• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA (Study Putusan Nomor : 276/Pid.Sus/2021/PN. Spt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA (Study Putusan Nomor : 276/Pid.Sus/2021/PN. Spt)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG

MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA (Study Putusan Nomor : 276/Pid.Sus/2021/PN. Spt)

TESIS

Oleh :

RAHMI AMALIA

NIM : 20302100191 Konsentrasi : Hukum Pidana

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2023

(2)

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG

MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA (Study Putusan Nomor : 276/Pid.Sus/2021/PN. Spt)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh :

RAHMI AMALIA

NIM : 20302100191 Konsentrasi : Hukum Pidana

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2023

(3)
(4)
(5)

v

(6)

vi

(7)

MOTTO

“KELUARGA ADALAH TEMPAT TERBAIK UNTUK KITA BELAJAR TENTANG SEBUAH PENGORBANAN”

(8)

PERSEMBAHAN

Hasil karya penelitian berupa Tesis ini kami persembahkan kepada :

1. Bapak dan Ibu saya tercinta yang selalu mendoakan, selalu memberikan motivasi, dukungan agar bisa menyelesaikan pendidikan Magister (S2) Ilmu Hukum secara baik.

2. Suami dan Putriku tersayang yang selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan pendidikan melalui Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

3. Almamater seperjuangan dan Sivitas Akademika Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang khususnya untuk Program Magister (S2) Ilmu Hukum yang berkesempatan bisa belajar menimba ilmu.

(9)

ABSTRAK

Pokok permasalahan mengenai Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri Sampit, Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri Sampit.

Metode pendekatan yang digunakan dengan pendekatan yuridis sosiologis mengindentifikasi dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang rill dan fungsional dalam sistem kehidupan yang nyata dengan Teori Pemidanaan dan Teori Bekerjanya Hukum terhadap permasalahan yang diteliti.

Hasil penelitian penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri Sampit berdasarkan fakta-fakta terungkap dalam persidangan baik keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, surat, barang bukti dan Keterangan Terdakwa dimana satu dengan lainnya saling berhubungan dan bersesuaian terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) Tahun. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri Sampit semua unsur-unsur Pasal 44 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah terpenuhi.

Pertimbangan Non Yuridis: keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan.

Kata Kunci : Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Putusan, Korban.

(10)

ABSTRAK

The main problem regarding the application of criminal sanctions against the perpetrators of domestic violence which caused the victim to die at the Sampit District Court, the basis for the judge's considerations in imposing a sentence on the perpetrators of domestic violence which caused the victim to die at the Sampit District Court.

The approach method used is the sociological juridical approach to identify and conceptualize law as a real and functional social institution in a real life system with the Criminal Theory and the Working Theory of Law on the problems studied.

The results of the study show that the application of criminal sanctions to the perpetrators of domestic violence which caused the victim to die at the Sampit District Court is based on the facts revealed in the trial, both the statements of witnesses, the statements of the accused, letters, evidence and the statements of the accused where one with the other interconnected and appropriate, the defendant was sentenced to imprisonment for 3 (three) years. The basis for the judge's consideration in imposing a sentence on the perpetrator of the crime of domestic violence which caused the victim to die at the Sampit District Court all the elements of Article 44 paragraph (3) of the Republic of Indonesia Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence have been fulfilled. Non Juridical Considerations: aggravating and mitigating circumstances.

Keywords: Domestic Violence, Decision, Victims.

(11)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh.

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT telah memberikan rahmat, taufik dan karunianya. Selawat serta salam atas junjungan besar Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wassalam telah membawa kita dari alam kejahilan kepada alam penuh dengan ilmu pengetahuan. Dengan izin Allah yang telah memberikan kesempatan untuk peneliti menyelesaikan sebuah Tesis berjudul : PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA. Karya sangat sederhana dalam rangka melengkapi persyaratan menyelesaikan Magister (S2) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

Kami menyadari bahwa dalam penelitian terdapat banyak hambatan dan rintangan dihadapi. Namun kesemuanya itu dapat diatasi berkat bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak yang sudah memberikan kontribusi baik dukungan, semangat, bimbingan serta saran dan masukan sehingga tesis dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt, M.Hum Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

3. Dr. Denny Suwondo, S.H., M.H Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

(12)

4. Dr. Denny Suwondo, S.H., M.H Dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta petunjuk dalam penyusunan tesis, sehingga bisa terselesaikan secara baik.

5. Seluruh Dosen Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

6. Segenap Sivitas Akademika Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

7. Teman-teman seangkatan Mahasiswa Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

Akhir kata kami menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami memohon saran dan kritik sifatnya membangun demi kesempurnaan dan semoga tesis in dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang, Juli 2023

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL... i

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...………... iii

HALAMAN PENGESAHAN………. vi

HALAMAN MOTTO……….. v

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. vi

ABSTRAK………... vii

ABSTRAK…………. viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………... ix

KATA PENGANTAR………. x

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.……….. xii

DAFTAR ISI... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang Masalah... 1

2. B. Rumusan Masalah... 10

3. C. Tujuan Penelitian... 10

4. D. Manfaat Penelitian………... 11

5. E. Kerangka Konseptual... 11

6. F. Kerangka Teoritis…... 17

7. G. Metode Penelitian... 22

1. Jenis Penelitian ………... 22

2. Pendekatan Penelitian ……… 23

3. Spesifikasi Penelitian ... 23

4. Sumber Data ………... 24

5. Metode Pengumpulan Data... 25

6. Metode Analisis Data... 27

H. Sistematika Penulisan Tesis ... 28 BAB II KAJIAN PUSTAKA

(14)

A. Tindak Pidana, Kesengajaan, dan Ketidaksengajaan (Dolus Culpa) Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga …………..

1. Pengertian Tindak Pidana ………...

2. Unsur-unsur Tindak Pidana ………..

3. Jenis-jenis Tindak Pidana ……….

4. Subyek Tindak Pidana ………..

5. Kesengajaan, dan Ketidaksengajaan ……….

30 30 31 32 33 34 B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia ……….

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga …………...

2. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………...

3. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………...

37 37 41 44 C. Pengaturan Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………

1. Pengertian Perlindungan ………...

2. Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga …………..

3. Bentuk Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………

48 48 50

52 D. Pengaturan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan

Putusan...

1. Pertimbangan yang bersifat yuridis ………..

2. Pertimbangan bersifat sosiologis ………..

3. Bentuk-bentuk Putusan dalam Perkara Pidana ……….

53 53 55 56 E. Pengaturan Kekerasan Dalam Rumah Tangga perspektif

Hukum Islam ………..

1. Pandangan Hukum Islam terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga ……….

2. Macam-macam jarimah dalam Islam ………...

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Menurut Hukum Islam ……...

59

59 62 64 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(15)

A. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri Sampit ……….. 66 B. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri

Sampit..……… 85

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sehingga segala perbuatan warga Indonesia harus berlandaskan hukum. Selain itu, Negara Indonesia juga menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dengan tidak ada pengecualian. Sedangkan sistem hukum negera Indonesia menganut sistem hukum gabungan dari sistem hukum adat, sistem hukum Eropa dan sistem hukum agama. Sebagian banyak sistem yang dianut negara Indonesia berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Pemerintahan Kolonial Belanda karena sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan Belanda.1

Ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dapat dikatakan maksud dari perkawinan itu sendiri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia lahir dan batin. Sedangkan manusia makhluk yang istimewa diberkahi Tuhan berbagai keutamaan. Salah satu keutamaan manusia atau perbedaan

1 Hartanto, Margo Hadi Pura, M. Holyone N. Singadimedja, 2017, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Cakrawala Cendekia, Karawang, hlm.116-117.

(17)

dengan makhluk lainnya, manusia diberi akal untuk berpikir dan memiliki sifat ingin tahu (man is corious animals). Melalui proses berpikir manusia akan selalu berusaha untuk mengetahui apa yang dia tidak diketahui di alam semesta ini.2

Untuk membangun sebuah rumah tangga yang baik, perlu kerjasama kedua belah pihak suami dan istri mewujudkan keutuhan dan kerukunan. Hal ini sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga. Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, antara suami dengan istri mempunyai kewajiban disamping hak-hak didalam melangsungkan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai itu sendiri merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga dan keluarga.3 Namun tidak selamanya tujuan perkawinan dalam berumah tangga tersebut tercapai, salah satu penyebabnya adalah, adanya salah satu pihak yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap pihak lainnya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat digolongkan sebagai tindak pidana yang disebut Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga.4

Adanya perbuatan kekerasan dalam rumah tangga bukanlah hal baru, akan tetapi selama ini sering dirahasiakan atau ditutup-tutupi oleh pihak yang bersangkutan, baik itu oleh keluarga maupun oleh korban sendiri. Perbuatan tindak kekerasan dalam rumah tangga, umumnya melibatkan pelaku dan korban

2 Saefullah Wiradipradja, 2015, Penuntutan Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Keni Media, Bandung, hlm.3

3 Emei Dwinanarhati Setiamandani, Agung Suprojo, Tinjauan Yuridis Terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Reformasi: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 1 Tahun 2018, hlm.37

4 Rodliyah dan Salim HS, 2017, Hukum Pidana Khusus (Unsur dan Sanksi Pidananya), Rajawali Pers, Depok, hlm.239

(18)

diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga. Bentuk kekerasan biasa berupa kekerasan fisik, dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).5 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak saja melanggar prinsip-prinsip hukum, Hak Asasi Manusia serta norma sosial, tetapi juga melanggar prinsip dan nilai sebagaimana diajarkan oleh agama. Setiap agama kepercayaan tidak merestui kekerasan yang dilakukan siapapun dalam rumah tangga, bentuk dan dengan alasan apapun.6 Meskipun perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sudah ada sejak zaman dahulu seiring dengan pembentukkan rumah tangga itu sendiri.

Menurut Arif Gosita dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tindakan melawan hukum dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang lain baik untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain, menimbulkan penderitaan fisik, psikis dan sosial.7 Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga mengandung sesuatu yang khusus, kekhususan tersebut terletak pada hubungan antara pelaku dan korban yaitu hubungan keluarga atau hubungan pekerjaan (antara majikan dan asisten rumah tangga).8 Sedangkan kekerasan dalam rumah tangga sering disebut kejahatan yang tersembunyi (hidden crime), dikarenakan baik pelaku ataupun korban berusaha merahasikan kejadian tersebut dari masyarakat. Terkadang disebut domestic violence (kekerasan domestik) karena terjadinya kekerasan di ranah domestik.9 Penyebab

5 Telly P. Siwi Zaidan, Antisipasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makalah, Jakarta, hlm.3

6 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, 2013, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, hlm.38

7 Guse Prayudi, 2011, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam rumah Tangga, MerkidPress, Jakarta, hlm.1

8 Moerti Hadiati Soeroso, 2012, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Dalam Perspektif Yuridis- Viktimologi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.13

9 Ibid,

(19)

Kekerasan dalam Rumah Tangga lainnya adalah kemiskinan di mana pria merasa tidak memiliki power di dalam keluarga. Konflik dalam pekerjaan juga memicu stres yang membuat pria merasa harus mampu mengontrol waniti di rumah. Pria yang lain melakukan kekerasan di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol, meskipun substansi dari obat-obatan itu sendiri bukan penyebab kekerasannya.10

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa :

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman dalam lingkup rumah tangga. Ruang lingkup rumah tangga meliputi:

1. Suami, istri, dan anak

2. Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

10 Mery Ramadani, Fitri Yuliani, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sebagai Salah Satu Isu Kesehatan Masyarakat Secara Global, Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, Volume 9, Nomor 5, Tahun 2015, hlm.83.

(20)

Penjelasan uraian diatas dapat disimpulkan perbuatan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan perbuatan Tindak pidana yang sering terjadi bukan hanya lingkup luar kehidupan masyarakat, akan tetapi juga terjadi dalam kehidupan rumah tangga.11 Sesuai pendapat Chairul Chuda tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sifat-sifat orang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain yaitu pertanggungjawaban pidana.12 Pendapat Moeljatno mengatakan bahwa Tindak pidana perbuatan dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.13

Hukum pidana berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana telah dikodifikasi, yaitu sebagian besar dan aturan-aturannya telah disusun dalam kitab undang-undang (wetboek) yang dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu. Aturan-aturan pidana yang ada di luar wetboek ini semuanya tunduk pada sistem yang dipakai dalam Kitab

11 Badriyah Khaleed, 2015, Penyelesaian Hukum KDRT: Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Upaya Pemulihannya, Madpress Digital, Yogyakarta, hlm.1

12 Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.17

13 Ibid,

(21)

Undang-undang Hukum Pidana, hal ini tercantum pada Pasal 103 KUHP. Istilah hukum pidana sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan Straf dalam Bahasa Belanda. Untuk menyebutkan jenis-jenis sanksi dalam hukum pidana, pemakaian istilah hukuman cenderung diikuti oleh kalangan praktek dan masyarakat awam sehingga sering didengar istilah hukuman mati, hukuman penjara.

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam keluarga khususnya kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap istri adalah sangat dibutuhkan dan merupakan tuntutan Hak Asasi Manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan:

Bahwa Hak Asasi Manusia adalah seprangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan dilindungi oleh negara. Hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Undang-undang ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan melakukan kekerasan terhadap orang lain khususnya suami dilarang melakukan kekerasan terhadap istri, karena bertentangan dengan HAM juga peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, disamping itu Negara wajib memberikan perlindungan terhadap korban atas kekerasan yang dialaminya.

Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam keluarga khususnya kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri, dapat berbentuk pertanggung jawaban perdata juga pertanggung jawaban pidana dengan penerapan sanksi penal dan non penal, sehingga penegakan hukum dan perlindungan hukum itu tidak saja melihat pada aspek yuridis semata akan tetapi juga keadilan bagi korban kekerasan khususnya istri. Dalam kaitan ini

(22)

perlindungan hukum diartikan sebagai kegiatan untuk menjamin dan melindungi subjek hukum dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat sebagai subjek hukum serta mendapat perlindungan dari kekerasan.14

Setelah lahirnya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 sangat jelas diatur perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam keluarga khususnya istri sebagai korban kekerasan suami dimana perlindungan hukum itu sendiri merupakan hak korban kekerasan yang harus diberikan oleh pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga sosial. Hak tersebut jelas disebutkan pada Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan: Korban berhak mendapatkan :

Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau phak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penerapan perintah perlindungan dari pengadilan, Perlindungan hukum adalah seluruh rangkaian kegiatan, proses yang diberikan hukum dalam melindungi anak sebagai korban kekerasan orang tua dalam keluarga.

Korban adalah pihak-pihak yang menderita atau dirugikan pihak orang tua, yaitu orang yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan dalam keluarga.

Upaya mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk

14 Sentosa Sembiring, 2003, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Nuansa Aulia, Bandung, hlm.134

(23)

diskriminasi. Maraknya kekerasan atau kejahatan yang terjadi maka diharapkan hukum menjadi tombak perisai dalam memberantas atau mengatasi segala bentuk kekerasan ataupun kejahatan yang terjadi dimasyarakat.15

Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum pemberian pengayoman terhadap hak asasi manusia dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak diberikan oleh hukum.

Hukum juga dapat digunakan untuk untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, malainkan prediktif dan antisipatif.

Hukum dibutuhkan bagi masyarakat yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.16

Kasus tindak pidana melakukan kekerasan Fisik dalam lingkup Rumah tangga yang mengakibatkan Matinya Korban terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sampit yang telah mendapatkan putusan tetap dengan Putusan Nomor : 276/Pid.Sus/2021/PN Spt. Adapun kronologis kejadian :

Terdakwa dan korban SU Binti KA merupakan Suami istri telah dikarunia 3 (tiga) orang Anak. Pada hari kamis tanggal 27 Mei 2021, saat terdakwa dan Korban SU Binti KA berangkat dari Perumahan karyawan jalur D Nomor 07 PT. MAP Barat Desa Penyang Kecamatan telawang Kabupaten Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah menuju ke Desa Samuda Kota untuk menghadiri acara tahlilan Orang tua Korban SU Binti KA.

Keesokkan harinya keponakan terdakwa Ada yang Mau menikah, dan saat itu terdakwa Meminta Kepada Korban SU Binti KA untuk membantu dan menghadiri acara pernikahan Keponakan Terdakwa, namun saat itu korban SU Binti KA tidak mau, dan Bersikeras Untuk pulang ke rumah yang berada di Perumahan karyawan jalur D Nomor 07 PT. MAP Barat Desa Penyang Kecamatan telawang Kabupaten Kotawaringin Timur Propinsi Kalimantan Tengah, bahwa sejak Saat itu antara terdakwa dan korban SU Binti KA sering bertengkar.

Pada hari Jumat tanggal 4 Juni 2021 sekira Pukul 08.00 WIb korban SU Binti KA berpamitan mau Memancing ikan, dan saat itu terdakwa sedang

15 Rena Yulia, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha, Yogyakarta, h.3-4.

16 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.53

(24)

berada dirumah dan sedang memperbaiki Vanbel Quick, lalu pada pukul 08.30 Wib terdakwa berangkat Bekerja kelahan Blok F23/24 hingga pukul 11.00 WIb, setelah itu terdakwa Pulang kerumah, kemudian mengemudikan Sepeda Motor Revo milik terdakwa untuk menyusul korban SU Binti KA yang sedang memancing di Areal perkebunan yang berada di Blok B.

Terdakwa Melintas di Blok 14 saat itu terdakwa Melihat Sepeda Motor Honda beat Warna Merah dengan Nomor Polisi KH 3185 LG milik korban SU Binti KA. Terdakwa Memarkir sepeda Motor miliknya dan Menemui korban SU Binti KA. Saat terdakwa Menemui korban susiani, terdakwa mendekat sambil bertanya “ oleh lah (dapat lah) dan di jawab oleh korban SU Binti KA “ngapain kamu kesini” mendengar jawaban korban selanjutnya terdakwa Mendekati korban SU Binti KA , dan saat mendekati korban SU Binti KA, tiba-tiba terdakwa tonjok korban SU Binti KA menggunakan tangan kanan dan mengenai dada terdakwa, setelah itu korban SU Binti KA menonjok pipi terdakwa, selanjutnya terjadi Pertengkaran dimana korban menyerang terdakwa namun dapat ditangkis oleh terdakwa, dan terdakwa memukul bagian dada korban, setelah itu terdakwa tertunduk namun dapat berdiri tegak Kembali dan Kembali Memukul terdakwa, selanjutnya terdakwa mengambil Pisau yang berada di dalam tas (bakul) milik korban dengan menggunakan tangan Kiri Sambil membacokkan pisau kearah kepala korban, setelah itu korban tertunduk dan saat posisi tertunduk tersebut terdakwa kembali Membacok kan pisau yang dipegangnya Berulang kali kearah bagian kepala Sebelah kiri dan kanan Hingga korban bersimbah darah lalu korban tersungkur ketanah dan tidak bergerak, setelah itu terdakwa Menuju kearah salah satu pohon kelapa sawit yang berada disekitar tempat kejadian lalu menancapkan Pisau ke Pohon, namun pisaunya terlepas dan jatuh ke parit dan hanya tinggal gagangnya saja, selanjutnya gagang pisau tersebut di lempar keparit.

Setelah itu, terdakwa mendorong tubuh korban ke dalam parit yang berada di dalam Areal perkebunan. Setelah Mendorong tubuh korban ke parit terdakwa mengambil tas (bakul) milik korban dan mengambil air dari parit untuk darah korban yang berada di tanah agar terlihat Bersih dan tidak adan Bekas Darahnya, setelah itu terdakwa Mengambil daun pelepah Sawit Kering yang digunakan Untuk menutup tubuh Korban yang berada di dalam parit dengan tujuan agar tidak kelihatan, selanjutnya terdakwa pulang sambil membawa tas (bakul) yang berisi kerudung korban, dan sekitar 7 meter berjalan terdakwa Melempar Tas(bakul) kearah Blok sawit, selanjutnya terdakwa mengemudikan Sepeda Motor Revo miliknya untuk berputar putar dikawasan Perumahan Karyawan hingga pukul 13.00 WIb. setelah itu terdakwa Kembali bekerja dan Pada Pukul 16.30 Wib terdakwa Pulang kerumah, saat tiba dirumah anak terdakwa yaitu saksi LS mengatakan kalua Korban belum Pulang, selanjutnya terdakwa berpura-pura mencari korban dibantu dengan karyawan Perusahaan dan pada hari sabtu tanggal 5 Juni 2021 Sekira Pukul 08.30 WIb korban ditemukan dalam keadaan Sudah meninggal Dunia.

(25)

Uraian peristiwa kejadian tersebut, dari kasus ini menjadi latar belakang penulis tertarik untuk meneliti berupa tesis dengan judul: “PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian terdapat pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan :

1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia?

2. Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Rumah tangga dimasa depan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan dalam rumah tangga dimasa depan.

D. Manfaat Penelitian

(26)

Penelitian bermanfaat bagi :

1. Akademisi, secara teoritis dapat bermanfaat sumbangan pemikiran sebagai pembaharuan hukum dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia.

2. Praktisi, dapat bermanfaat bagi Aparat Penegak Hukum, Polisi, Jaksa, Hakim sebagai pertimbangan dalam melakukan penegakan hukum terhadap penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia.

E. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari kesalah pahaman dalam penulisan, maka dapat dijelaskan kerangka konseptual :

1. Penerapan

Penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.17 Menurut Usman penerapan (implementasi) adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem.Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.18 Menurut Setiawan penerapan (implementasi) adalah perluasan aktivitas yang saling

17 Peter Salim dan Yenny Salim, 2002, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer , Modern English Perss, Jakarta, hlm.15

18Usman dan Nurdin, 2002, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.69

(27)

menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kata penerapan (implementasi) bermuara pada aktifitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu system. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa penerapan (implementasi) bukan sekedar aktifitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

2. Sanksi Pidana

Sanksi dalam Hukum Pidana adalah semua reaksi terhadap pelangaran hukum yang ditentukan Undang-Undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim.

Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap sebagai suatu pidana. Dengan demikian, apa pun jenis dan bentuk sanksi yang akan ditetapkan, Tujuan pemidanaanya harus menjadi patokan. Karena itu, Harus ada kesamaan pandangan atau pemahaman pada tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan/atau tindakan itu sendiri. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.

Bentuk-bentuk sanksi ini pun bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan

(28)

barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.19 3. Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman”. Tindak pidana dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya :

a. Tindak pidana forrmil, adalah suatu perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam pasal Undang-Undang yang bersangkutan. Misalnya pencurian adalah perbuatan yang sesuai dengan rumusan Pasal 362 KUHP, yaitu mengambil barang milik orang lain dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum. Dikatakan delik formil apabila perbuatan mengambil barang itu sudah selesai dilakukan dan dengan maksud hendak dimiliki.

b. Tindak pidana materiil, adalah suatu perbuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Misalnya dalam hal pembunuhan yang dianggap sebagai delik adalah matinya seseorang

19 Ali Mahrus, 2007, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.193

(29)

yang merupakan akibat dari perbuatan seseorang. Perbuatannya sendiri dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara.20

Subjek perbuatan pidana yang diakui oleh KUHP adalah manusia.

Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidana adalah manusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delik dalam KUHP yang dimulai dengan kata-kata “barang siapa”. Kata “barang siapa” jelas menunjuk pada orang atau manusia, bukan badan hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia”.21

Masalah pelaku (dader) diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Untuk jelasnya, perlu dicermati pasal-pasal tersebut. Pasal 55 KUHP berbunyi sebagai berikut :

1) Dihukum sebagai pelaku suatu tindak pidana :

a) mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu.

b) mereka yang dengan memberi, menjanjikan sesuatu, salah memakai kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

20 Yulies Tiena Masriani, 2005, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.63

21 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.111

(30)

2) Terhadap orang-orang yang disebutkan belakangan, hanyalah perbuatan yang dibujuk dengan sengaja yang diperhitungkan, beserta akibatakibatnya. Pasal 56 KUHP berbunyi : “Dipidana sebagai pembantu kejahatan :

a) mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan.

b) mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Pasal 56 KUHP berbunyi : “Dipidana sebagai pembantu kejahatan : a) mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan

dilakukan.

b) mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Rumusan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP tersebut, terdapat lima peranan pelaku, yaitu :

a) Orang yang melakukan (dader or doer)

b) Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger) c) Orang yang turut serta melakukan (mededader) d) Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)

e) Orang yang membantu melakukan (medeplichtige) 4. Tindak Pidana Kekerasan Rumah Tangga

Pengertian kekerasan dalam hukum pidana dapat dilihat pada Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Membuat orang

(31)

pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan kekerasan. Berdasarkan bunyi Pasal 89 tersebut, pengertian kekerasan tidak dinyatakan secara tegas.

Kekerasan hanya diartikan sebagai bentuk perbuatan yang menimbulkan keadaan seseorang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Hal ini berarti kekerasan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana lebih dikaitkan kepada akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang, dan perbuatan tersebut dalam hukum pidana terkait dengan ancaman, bentuk kekerasan dapat berupa fisik maupun non fisik.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menjelaskan pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah

Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Definisi yang terdapat dalam Undang-Undang PKDRT tersebut pada pokoknya ditujukan kepada perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi kepada laki-laki sebagai korban.

F. Kerangka Teoritis

Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teori Pemidanaan

(32)

Teori pemidanaan dapat digolongkan dala tiga golongan pokok yaitu golongan teori pembalasan, golonngan teori tujuan, dan golongan teori gabungan. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

a. Teori Pembalasan

Teori pembalasan atau juga bisa disebut dengan teori absolut adalah dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi orang lain maka sipelaku kejahatan pembalasannya adalah harus diberikan penderitaan juga.22 Teori pembalasan ini menyetujui pemidanaan karna seseorang telah berbuat tindak pidana. Pencetus teori ini adalah Imanuel Kant yang mengatakan

Fiat justitia ruat coelum” yang maksudnya walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat terakhir harus tetap menjalakan pidananya. Kant mendasarkan teori ini berdasarkan prinsip moral dan etika. Pencetus lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan.

Sedangkan menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.23 Jadi dalam teori ini adalah pembalasan itu ditujukan untuk memberikan sebuah hukuman kepada pelaku pidana yang mana nantinya akan memberikan efek jera dan ketakutan untuk mengulangi perbuatan pidana

22 Leden Marpaung, 2012, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.105

23 Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.142

(33)

tersebut. Teori pembalasan atau teori absolut dibagi dalam dua macam, yaitu:

1) Teori pembalasan yang objektif, berorientasi pada pemenuhan kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam hal ini perbuatan pelaku pidana harus dibalas dengan pidana yang berupa suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yg diakibatkan oleh si pelaku pidana.

2) Teori pembalasan subjektif, berorientasi pada pelaku pidana.

Menurut teori ini kesalahan si pelaku kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yg besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.24

b. Teori Tujuan

Teori Tujuan pemidanaan dilaksanakan untuk memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan kejahatan tersebut. Dalam hal ini teori ini juga dapat diartikan sebagai pencegahan terjadinya kejaatan dan sebagai perlindungan terhadap masyarakat. Penganjur teori ini yaitu Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan “ hanya dengan mengadakan ancaman pidana pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan pemjatuhan pidana kepada si penjahat.”25 Mengenai tujuan – tuujuan itu

24 Ibid,

25 Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.145

(34)

terdapat tiga teori yaitu : untuk menakuti, untuk memperbaiki, dan untuk melindungi. Yang dijelaskan sebagai berikut :

1) Untuk menakuti.

Teori dari Anselm van Feurbach, hukuman itu harus diberikan sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk melakukan kejahatan.

Akibat dari teori itu ialah hukuman yang diberikan harus seberat – beratnya dan bisa saja berupa siksaan.

2) Untuk memperbaiki.

Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si terhukum sehingga sehingga di kemudian hari ia menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar peraturan hukum.

3) Untuk melindungi.

Tujuan pemidanaan yaitu melindungi masyarakat terhadap perbuatan kejahatan. Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk semntara, maka masyarakat akan diberikan rasa aman dan merasa di lindungi oleh orang- orang yang berbuat jahat tersebut.26

Teori tujuan yang lebih modern dengan teori pencegahan yang khusus.

Menurut Frans von Liszt, van Hamel, dan D. Simons bependapat :

“Bahwa untuk menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan yang mengandung larangan dan keharusan peratuaran dimaksudkan untuk mengatur hubungan antar individu di dalam masyarakat, membatasi hak perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tenteram. Untuk itu Negara menjamin agar peraturan-

26 Ibid,

(35)

peraturan senantiasa dipatuhi masyarakat dengan memberi hukuman bagi pelanggar.”27

c. Teori Gabungan

Teori gabungan ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat secara terpadu. Artinya penjatuhan pidana beralasan pada dua alasan yaitu sebagai suatu pembalasan dan sebagai ketertiban bagi masyarakat.28 Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalsan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya diperthankan tat tertib masyarakat.

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyrakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana.29

Teori gabungan yang menitik beratkan pada pembalasan ini didukung oleh Zevenbergen yang bependpat bahwa :

“Makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tat tertib hukum, sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu pidana baru dijatuhkan jika jika memang tidak ada jalan lain untuk memperthankan tata tertib hukum itu”.30

27 Leden Marpaung, 2012, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.107

28 Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.19

29 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Grafindo Persada, Jakarta, hlm.162

30 Ibid,

(36)

Jadi menitik beratkan pada pembalasan itu artinya memberikan hukuman atau pembalsan kepada penjahat dengan tujuan untuk menjaga tata tertib hukum agar supaya dimana masyarakat ataupun kepentingan umumnya dapat terlindungi dan terjamin dari tindak pidana kejahatan.

2. Teori Bekerjanya Hukum William Chambliss dan Robert B.Seidman Teori ini dikemukakan oleh William Chamblis dan Robert B. Seidman.

Berdasarkan teori ini, bekerjanya hukum dalam masyarakat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, lembaga-lembaga pembuat hukum dan lembagalembaga pelaksana hukum. Oleh karena itu bekerjanya hukum tidak bisa dimonopoli oleh hukum. Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama, karena teori ini berkaitan dengan lembaga-lembaga pembuat hukum, penegak hukum, maupun kekuatan-kekuatan sosial, antara lain politik budaya masyarakat. Kekuatan-kekuatan sosial itulah yang kemudian menyebabkan hukum mengalami dinamika.31

Bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi dogmatis dan sisi sosiologis. Dari sisi dogmatis, di mana bekerjanya hukum dihubungkan dengan masalah penerapan hukum, penafsiran hukum, pembuatan kontruksi hukum dan sebagainya. Dari segi sosiologis , bekerjanya hukum dapat dilihat dari peran manusia yang menjadi perantara masuknya dalam sebuah masyarakat. Manusia sebagai aktor yang membawa hukum dalam masyarakat mengakibatkan hukum terpengaruh oleh subyektivitas yang dimiliki manusia itu sendiri. Hukum tidak lagi dipandang

31 William J.Camblis dan Robert B. Seidman, 1971, Law, Order, and Power, Reading, Mess Addison, Wesly, hlm.112

(37)

sebagai sesuatu yang otonom dan obyektif, melainkan sesuatu yang subyektif dan heterogen.

Menurut Teori Chamblis dan Seidman tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor- faktor tersebut meliputi masyarakat itu sendiri. Masyarakat sebagai pemegang peran diharapkan mampu bertindak sesuai dengan peraturan yang ada , yang telah memberikan petunjuk kepadanya. Sedangkan lembaga pembuat aturan dan penerapan sanksi lebih bertindak sebagai pengontrol dan sekaligus merespons fungsi dan aturan tersebut.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah Yuridis Empiris dengan kata lai yakni jenis penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan. Mengkaji ketentuan yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataan di Masyarakat.32 Dengan kata lain suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahuo dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifkasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.33 Penelitian ini termasuk kedalam empiris, karena hendak mengetahui PENERAPAN SANKSI

32 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.15

33 Ibid,

(38)

PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan guna menjawab permasalahan penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Sosiologis. Pendektan yuridis sosiologis adalah mengindentifikasi dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang rill dan fungsional dalam sistem kehidupan yang nyata.34 Penedekatan yuridis sosiologis menekankan penelitian yang bertujuan memperoleh pengetahuan hukum secara empiris dengan jalan terjun langsung ke obyeknya. Untuk mengetahui PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan (isu hukum) yang dibahas.35

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan bersifat deskriptif analitis dengan memberikan paparan secara sistematis dan logis. Sehingga penelitian deskriptif analitis mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada

34 Soejono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta, hlm.51

35 Johny Ibrahim, 2007, Teori, Metode dan penelitian hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, hlm.30

(39)

masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.36

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian yakni data primer dan data sekunder sebagai berikut :37

a. Data primer

Data primer kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai.38 Sumber data primer dalam penelitian, penulis peroleh baik melalui kegiatan observasi dengan ikut terlibat langsung maupun hasil wawancara dengan informan dengan diperoleh :

1) Informan

Orang yang memberikan informasinya tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian. Jadi, seorang informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Seorang informan berkewajiban secara suka rela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal.39 Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah Hakim Pengadilan Negeri Sampit, yang memberikan informasi terhadap factor- factor yang menjadi pertimbangan dalam memutus suatu perkara, yang meliputi filosofis, yuridis dan non yuridis.

36 Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.118

37 Moleong, lexy, 1999, Metodologi Penelitian, PT.Remaja Rosada Karya, Bandung, hlm.114

38 Ibid, hlm.157

39 Ibid, hlm.90

(40)

2) Dokumen

Dokumen dalam penelitian ini berupa putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Sampit, yaitu terhadap Tindak Pidana Kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia yaitu dalama perkara nomor 276/pid.Sus/2021/PN.Spt Tanggal 23 September 2021.

b. Data Sekunder

Data sekunder terdiri dari 3 bahan hukum, antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu :

1) Bahan hukum primer meliputi :

a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2) Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan tesis ini buku-buku yang berkaitan dengan penegakan hukum, hasil penelitian

(41)

ilmiah seperti jurnal ilmiah, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

3) Bahan Hukum Tersier yang merupakan pendukung bahan primer dan skunder seperti kamus, ensiklopedia, dan sebagainya yang relevan.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan dengan kegiatan utama yang dilakukan yaitu studi kepustakaan dengan mengkaji, menelaah dan mengolah literatur, peraturan perundangan-undangan, putusan hakim serta artikel atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.40 Jika diperlukan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian lapangan.41 Data yang dikumpulkan secara langsung dari sumbernya di tempat penelitian. Pengumpulan data secara primer, penulis menggunakan beberapa tehnik guna memperoleh data :

a. Pengamatan (Observasi)

Observasi dalam penelitian ini dengan cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian yang pelaksanaanya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi.42 Pengamatan ini yang dilakukan secara langsung pada objek Pengadilan Negeri Sampit.

b. Wawancara (interview)

40Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. I. Bandung: Citra AdityaBakti, hlm.50

41 Ali, Zainudin. 2009. Metodologi Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.107

42 Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm.94

(42)

Merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai informan atau responden.43 Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada informan kunci yakni hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di pengadilan negeri sampit. Karena penelitian yang digunakan menggunakan dasar penelitian studi suatu lembaga, maka pengumpulan data dengan wawancara secara mendalam dianggap paling tepat karena dimungkinkan untuk mendapat informasi secara detail dari objek yang diteliti. Wawancara mendalam dilakukan secara langsung terhadap informan yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang sudah disusun oleh peneliti sebelumnya.44 dan wawancara tersebut di lakukan kepada 2 (dua) orang hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Sampit.

6. Metode Analisis Data

Data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian dianalisis dengan “metode kualitatif secara Deskriptif” yang artinya diuraikan dalam bentuk kata-kata dan dihubungkan secara sistematis untuk menarik kesimpulan dalam menjawab permasalahan.45 Sehingga teknik

43 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurementri. Jakarta:Ghalia Indonesia, hlm.71

44Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.50

45 Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian Hukum, CV.Mandar Maju, Bandung, hlm.23

(43)

analisis data secara kualitatif yaitu metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari Studi pustaka (library research).

H. Sistematika Penulisan Tesis

Untuk memudahkan dalam memahami isi penelitian maka dapat dibagi dalam bentuk sistematika penulisan hukum berupa Tesis ke dalam beberapa bab dan masing-masing bab terbagi lagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masing- masing bab yakni :

BAB I : Pendahuluan menguraikan, Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan Tesis.

BAB II : Tinjauan Pustaka menguraikan, Tindak Pidana, Kesengajaan, dan Ketidaksengajaan (Dolus Culpa) Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia, Pengaturan Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengaturan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan, Pengaturan Kekerasan Dalam Rumah Tangga perspektif Hukum Islam.

BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

(44)

yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri Sampit, Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan korban meninggal dunia di Pengadilan Negeri Sampit.

BAB IV : Penutup menguraikan, simpulan dan saran dari hasil pembahasan.

(45)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana, Kesengajaan, dan Ketidaksengajaan (Dolus Culpa) Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal sebagai Strafbarfeit dan didalam hukum pidana kita kenal sebagai delik.

Strafbaarfeit terdiri dari 3 suku kata straf,baar dan feit. Straf yang berarti pidana dan hukum. Kata baar diartikan dapat dan boleh. Sedangkan feit sendiri diartikan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yang mendasar dalam ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertendu pada suatu peristiwa hukum pidana.46

Hukum pidana belanda tidak hanya menggunakan istilah strafbaatfeit kadang juga menggunakan kata delict yang berasal dari kata delictum. Secara umum pakar hukum pidana menyetujui penggunaan strafbaarfeit. Simon mencoba mendefinisikan strafbaarfeit dengan suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak oleh orang-orang yang dapat mempertanggung jawabkan atas tindakannya.47

Pendapat para ahli sarjana hukum mengenai istilah strafbaarfeit memunculkan rumusan-rumusan :

46 Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.69

47 Leiden Marpaung, 1991, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, Grafika, Jakarta,hlm.4

(46)

a. Peristiwa pidana

Wirjono Projodikoro mengemukakan dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam pasal 14 ayat (1) secara subtantif pengertian dari istilah peristiwa pidana lebih menunjuk kepada kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun gejala alam.

b. Perbuatan Pidana

Mulyatno menerjemahkan istilah strafbaarfeit dengan istilah perbuatan pidana, menurut pendapat beliau ialah “perbuatan pidana” menunjukkan makna adanya suatu kelakukan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.

c. Tindak Pidana

Istilah ini pertama kali diperkenalkan cq Departemen Kehakiman. Istilah tindak pidana menunjukkan gerak gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Istilah ini sering digunakan seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan tindak pidana pornografi.48

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

48 Ibid,

(47)

Unsur-unsur tindak pidana ada dua macam yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif yaitu:

a. Unsur obyektif adalah unsur yang terdapat diluar dari pelaku dapat berupa:

1) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun tidak berbuat.

2) Akibat, yang menjadi syarat mutlak tindak pidana materiil.

3) Keadaan atau masalah-masalah tertentu dilarang dan juga diancam undang-undang.

b. Unsur subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri pelaku dapat berupa :

1) Hal yang dapat di pertanggung jawabkan pelaku atas perbuatannya.

2) Kesalahan atau schuld berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab atas pebuatanya ketika:

a) Mengerti akan nilai dari perbuatannya dan karena juga mengerti akan akibat perbuatannya.

b) Dapat menemtukan kehendak terhdapa perbuatannya yang dilakukan.

c) Sadar akan perbuatan mana yang dilarang oleh undang-udang dan mana yang tidak dilarang.49

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Secara umum tindak pidana dapat dibedakan menjadi berapa bagian yaitu :

49 Tongat, 2002, Hukum Pidana Materiil, UMM Press, Malang,hlm.4

(48)

a. Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif dari kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan.

b. Tidak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan materiil.

c. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana comissionis, delik omisonis dan delik comisionis peromissionis comissa.

d. Tindak pidana dapat dibedakan dari tindak pidana kesengajaan dan tindak pidana kealpaan.

e. Tindak pidana dapat dibedakan dari delik tunggal dan delik berganda.

f. Tindak pidana dapat dibedakan dari tindak pidana yang terus berlangsung dan tindak pidana yang tidak terus berlangsung.

g. Tindak pidana dapat di bedakan dari tindak pidana aduan dan tindak pidana tidak aduan.

h. Tindak pidana dapat dibedakan dari tindak pidana biasa dan tindak pidana dikualifikasi.50

4. Subyek Tindak Pidana

Subyek tindak pidana ini berkain dengan siapa yang menjadi pelaku tindak pidana. Yang dapat melakukan tindaka pidana adalah manusia maka yang menjadi pelaku tindak pidana adalah manusia bisa disimpulkan dari hal-hal berikut :

a. Rumusan delik pada Undang-Undang pidana dimulai dari kata “barang siapa” kata “barang siapa” itu dijutukan kepada orang atau manusia.

50 Tongat, 2009, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam perspektif pembaharuan, UMM Press, Malang, hlm.118

(49)

b. Dari sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana ada pidana pokok dan ada pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUHP yaitu:

1) pidana pokok : a) pidana mati b) pidana penjara c) pidana kurungan d) denda

e) pidana tutpan 2) pidana tambahan :

a) pencabutan hak-hak tertentu

b) perampasan barang-barang tertentu.51

c. Syarat adanya kesalahan pada pelaku untuk dapat dijatuhkannya pidana menunjukkan bahwa yang dapat di pertanggung jawabkan hukum pidana itu ialah manusia. Sebab kesalahan baik yang berupa kesengajaan maupun kealpaan adalah sikap batin dari diri manusia.52

5. Kesengajaan, dan Ketidaksengajaan

Tindak pidana kesengajaan/ delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. Sedangkan tindak pidana ketidaksengajaan/ delik culpa adalah delik-delik yang memuat unsur kealpaan.53 Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah

51Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, hlm.131

52 Ibid,

53 Ibid,

(50)

hubungan batin antara sipembuat terhadap perbuatan, yang dicelakan kepada sipembuat itu. Hubungan batin ini biasa berupa sengaja atau alpa. KUHP tidak memberikan definisi dengan sengaja. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari MvT (Memory van Toelicting).54 Yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagaimana dikutip dalam Andi Hamzah:

sengaja” (opzet) berarti „de (bewuste)richting van den wil opeen bepaald misdrijf,” (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Menurut penjelasan tersebut, “sengaja’ (opzet) sama dengan willens en wetens (dikehendaki dan diketahui).55

Jadi dapat dikatakan, bahwasannya sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan perbuatannya tersebut. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan juga di samping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukannya.

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut :

a. Teori Kehendak (wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

b. Teori Pengetahuan atau Membayangkan (voorstellingstheorie)

54 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Penerbit Yayasan sudarto d/a Fakultas Hukum Undip Semarang, Semarang, hlm.102

55 Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm.106

Referensi

Dokumen terkait

Faktor penghambat Polda Lampung dalam menanggulangi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan (pembegalan) yang memungkinkan dapat menyebabkan