BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penegakan Hukum Pidana
Mardjono Reksodiputro menyebutkan bahwa penegakan hukum pidana merupakan upaya aparat yang dilakukan untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan dan keserasian antara moralisasi sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradap. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.22
Soejono Soekanto mengemukakan bahwa penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan menilai yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tidak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering), memelihara dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup.23
Sementara itu menurut Shafrudin, penegakan hukum pidana merupakan suatu upaya yang diterapkan guna mencapai tujuan dari hukum itu sendiri.
22 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal 76.
23 Soejono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal 5.
Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian, dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:24
1. Tahap formulasi
Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang- undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang- undangan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif.
2. Tahap aplikasi
Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian hingga Pengadilan.
Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan perundang- undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegangan teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap eksekusi
-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna. Tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana.
24 Shafrudin, Politik Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 1998, hal 4.
Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan pidana yang dibuat oleh pembuat undang
Faktor penegakan hukum pidana dalam hal ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :25
1. Faktor penegak hukum
Faktor yang menunjukan pada adanya kelembagaan yang mempunyai fungs-fungsi tersendiri dan bergerak di dalam suatu mekanisme. Adapun faktor-faktor penegak hukum meliputi :
a. Badan pembentuk undang-undang atau lembaga Legislatif.
b. Aparat penegak hukum dalam arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Penasihat Hukum, dan Pengadilan.
c. Aparat pelaksana pidana.
2. Faktor nilai
Faktor nilai merupakan sumber dari segala aktifitas dalam penegakan hukum pidana. Jika nilainya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana, demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukan betapa pentingnya kedudukan nilai dalam penegakan hukum pidana yang baik.
25 Ibid, hal 6.
3. Faktor Substansi Hukum
Faktor substansi hukum ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus merupakan dasar bagi bekerjanya sistem hukum dalam kenyataan. Baik buruknya suatu substansi hukum tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak hukum tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Dengan demikian, baik buruknya substansi hukum pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum.
Penegakan hukum di Indonesia dilakukan secara preventif dan represif, yaitu :26
1. Non penal
Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan kepolisian.
2. Penal
Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil.
Penegakan hukum represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum.
26 Barda Nawawi Arif, Op.Cit., hal 22.
Pelaksanaan penegakan hukum memiliki tujuan untuk kepastian hukum, kegunaan dan kemampuan hukum itu sendiri serta keadilan bagi masyarakat. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan yang sewenang-wenang. Yang berarti seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu, yang dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Pelaksanaan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Ketika hukum dilaksanakan atau ditegakkan jangan sampai menimbulkan keresahan bagi masyarakat, dalam unsur keadilan karena masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan harus benar-benar ditegakkan dan diperhatikan. Hakikat penegakan hukum yang sesungguhnya menurut Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum terletak kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
B. Tugas dan Wewenang Polisi Negara Republik Indonesia
Polisi mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan agar yang diperintah menjalankan badan tidak melakukan larangan-larangan perintah. Menurut Undang-Undang Kepolisian, definisi Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Tugas, fungsi, dan kewenangan dijalankan atas kewajiban untuk mengadakan pengawasan secara intensif dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara melaksanakan kewajiban umum dengan perantara pengadilan, dan memaksa yang diperintah untuk melaksanakan kewajiban umum tanpa perantara pengadilan.27
Berkaitan dengan tugas dan wewenang polisi ini harus dijalankan dengan baik agar tujuan polisi yang tertuang dalam pasal-pasal berguna dengan baik, Undang-undang kepolisian bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinannya ketentraman masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanaan negara, terselenggaranya fungsi pertahanan dan keamanan negara, tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung fungsi hak asasi manusia terlaksana.
Momo Kelana menerangkan bahwa polisi mempunyai dua arti, yakni polisi dalam arti formal mencangkup penjelasan organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian, dan dalam arti materiil, yakni memberikan jawaban- jawaban terhadap persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan keamanan dan ketertiban yang diatur di peraturan perundang-undangan.28
Pada Undang-Undang Kepolisian, fungsi kepolisian diatur dalam Pasal 2 yaitu:
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
27 Momo Kelana, Hukum Kepolisian dan Perkembangan di Indonesia Suatu studi Histories Komperatif, PTIK, Jakarta, 1972, hal 18.
28 Ibid. hal 22
Menjalankan fungsi sebagai penegak hukum polisi wajib memahani asas-asas yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan tugas dan kerja yaitu sebagai berikut:29
1. Asas Legalitas, dalam melaksankan tugasnya sebagai penegak hukum wajib tunduk pada hukum.
2. Asas Kewajiban, merupakan kewajiban polisi dalam menangani permasalahan masyarakat.
3. Asas Partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat polisi mengkoordinasikan pengamanan Swakarsa untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat.
4. Asas Preventif, selalu menedepankan tindakan pencegahan dari pada penindakan (represif) kepada masyarakat.
5. Asas Subsidiaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak menimbulkan permasalahan yaang lebih besar sebelum ditangani oleh instansi yang memmbelakangi.
Mengenai tugas dan wewenang polisi diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Kepolisian, yaitu :
Pasal 13 menyebutkan :
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayannan kepada masyarakat.
29 Bisri Ilham. Sisten Hukum Indonesia, Grafindo Persada. Jakarta, 1998, hal 32
Pasal 14 :
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan
(2)Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(3) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut semboyan Tribrata, tugas dan wewenang Polri adalah : Kami Polisi Indonesia :
a. Bebakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Menjungjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
c. Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan POLRI adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara. Lebih lanjut dijelaskan dalam Catur Prasetya POLRI, yaitu :
a. Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan
b. Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia c. Menjamin kepastian negara berdasarkan hukum
d. Memelihara perasaan tentram dan damai
Berkaitan dengan tugas dan wewenang, institusi negara yang melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Republik Indonesia dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Bahwa dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ini harus dijalankan dengan baik agar tujuan polisi yang tertuang dalam pasal-pasal berguna dengan baik, Undang-undang kepolisian bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinannya ketentraman masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanaan negara, terselenggaranya fungsi pertahannan dan keamanan negara, tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung fungsi hak asasi manusia terlaksana. Selain itu tujuan Polisi Indonesia “menurut Jendral Polisi Rusman Hadi, ialah
mewujudkan keamanan dalam negara yang mendorong gairah kerja masyrakat dalam mencapai kesejahteraan.30
C. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Narkotika
Tri Andrisman mengemukakan bahwa pada dasarnya semua istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda : “Strafbaar Feit”, sebagai berikut :31
a. Delik (delict).
b. Peristiwa pidana.
c. Perbuatan pidana.
d. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
e. Hal yang diancam dengan hukum.
f. Perbuatan yang diancam dengan hukum.
g. Tindak Pidana.
Tindak Pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.
Sementara itu menurut Sudradjat Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan mengemukakan alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah di dalam kebanyakan peraturan
30 Rusman Hadi. Polri Menuju Reformasi. Yayasan Tenaga Kerja, Jakarta,1996, hal 27
31 Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas- Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011, hal 69.
perundang-undangan memakai istilah tindak pidana, umpamanya di dalam peraturan-peraturan pidana khusus.32
Mengenai beberapa pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :
a. Pompe. Mengemukakan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:33
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.
2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang- undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dapatlah disimpulkan pengertian tindak pidana menurut Pompe adalah sebagai berikut:
a) Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan hukum) (onrechtmatig atau wederrechtelijk);
b) Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld van de overtreder te wijten);
c) Suatu kelakuan yang dapat dihukum (stafbaar) b. Wirjono Prodjodikoro34
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu :
32 Sudradjat Bassar , Tindak-tindak Pidana Tertentu, Ghalian, Bandung, 1999, hal 1
33 Utrecht, Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, hal 252.
34Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-Tindakan Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:
Erosco, hal 55-57.
1. Tindak pidana materiil.
Pengertian tindak pidana materil adalah apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu.
2. Tindak pidana formil.
Pengertian tindak pidana formil yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.
Menurut Simons, seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: 35
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b. Diancam dengan pidana;
c. Melawan hukum;
d. Dilakukan dengan kesalahan.
Pada prinsipnya tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana. Perbuatan- perbuatan tersebut telah dirumuskan dalam suatu undang-undang sebagai dasar legalitas tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Penyalahgunaan narkotika sendiri merupakan suatu perbuatan dilarang dan diancam pidana dalam Undang-Undang Narkotika.
35 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal 40.
Muhammad Taufik Makarao mengemukakan bahwa secara Etimologi narkotika berasal dari kata “Narkoties” yang sama artinya dengan kata
“Narcosis” yang berarti membius. Sifat dari zat tersebut terutama berpengaruh terhadap otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, dan halusinasi disamping dapat digunakan dalam pembiusan.36
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Narkotika dapat dilihat pengertian dari Narkotika itu sendiri yakni :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman ataubukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangksikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari
36 Muhammad Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta.
2003, hal 21.
pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.37
Pelaku Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Sebagai pengguna
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan Pasal 116 Undang-undang Narkotika, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan paling lama 15 tahun.
b) Sebagai pengedar
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-Uundang Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun ditambah denda.
c) Sebagai produsen
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-Undang Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/
mati ditambah denda.
Berikut adalah pandangan dari ahli hukum mengenai pengertian dari narkotika:
1. Menurut Hari Sasangka, bahwa narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksamaan atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi narkotika ini
37 Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001, hal 10.
sudah termasuk jenis candu dan turunan-turunan candu (morphine, codein, heroin), candu sintetis (meperidine, methadone).38
2. Sudarto dalam buku Djoko Prakoso mengatakan bahwa: Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani “Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai “a drug that dulls the senses, relieves pain induces sleep an can produce addiction in varyingdegrees”(obat yang menumpulkan indra, mengurangi rasa sakit menyebabkan tidur dan dapat menyebabkan kecanduan dalam berbagai derajat obat yang menumpulkan indra, mengurangi rasa sakit menyebabkan tidur dan dapat menyebabkan kecanduan dalam berbagai derajat),39
3. Narkotika merupakan zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tubuh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dibidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit.40
38 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung. 2003, hal 33.
39 Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Muhksin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta. 1987, hal 480.
40 Soedjono. Hukum Narkotika Indonesia. Alumni. Bandung. 1987, hal 3