• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Konsep Adaptive Reuse di Kawasan Cagar Budaya Kota Payakumbuh

N/A
N/A
Ahmad Dio Fadly

Academic year: 2025

Membagikan "Penerapan Konsep Adaptive Reuse di Kawasan Cagar Budaya Kota Payakumbuh"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN KONSEP ADAPTIVE REUSE PADA KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTA PAYAKUMBUH

MATA KULIAH : PRA TESIS DAN SEMINAR

Diajukan Oleh : AHMAD DIO FADLY

2310018322005

Email: [email protected]

PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR

UNIVERSITAS BUNG HATTA

2024

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Adaptive Reuse adalah suatu peroses memodifikasi atau merubah sesuatu untuk mengganti fungsinya dengan fungsi yang baru dengan meninggalkan fungsi lamanya. Kota Payakumbuh merupakan salah satu kota di Indonesia yang masih meninggalkan banyak bangunan lama bersejarah yang dibangun di masa Kolonial Belanda. Namun sampai saat ini keberadaan bangunan-bangunan lama tersebut belum mendapat perhatian serius baik dari pemilik, penyewa, masyarakat umum maupun pemerintah kota. Kawasan Kota Payakumbuh merupakan salah satu wilayah yang memiliki banyak peninggalan sejarah baik secara fisik (tangible) maupun non fisik (intangible). Jika dikategorikan status bangunan-bangunan tersebut dapat dibedakan menjadi bangunan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda, peninggalan etnis, peninggalan pemeluk agama, peninggalan pemerintahan kota dan peninggalan warga kota secara individual. Peninggalan bersejarah ini merupakan warisan budaya kota Payakumbuh yang sangat penting untuk dipelihara, dirawat, dan dilestarikan demi menjaga kesinambungan nilai-nilai kultural, karya budaya kota masa lalu sehingga memberi manfaat pada kepentingan saat ini dan mendatang.

Kota Payakumbuh salah satu daerah yang memiliki objek Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya cukup banyak. Dari daftar inventarisasi Cagar Budaya/Situs di BPCB Provinsi Sumatera Barat tahun 2018 tercatat sebanyak 26 objek Cagar Budaya yang tersebar pada tiga (3) kecamatan yakni Kecamatan Payakumbuh Utara, Payakumbuh Barat dan Payakumbuh Timur. Data Cagar Budaya Kota Payakumbuh diantaranya Makam Ninik nan Batigo, Kompleks Makam Abdullah dan Mas Wongso, MakamMohamad Thoha bin Arsyad, Masjid Gadang Koto nan Ampek, Rumah Gadang Tuanku Lareh Koto nan Ampek, Stasiun Kereta Api Payakumbuh, Rumah Gadang Kapten Tantawi, Rumah Gadang Datuk Paduko Rajo Lelo (Suku Piliang), Makam Jenderal Demmeni, SMP 1 Payakumbuh, Gerja Katolik LP Payakumbuh, Tugu Peringatan Van Hoof, Jembatan Ratapan Ibu, Surau Gadang Rao-Rao, Eks. Pengadilan Lama (Rumah Demang Murad), Eks. Rumah Pejabat Belanda (Apotik Bhakti Medika Farma) , Eks. Kantor Walikota Payakumbuh, Toko Putra Jaya, Bioskop Raya, Kompleks Pertokoan Bofet Sianok, Kompleks Pertokoan Penang Elektronik, Toko HM (ANNO 1917), Rumah N 303 (Rumah Asisten Residen), Rumah Potong (Rumah Jagal), dan Kawasan Tradisional Rumah Gadang Balai Kaliki. Selain itu, Pemerintah Kota Payakumbuh melalui Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga juga telah menghimpun dan mendokumentasikan Objek yang Diduga Cagar Budaya dan sebagian besar telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya tahun 2020.

Menurut Undang-undang cagar budaya no.5 tahun 1992 merupakan undang-undang yang melindungi pelestarian bangunan-bangunan lama. Realita saat ini, dimana pembangunan hampir di

(3)

setiap lahan kota pesat membangun mengakibatkan banyaknya bangunan-bangunan lama bersejarah mengalami ancaman kepunahan, bahkan satu persatu dibongkar oleh pemilik atau penyewa. Kondisi ini semakin diperparah karena beberapa bangunan lama mengalami tidak jelasan kepemilikannya atau pemilik bangunan sangat sulit untuk ditemui. Tuntutan fungsi baru merupakan salah satu penyebab terjadinya pembongkaran dan perubahan karakter terhadap bangunan lama. Di sisi lain pengetahuan masyarakat tentang bagaimana seharusnya melakukan upaya pemeliharaan, perlindungan dan merehabilitasi atau renovasi bangunan justru mengancam hilangnya karakter yang dimiliki oleh bangunan lama.

Sesuai dari skema perlindungan dan pelestarian bangunan bersejarah telah dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 19 tahun 2021 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Bangunan Gedung Cagar Budaya Yang Dilestarikan.

1.2. Rumusan Masalah

Dari observasi awal terhadap permasalahan penelitian, peneliti mencoba menguraikan rumusan masalah dalam penelitian sebagai permasalahan khusus diantaranya :

a. Bagaimana pola pengembangan adaptive reuse pada bangunan cagar budaya yang mampu menjadi alternatif dalam konteks meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dengan adanya fungsi baru dari bangunan cagar budaya tersebut

b. Bagaimana memberikan rekomendasi alternatif pola pengembangan fungsi adaptive reuse pada bangunan cagar budaya Kota Payakumbuh dengan tetap mempertahankan nilai-nilai sejarah yang tersirat di dalamnya

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Memahami sasaran konservasi Adaptive reuse yang tepat dan dapat diaplikasikan di Cagar budaya Kota Payakumbuh

b. Menghidupkan kembali bangunan cagar budaya tersebut agar dapat berfungsi sama seperti sebelumnya maupun dengan fungsi yang baru

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

(4)

a. Sebagai tolak ukur dan referensi untuk masyarakat dan pihak – pihak terkait tentang penanganan bangunan cagar budaya yang mengadaptasi konsep adabtive reuse sehingga dapat mendukung kebijakan pemerintah dalam menjagamelestarikan bangunan cagar budaya khususnya pada kota payakumbuh.

b. Adanya pertimbangan keberlanjutan dalam pemanfaatan bangunan cagar budaya yang ada di kota payakumbuh sehingga dapat menunjang perekonomian masyarakat disekitar banguan tersebut.

1.5. Keaslian Penelitian

Jurnal : PENERAPAN ADAPTIVE REUSE PADA GEDUNG PT. PPI (Ex. PT. TJIPTA NIAGA) MENJADI HOTEL GALLERY DAN KEGIATAN KOMERSIAL.

Ferdianto Yanu Suprihatin, Ari Widyati Purwantiasning, Anggoro Cipto Ismoyo

PURWARUPA Jurnal Arsitektur; Vol 1, No 1 (2017): Purwarupa Vol 1 No 1 Maret 2017; 37-44 ; 2550-066X ; 2621-1181

Arsitektur masa lalu yang terdiri dari bangunan – bangunan dan kawasan – kawasan cagar budaya berperan dalam merangkai dan menghubungkan sejarah kota Jakarta dari masa laulu ke masa sekarang dan masa yang akan datang. Arsitektur masa lalu ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rencana kota. Bangunan – bangunan cagar budaya dan juga kawasan-kawasan cagar budaya tersebar disegala penjuru kota, dengan konsentrasi memanjang dari bagian Utara sampai ke Selatan kota Di dalam kawasan-kawasan ini terdapat arsitektur kota dan bangunan-bangunan yang harus dilestarikan. Selain itu juga banyak terdapat bangunan-bangunan pelestarian yang berada diluar kawasan-kawasan ini. Masing - masing kawasa n cagar budaya memiliki panduan khusus yang disesuaikan dengan kondisi dan karakter dari masing-masing kawasan. Dalam proses perancangan ini, penulis memilih untuk melakukan pelestarian konservasi bangunan gedung PT PPI (ex. Kantor Tjipta Niaga) (ROTTERDAM INTERNATIO) dengan mengaplikasikan konsep adaptive reuse sebagai salah satu aplikasi konsep konservasi bangunan tua dan kegiatan komersil yang juga menunjang hotel maupun kawasan tersebut.

Kata Kunci : Adaptive Reuse, Hotel Gallery, Gedung PT.PPI, Konservasi

1.6. Kerangka Berpikir

Kerangka berfikir penelitian ini bagaimana proses dan latar belakang dari penelitian sampai pendekatan yang digunakan.

(5)

Latar Belakang

Definisi Tema Penelitian

Tema Penelitian

Tujuan : Memahami sasaran konservasi Adaptive reuse yang tepat dan dapat diaplikasikan di Cagar budaya Kota Payakumbuh. Menghidupkan kembali bangunan cagar budaya tersebut agar dapat berfungsi sama seperti sebelumnya maupun dengan fungsi yang baru

Permasalahan dan Solusi

1. Peninggalan bersejarah ini merupakan warisan budaya kota Payakumbuh yang sangat penting untuk dipelihara, dirawat, dan dilestarikan demi menjaga kesinambungan nilai-nilai kultural, karya budaya kota masa lalu sehingga memberi manfaat pada kepentingan saat ini dan mendatang.

2. Kota Payakumbuh salah satu daerah yang memiliki objek Cagar Budaya dan/atau Objek yang Diduga Cagar Budaya cukup banyak 3. pengetahuan masyarakat tentang bagaimana seharusnya melakukan upaya pemeliharaan, perlindungan dan merehabilitasi atau renovasi bangunan justru mengancam hilangnya karakter yang dimiliki oleh bangunan lama.

Bagaimana pola pengembangan adaptive reuse pada bangunan cagar budaya yang mampu menjadi alternatif dalam konteks meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dengan adanya fungsi baru dari bangunan cagar budaya tersebut.

Bagaimana memberikan rekomendasi alternatif pola pengembangan fungsi adaptive reuse pada bangunan cagar budaya Kota Payakumbuh dengan tetap mempertahankan nilai-nilai sejarah yang tersirat di dalamnya

Lokasi : Kota Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat

Objek : Bangunan Cagar Budaya di Kota Payakumbuh ( Perguruan Diniyah Puteri Payakumbuh - Apotik Bakti Medica Farma , Rumah Asisten Residen , dan Rumah Demang Murad – Pengadilan Lama )

Objek : Bangunan Cagar Budaya di Kota Payakumbuh ( Perguruan Diniyah Puteri Payakumbuh - Apotik Bakti Medica Farma , Rumah Asisten Residen , dan Rumah Demang Murad – Pengadilan Lama )

Focus : Model Pola penerapan Konsep Adabtive Reuse bangunan Cagar Budaya Payakumbuh

(6)

Manfaat : Sebagai tolak ukur dan referensi untuk masyarakat dan pihak – pihak terkait tentang penanganan bangunan cagar budaya yang mengadaptasi konsep adabtive reuse sehingga dapat mendukung kebijakan pemerintah dalam menjagamelestarikan bangunan cagar budaya khususnya pada kota payakumbuh. Adanya pertimbangan keberlanjutan dalam pemanfaatan bangunan cagar budaya yang ada di kota payakumbuh sehingga dapat menunjang perekonomian masyarakat disekitar banguan tersebut.

Penelitian Sebelumnya :

Jurnal : PENERAPAN ADAPTIVE REUSE PADA GEDUNG PT. PPI (Ex. PT. TJIPTA NIAGA) MENJADI HOTEL GALLERY DAN KEGIATAN KOMERSIAL.

Ferdianto Yanu Suprihatin, Ari Widyati Purwantiasning, Anggoro Cipto Ismoyo

PURWARUPA Jurnal Arsitektur; Vol 1, No 1 (2017): Purwarupa Vol 1 No 1 Maret 2017; 37-44

;2550-066X ; 2621-1181

Kata Kunci : Adaptive Reuse, Hotel Gallery, Gedung PT.PPI, Konservasi

Pendekatan

Lahan, Ruang & Wilayah Behavior Mapping, Ekologikal Ruang, Teori Land Use Triangle

Histori & Dokumentasi History , Documentation

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Adaptive Reuse

Adaptive Reuse didefinisikan sebagai proses estetika yang mengadaptasi bangunan untuk penggunaan baru sambil mempertahankan fitur historisnya. Menggunakan model penggunaan kembali adaptif dapat memperpanjang umur bangunan, dari awal hingga akhir, dengan mempertahankan semua atau sebagian besar sistem bangunan, termasuk struktur, cangkang, dan bahkan material interior.” Dari definisi tersebut dapat diperkirakan bahwa inti dari pendekatan Adapive Reuse adalah memanfaatkan bangunan yang sudah ada bahkan berumur cukup tua, yang kebanyakan sudah terbengkalai atau tidak digunakan, dengan cara mengisi dengan aktivitas atau kegiatan baru yang bermaksud untuk menghidupkan penggunaan bangunan tersebut. Pendekatan Adaptive Reuse diharapkan bisa menekan angka pertumbuhan pembangunan bangunan baru, yang diharapkan secara jangka Panjang bisa menekan angka penyebaran kota (urban sprawl) dan dampak lingkungan.

Penerapan Adabtive reuse menurut Undang-undang cagar budaya no.5 tahun 1992 merupakan undang-undang yang melindungi pelestarian bangunan-bangunan lama. Dengan merevitalisasi atau menghidupkan kembali bangunan yang terbengkalai (abandoned),) maka struktur bangunan yang ada tersebut dapat digunakan untnuk tujuan baru yang menjadi sumber daya yang baik bagi pemenuhan tujuan untuk komujnitas atau masyarakat penggunanya serta menghidupkan lingkungan tempatnya berada menjadi bermanfaat dan vital. Dengan menghebuskannya kehidupan baru ke dalam struktur bangunan yang terbengkalai, apalagi yang memiliki signifikansi nilai kesejarahan yang tinggi, dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna bagi lingkungan sekitarnya, terutama dengan memasukkan fungsi-fungsi yang sesuai dengan perkembangan jaman sehingga dapat mengundang keaktifan dari fungsi tersebut dengan pengguna yang membutuhkannya.

Hal-hal yang terpenuhi dari penerapan Adaptive Reuse adalah : a. Upaya mempertahankan warisan budaya

Adaptive Reuse dinilai sebagai salah satu upaya mempertahankan warisan budaya berupa artefak bangunan bersejarah, sehingga upaya ini dapat diperhitungkan sebagai bentuk pelestarian warisan budaya dan sejarah. Pemanfaatan bangunan lama, yang bisa saja dibiarkan membusuk atau terlantar, dengan fungsi yang baru dapat memberi ruang untuk ide penggunaan bangunan menjadi lebih menarik dan hidup, dan membawa manfaat secara social maupun ekonomi.

(8)

b. Memperlambat persebaran kota

Pembangunan baru, sangat mungkin mencari lokasi baru di luar kota, dengan pertimbangan di tengah kota sudah dipenuhi oleh bangunan lama, maupun bangunan bersejarah, sehingga sudah sangat sedikit ketersediaan lahan kosong. Penyebaran pembangunan yang semakin menjauhi pusat kota, sedikit banyak akan menjadi penyebaran kota (urban sprawl) yang dapat memberikan beraneka dampak, seperti polusi, peningkatan transportasi (dan bahan bakar) berlebihan, penggunaan material yang berlebihan, penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan dan kebutuhan infrastruktur yang tinggi.

c. Menciptakan potensi komunitas

Dengan adaptasi penggunaan baru pada bangunan lama/ bersejarah, maka tumbuhlah kehidupan dan kegiatan baru yang mengisi struktur bangunan. Dengan dibangunnya fungsi- fungsi baru yang menjadi daya Tarik pengguna yang potensial, seperti komunitas, maka fungsi baru tersebut bisa menjadi suar (crowd puller) yang ikonik atau signifikan bagi komunitas atau warga kota.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Tipe Pendekatan Adaptive Reuse

Penerapan konsep adaptive reuse yang memiliki tujuan untuk memberikan fungsi baru ke dalam bangunan yang sudah terbengkalai, memberikan desain baru tanpa menghancurkan keseluruhan struktur bangunan eksisting dan elemen-elemen didalamnya. Dalam buku yang berjudul ‘Old Buildings, New Forms: New Directions in Architectural Transformations’ (Bollack, 2013) terdapat lima tipe pendekatan adaptive reuse dalam pelestarian bangunan bersejarah diantaranya insertion, parasites, juxtapositions, wraps, dan weaving. Pada interior restoran Mbok Ndoro peneleti akan melihat tipe pendekatan arsitektural seperti apa yang digunakan melalui teori tersebut yang berkaitan juga dengan teori.

Diagram Pendekatan Adaptive Reuse Sumber: (Francoise Bollack, 2013)

(9)

• Insertions Dimana suatu struktur yang baru akan di ‘insert” yang berarti di masukannya ke dalam suatu struktur yang lama. Dengan pendekatan ini struktur interior berubah sepenuhnya dan digantikan dengan elemen desain yang baru bisa berupa beberapa bagian bahkan keseluruhan interior.

• Parasites Seperti layaknya mahluk hidup, parasit akan selalu menempel pada induknya mempunyai arti sebagai gaya arsitektur bersifat menyesuaikan terhadap bangunan lama. Sebagai bentuk pendukung struktural, terdapat ‘intersections’ antar struktur lama dengan yang baru. Dengan pendekatan ini bangunan akan menambah lebih ruang dari ruang eksisting.

• Juxtapositions Merupakan suatu tindakan menintrusi dengan menambahkan struktur atau massa bangunan yang baru dengan peletakan secara berdampingan atau berlawanan dengan struktur lamanya sementara massa bangunan yang baru memiliki kontribsi fungsi pada jarak tertentu. Bangunan lama akan tetap utuh tanpa ada perubahan struktur. Intrusi ini akan menghasilkan suatu kontras dari segi warna, material,dan tekstur. Namun akan tetap saling melengkapi dan menambahkan suatu nilai untuk keduannya.

• Wraps Konsep yang baru secara umum akan membungkus (wraps) suatu struktur desain yang lama dengan harapan dapat memproteksi eksterior bangunan lama dan menghasilkan bangunan dengan tampilan bentuk yang sama sekali berbeda.

• Weavings Pada intrusi desain (weavings) struktur yang baru akan terangkaikan (weaved) luar maupun dalam dengan struktur baru nantinya. Desain yang baru akan tidak terlihat mencolok. Pendekatan dibuat dengan mengubah beberapa elemen tertentu dari struktur eksisting dengan membiarkan beberapa bagian utuh sembari menambahkan elemen ke bagian lain, keduanya akan terikat membentuk desain yang menyatu.

Dengan meneliti tipe pendekatan adaptive reuse yang digunakan pada interior Mbok Ndoro sejalan dengan teori sebelumnya yaitu jenis kegiatan pelestarian dan mengetahui tingkat perubahanya (Highfield, 1987) yang akan menjadi landasan peneliti dalam menganalisis.

2.2.2. Tipe Pendekatan Interior

Interior menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan suatu bagian dalam gedung atau ruang, tatanan furnitur atau dekorasi di dalam ruang bagian dalam gedung.

(10)

Bila diartikan, desain interior adalah pernyataan awal yang di peruntukan untuk suatu ruangan atau suatu perencanaan dari bagian dalam suatu bangunan sehingga ruangan tersebut dapat menunjang aktivitas. Desain interior berarti suatu sistem atau cara pengaturan ruang dalam yang mampu memenuhi persyaratan kenyamanan,keamanan, kepuasan kebutuhan fisik dan spiritual bagi penggunanya tanpa mengabaikan faktor estetika (Suptandar, 1995). Unsur desain interior terdiri dari beberapa elemen yaitu:

Space (Ruang) yaitu objek dimensi yang memiliki batas dan ukurannya dapat mempengaruhi rasa bagi pengguna. Line (Garis) yaitu lurus, bergelombang, vertikal, horizontal, diagonal. Garis dapat menghasilkan bentuk dan menyampaikan pergerakan atau arah. Dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai kesan dan penekanan.

Form (Bentuk) yaitu merupakan benda/objek dua dimensi atau tiga dimensi (Ching, 2000). Dalam desain interior terdapat sebuah elemen-elemen pendukung yang membentuk sebuah ruang, dan elemen tersebut yaitu, lantai, dinding, langit-langit, artistik, bukaan, dan cahaya (Ching, 2000) :

1. Elemen Lantai

Lantai adalah elemen penting dalam suatu interior. Lantai adalah batas bawah yang mewakili sebuah interior. Lantai terbentang secara horizontal. Praktik yang dapat diaplikasikan pada lantai beragam, mulai dari penggunaan materialnya sampai perbedaan level pada lantainya.

2. Elemen Dinding

Dinding adalah salah satu elemen pembentukinterior yang pengaplikasiaannya sebagai pembatas. Dinding berupa elemen yang terbentang secara vertikal dan merupakan bidang terbesar dalam suatu ruang. Pengerjaan dinding harus dilakukan secara benar karena dinding merupakan bidang yang paling menonjol dalam suatu ruangan. Dinding dapat diterapkan dengan berbagai alternative material finishing, material pembentuk, pencahyaan dan sebagainya.

3. Elemen Ceiling/ Langit-Langit

Ceiling atau yang sering dikenal dengan langit-langit adalah pembatas pada interior antara elemen yang terbentang secara horizontal dan vertikal dan terdapat pada bagian teratas interior. Pengaplikasiaan ceiling yang benar dapat menimbulkan dampak yang lebih baik. Praktik ceiling itu sendiri dapat dengan berbagai material, perbedaan ketinggian dan penggunaan elemen-elemen bentuk didalamnya.

(11)

4. Elemen Artistik

Interior harus mengandung elemen artistik yang mengacu pada prinsip desain diantaranya skala, ruang, keseimbangan, harmoni ruang, kesatuan dan variasi ruang, irama ruang, penekanan ruang.

5. Elemen Bukaan

Bukaan yang dimaksud merupakan jendela, pintu, dan lubang sirkulasi udara.

Dengan adanya bukaan, maka akan terjadi sirkulasi udara yang efesien sehingga suatu ruangan akan menjadi nyaman dan sehat.

6. Elemen Cahaya

Cahaya adalah elemen interior yang tidak boleh ketinggalan. Cahaya disini dimaksudkan seperti penerangaan, tanpa adanya penerangan tidak akan ada kehidupan bagi mahluk hidup untuk melihat. Interior ruang membutuhkan pencahyaan yang cukup intensitasnya. Ambience ruang akan tercipta dengan adanya penerapan pencahyaan yang tepat.

Bermacam-macam hal yang dapat mempengaruhi perubahan suatu ruang yang seperti dijelaskan dalam buku How Buildings Learn (Brand, 1994), yaitu: Shearing layers terdiri dari:

Gambar 2.3. Shearing Layers Sumber: (Brand, 1994)

1. Site Merupakan letak geografis bangunan atau lokasi dimana suatu bangunan itu berada serta keterkaitan bangunan tersebut pada lingkungan sekitarnya

2. Structure Merupakan pondasi pada bangunan atau elemen penyalur beban pada bangunan yang memberi pengaruh terhadap keterbangunan bangunan

(12)

3. Skin Merupakan fasad sebuah bangunan yang termasuk dengan bagian eksterior bangunan.

4. Services Merupakan fasilitas-fasilitas penunjang untuk aktivitas manusia dalam bangunan tersebut, dapat berupa pemipaan, penghawaan, jaringan komunikasi dll.

5. Space Plan Merupakan layout interior atau tata letak ruang pada bangunan tersebut, yang terdiri dari lantai, dinding, jendela, langit-langit dan pintu.

6. Stuff Merupaka elemen-elemen berupa benda mati didalam ruangan yang 21 dapat dipindahkan dengan mudah seperti furniture meja, kursi, lemari dan sebagainnya.

(13)

BAB III METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Pendekatan Deduktif dengan Analisa Kualitatif.

Metode Pendekatan Deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus dengan tahap studi penelitian kepustakaan dan dilanjutkan dengan penelitian lapangan. Metode ini berfokus pada kesimpulan yang dapat diambil dari premis atau asumsi yang telah ditetapkan sebelumnya. Analisa kualitatif yaitu pendekatan dengan cara memandang objek kajian sebagai sistem, artinya objek kajian dilihat sebagai satuan yang terdiri dan unsur yang saling terkait dan mendiskripsikan fenomena fenomena yang ada. Dalam analisa kualitatif ini yang akan dikualitatifkan adalah objek kajian yang diamati berupa informasi-informasi yang berbentuk keterangan-keterangan bukan angka-angka.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan Data yang dikumpulkan pada penelitian ini didasarkan pada data primer, data primer diperoleh dengan cara Wawancara dan Observasi. Dimana wawancara adalah langkah awal kegiatan dalam menggali informasi atau history terhadap objek penelitian , sedangkan dengan Observasi adalah suatu kegiatan biasanya dilakukan dengan meninjau, mengawasi dan meneliti suatu obyek, hingga mendapat data yang sifatnya valid.

3.3. Alat Penelitian

Dalam penelitian ini, berbagai alat digunakan untuk mendukung proses pengumpulan data dan analisis yang diperlukan dalam penerapan konsep Adabtive Reuse. Alat-alat yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Kamera Digital

Kamera digunakan untuk mendokumentasikan kondisi disekitar objek penelitian. Foto-foto ini penting untuk melakukan analisis visual dan spasial yang mendetail terkait potensi tapak dan penerapan Konsep adabtive reuse.

b. Alat Ukur (Pengukur Jarak, GPS, Theodolite)

Alat ukur digunakan selama observasi lapangan untuk mengukur dimensi tapak, topografi, dan jarak antar elemen fisik di lokasi. GPS (Global Positioning System) digunakan untuk menentukan koordinat geografis tapak dengan akurasi tinggi, sementara theodolite

(14)

digunakan untuk mengukur kemiringan dan sudut pada tapak yang memiliki kontur tidak rata.

c. Peta Tapak dan Peta Topografi

Peta-peta ini digunakan untuk menganalisis potensi lokasi dari segi tata ruang, orientasi, dan karakteristik fisik. Peta topografi memungkinkan peneliti untuk melihat kontur dan elevasi tapak, sehingga dapat disesuaikan dengan konsep arsitektur metafora yang akan diterapkan pada desain.

d. Alat Tulis dan Buku Catatan

Alat tulis dan buku catatan digunakan untuk mencatat hasil observasi lapangan, wawancara, serta ide-ide atau konsep desain yang muncul selama proses penelitian. Catatan ini menjadi referensi penting saat memasuki tahap pengembangan konsep desain.

e. Alat Perekam Suara

Alat ini digunakan selama wawancara dengan para stakeholder dan masyarakat lokal.

Perekaman suara memastikan tidak ada informasi penting yang terlewat selama proses wawancara, sehingga semua data dapat diolah dengan akurat pada tahap analisis

3.4. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam menganalisa data adalah Wawancara dan analisis data kualitatif. Di sebut data kualitatif adalah yang selain angka-angka, seperti cerita (narasi), dokumen, foto, vidio, rekaman suara dan lain-lain. Dimana dalam menganalisa masalah yang ada digunakan metoda kualitatif dengan pengamatan langsung ke Objek Penelitian dan mewancarai pemilik bangunan / pengelola bangunan.

3.5. Metode Penyajian Data

Dalam penelitian penerapan konsep Adabtive reuse cagar budaya di Kota Payakumbuh setelah data dikumpulkan data selanjutnya adalah penyajian data, dimana dalam penyajian data ini merupakan penyajian sekumpulan informasi yang nantinya bisa diambil kesimpulan dari penelitian tersebut. Penelitian ini penyajian datanya dapat dilakukan dalam bentuk uraian naratif, tabel-tabel dan gambar-gambar (foto, peta). penyajian data dalam bentuk tersebut mempermudah peneliti dalam memahami apa yang terjadi. Dalam penyajian data tersebut peneliti berusaha menyusun data yang relevan sehingga informasi yang didapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu dalam menjawab permasalahan yang ada di kawasan penelitian.

Penyajian data yang baik dan terstruktur merupakan hal yang penting dalam mencapai analisis kulitatif yang handal dan valid. Untuk menyajikan data ini tidak semata-mata mendeskripsikan

(15)

secara naratif, tetapi di sertai proses dari analisis yang terus menerus sampai kepada proses penarikan kesimpulan.

3.6. Jadwal Penelitian

Penelitian ini direncanakan selesai selama 5 bulan mulai dari tahap persiapan sampai tahap Penerepan Konsep Adabtive Reuse. Untuk lebih jelasnya jadwal penelitian dan jadwal penyusunan Tesis dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

I TAHAP PERSIAPAN a. Pendalaman Judul b. Pemilihan Lokasi Studi c. Pemilihan Studi Literatur

II TAHAP IDENTIFIKASI KAWASANDANIDENTIFIKASI MASALAH a. Identifikasi Eksisting Kawasan Studi

b. Identifikasi Eksiting Masalah Kawasan Studi c. Wawancara

d. Pengumpulan data Sekunder

III TAHAP PENERAPAN KONSEP ADABTIVE REUSE a. Analisis Eksisting Kawasan Penelitian b. Penerapan Konsep

IV LAPORAN FINAL

JADWAL

No. KEGIATAN Oktober November Desember Januari Februari

Referensi

Dokumen terkait

Budaya di Daerah Kabupaten Banjar, yang dapat menjadi pedoman dalam tata kelola pelestarian dan pemanfaatan terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar

Rekomendasi bagi konsep pelestarian adalah upaya pemeliharaan bangunan cagar budaya dengan mempertahankan keaslian bangunan kuno kawasan Pabrik Gula Kebon Agung berjumlah

Dalam memperkuat karakteristik dan mempertahankan keunggulan bangunan lama terhadap bangunan baru diterapkan 5 konsep dasar yang terdapat pada tema adaptive reuse,

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yang melingkupi benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar

Penelitian ini juga menghasilkan rancangan strategi pengembangan dan pemanfaatan bangunan Indis berupa penetapan Kawasan Cagar Budaya dan Bangunan Cagar Budaya, insentif

PENENTUAN KRITERIA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN KAWASAN CAGAR BUDAYA BERDASARKAN PADA TINGKAT PERUBAHAN FISIK DAN LINGKUNGAN YANG TERJADI DI KAMPUNG PENELEH

Konsep wisata citywalk merupakan salah satu konsep yang sesuai untuk dikembangkan di kawasan cagar budaya Kotabaru.. Namun dalam pengembangan wisata ini kawasan cagar budaya Kotabaru

Terdapat 3 indikator penting dari kriteria pengelolaan dan pelestarian kawasan cagar budaya di Kota Lama Tangerang yang belum terimplentasikan dengan baik yaitu: 1 pembinaan kawasan