinggi sehingga panas tidak masuk ke dalam interior bangunan.

Vegetative cooling

Membuat hijau di sekitar gedung/bangunan dengan memberi banyak lahan tanaman, hal in dapat dilakukan dengan memberikan pepohonan di halaman depan, belakang atau tengah gedung/bangunan (bila sudah terlanjur tidak ada halaman tanahnya, dapat diberikan tanaman dalam pot) agar

(12)

terjadi penyaringan udara yang masuk ke gedung tersebut, sehingga terdapat udara yang lebih segar. Dapat juga dengan memberikan unsur tanaman/pepohonan pada atap gedung/bangunan, hal ini sudah mulai banyak dilakukan.

Sehingga berguna agar sinar matahari tidak dipantulkan tapi dapat dserap oleh tumbuhan tersebut dan udara di bawah atap juga tidak terlalu panas.

Wind buffering/channeling

Dalam perencanaan orientasi tidak hanya perlu memperhatikan sinar matahari yang mengakibatkan panas saja, melainkan juga arah angin yang memberi kesejukan. Udara yang bergerak atau angin mampu menurunkan suhu dan mempercepat proses penguapan sehingga memberikan efek penyegaran. Kecepatan angin yang nikmat yaitu yang memiliki batas kecepatan 0,1- 0,15m/secon.

- menempatkan vegetasi sebagai penyegar dan penghalang matahari

Gambar 4.3. Peletakan Vegetasi Sebagai Penyejuk sumber : Dasar-dasar eko-arsitektur

- Pemakaian kisi-kisi pada bukaan

- Pemanfaatan wing-wall, untuk mengarahkan angin masuk ke dalam bangunan.

-

(13)

Gambar 4.4. Wing Wall Pada Jendela Sumber: Ecology of The Sky

Evaporative cooling

Kecepatan aliran udara yang lebih rendah menghasilkan penurunan temperatur dan efektifitas lebih tinggi serta memerlukan laju penguapan air lebih rendah. Semakin tinggi temperatur dan semakin rendah RH, udara masuk semakin besar penurunan temperatur dan efektifitas evaporative cooler;

temperatur air yang rendah membuat laju penguapan air berkurang. Evaporative cooler dan Air Conditioner dapat dikolaborasikan untuk membuat pendingin ruangan yang ramah lingkungan dan hemat energi serta udara yang dihasilkan karena kaya Oksigen sangat baik dipakai terutama di rumah sakit.

Gambar 4.5. Cara kerja Evaporative cooling Sumber: www.pinnacleint.com

2. Site Design

Solar orientation

w i

(14)

Orientasi bangunan terhadap sinar matahari yang paling cocok dan menguntungkan terdapat sebagai kompromi antara letak gedung berarah dari timur ke barat dan yang terletak tegak lurus terhadap arah angin. Dari hasil penelitian Ken Yeang didapatkan bahwa untuk iklim tropis, bangunan umumnya memiliki orientasi ke utara - selatan dan serong 5o dari sumbu utara - selatan.

Maka, mengorientasikan bangunan pada arah utara-selatan di iklim tropis dengan menegakluruskan arah datangnya angin bisa menjadi salah satu solusi.

Gambar 4.6. Orientasi Bangunan Pada Iklim Tropis Sumber: analisa

Pemakaian beranda (veranda) sebagai ruang transisi dan ruang pelindung dari panas matahari serta penggunaan sunshading juga dapat menjadi salah satu strategi yang dapat digunakan dalam mensiasati arah datangnya sinar matahari dan angin.

Gambar 4.7. Horizontal Shade (Kiri) dan Louvre System (Kanan) Sumber: solarviews.com

Pedestrian orientation

Orientasi pedestrian didefinisikan sebagai rancangan lingkungan dalam sekala manusia.

(15)

Bangunan harus didesain untuk menciptakan perbedaan level dengan jalan dan memberi kenyamanan bagi pejalan kaki.Pintu, pedestrian, jendela, dan elemen pendukung jalan harus diperhitungkan untuk memciptakan kenyamanan bagi pejalan kaki dan memberi ruang yang cukup.

Gambar 4.8. Pedestrian Sumber: archdaily.com

Kenyamanan pedestrian dapat ditingkatkan dengan memperhatikan desain bangunan, lokasi, sempadan, dan orientasi.

Gambar 4.9. Perletakan pedestrian Sumber: unionco.org

(16)

Berjalan akan terasa nyaman jika pembangunan memakai dimensi yang tepat. Kesesuaian ini dapat dilihat ketika seorang anak berjalan dengan aman atau seseorang merasa nyaman bersepeda dan juga seseorang berjalan menuju Rumah Sakit nya. Sebuah pedestrian harus menawarkan berbagai rute untuk menuju keberbagai tempat pilihan. Diperlukan ruang khusus pemberhentian pada pedestrian untuk mengatasi kepadatan dan juga sebagai tempat istirahat bagi yang kelelahan.

Pohon perindang sepanjang jalan akan menambah rasa nyaman bagi pejalan kaki. Ruang pedestrian yang lapang akan memudahkan dan terasa menyenangkan.

Beberapa hal yang diperlukan dalam pedestrian:

- Keselamatan dan kenyamanan; pedestrian yang dekat den- gan tempat tujuan dan jelas antara batasan pedestrian dan juga terdapat tempat penyeberangan.

- Tujuan; berbagai pilihan tujuan yang ditawarkan yang dapat diakses melalui pedestrian.

- Menyenangkan; terdapat pohon, tempat pemberhentian dan elemen-elemen pendukung jalan.

Micro climatic building/siting

Iklim mikro adalah variasi iklim di suatu tempat di sekitar bangunan. Iklim mikro memiliki dampak yang sangat penting dalam penggunaan energi dan kinerja dari sebuah bangunan.

Solusi ideal untuk merancang bangunan yang hemat energi adalah dengan mendapatkan akses matahari penuh namun mendapat perlindungan dari unsur-unsur alam yang berbahaya.

Beberapa hal yang mempengaruhi iklim mikro adalah:

- Orientasi bangunan - Lokasi objek disekitarnya - Kondisi landskap sekitar

(17)

Iklim mikro berpengaruh terhadap penentuan bentuk bangunan dan bagaimana bangunan tersebut diletakkan disuatu lokasi dan perletakan lokasi ruangan dalam gedung.

Zonasi dan orientasi bangunan dapat memiliki dampak yang besar pada pola konsumsi energi bangunan.

Pohon dapat memberikan naungan ketika cahaya dan panas matahari terlalu kuat.

3. Infrastructure Efficiency

Water supply and use

Sumber air pada umunya berasal dari PDAM dan juga sumur air.

Sumber air dimanfaatkan se-efisien mungkin sehingga dapat mengurangi pemakaian air yang tidak perlu. Sumber air baik dari PDAM maupun dari sumur setempat merupakan air tanah.

Pemanfaatan dengan efisien akan mengurangi dampak pengurangan air tanah secara berlebihan.

Sumber air yang berasal dari air olahan limbah selain mengurangi biaya pembelian di PDAM juga mengurangi pemakaian yang berlebihan.

Wastewater collection

Membuat sistem pengolahan limbah domestik seperti air kotor (black water, grey water) yang mandiri dan tidak membebani sistem aliran air kota.

Sistem pengolahan limbah ini berdiri sendiri dan memiliki sistem pengolahan limbah mandiri. Limbah-limbah yang sudah terolah akan diresapkan kembali ke area pengolahan.

Sistem ini menguntungkan karena menambah jumlah air tanah di dearah tersebut. Berbeda dengan sistem saluran air kota yang mengalirkan air ke sistem pembuangan sehingga air tidak teresap ke tanah didearah tersebut.

(18)

Gambar 4.10. Wastewater collection Sumber: ww2.co.fulton.ga.us

Storm drainage

Strorm drainage bisa juga disebut sebagai saluran pembuangan kota. Saluran ini memuat segala limbah buangan cair yang ada di jalan.

Saluran pembuangan ini berfungsi menampung air hujan yang turun dijalan untuk mengatasi banjir. Saluran ini terpisah dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga.

Saluran pembuangan (storm drainage) selain menampung air hujan, biasanya juga bercampur dengan oli atau bahan bakar bensin atau solar yang tercecer di jalan.

Pada bukaan penerimaan saluran diberi penutup agar sampah sampah tidak masuk kedalam saluran. Sehingga tidak mengganggu pembuangan.

(19)

Gambar 4.11 Storm drainage Sumber: townofbethlehem.org

4. Energy Conservation

Terdapat enam prinsip dalam konstruksi yang berkelanjutan (Kibert, 1994), yaitu:

1. Meminimalkan konsumsi sumber daya

2. Memaksimalkan pemanfaatan kembali (re-use) sumber daya 3. Menggunakan sumber daya yang terbarukan (renewable) dan

didaur ulang (recycleable) 4. Melestarikan lingkungan alam

5. Menciptakan lingkungan yang sehat dan tidak berbahaya 6. Menjadikan kualitas sebagai tujuan dalam membangun

Building Form and Configuration

Iklim Indonesia adalah iklim tropis. Sebuah bentuk bangunan diharapkan mengacu pada aturan-aturan yang ada dalam membangunan bangunan tropis. Sehingga meminimalisir bentuk yang merugikan dan menyesuaikan ukuran ruang sesuai dengan kebutuhan namun tetap mengacu standard bangunan tropis. Sehingga didapat efisiensi dalam bentuk, dan ukuran bangunan.

Bangunan jangan sampai memiliki bangunan yang gemuk.

Sebisa mungkin memiliki bangunan yang memanjang sehingga pengudaraan dan pencahayaan alami dapat berjalan baik.

(20)

Gambar 4.12 Alternative bentuk bangunan Sumber: analisis

Materials

Memilih material ramah lingkungan menjadi penting karena tidak hanya semata-mata demi kelestarian alam, tetapi juga sebenarnya jauh lebih efisien dan hemat dari segi estimasi biaya jangka panjang.

pemilihan material yang ramah dapat dijabarkan menjadi dua hal yakni dari sisi teknologi dan penggunaan. Dari sisi teknologi, pemilihan bahan sebaiknya menghindari adanya toksin atau racun dan diproduksi tidak bertentangan dengan alam. Sebagai contoh, minimalkan penggunaan material kayu, batu alam ataupun bahan bangunan yang mengandung racun seperti asbeston.

Sedangkan dari sisi penggunaan, pemilihan material yang ramah lingkungan misalnya menggunakan lampu hemat energi seperti semen instan yang praktis dan efisien, atau pun memilih keran yang memakai tap yang hanya mengeluarkan air dalam volume tertentu.

Selain memiliki sifat ramah lingkungan dan tidak mencemarkan material ramah lingkungan sebaiknya terbuat dari bahan daur ulang, atau setidaknya tidak menghabiskan sumber daya alam, bahkan dapat memberikan nilai tambah pada lingkungan dan harus didukung 3R yaitu Reused (memanfaatkan kembali material yang masih bisa dipakai) Reduce (mengurangi

(21)

pemakaian material yang berlebihan) serta Recycle (mendaur ulang material agat bermanfaat kembali).

5. Energy Efficiency

Glazing

Kaca yang dapat menghemat energi merupakan kaca yang didesain khusus. Beberapa penelitian mengklaim bahwa terdapat beberapa jenis kaca yang dapat menyaring radiasi panas matahari, hingga menghemat penggunaan pendingin udara.

Terdapat tiga jenis kaca yang dikategorikan penghemat energi.

-Kaca Warna

Dari namanya nampak jelas, kaca ini tidak murni bening.

Biasanya berwarna biru kehijauan, perak atau abu-abu.

Kaca ini dapat menyaring panas hingga suhu dalam ru- ang tetap terjaga. Jenis kaca warna yang baik mempun- yai sifat seperti kaca film pada mobil. Ia mampu mem- buat Anda melihat pemandangan luar nampak jernih, na- mun menyaring jumlah cahaya yang masuk ke dalam ru- angan.

-Kaca Pantul

Kaca ini sering dijumpai di gedung perRumah Sakitan.

Kaca ini menyaring panas lebih banyak daripada jenis lain. Ada satu kekurangan dari kaca pantul adalah pan- dangan dari dalam akan kurang indah karena terjadi dis- torsi.

-Kaca Low-e, Low Emissivity

Diartikan kaca rendah emisi. Kaca ini menjaga suhu di dalam ruang tetap tinggi. Terdiri dari dua lapis. Pada bagian tengah diisi lapisan udara kosong dan lapisan metal transparan.Kaca jenis ini pun memantulkan sinar ultraviolet. Untuk iklim Indonesia, kaca macam ini tidak disarankan, karena hawa panas tetap berada di dalam

(22)

ruang. Menjadikan ruang bertambah panas. Jenis ini populer digunakan di negara sub tropis.

Gambar 4.13 Frame double wall Sumber: sklenarstvinonstop.cz

Insulation

Isolasi termal pada bangunan adalah faktor penting untuk mencapai kenyamanan termal untuk penghuninya. Insulasi panas yang tidak diinginkan akan merugikan dan dapat menurunkan efektifitas energi sistem pemanas atau pendingin.

Dalam pengertian lain isolasi dapat hanya penyesuaian pada bahan isolasi yang digunakan untuk menghambat hilangnya panas ruang, seperti: selulosa, kaca wol, wol batuan, plastik, busa urethane, vermikulit, dan tanah. Tetapi dapat juga menggunakan desain khusus dan teknik khusus untuk mengatasi perpindahan panas atau konduksi, radiasi dan konveksi.

Masalah kualitas konstruksi termasuk uap memadai hambatan, dan masalah dengan rancangan-pemeriksaan. Selain itu, sifat dan densitas bahan isolasi itu sendiri sangat penting. Sebagai contoh, menurut Leah Twings, Kualitas Manager Kepatuhan Textrafine Isolasi, fiberglass bahan isolasi yang terbuat dari serat-serat pendek berlapis kaca tidak begitu tahan lama seperti isolasi yang terbuat dari untaian serat panjang kaca.

(23)

Efficient Lighting

Lampu pijar pada dasarnya merupakan lampu ruang yang menghasilkan panas selain juga mengeluarkan cahaya. Hal ini sangat tidak efisien, membuang sebagian besar energi yang di konsumsi dan menjadikannya sebagai panas yang tidak diinginkan.

Salah satu lampu yang merupakan lampu hemat energy adalah lampu LED.

Lampu LED menghemat energi yang digunakan sampai 48%

(berarti penghematan tagihan listrik) ditambah dengan kecilnya panas yang dihasilkan oleh lampu LED. Hal ini membuat bangunan tidak perlu menyalakan mesin pendingin ruangan (AC) dalam posisi maksimal, yang berarti terjadi penghematan lagi.

Keuntungan dari lampu LED:

-Lampu LED tidak mengandung Mercury -Jauh lebih hemat dalam hal pemakain listrik

-Daya tahan lebih lama, yaitu 60x lebih lama dibanding den- gan tipe lampu Incandescent dan 10x lebih lama diband- ing tipe Fluorescent.

-Lampu LED juga tidak menghasilkan panas sehingga dapat menghemat pemakaian AC (air conditioning).

Gambar 4.14 LED

Sumber:mt2-stage.ecohomeresource.com

Daylighting

(24)

Sistem pencahayaan alami terutama dipakai pada siang hari dengan memanfaatkan cahaya matahari, pemasukan sinar matahari ke dalam ruangan diusahakan mencapai tingkat kenyamanan pencahayaan tertentu seperti yang diharapkan.

Pada prinsipnya, dalam ruangan dengan lubang pencahayaan yang tetap, semakin ke dalam semakin menurun intensitas cahaya yang diterima. Guna mencapai kualitas kenyamanan yang diisyaratkan semakin lebar ruangan/bangunan, semakin luas pula lubang pencahayaannya.

Untuk menanggulangi radiasi panas sinar matahari yang akan mengurangi kenyamanan penghawaan dan menyebabkan kesilauan di daerah iklim tropis, selain diusahakan sesedikit mungkin sisi bangunan dan bukaan-bukaan ruangan yang terkena sinar matahari langsung, juga dengan membuat penghalang sinar matahari (sun shading, sun screen).

6. Water

Zero-run-off

Air limbah buangan sebisa mungkin dimanfaatkan tanpa harus ada yang terbuang ke saluran pembuangan kota. Air limbah buangan dimanfaatkan sebagai penyiram tanaman sekaligus dapat sebagai pupuk. Air limbah diresapkan di area tanaman.

Kalau muatan resapan berlebihan, baru dilakukan pembuangan ke saluran pembuangan kota.

Grey water system

Pemanfaatan grey water akan mengurangi pembebanan pada air tanah. Dengan memanfaatakan lagi grey water sama halnya memanfaatkan air dua kali atau lebih namun tepat dalam penggunaannya.

Pemanfaatan grey water misalanya air buangan dari wastafel dapat dimanfaatkan untuk penyiraman tanaman. Ataupun air bekas cucian setelah mengalami proses penyaringan dapat pula dimanfaatkan untuk menyirami taman.

(25)

Gambar 4.15 Pemanfaatan limbah rumah tangga Sumber: calcleanearth.com

7. Waste Management

Pengelolaan sampah merupakan proses pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, daur ulang atau pembuangan dan pemantauan bahan-bahan limbah. Istilah ini digunakan berkaitan dengan bahan-bahan buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan umumnya dilakukan untuk mengurangi dampak negatif pada kesehatan, di lingkungan atau estetika lingkungan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya yang terbuang atau terkurangi. Sistem pengelolaan limbah ini mengolah limbah padat, cair, gas atau radioaktif zat, dengan metode yang berbeda dan bidang keahlian untuk masing-masing.

Konsep pengelolaan limbah

Ada sejumlah konsep pengolahan limbah yang paling umum, konsep- konsep luas yang digunakan meliputi:

Waste hierarchy

Mengacu pada mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang, yang mengklasifikasikan strategi pengelolaan limbah sesuai dengan keinginan mereka dalam hal minimisasi limbah. Hirarki limbah merupakan landasan dari berbagai strategi meminimisasi limbah. Tujuan dari hirarki ini untuk

(26)

memaksimalkan manfaat dari produk dan meminimalisasi jumlah limbah.

Gambar 4.16 Waste hierarchy Sumber: aggregatepros.com

Extended producer responsibility

Adalah suatu strategi yang untuk mempromosikan menyatukan semua biaya yang berkaitan dengan produk selama produk tersebut masih ada (termasuk akhir biaya pembuangan akhir) ke dalam harga produk. Hal ini dimaksudkan untuk memaksakan tanggung jawaban atas seluruh siklus hidup produk dan kemasan yang dipasarkan. Berarti perusahaan yang memproduksi, impor dan atau menjual produk yang diperlukan untuk bertanggung jawab atas produk.

Polluter pays principle

Prinsip di mana pihak yang mencemari membayar terhadap dampak terhadap lingkungan yang terjadi. Sehubungan dengan pengelolaan limbah, umumnya ini mengacu pada persyaratan limbah untuk membayar sesuai limbah yang dibuang.

Segala aktivitas yang berkenaan dan terjadi dalam sustainable building dapat digambarkan dalam skema berikut:

(27)

Gambar 4.17 Gambar Skema Proses Sustainable Building Sumber: Buku Sustainable Architecture and Building Design

DESIGN

CONSTRUCTION

OPERATION &

MAINTENANCE

DEMOLITION / DISPOSAL Designer

Contractor

User

Pre-Building Phase

Building Phase

PostBuilding Phase ENERGY ISSUES

Efficiency Renewable

WATER CONSERVATION Reduce Recycle

MATERIAL & SYSTEM Reduce Select

WASTE MANAGEMENT Reduce Select

(28)

4.2.2.2. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG RUMAH SAKIT

Umumnya ruang kerja gedung perRumah Sakitan tidak berpindah-pindah, karenanya gedung perRumah Sakitan tersebut dilengkapi pula dengan ruang-ruang untuk mesin-mesin, kantin, ruang rapat arsip, perpustakaan, dan aktivitas penunjang lainnya, yang menyita 1/3 luas ruang yang dibutuhkan oleh suatu organisasi.

Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan kebutuhan fisik bangunan Rumah Sakit adalah sebagai berikut:

1. Pembagian ruang

Pembagian ruang yang dimaksud adalah pembagian pengelompokan ruang antara ruang public, ruang khusus, ruang service, ruang pengelola, dan lahan parker.

2. Fasilitas utama dalam gedung perRumah Sakitan

Merupakan pendekatan untuk mengetahui kebutuhan utama dalam perancangan kebutuhan sebuah gedung perRumah Sakitan.

3. Program ruang Rumah Sakit

Pendekatan mengenai berbagai ruangan dalam Rumah Sakit yang tidak dapat dipisahkan dan letaknya tak boleh berjauhan sehingga efektif dalam pemakaian ruang.

4. Syarat fisik interior Rumah Sakit

Syarat-syarat dalam interior sebuah Rumah Sakit memiliki ketentuan yang harus diikuti.

5. Standar ruang

Ukuran-ukuran ruang ditentukan oleh standar ruang yang mengalokasikan bidang dan ruang tertutup menurut tingkatan status tingkatan pengguna ruang.

6. Sistem interior

Sistem interior merupakan penilaian terhadap sebuah bangunan dilihat dari segi pencahayaan, penghawaan, akustik, kemananan bangunan dan perawatan yang perlu dilakukan.

4.2.2.3. PENDEKATAN AKSESIBILITAS 4.2.2.3.1 PENCAPAIAN BANGUNAN

Pencapaian bangunan atau aksesbilitas adalah suatu kemudahan yang disediakan bagi semua orang, termasuk yang memiliki ketidak-mampuan fisik—seperti misalnya, penyandang cacat, lanjut usia, ibu hamil dan penyandang cacat akibat penyakit tertentu—guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan pada suatu lingkungan terbangun.

(29)

Aksesibel : menggambarkan kondisi suatu tapak, bangunan, fasilitas, atau bagian darinya yang memenuhi standar pedoman ini.

Elemen Bangunan : komponen arsitektural atau mekanikal dari suatu bangunan, fasilitas, ruang atau tapak. Contoh- contoh elemen tersebut seperti telepon, curb-ramp, pintu, tempat duduk atau WC.

RuteAksesibel : suatu jalur lintasan tanpa penghalang yang langsung menghubungkan suatu elemen dan ruang aksesi dari bangunan. Rute aksesibel interior dapat termasuk koridor, lantai, ramp, lift. Rute aksesibel eksterior dapat termasuk ruang akses parkir, ramp- curb, trotoir pada jalan kendaraan, ramp, dan lain.

Bangunan : setiap struktur yang digunakan atau dimaksudkan untuk menunjang atau mewadahi suatu penggunaan atau kegiatan.

Bagian bangunan : bagian ruang dari bangunan seperti kamar, koridor, ruang untuk kegiatan tertentu dsb.

Ruang Lantai Bebas :ruang lantai atau tanah yang tidak terhalang, minimum diwajibkan untuk menampung sebuah kursi roda dan penggunanya.

Rambu : tanda-tanda yang bersifat verbal ( informasi yang dapat didengar), bersifat visual (informasi yang berupa gambar), simbol, atau yang dapat dirasa/diraba, atau.

Ruang : suatu daerah yang dapat ditentukan batasnya, seperti kamar, toilet, hall, tempat pertemuan, jalan masuk, gudang, dan lobby.

Jalur Pemandu : jalur yang digunakan bagi pejalan kaki, termasuk untuk penyandang cacat yang memberikan panduan arah dan tempat tertentu.

(30)

4.2.2.4. Persyaratan Teknis Aksesbilitas

Dalam rangka menciptakan lingkungan binaan yang memenuhi persyaratan aksesibilitas maka diperlukan persyaratan bangunan gedung dan lingkungannya yang didasarkan kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Kegiatan perencanaan, perancangan, dan pelak-

sanaan bangunan umum, tapak bangunan, dan lingkungan di luar bangunan harus di- lakukan secara terpadu untuk menciptakan lingkungan aksesibel yang menyeluruh.

b. Setiap kegiatan perencanaan, perancangan, dan

pelaksanaan lingkungan di luar bangunan yang dikunjungi dan digunakan masyarakat umum secara luas harus memperhatikan persyaratan aksesibilitas terutama pada : - Ukuran dasar

- Jalur pedestrian - Jalur pemandu - Area parkir - Landaian (ramp) - Rambu

c. Setiap kegiatan perencanaan, perancangan, dan

pelaksanaan tapak bangunan umum yang memiliki luas lantai sama atau lebih besar dari 300 m2 perlantai harus memperhatikan persyaratan aksesibilitas terutama:

- Ukuran dasar - Jalan pedestrian - Jalur pemandu - Area parkir

- Ramp

- Rambu

d. Setiap kegiatan perencanaan, perancangan, dan

pelaksanaan bangunan umum yang memiliki luas lantai sama atau lebih besar dari 300 m2 perlantai harus memperhatikan persyaratan aksesibilitas terutama:

- Ukuran dasar

- Ramp

- Pintu - Tangga - Lift

(31)

- Kamar kecil - Pancuran - Wastafel - Perabot - Perlengkapan - Rambu

e. Persyaratan aksesibilitas suatu fasilitas dalam bangunan dimungkinkan digunakan pada tapak bangunan, atau lingkungan di luar ban- gunan. Demikian pula sebaliknya, jika dalam persyaratan aksesibilitas fasilitas di luar ban- gunan atau tapak bangunan digunakan di dalam bangunan, maka butir-butir persyaratan aksesibilitas dalam pedoman ini bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya: ka- mar kecil atau telepon umum yang berada di taman, area parkir yang berada di dalam bangunan, dan kasus-kasus sejenis.

f. Pada kondisi lingkungan di luar bangunan yang

belum aksesibel, setiap perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan konstruksi bangu- nan umum beserta tapaknya tetap diwajibkan memenuhi persyaratan aksesibilitas, se- hingga akan mendorong terciptanya lingkungan yang aksesibel di masa mendatang.

Gambar 4.18 Persyaratan Teknis Aksesbilitas Sumber: Analisis

Bangunan umum dengan ukuran sama atau lebih besar dari 300 m2 perlantai Tapa k bang unan Lingkungan di luar

bangunan (umum) yang dikunjungi atau digunakan oleh masyarakat umum

(32)

1. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan a. Jalur Pedestrian

Jalan yang digunakan untuk berjalan kaki atau berkursi roda bagi penyandang cacat, dirancang berdasar perbedaan terbesar orang untuk bergerak aman, bebas dan tak terhalang.

Syarat:

i. Permukaan

Permukaan jalan harus stabil, kuat, tahan cuaca, bertekstur halus tetapi tidak licin. Hindari sambungan atau konstraksi pada permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya harus tidak lebih dari 1,25 cm. Apabila menggunakan karpet ujungnya harus kencang dan mempunyai trim yang permanen.

ii. Kemiringan/gradient

Gradient di bawah 5% dan tiap-tiap 90m terdapat pemberhentian untuk istirahat.

iii. Area istirahat

Membantu pengguna jalan terutama bagi mereka yang menggunakan alat.

iv. Cahaya/penerangan

Berkisar antara 15-150 cm.kandela tergantung pada intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan relatif keamanan.

v. Perawatan

Diharuskan untuk meminimalkan terjadinya kecelakaan karena adanya kerusakan.

vi. Drainasi

Tidak mengganggu dan membahayakan. Dibuat tegak lurus dengan arah jalan dengan lubang maksimal 1,5 cm. Mudah dibersihkan dan lubang dijauhkan dari tepi ramp sehingga tidak mendatangkan bahaya .

vii. Ukuran dan penghalang

Lebar minimum 95 cm untuk jalur searah dan 150 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian bebas dari pohon, rambu dan benda-benda pelengkap jalan yang melintang.

viii. Tepi ramp dan trailing tongkat tuna netra

(33)

Penting bagi penghentian roda kendaraan dan tongkat tuna netra ke arah area yang berbahaya. Penyetop dibuat setinggi minimum 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.

ix. Bebas dari pohon, rambu, dan benda-benda pelengkap jalan.

Gambar 4.19 Prinsip jalur pedestrian

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

b. Jalur Pemandu

Jalur yang memandu tuna netra untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan tekstur ubin peringatan terhadap situasi di sekitar jalur yang bisa membahayakan tuna netra.

Syarat:

i. Tekstur ubin garis-garis menunjukkan arah yang benar untuk diikuti.

(34)

ii. Tekstur ubin dot (bulat) memberi peringatan terhadap situasi di sekitar jalur pemandu.

iii. Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (guiding blocks) :

- Di depan jalur lalu-lintas kendaraan.

- Di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai.

- Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau area penumpang.

- Pada pedestrian yang menhubungkan antara jalan dan bangunan.

- Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat.

iv. Pemasangan ubin tekstur untuk jalur pemandu pada pedestrian yang telah ada perlu memperhatikan tekstur dari ubin eksisting sedemikian sehingga tidak terjadi kebingungan tuna netra dalam merasakan tekstur ubin pemandu dan tekstur ubin lainnya.

Gambar 4.20 Tipe tekstur ubin pemandu

(35)

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

c. Area Parkir

Fasilitas parkir adalah tempat parkir kendaraan yang dikendarai oleh penyandang cacat, sehingga diperlukan tempat yang lebih luas untuk naik turun kursi roda, daripada tempat parkir yang biasa. Sedangkan daerah untuk menaik-turunkan penumpang (Passenger Loading Zones) adalah tempat bagi semua penumpang, termasuk penyandang cacat, untuk naik atau turun dari kendaraan.

Syarat:

i. Fasilitas parkir kendaraan :

- Tempat parkir penyandang cacat terletak pada rute terdekat menuju bangunan/ fasilitas yang dituju, dengan jarak maksimum 60 meter.

- Atau jika parkir tidak berhubungan langsung dengan bangunan, misalnya pada parkir taman dan tempat terbukla lainnya, maka tempat parkir harus diletakkan sedekat mungkin dengan pintu gerbang masuk dan jalur pedestrian.

- Area parkir harus cukup mempunyai ruang bebas di sekitarnya sehingga pengguna berkursi roda dapat dengan mudah masuk dan keluar dari kendaraannya.

- Area parkir khusus penyandang cacat ditandai dengan simbol/tanda umum yang berlaku.

- Pada lot parkir penyandang cacat disediakan ramp trotorir di kedua sisi kendaraan.

- Ruang parkir mempunyai lebar 370 cm untuk parkir tunggal atau 670 cm untuk parkir ganda dan sudah dihubungkan dengan ramp dan jalan menuju fasilitas-fasilitas lainnya.

- Dilarang meletakkan kursi roda di belakang mobil yang diparkir . ii. Daerah menaik-turunkan penumpang :

- Kedalaman minimal dari daerah naik turun penumpang dari jalan atau jalur lalu-lintas sibuk adalah 360 cm dan dengan panjang minimal 600 cm.

- Dilengkapi dengan fasilitas ramp, jalur pedestrian dan tanda-tanda bagi penyandang tuna netra.

(36)

- Kemiringan maksimal 1 : 20 dengan permukaan yang rata di semua bagian.

- Diberi rambu yang biasa digunakan untuk mempermudah dan membedakan dengan fasilitas serupa bagi umum

Gambar 4.21 Tipikal ruang parkir

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBUK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

d. Pintu

Pintu adalah bagian dari suatu tapak, bangunan atau ruang yang merupakan tempat untuk masuk dan keluar. Pada umumnya dilengkapi dengan penutup (daun pintu).

Syarat:

i. Pintu pagar ke tapak bangunan harus mudah dibuka dan ditutup oleh penyandang cacat.

ii. Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar bukaan minimal 90 cm, dan pintu- pintu yang kurang penting memiliki lebar bukaan minimal 80 cm.

(37)

iii. Di sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau perbedaan ketinggian lantai.

iv. Jenis pintu yang penggunaannya tidak dianjurkan:

- Pintu geser.

- Pintu yang berat, dan sulit untuk dibuka/ditutup.

- Pintu dengan dua daun pintu yang berukuran kecil - Pintu yang terbuka kekedua arah ( “dorong” dan “tarik”)

- Pintu dengan bentuk pegangan yang sulit dioperasikan terutama bagi tuna netra

v. Penggunaan pintu otomatis diutamakan yang peka terhadap bahaya kebakaran karena sangat praktis bagi penyandang cacat. Pintu tersebut tidak boleh membuka lebih cepat dari 3 detik dan mudah menutup kembali.

vi. Hindari penggunaan bahan lantai yang licin di sekitar pintu

vii. Alat-alat penutup pintu otomatis perlu dipasang agar pintu dapat menutup dengan sempurna. Pintu terbuka sebagian berbahaya bagi penyandang cacat

viii. Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi pengguna kursi roda

Gambar 4.22 Ukuran pintu dua daun

(38)

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

e. Ramp

Merupakan alternatif rute/ jalan untuk orang-orang yang tidak bisa menggunakan tangga

Syarat:

i. Kemiringan suatu ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi rasio 1:12, perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan/ akhiran ramp(curb ramps/landing). Sedangkan kemiringan suatu ramp yang ada di luar bangunan adalah 1:15 .

ii. Maksimum panjang mendatar dari satu ramp (dengan kemiringan 1:12) tidak boleh lebih dari 900 cm. Ramp dengan kemiringan yang lebih rendah bisa menjadi lebih panjang.

iii. Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm. Untuk ramp yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan pelayanan angkutan barang harus dipertimbangkan secara seksama lebarnya, sedemikian sehingga bisa dipakai untuk kedua fungsi tersebut, atau dilakukan pemisahan ramp dengan fungsi sendiri-sendiri. Untuk ramp atau ramp dengan fungsi ganda melayani angkutan barang, harus diperhitungkan secara tersendiri.

iv. Landing atau muka datar pada awalan atau akhiran ramp dari suatu ramp harus bebas dan datar sehingga memungkinkan, sekurang-kurangnya untuk memutar kursi dengan ukuran minimum 150 cm.

v. Permukaan datar dari landing (baik awalan atau akhiran ramp) harus memiliki tekstur sehingga tidak licin baik diwaktu hujan atau tidak.

vi. Pembatas rendah pinggir ramp (low curb) dirancang untuk menghalangi roda kursi roda agar tidak terperosok atau keluar dari jalur ramp. Apabila berbatasan langsung dengan lalu-lintas jalan umum atau persimpangan harus dibuat sedemikian rupa agar tidak mengganggu jalan umum.

vii. Ramp harus diterangi dengan pencahayaan yang cukup yang akan membantu penggunaan ramp saat malam hari. Penerangan khususnya

(39)

disediakan pada bagian-bagian ramp yang memiliki ketinggian terhadap muka tanah sekitarnya dan bagian- bagian yang membahayakan.

viii. Ramp harus dilengkapi dengan pegangan (handrail) yang dijamin kekuatannya dan dengan ketinggian yang sesuai untuk pengguna ramp.

Gambar 4.23 Kemiringan ramp

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

f. Tangga

Ruang dan fasilitas bagi pergerakan vertikal yang dirancang dengan mempertimbangkan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan lebar yang cukup untuk berpapasan dan aman

Syarat:

i. Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran seragam ii. Harus memiliki kemiringan yang kurang dari 600

iii. Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna tangga.

iv. Harus dilengkapi dengan handrail pada kedua sisinya

v. Handrail (pegangan rambat) harus mudah dipegang dengan ketinggian 70- 90 cm dari lantai dan bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu dan bagian ujungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang

vi. Handrail harus ditambah panjangnya pada bagian ujung-ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 10-15 cm.

(40)

vii. Untuk tangga yang terletak di luar bangunan, maka tangga harus dirancang sehingga tidak ada air hujan yang menggenang.

Gambar 4.24 Tipikal tangga

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

g. Lift

Elevator dan lift adalah alat mekanis-elektris untuk membantu pergerakan vertikal di dalam bangunan baik yang digunakan khusus bagi penyandang cacat atau kombinasi dengan lift barang.

Syarat:

i. Umum

Paling tidak satu elevator/ lift yang aksesibel harus ada pada jalur aksesibel dan memenuhi Peraturan Keselamatan yang telah ditetapkan secara umum.

ii. Sistem otomatis

Elevator harus menggunakan sistem kerja bersifat otomatis membawa penumpang ke setiap lantai yang dikehendaki. Toleransi perbedaan muka lantai bangunan dengan muka lantai ruang lift adalah 1,25 mm.

iii. Koridor/lobby lift

- Ruang perantara yang digunakan untuk menunggu kedatangan lift sekaligus mewadahi penumpang yang baru keluar dari lift harus

(41)

disediakan. Lebar ruangan ini minimal 130cm tergantung pada konfigurasi ruang yang ada.

- Perletakan tombol dan layar tampilan yang mudah dilihat dan dijangkau.

- Panel luar yang berisikan tombol lift harus dipasang di tengah-tengan ruang lobby atau hall lift dengan ketinggian 90-110 cm dari muka lantai bangunan.

- Panel dalam dari tombol lift dipasang dengan ketinggian 90-110 cm dari muka lantai ruang lift.

- Semua tombol pada panel harus dilengkapi dengan panel huruf Braille dipasang tanpa mengganggu panel biasa.

- Layar/ tampilan yang secara visual menunjukkan posisi lift harus dipasang di atas panel kontrol dan di atas pintu lift, baik di dalam atau di luar lift (hall/koridor)

- Ruang lift juga harus dilengkapi dengan voice indicator untuk menerangkan secara auditif posisi lift.

Gambar 4.25 Standard lift

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

h. Kamar Kecil

Merupakan fasilitas sanitasi yang disediakan untuk semua orang (tanpa terkecuali penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) yang sedang mengunjungi suatu bangunan atau fasilitas umum.

(42)

Syarat:

i.Toilet/kamar kecil umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan tampilan tanda/gambar simbol universal (“kursi roda”) pada bagian luarnya.

ii.Toilet/kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.

iii.Ketinggian dari tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian pengguna kursi roda.

iv.Toilet/kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan penyandang cacat yang lain. Pegangan disarankan merupakan bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu pergerakan/perpindahan menyamping dari tubuh pengguna kursi roda.

v.Letak kertas tissu, air, kran air atau shower dan perlengkapan-perlengkapan seperti tempat sabun, pengering tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik/cacat dan bisa dijangkau dengan baik oleh pengguna kursi roda.

vi.Wastafel harus aksesibel dan disesuaikan dengan ketinggian pengguna kursi roda.

vii.Kran pengungkit sebaiknya dipasang pada wastafel viii.Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin

ix.Pintu harus membuka keluar untuk memudahkan pengguna kursi roda untuk membuka dan menutup.

x.Kunci-kunci toilet atau grendel dirancang/dipilih sedemikian sehingga bisa dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.

Gambar 4.26 Tinggi perletakan closed

(43)

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998 i. Wastafel

Fasilitas cuci tangan, cuci muka, berkumur atau gosok gigi yang bisa digunakan untuk semua orang, khususnya bagi pengguna kursi roda.

Syarat:

i. Wastafel harus dipasang sedemikian sehingga posisinya baik tinggi maupun lebarnya dapat dimanfaatkan oleh pengguna kursi roda.

ii. Ruang gerak bebas yang cukup harus disediakan di depan wastafel.

iii. Wastafel harus memiliki ruang gerak di bawahnya sehingga tidak menghalangi lutut dan kaki pengguna kursi roda.

iv. Pemasangan ketinggian cermin harus juga diperhitungkan terhadap pengguna kursi roda

Gambar 4.27 Ruang gerak wastafel

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

j. Telepon

Merupakan fasilitas komunikasi yang disediakan untuk semua orang (tanpa terkecuali penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) yang sedang mengunjungi suatu bangunan atau fasilitas umum.

Syarat:

i. Telepon umum harus terletak pada lantai yang aksesibel bagi semua orang termasuk penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil.

(44)

ii. Ruang gerak yang cukup harus disediakan di depan telepon umum sehingga memudahkan pengguna kursi roda untuk mendekati dan menggunakan telepon.

iii. Ketinggian telepon dipertimbangkan terhadap dasar-dasar penggunaan pesawat telepon misalnya; keterjangkauan gagang telepon, tombol-tombol angka atau sistem dialing. Sebaiknya telepon umum menggunakan tombol tekan angka.

iv. Bagi pengguna yang memiliki pendengaran yang kurang, perlu disediakan kontrol volume suara yang terlihat dan mudah terjangkau.

v. Bagi tuna rungu sebaiknya disediakan faksimili sebagai alat komunikasi yang lebih bernilai, khususnya pada Rumah Sakit pos, fasilitas komersial, dan fasilitas publik.

vi. Bagi tuna netra sebaiknya disediakan petunjuk dalam huruf Braille dan dilengkapi juga dengan talking sign (isyrat bersuara) yang terpasang di dekat telepon umum.

vii. Panjang kabel gagang telepon harus memungkinkan pengguna kursi roda untuk menggunakan telepon dengan posisi yang nyaman. (+ 75cm).

viii. Telepon boks (booth) dilengkapi dengan kursi yang disesuaikan dengan area gerak pengguna.

Gambar 4.28 Perletakan telepon

Sumber: KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAN UMUM REPUBUK INDONESIA NOMOR: 468/ KPTS/ 1998

k. Perlengkapan dan Peralatan

(45)

Merupakan perlengkapan-perlengkapan tambahan yang bisa mempermudah semua orang (tanpa terkecuali penyandang cacat, orang tua, dan ibu-ibu hamil) untuk melakukan suatu kegiatan tertentu.

Syarat:

i. Sistem alarm/ peringatan

- Harus tersedia peralatan peringatan yang dapat terdiri dari dari sistem peringatan suara (vocal alarms), sistem peringatan bergetar (vibrating alarms) dan berbagai petunjuk dan penandaan untuk melarikan diri pada situasi darurat .

- Stop kontak harus dipasang dekat tempat tidur untuk mempermudah pemasangan sistem alarm, termasuk peralatan bergetar (vibrating devices) di bawah bantal,

- Semua peralatan pengontrol peralatan listrik harus dapat dioperasikan dengan satu tangan dan tidak memerlukan pegangan yang sangat kencang atau sampai dengan memutar lengan.

ii. Tombol dan stop kontak

Tombol dan stop kontak dipasang pada tempat yang posisi dan tingginya sesuai dan mudah dijangkau oleh pengguna kursi roda

iii. Pencahayaan

Semua ruang harus memiliki pencahayaan yang merata dan cukup yang tidak menimbulkan silau. Ruang tangga harus dilengkapi dengan peralatan pencahayaan yang cukup

l. Perabot

Perletakan barang-barang perabot/ furniture dengan menyisakan ruang gerak dan sirkulasi yang cukup bagi penyandang cacat.

Syarat:

i. Sebagian dari perabot yang tersedia dalam bangunan dapat digunakan oleh pengguna yang berkursi roda, termasuk dalam keadaan darurat.

ii. Dalam bangunan yang digunakan untuk penggunaan oleh masyarakat banyak, seperti bangunan pertemuan, konferensi, pertunjukan dan kegiatan yang sejenis maka jumlah tempat duduk aksesibel yang harus disediakan adalah :

(46)

Tabel 4.1 Perbandingan tempat duduk yang aksesibilitas KAPASITAS TOTAL TEMPAT DUDUK JUMLAH TEMPAT DUDUK YANG

AKSESIBEL 4 – 25

26 – 50 51 – 300 301 – 500

> 500

1 2 4 6

6, +1 untuk setiap ratusan

m. Rambu

Fasilitas dan atau elemen yang digunakan untuk untuk memberikan informasi, arah, penanda atau petunjuk.

Syarat:

i. Penggunaan rambu, terutama dibutuhkan pada:

- Arah dan tujuan jalan pedestrian - KM/WC umum, telepon umum dsb - Parkir khusus penyandang cacat - Nama fasilitas dan tempat.

ii. Beberapa Rambu yang digunakan :

- Rambu huruf timbul atau huruf Braille yang dapat dibaca oleh tuna netra dan dapat penyandang cacat lain.

- Rambu yang berupa gambar dan simbol yang mudah dan cepat ditafsirkan artinya.

- Rambu yang berupa tanda dan simbol internasional

- Rambu yang menerapkan metode khusus (misal; pembedaan perkerasan tanah, warna kontras, dll) Karakter dan latar belakang rambu harus dibuat dari bahan yang tidak silau. Karakter dan simbul harus kontras dengan latar belakangnya, apakah karakter terang di atas gelap atau sebaliknya.

(47)

- Proporsi huruf atau karakter pada rambu harus mempunyai rasio lebar dan tinggi antara 3 : 5 dan 1 : 1 dan ketebalan huruf antara 1: 5 dan 1:

10

- Tinggi karakter huruf dan angka pada rambu harus diukur sesuai dengan jarak pandang dari tempat rambu itu dibaca.

iii. Lokasi penempatan rambu :

- Penempatan yang sesuai dan tepat serta bebas secara vertkal dan horizontal.

- Satu kesatuan sistem dengan lingkungannya

- Cukup mendapat penerangan termasuk penambahan lampu pada kondisi gelap.

- Bisa dimasukkan dalam street furniture.

- Tidak mengganggu arus (pejalan kaki, dll) dan sirkulasi (buka/tutup pintu, dll).

4.2.2.5. FITUR-FITUR YANG RAMAH BAGI PENGGUNA

Pencapaian bangunan mengaplikasikann prinsip-prinsip dari desain secara umum, yaitu:

a. Kesetaraan penggunaan

 Meja resepsionis yang mudah diakses oleh semua pengunjung didukung dengan de- nah lokasi sehingga mempermudah pengunjung dalam mengidentifikasi suatu bangu- nan.

 Pintu dengan sensor memberikan kenyamanan bagi pengunjung karena memu- dahkan cilamana mereka membawa banyak bawaan ataupun sedang duduk di kursi roda, tanpa perlu repot membuka pintu.

 Ukuran saklar yang lebih lebar, dilengkapi dengan lampu led ketika dinyalakan dan atau dilapisi dengan fosfor sangat memudahkan pengoperasian.

b. Fleksibel dalam penggunaan

Desain dapat digunakan oleh pengunjung secara luas dengan berbagai background pendidikan dan kemampuan.

 Penggunaan computer kampus yang tersedia dalam mode standar ataupun pilihan easy acces.

 Tersedianya ramp pada bangunan yang memudahkan kaum difabel dalam mengak- ses bangunan.

(48)

 Pintu dengan dua daun pintu mengakomodir pengguna biasa dan kidal.

 Dimensi angka pada lift ataupun huruf pada papan nama yang mudah terbaca.

 Pintu utama dengan penanda yang sudah umum dipahami, misalnya gapura, memu- dahkan pengunjung untuk mengidentifikasinya.

c. Sederhana dan mudah digunakan

Desain mudah digunakan secara umum, berdasar pengalaman individu, prosedur penggunaan yang mudah dipahami.

 Tombol dalam lift diberi keterangan menggunakan alphabet yang umum dipahami, bukan menggunakan huruf romawi.

 Memberikan petunjuk penggunaan yg mudah dipahami pada setiap peralatan kam- pus yang berteknologi, sehingga mudah dioperasikan.

d. Informasi yang mudah dicerna pengguna

Informasi penggunaan disajikan secara informatif kepada pengguna dan mudah dipahami oleh indera mereka.

 Warna signage yang kontras dengan warna background nya.

 Kabel merah dan putih membedakan mana yang bermuatan positif dan negatif.

e. Meminimalisir kesalahan dalam penggunaan

Desain harus meminimalisir kerugian ataupun kecelakaan bila terjadi kesalahan dalam penggunaan.

 Tombol cancel pada printer untuk mengurangi kertas yang terbuang percuma karena kesalahan printing.

 Kemasan benda beracun diberikan warna mencolok dengan keterangan di luarnya.

f. Hanya memerlukan sedikit usaha fisik.

Desain harus efisisen dan nyaman digunakan, serta memberikan seminim mungkin efek lelah.

 Keyboard lengkung yang merespon posisi alamiah jari-jari tangan lebih nyaman dibandingkan ke board horizontal yang cenderung membuat pergelangan tangan terasa pegal.

 Otomatisasi fasilitas kampus dengan sensor-sensor tertentu. Pintu dapat terbuka sendiri bila ada pengunjung masuk, presensi digital, mesin penjawab, dll.

 Permukaan lantai yang rata memudahkan perpindahan peralatan berat yang memer- lukan roda.

g. Dimensi yang mudah digunakan, dijangkau maupun dilihat.

(49)

Dimensi dan ruang pelingkup yang menyediakan kemudahan untuk mengakses segala fasilitas.

 Pintu dengan lebar yang memungkinkan diakses oleh pengguna dengan berbagai postur tubuh.

4.2.3 Pendekatan Rencana Tapak

Pendekatan rencana tapak ini biasa dilakukan pada awal perencanaan suatu bangunan atau kawasan. Dalam kegiatan ini, kondisi tapak perencanaan telah terbentuk, sehingga konsultan perencana hanya melakukan beberapa usulan desain yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan di sekitar bangunan. Maka aspek-aspek lingkungan yang harus diperhatikan adalah:

a. Pendekatan konservasi lingkungan dilakukan dengan tetap mempertahankan rasio ruang terbuka, dengan tetap memperhatikan kemungkinan resapan-resapan air.

b. Penciptaan iklim mikro (micro climate) yang nyaman, dicapai melalui penempatan vege- tasi-vegetasi perindang.

4.2.4 Pendekatan Non Fisik

Pendekatan non fisik yang dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan pengguna bangunan dapat dilihat dari berbagai hal yang menyangkut organisasi koperasi.

Pendekatan non fisik yang dilakukan adalah pendekatan kepada:

1. Sifat organisasi dalam pekerjaan ini adalah Dinas Kesehatan Provisi DKI Jakarta 2. Fungsi dan peran dari Dinas

3. Prinsip Kerja

4. Jenis-jenis Bidang atau bagian dari organisasi.

4.2.5 Kriteria

1. Kriteria Umum

Pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh konsultan perencana seperti yang dimaksud pada KAK harus memperhatikan kriteria umum bangunan disesuaikan berdasarkan fungsi dan kompleksitas bangunan, yaitu :

a. Persyaratan peruntukan dan intensitas :

1) Menjamin bangunan gedung didirikan berdasarkan ketentuan tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan di daerah yang bersangkutan.

Gambar

Gambar 4.1. Bagan Alur Metodologi Pelaksanaan Kegiatan
Gambar 4.3. Peletakan Vegetasi Sebagai Penyejuk sumber : Dasar-dasar eko-arsitektur
Gambar 4.4. Wing Wall Pada Jendela Sumber: Ecology of The Sky
Gambar 4.8. Pedestrian  Sumber: archdaily.com
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengelolaan wilayah sungai diperlukan adanya pemahaman mengenai batas daerah sempadan yang merupakan kawasan kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk

 Penegasan batas fisik kawasan sempadan sungai bangunan oleh Pemerintah Daerah. Untuk menghindari berkembangnya pemanfaatan lahan terbangun di sepanjang sungai yang ada

Ambil pin dari sudut sebelah kanan dengan tangan kanan anda dan pada waktu yang bersamaan ambil pin dari sudut sebelah kiri dengan tangan kiri anda, kemudian letakkan

Hasil pengolahan data kelerengan pada penampang Stasiun 1 bentuk sungai curam pada sisi kanan sungai dan sisi kanan sungai lebih tinggi dari pada sisi kiri,

Bantaran sungai adalah areal sempadan kiri-kanan sungai yang terkena/terbanjiri luapan air sungai, baik dalam periode waktu yang pendek maupun periode waktu yang cukup panjang,

Ruangan yang terdapat dalam halaman naskah harus terisi penuh, artinya pengetikan harus dari tepi kiri sampai batas tepi kanan dan jangan sampai ada ruangan

Dalam pengelolaan wilayah sungai diperlukan adanya pemahaman mengenai batas daerah sempadan yang merupakan kawasan kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk

Areal ini berupa lahan reklamasi rawa diantara Sungai Mesuji, Sungai Tulang Bawang dan Sungai Pidada dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan sungai Mesuji