BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah rumah tangga terbentuk sejak terjadinya pernikahan yang sah
antara suami dan istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal, dan sejahtera yang dilandasi oleh kasih sayang.1 Pada dasarnya di dalam
sebuah rumah tangga terdapat anggota-anggota keluarga yang terdiri dari suami,
istri, dan anak-anak. Namun dalam cakupan yang lebih luas juga termasuk orang
yang memiliki hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan orang
yang bekerja dan menetap dalam rumah tangga dianggap juga sebagai anggota
keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan tugas masing-masing,
seperti suami berperan sebagai ayah sekaligus kepala keluarga, yang bertugas
untuk mencari nafkah, memberi pendidikan, dan melindungi anggota keluarganya
dan istri berperan sebagai ibu mempunyai tugas untuk mengurus rumah tangga
dan mengasuh anak-anaknya.
Peranan rumah tangga sangat penting dalam kehidupan setiap manusia,
sebab di dalam kehidupan rumah tanggalah setiap manusia dapat berbagi kasih
sayang, mendapat perlindungan, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Di dalam rumah tangga juga setiap manusia saat ia masih bayi pertama kali
berinteraksi dan mengenal lingkungannya. Keadaan dan didikan dalam rumah
tangga memegang peranan penting dalam membentuk sikap dan karakter setiap
1
anggota keluarga. Sehingga apabila interaksi di dalam rumah tangga dilakukan
dengan penuh kasih sayang maka akan memberi pengaruh baik bagi pembentukan
karakter anggota keluarga. Begitu juga sebaliknya, apabila interaksi di dalam
keluarga dilakukan dengan kekerasan maka tersebut akan membawa pengaruh
yang buruk bagi pembentukan karakter dan hubungan dalam keluarga tersebut.
Namun pada kenyataannya di masyarakat, interaksi yang dilakukan
dengan kekerasan tersebut masih seringkali terjadi dalam sebuah rumah tangga
yang diwujudkan dalam bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota
keluarga terhadap anggota keluarganya yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan
tersebut terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan
penelantaran dalam rumah tangga.2
Berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 293.220 kasus kekerasan
terhadap perempuan sepanjang tahun 2014 yang mana sebanyak 68 persen dari
kasus tersebut adalah tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
dan terjadi peningkatan jumlah kasus yakni sebanyak 20.000 kasus dibandingkan
pada tahun 2013.3 Sehingga dengan semakin tingginya angka tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga ini dari tahun ke tahun maka korbannya juga
sudah begitu banyak.
Dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini, yang seringkali
menjadi korbannya adalah perempuan sebagai istri yang dilakukan oleh atau
2
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3
suaminya.4 Laki-laki selain mempunyai fisik yang lebih kuat, juga beranggapan bahwa mereka mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripada istrinya sehingga
membuat mereka sering kali menganggap perempuan lebih rendah dan dapat saja
melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini terjadi disebabkan oleh
faktor-faktor seperti istri tidak dapat memenuhi keinginan suaminya, masalah
faktor ekonomi atau faktor-faktor pribadi lainnya dan bahkan hal-hal sepele
sekalipun. Sehingga apabila timbul hal-hal tersebut pihak suami dapat dengan
mudah terpancing emosinya lalu melakukan kekerasan terhadap istrinya.
Namun banyak pula dari istri yang menganggap perbuatan yang
dilakukan suaminya tersebut merupakan bagian dari urusan pribadi rumah
tangganya saja dan bukan merupakan sebuah tindak pidana walaupun akibat dari
terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga ini menimbulkan penderitaan yang
besar bagi pihak istri yang menjadi korban baik itu secara fisik maupun psikis dan
bahkan mengakibatkan timbulnya halangan dalam menjalankan aktifitas
sehari-hari. Selain itu, kebanyakan dari suami merupakan tulang punggung satu-satunya
bagi keluarga sehingga kekerasan yang dialami oleh istri tersebut didiamkan saja
karena tidak ingin kehilangan orang yang memberi nafkah kepada kepada
keluarganya. Maka akibat dari adanya anggapan-anggapan tersebut, tidak
mengherankan jumlah tindak kekerasan dalam rumah tangga cenderung
meningkat dari tahun ke tahun dan dari pihak istri yang menjadi korban
terbanyaknya.
4
Dalam teori lingkaran disebutkan mengapa korban kekerasan dalam
rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya.
Pada teori lingkaran tersebut kekerasan terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu tahap
munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut, dan tahap bulan madu.5
Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan
percekcokan terus menerus atau tidak saling memperhatikan yang kadang-kadang
disertai kekerasan kecil. Namun semua ini dianggap sebagai bumbu perkawinan.
Kemudian pada tahap kedua, kekerasan yang terjadi semakin hebat dan
menimbulkan luka fisik yang parah. Kekerasan ini baru terhenti apabila istri pergi
dari rumah atau suami sadar apa yang dia lakukan atau salah satu perlu dibawa ke
rumah sakit. Sedangkan pada tahap ketiga yakni tahap bulan madu, suami sering
menyesali perbuatannya lalu berjanji untuk tidak mengulangi lagi dan istri
menjadi luluh lalu memaafkan. Itulah sebabnya perempuan memilih bertahan dan
cenderung mengabaikan kekerasan yang dialaminya tersebut.6
Dalam kekerasan dalam rumah tangga salah satu bentuk yang seringkali
dilakukan adalah penganiayaan atau kekerasan fisik seperti yang disebutkan
dalam teori lingkaran tersebut. Kekerasan fisik dapat dipahami sebagai perbuatan
yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat bagi korbannya.7 Pelaku
kekerasan fisik ini juga sebagian besar dilakukan oleh suami terhadap istrinya.
Bentuk-bentuk kekerasan fisik ini adalah seperti memukul dengan tangan kosong,
memukul menggunakan benda, menarik rambut, menendang, mencekik,
5
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 32.
6
Ibid.
7
menyundut dengan rokok, memaksa melakukan suatu pekerjaan yang berat, dan
sebagainya.
Kekerasan fisik terhadap istri ini merupakan sebuah perbuatan yang
melanggar ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia sejak dahulu dan
mendapat ancaman hukuman yang berat. Hal ini dapat kita lihat di dalam Buku II
Bab XX, Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
menyatakan bahwa hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditambah sepertiganya jika
kejahatan itu dilakukan kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya, suaminya
atau anaknya. Sehingga sudah jelas bahwa kekerasan fisik terhadap istri dalam
rumah tangga sudah diatur sejak zaman Kolonial Belanda, yang mana Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini
merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Ancaman hukumannya
pun lebih berat daripada penganiayaan atau kekerasan fisik yang dilakukan
kepada orang lain diluar anggota keluarga. Sehingga secara tersirat menunjukkan
bahwa peranan rumah tangga ini begitu besar dalam setiap diri manusia dan wajib
dilindungi oleh negara.
Namun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
pengaturan mengenai kekerasan fisik dalam rumah tangga masih belum mengatur
secara khusus aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut. Pengaturan tentang
perbuatan kekerasan fisik terhadap istri hanya diatur dalam Pasal 356 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang aturan dalam pasal ini juga
pemidanaan hanya berupa pidana penjara, belum ada mengatur tentang
perlindungan dan hak-hak korban, serta tidak ada mengatur secara spesifik
mengenai bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.8
Sehingga ketentuan mengenai kekerasan fisik terhadap istri dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut dirasa tidak sesuai lagi
dengan tuntuan dan perkembangan masyarakat sehingga pemerintah
mengeluarkan suatu aturan yang bersifat khusus yaitu Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
berasaskan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Kesetaraan
Gender, dan Keadilan Relasi Sosial dan Perlindungan Bagi Korban. Aturan
mengenai penjatuhan sanksi pidana dalam Undang-Undang ini terhadap pelaku
lebih berat. Dalam undang-undang ini juga tidak hanya mengatur mengenai
pemidanaan terhadap pelaku saja, tetapi juga mengatur hal-hal yang lebih spesifik
seperti pencegahan, perlindungan terhadap korban, pemulihan korban, serta
mengatur secara rinci bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan ruang
lingkupnya. Undang-undang ini dilahirkan sebagai perwujudan negara dalam
memberikan perlindungan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.9
Salah satu aturan penting yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini adalah
adanya rumusan pengaturan mengenai aspek perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga termasuk juga kekerasan fisik terhadap istri.
8
http://lbh-apik.or.id/kdrt-pentingnya.htm, di akses tanggal 5 April 2015 pukul 20.00 WIB
9
Dalam penegakan hukum pada kasus kekerasan fisik terhadap istri ini,
tidak cukup hanya dengan memberi hukuman pidana saja kepada suami atau
pelaku. Aspek perlindungan terhadap istri sebagai korban juga mempunyai
peranan yang penting dan harus diperhatikan dalam setiap proses penegakan
hukum dalam tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri.
Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri tidak saja
menimbulkan akibat luka secara fisik pada korban. Namun juga berakibat pada
dampak lain pada korban seperti merasa terancam dan tertekan akibat melaporkan
suaminya ke pihak kepolisian, perasaan takut kekerasan yang dialaminya akan
dialami lagi atau semakin parah, malu kepada masyarakat sebab telah
membongkar hal yang dianggap masalah pribadi rumah tangga, sampai dengan
takut kehilangan tulang punggung keluarga akibat diceraikan oleh suami ataupun
karena suami masuk penjara.
Hal-hal tersebut semakin membuat korban dalam keadaan yang serba
salah dan memperburuk keadaan korban. Sehingga untuk membantu korban
dalam menghadapi kondisi yang diakibatkan dari tindakan kekerasan fisik
tersebut dan memulihkan korban ke dalam keadaan semula, maka korban berhak
untuk mendapatkan perlindungan seperti dari pihak kepolisian, pelayanan
kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani, dan pendampingan hukum.
Dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang diakibatkan oleh
tindak kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga tersebut, maka dalam
memperhatikan aspek-aspek perlindungan terhadap korban disamping penjatuhan
hukuman pidana terhadap pelaku.
Berdasarkan uraian di atas membuat penulis tertarik untuk mengkaji dan
meliti lebih mendalam bagaimanakah penerapan aspek perlindungan korban
kekerasan fisik terhadap istri dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku
berdasarkan analisis 4 (empat) putusan Pengadilan Negeri, yakni Putusan Nomor:
66/Pid.B/2014/PN.BJ, Putusan Nomor: 297/Pid.Sus/2014/PN Sgi, Putusan
Nomor: 357/Pid.Sus/2014/PN.Lht, dan Putusan Nomor: 15/Pid.Sus/2015/PN
Bantul. Sehingga dengan demikian, skripsi ini diberi judul “Penerapan
Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana batasan kekerasan fisik terhadap istri jika dikaitkan dengan tindak
pidana penganiayaan menurut ketentuan hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan ketentuan pidana dalam kekerasan fisik terhadap istri
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini terdapat beberapa tujuan dan manfaat sesuai
dengan permasalahan yang dibahas. Adapun beberapa tujuan dalam penulisan
skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui batasan antara kekerasan fisik dalam rumah tangga jika
dikaitkan dengan tindak pidana penganiayaan menurut ketentuan hukum
pidana di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana dalam kekerasan fisik terhadap
istri ditinjau dari aspek perlindungan terhadap korban.
Adapun penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat
baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penulisan skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
bidang ilmu pengetahuan hukum dan dijadikan sebagai referensi dalam
mempelajari maupun menjadi bahan kajian hukum bagi para akademisi ataupun
praktisi hukum tentang penerapan ketentuan tindak pidana kekerasan terhadap
istri yang ditinjau dari aspek perlindungan terhadap korban.
2. Secara Praktis
Dengan mempelajari penerapan ketentuan pidana dalam kekerasan fisik
terhadap istri ditinjau dari aspek perlindungan korban, diharapkan masyarakat
akan mengetahui aspek-aspek perlindungan terhadap istri sebagai korban dalam
penerapan ketentuan pidana terhadap kasus kekerasan fisik terhadap istri
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran pada Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi yang berjudul “Penerapan Ketentuan
Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari Aspek Perlindungan
Terhadap Korban (Studi Terhadap 4 (empat) Putusan Pengadilan Negeri)” belum
pernah diajukan atau belum pernah dilakukan penelitian dan merupakan karya asli
dari penulis. Dengan demikian penulis siap untuk mempertanggungjawabkan
keaslian skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, dan Pertanggungjawaban Pidana
1.1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan
mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak
pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata
delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:
“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Berdasarkan rumusan yang
ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni: 10
1. Suatu perbuatan manusia;
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;
10
3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan
yang ada maupun dalam literatur hukum sebagai terjemahan dari strafbaar feit
adalah: 11
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam peraturan
undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan
perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Seperti dalam Undang-Undang
Nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, Undang-Undang Nomor 11/PPNS/1963
tentang pemberantasan Tindak Pidana Subversi, Undang-Undang Nomor 3
tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya.
Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, S.H.
2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R.
Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”, Mr. Drs. H.J van
Scravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A.
Zainal Abidin, S.H dalam buku belau “Hukum Pidana”. Pembentukan
Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam
Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga digunakan
untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.
Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur misalnya Prof. Drs. E.
11
Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peritiwa
pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. Moeljatno pernah juga
menggunakan istilah ini seperti pada judul buku beliau “Delik-Delik Percobaan
Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah
perbuatan pidana.
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana
yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtamidjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam
buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravendijk
dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-Undang
dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak.
7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau,
misalnya dalam buku Azas-Azas Hukum Pidana.
Sudarto: 12
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
“perbuatan jahat” atau “kejatahan” (crime atau Verbrechen atau
misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku
dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk
12
tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak
pidana.13
Dalam buku Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum karya Usman
Simanjuntak menjelaskan bahwa tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar
tertentu, yaitu:14
1. Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dibedakan
antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran
(overtredingen) dimuat dalam buku II.
2. Menurut cara memutuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel
delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten).
3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja
(doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak sengaja (colpose delicten).
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan menjadi tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commisionis) dan
tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara
tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau
berlangsung lama/berlangsung terus.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
13
Teguh Prasetyo, op. cit., hlm. 47
14
Moeljatno: 15
Ada istilah lain yang dipakai dalam “hukum pidana”, yaitu tindak pidana. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak menteri kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang lebih abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaaan konkret, sebagaimana halnya dengan peritiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuata. Contoh: Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum (Pasal 127, 129, dan lain-lain).
Mengenai peristilahan ini, sesungguhnya tidak akan dipentingkan oleh
Moeljatno, kalau yang menjadi soal hanya tentang nama belaka. Tetapi bukan
demikian halnya. Mereka yang memakai istilah: peristiwa pidana, tindak pidana,
dan sebagainya, karena tidak ada keterangan apa-apa, menyamakan maknanya
dengan istilah Belanda strafbaar feit. Kata-kata di atas adalah salinan belaka dan
strafbaar feit; sedangkan perbuatan pidana bukan demikian halnya.16
Apakah pengertian “perbuatan pidana” dari Moeljatno tersebut dapat
dipersamakan dengan istilah Belanda “strafbaarfeit”? Simons menerangkan
bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahandan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel
merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke gedraging) yang
15
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 60-61.
16
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. 17
Jika melihat pengertian-pengertian ini maka disitu dalam pokoknya
ternyata:
1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku;
2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang
melakukan perbuatan tadi.
Mengenai yang pertama, ini berbeda dengan pengertian “perbuatan”
dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan + kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan atau dengan pedek = kelakuan + akibat dan bukan kelakuan saja.18
1.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur tindak pidana merupakan persyaratan dalam penjatuhan pidana.
Tidak dapat dijatuhkan pidana karena karena suatu perbuatan yang tidak termasuk
dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhi pidana kalau
perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperlukan dua syarat:
perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian,
rumusan pengertian “perbuatan pidana” menjadi jelas: suatu perbuatan pidana
adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik,
bersifat melawan hukum dan dapat dicela.19
Perbuatan manusia merupakan sesuatu yang mempunyai keyakinan atau
niat, tetapi dengan melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan maka dapat
17
Ibid.
18
Ibid., hlm. 62.
19
dipidana. Yang juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan
hukum. Dalam ruang lingkup rumusan delik yang tertulis harus dipenuhi.20
Bersifat melawan hukum merupakan suatu perbuatan yang memenuhi
semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang
lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya, sengaja
membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang).21
Dapat dicela diartikan sebagai suatu perbuatan yang memenuhi semua
unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat
dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat
dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun
tidak disebutkan dalam rumusan delik.22
Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan
setidak-tidaknya dari 2 (dua) sudut pandang, yakni: dari sudut pandang teoritis
dan sudut pandang undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat
ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan dalam sudut
undang-undang adalah sebagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan
menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan
yang ada.23
Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur
lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang
20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 56.
22
Ibid.
23
ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir
(dunia).24
Jadi yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:25
1. Kelakuan dan akibat (=perbuatan).
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
4. Unsur melawan hukum yang objektif
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Dalam merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok, diharuskan
untuk mencantumkan unsur-unsur pokok dari sebuah tindak pidana. Dimaksud
unsur pokok atau unsur esensial adalah berupa unsur yang membentuk pengertian
yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas, dan
untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan
menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.26
Dalam unsur pokok tindak pidana tersebut, terdiri dari unsur objektif dan
unsur subjektif. 27
1. Unsur objektif, termasuk didalamnya adalah:
a. Perbuatan orang.
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
c. Mungkin keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
Pasal 281 KUHP bersifat “openbaar” atau dimuka umum.
24
Moeljatno, op. cit., hlm. 64.
25
Ibid., hlm. 69.
26
Adami Chazawi, op. cit., hlm. 113.
27
2. Unsur subjektif, yang termasuk di dalamnya adalah:
a. Orang yang mampu bertanggungjawab.
b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat
dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan.
Contoh unsur-unsur pokok tersebut seperti dalam rumusan Pasal 368
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberi kualifikasi pemerasan,
terdapat unsur-unsur objektif dan subjektif seperti yang termuat dibawah ini.28
Unsur objektif terdiri dari:
a. Memaksa (tingkah laku).
b. Seseorang (yang dipaksa).
c. Dengan: kekerasan atau ancaman kekerasan.
d. Agar orang: menyerahkan benda, memberi uang, dan menghapuskan
utang.
Unsur subjektif terdiri dari:
a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
b. Dengan melawan hukum.
Namun dalam rumusan suatu tindak pidana, ada juga rumusan yang
berbentuk gekwalifikasir yakni dimana hanya disebutkan nama kejahatannya saja
disertai dengan unsur pemberatan dan geprivilegeerd yakni dimana hanya
dicantumkan nama kejahatannya disertai dengan unsur peringanan. Pada
28
dasarnya unsur pokok dalam suatu tindak pidana telah disebutkan dalam rumusan
pada pasal yang lain sehingga pada rumusan yang berbentuk gekwalifikasir dan
geprivilegeerd tidak menyebutkan kembali unsur-unsur pokoknya. Contohnya
seperti yang termuat dalam Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang termasuk dalam gekwalifikasir. Pada rumusan pasal tersebut hanya
disebutkan nama kejahatannya saja yaitu pencurian yang ditambah unsur lain
yang memberatkan. Sedangkan unsur pokoknya sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 362. 29
1.3. Pertanggungjawaban Pidana
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan
adalah si pembuat harus mampu bertanggung jawab, dengan lain perkataan harus
ada kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud
dengan kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) ini Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskannya sehingga harus
dicari dalam doktrin atau Memorie van Toelichting (MvT).30
Adapun beberapa pendapat para sarjana mengenai defenisi dari
kemampuan bertanggungjawab, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Simons:
Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan
psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu
upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya. Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila:
a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
29
Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian khusus jilid I, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 15.
29
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
2. Van Hammel:
Kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas
psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan:
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.
b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.
3. Van Bemmelen:
Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.
Menurut Memorie van Toelichting (MvT),tidak ada kemampuan
bertanggungjawab pada si pembuat, apabila:31
1. Si pembuat tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak
berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang;
2. Si pembuat ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak
dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan
tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memuat rumusan
mengenai kapan seseorang mampu bertanggungjawab, tetapi hanya memuat
ketentuan yang menunjuk ke arah itu, seperti ditentukan dalam Buku I, Bab III,
diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi:32
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit, tidak dapat dipidana.”
31
I Made Widnyana, op. cit., hlm. 59.
32
Apabila Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu
ditelaah, maka akan terlihat 2 (dua) hal, yaitu:33
1. Bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Yang bisa dan berwenang
menentukan keadaan jiwa si pembuat pada saat ia melakukan
perbuatan adalah dokter penyakit jiwa.
2. Menentukan hubungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian itu
dengan perbuatannya. Yang berwenang menentukan hal ini adalah
hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Adapun contoh sederhana yang dapat dipahami seperti misalnya seorang
kanak-kanak bermain dengan korek api di pinggir rumah tetangga, lalu
menyalakan dinding rumah tersebut, sehingga menimbulkan bahaya umum baik
terhadap barang maupun orang (Pasal 378). Bagaimanapun juga jelasnya bahwa
anak itu itulah yang membakar rumah tersebut, setidak-tidaknya bahwa karena
perbuatan anak itu rumah tadi terbakar (Pasal 188 ke-1), tetapi tidak ada seorang
pun yang akan mengajukan dia ke muka hakim pidana untuk
dipertanggungjawabkan perbuatannya.34
Dari contoh tersebut, kiranya sudah dapat di duga ke arah mana letak
jawabannya. Anak yang membakar rumah tidak mempunyai kesalahan karena dia
sesungguhnya belum mengerti atau belum mengerti makna perbuatan yang dia
lakukan, disebabkan karena umurnya masih terlalu muda. Dikatakan bahwa
33
Ibid., hlm. 60.
34
karena pertumbuhan organ dan alat-alat jiwanya belum cukup penuh, maka fungsi
batin jiwanya juga belum sempurna.35
Agar seseorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana maka haruslah
terdapat unsur-unsur yang terdapat dalam diri si pelaku, yaitu:
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab
Mengenai hal ini haruslah diambil sikap bahwa mengenai mampu
bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam
hal untuk menjatuhkan pidana dan bukan hal untuk terjadinya pidana.36
Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni
(1) karena cacat dalam pertumbuhan atau (2) jiwanya terganggu karena penyakit.
Orang dalam keadaan jiwa demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh
dipidana.37
Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab ini haruslah ada 2 (dua)
persyaratan yaitu:38
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan baik dan yang
buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
35
Ibid., hlm. 169.
36
Adami Chazawi, op. cit., hlm. 142.
37
Ibid., hlm. 143.
38
2. Mempunyai kesalahan
Sudarto:39
a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban pidana”, di dalamnya
terkandung makna dapat dicela (verwijtbaarheid) si pembuat atas
perbuatannya. Apabila orang dikatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka itu berarti ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. Kesalahan dalam pengertian yuridis, yaitu bentuk kesalahan
(schuldvorm) yang berupa “kesengajaan” (dolus, opzet, vorzats, atau intention) atau “kealpaan” (culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau negligence.
c. Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang
disebutkan dalam b. di atas.
Unsur-unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana terdiri dari 2 (dua)
macam yaitu:
a. Kesengajaan (Opzet)
Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu,
ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok-pokok diadakan
larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Biasanya diajarkan
bahwa kesengajaan (opzet) itu ada 3 (tiga) macam, yaitu: ke-1: kesengajaan yang
bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk), ke-2:
kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan
bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau
kesengajaan secara keinsyafan kepastian), dan ke-3: kesengajaan seperti sub 2
tetapi dengan akibat disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan
kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn
atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan). 40
39
I Made Widnyana, op. cit., hlm. 68.
40
b. Ketidak hati-hatian (culpa)
Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan pelaku
tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati
sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Menurut penulis Belanda, yang
dimaksud dengan culpa dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) adalah kesalahan yang agak berat. Istilah yang mereka gunakan adalah
grove schuld (kesalahan kasar). Juga merata diantara para penulis suatu pendapat
bahwa untuk culpa ini harus diambil sebagai ukuran bagaimana kebanyakan orang
dalam masyarakat bertindak dalam keadaan yang in concreto terjadi.41
3. Tidak terdapat alasan penghapus pidana
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditunjukkan
kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah
memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang
yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana.42 Alasan penghapus pidana
ini secara umum terdiri dari 2 (dua) alasan yakni:
a. Alasan Pembenar
Alasan pembenar atau rechtsvaardigingsgrond ini bersifat
menghapuskan sifat melawan hukum dan perbuatan yang di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan dilarang. Karena sifat melawan
41
Ibid., hlm. 72-73.
42
hukumnya dihapuskan, maka perbuatan yang semula melawan hukum itu menjadi
dapat dibenarkan, dengan demikian pelakunya tidak dipidana.43
b. Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut
pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah
dilakukannya atau criminal responbility. Alasan pemaaf ini menghapuskan
kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan ini dapat
kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan: 44
a. Tidak dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvaatbaar)
b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess)
c. Daya paksa (overmacht)
Tidak dipidananya pelaku berdasarkan alasan penghapus pidana ini oleh
karena berdasarkan 2 (dua) hal sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan kedua
hal tersebut hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada pelaku. Sementara
bagaimana bentuk dan bunyi putusan hakim yang berkaitan dengan kedua hal
tersebut tidak dinyatakan tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) hanya menyebut “tidak boleh dipidana”. Sedangkan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak dipidananya pelaku
tersebut akan membawa 2 (dua) bentuk putusan hakim yang berbeda.
Pertama mengakibatkan putusan bebas (vrijspraak), yaitu apabila hakim
berpendapat bahwa kesalahan terdakwa (pelaku) tidak terbukti secara sah dan
43
Teguh Presetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hlm. 126
44
meyakinkan. Dengan demikian putusan bebas ini menyangkut tentang unsur
kesalahan (yang terdapat dalam pribadi diri pelaku), yang tidak terbukti. 45
Kedua mengakibatkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(onstlag), apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa (pelaku) terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana. Dengan demikian putusan lepas ini menyangkut tentang perbuatan sebagai
unsur objektif dari suatu tindak pidana ditinjau dari sudut pembuktian.46
2. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah tangga ini melalui jalan dan proses yang panjang. Hal
ini dimulai ketika dideklarasikannya tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tahun 1967. Deklarasi ini memuat hak dan kewajiban perempuan berdasarkan
persamaan hak dengan laki-laki.
Dengan disahkannya Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Pemerintah Republik Indonesia melahirkan sebuah aturan
hukum mengenai perlindungan hak-hak perempuan dimulai dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
45
M. Hamdan, op. cit., hlm. 44.
46
Dasar dari diratifikasinya deklarasi tersebut sebab dalam pemungutan
suara pada konvensi tersebut, Indonesia memberikan suara setuju sebagai
perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartispasi dalam usaha-usaha
Internasional menghapus diskriminasi terhadap wanita karena isi konvensi
tersebut sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan.47
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 48/104 tanggal 20 Desember 1993
mengesahkan Deklarasi Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Dalam deklarasi ini, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai pelanggaran
terhadap hak-hak, prinsip-prinsip, dan kebebasan dasar perempuan serta
bertentangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kekerasan terhadap
perempuan diartikan sebagai setiap tindakan beedasarkan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual, dan psikologi, termasuk ancaman tindakan-tindakan
semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.48
Dengan adanya deklarasi tersebut, dunia internasional memberikan
perhatian serius pada tindak kekerasan terhadap perempuan sehingga dilahirkan
sebuah deklarasi yang secara jelas menentang terjadinya tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam bentuk apapun diseluruh dunia.
47
Bagian Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
48
Di Indonesia, dengan adanya deklarasi dan lahirnya peraturan
perundang-undangan yang meratifikasi deklarasi tersebut pada kenyataannya belumlah dapat
mengurangi angka diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan yang
dilakukan di dalam lingkup rumah tangga.
Persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang korban utamanya adalah
perempuan pada saat ini tidak lagi dipandang sebagai persoalan biasa dan
aturan-aturan hukum yang termuat dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan
masyarakat dalam melindungi hak-hak perempuan. Oleh karena itulah diperlukan
sebuah aturan hukum yang bersifat khusus untuk mengatur secara spesifik
mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut dengan
memperhatikan terhadap hak-hak dan perlindungan korban.
Akibat keprihatinan dari tingginya angka kasus tindak kekerasan
terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga, maka sejumlah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Perempuan
yang tergabung dalam Jangkar (1998-1999) yang terdiri dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) APIK Jakarta, Rifka An-Nisa, Kalyanamitra, Mitra Perempuan,
Fatayat dan Muslimat Nadhlatul Ulama (NU), Gembala Baik, Savy Amira,
SPeAK, LBH-Jakarta dan Derapwarapsari yang kemudian gabungan dari
Lembaga Swadaya Masyarakat ini melebur menjadi Jangka PKTP (Jaringan
Kebijakan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan),
mengadvokasi lahirnya ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang
perlindungan terhadap perempuan.49
Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh Kementrian Pemberdayaan
Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan
Bersama (SKB) antara Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan dalam bentuk pengobatan dan
perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.50
Pada perkembangan selanjutnya, perjuangan dalam advokasi Rancangan
Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga melibatkan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya komisi VII, fraksi TNI, dan Golkar, juga
bekerjasama dengan Forum Parlemen soal bagaimana sosialisasi itu bisa
dilakukan terhadap anggota Dewan yang akan me-loading Rancangan
Undang-Undang ini melalui jalur inisiatif. Sosialisasi ke masyarakat dilakukan dengan
bekerjasama dengan LSM-LSM yang mendampingi program Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, juga bekerjasama dengan akademisi, anggota DPRD, dan
pemerintah setempat serta penegak hukum.51
49
Ratna Batara Munti, Suara Apik: Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Sebuah Bentuk Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”, LBH APIK, Jakarta, 2005, hlm. 3.
50
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 Rumah, Pekarangan, dan Kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2005, Komnas Perempuan, Jakarta, 2005, hlm. 17.
51
Rancangan yang terdiri dari 14 bab dan 115 pasal dibuat dengan tarik
ulur, yang disebabkan karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tidak memuat jenis kekerasan dalam rumah tangga dalam pasal-pasalnya.
Setelah melalui berbagai proses legislasi yang alot, Rancangan Undang-Undang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut akhirnya berhasil disahkan menjadi
Undang-Undang pada tanggal 22 September 2004 dengan nama Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4419).52
Tujuan utama dari dilahirkannya undang-undang ini adalah untuk:53
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindakan kekerasan
secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya
terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus
kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-undang ini selain mengatur ihwal
pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban juga mengatur
secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga denga unsur-unsur
tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan dalam Kitab
52
Ibid., hlm. 9.
53
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Serta mengatur ihwal kewajiban aparat
penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau
pembimibing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan
responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada
keutuhan dan kerukunan rumah tangga.54
Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini memberikan suatu terobosan
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penegakan hukum terhadap pelaku
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di Indonesia sebelum lahirnya
undang-undang ini hanya dapat dilakukan melalui instrumen Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang cakupannya masih terbatas dan tidak
mengatur secara rinci mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga dengan
berlakunya undang-undang ini, semua perbuatan pidana yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak diatur lagi dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam penegakan hukumnya.
Dengan disahkannya undang-undang ini juga merupakan momen
bersejarah bagi Bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan
kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah
kekerasan terhadap perempuan. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan
bagian dari Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi.55
54
Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
55
Hal yang melandasi lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini
antara lain, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama
kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia.56
Adapun yang menjadi ruang lingkup Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi:57
a. Suami, Isteri, dan Anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut
Ruang lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini juga semakin
diperluas dengan dimasukkannya orang yang bekerja membantu rumah tangga
yang menetap dalam rumah tangga tersebut seperti yang termat dalam huruf c.
Sehingga ruang lingkup keluarga tidak lagi hanya mencakup keluarga
yang mempunyai hubungan darah atau pengasuhan saja tetapi juga orang lain
yang bekerja dirumah tangga tersebut. Dengan demikian orang-orang yang
bekerja sebagai pembantu, supir, dan sebagainya juga menjadi subjek hukum
dalam undang-undang ini dan dianggap sebagai anggota keluarga selama mereka
masih tinggal dalam rumah tangga tersebut.
56
Ibid., hlm. 65.
57
3. Pengertian Korban dan Perlindungan Terhadap Korban
3.1. Pengertian Korban
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korban dapat didefinisikan
sebagai orang, binatang, dan sebagainya yang menderita (mati dan sebagainya)
akibat akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.
Beberapa pendapat para sarjana yang memberi pengertian mengenai
definisi korban, diantaranya adalah:58
1. Arief Gosita
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari kepentingan
pemenuhan diri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
2. Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “...person who has injured mental or pshycal
suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted criminal offense committed by another...” (Orang yang telah terluka baik itu penderitaan mental atau fisik, kerugian harta benda atau kematian akibat dari tindak pidana yang sebenarnya atau percobaan yang dilakukan oleh yang lain)
3. Muladi
Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian fisik atau mental, ekonomi, emosional, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Secara yuridis, pengertian korban termuat dalam Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang
menyebutkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
58
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga menyebutkan korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.
Pada tahap perkembangannya, korban dari suatu tindak pidana bukan
saja hanya orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Adapun yang dapat
menjadi korban adalah sebagai berikut:59
1. Korban perseorangan, adalah setiap orang atau individu mendapat penderitaan
baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil.
2. Korban institusi, adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam
menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat
dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta, ataupun bencana alam.
3. Korban Lingkungan Hidup, adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya
berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan masyarakat
serta semua jasad hidup dan berkembang dan kelestariannya sangat tergantung
pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami kerusakan akibat
kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia yang tidak
bertanggungjawab.
4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara, adalah masyarakat yang diperlakukan
diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan, serta
hak sipil, politik, ekonomi, budaya tidak lebih baik setiap tahun.
59
Pada dewasa ini kedudukan korban dalam peradilan pidana tidak
dipandang lagi sebelah mata. Hal ini dapat terlihat dari dibentuknya aturan-aturan
hukum yang khusus mengatur mengenai kedudukan dan perlindungan korban.
Secara ilmiah, hal-hal yang berkaitan dengan korban ini dapat dipelajari melalui
pendekatan ilmu viktimologi.
Viktimologi berasal dari kata victim (korban) dan logi (ilmu
pengetahuan), bahasa Latin victima (korban) dan logos (ilmu pengetahuan).
Sehingga secara sederhana dapat diartikan viktimologi/victimology adalah ilmu
pengetahuan tentang korban tindak pidana.
Korban dan tindak pidana memiliki keterkaitan yang sengat erat satu
sama lain. Adanya korban ini disebabkan oleh tindak pidana (kejahatan) yang
dilakukan oleh pelaku. Apabila kejahatan ini tidak dilakukan oleh pelaku dengan
demikian tidak akan menimbulkan adanya korban. Terjadinya korban ini dapat
saja disebabkan oleh kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan, dan
kesialan korban itu sendiri, diantaranya adalah sebagai berikut:60
Hentig, terjadinya korban dilihat dari peranan korban dalam menimbulkan kejahatan:
1. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi 2. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan korban untuk
memperoleh keuntungan yang besar
3. Akibat yang merugikan si korban mungkin kerjasama antara sipelaku dan korban
4. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban
Mendelsohn, berdasarkan tingkat kesalahannya korban dibagi dalam 5 (lima) macam:
1. Korban yang sama sekali tidak bersalah 2. Korban yang jadi korban karena kelalaiannya
60
3. Korban yang sama salahnya dengan pelaku 4. Korban lebih bersalah dari pelaku
5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah
G. Widiartana, berdasarkan sasaran tindakan pelaku:
1. Korban Langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku.
2. Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami nestapa. Pada kasus pembunuhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban langsung. Sedangkan istri dan anak-anaknya itu merupakan korban tidak langsung.
Pemahaman tentang korban yang dipelajari melalui ilmu viktimologi
memberi manfaat dalam sistem peradilan pidana seperti dapat memahami
kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya tindak pidana, berperan dalam
hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat,
dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan
seimbang dalam hukum dan pemerintahan, bermanfaat bagi aparatur penegak
hukum agar dapat memperhatikan perlindungan dan hak-hak korban tindak
pidana, dan dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam upaya memperbaiki
berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama ini terkesan kurang
memperhatikan aspek perlindungan korban.61
3.2. Pengertian Perlindungan Terhadap Korban
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan berasal dari kata
lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi.
61
Sedangkan dalam ilmu hukum perlindungan dapat didefenisikan sebagai
suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau
aparat keamanan untuk untuk memberi rasa aman, baik fisik maupun mental,
kepada korban dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.62
Sehingga perlindungan terhadap korban dapat didefenisikan sebagai
kewajiban negara untuk memberikan pengayoman dan pelayanan terhadap subjek
hukum yang menderita atau dirugikan akibat terjadinya suatu tindak pidana.
Prinsip-prinsip dasar terhadap perlindungan korban ini berkaitan dengan
manusia sebagai makhluk Tuhan dilahirkan ke dunia dengan membawa hak-hak
dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau yang lazim disebut denga hak
asasi manusia yang melekat dan takkan pernah terlepas seumur hidup. Adanya
pengakuan terhadap eksistensi hak asasi ini tentu membawa konsekuesni pada
perlunya diupayakan terhadap perlindungan hak-hak tersebut dari kemungkinan
munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik
yang dilakukan oleh manusia ataupun pemerintah.63
Di Indonesia pengaturan tentang pelindungan terhadap korban ini diatur
dalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
62
http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/01/seputar-pengertian-perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 14 April 2015 pukul 22.00 WIB
63
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6. Undang-Undang Nomor15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
8. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
Adapun bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban yang secara umum
terdiri dari:64
1. Pemberian Restitusi atau Kompensasi
Dalam pejelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
memberikan pengertian tentang kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan
negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan restitusi dapat berupa:
a. Pengembalian harta milik
b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan
c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu
2. Konseling
64
Perlindungan konseling ini pada umumnya diberikan pada korban
sebagai akibat munculnya dampak negatif terhadap psikis yang mengakibatkan
trauma berkepanjangan dari suatu tindak pidana. Kasus kekerasan dalam rumah
tangga atau kasus pemerkosaan menimbulkan trauma yang berkepanjangan pada
korban, umumnya korban menderita secara fisik, mental, dan sosial.
3. Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan pada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak
pidana. Pelayanan medis ini dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan
tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan alat bukti).
4. Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban
kejahatan. Di Indonesia bantuan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberian bantuan hukum terhadap korban tindak
pidana haruslah diberikan baik diminta maupun tidak diminta oleh pihak korban.
Apabila korban tindak pidana tidak mendapat bantuan hukum maka akan
menyebabkan semakin buruknya keadaan korban tindak pidana tersebut.
5. Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan
proses penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban.
Pemberian informasi ini memegang peranan penting dalam upaya menjadikan
diharapkan fungsi kontrol mansyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan
dengan efektif.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara yang ditempuh guna
mendapatkan hasil yang diharapkan dalam sebuah pelelitian ilmiah. Adapun
metode penelitian hukum yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
meilputi:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum
normatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan terhadap istri dan
perlindungan terhadap korban serta menganalisis putusan pengadilan yang
berkaitan dengan tindak pidana tersebut apakah penerapannya telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data
sekunder, yang diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
b. Bahan hukum sekunder, yang terdiri buku-buku yang berkenaan dengan
teori-teori dan kebijakan terhadap penerapan ketentuan pidana dalam kasus
kekerasan fisik terhadap istri dan perlindungan korban, putusan-putusan
pengadilan negeri sebagai bahan analisis, dan dari berbagai literatur, majalah,
artikel, dan internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research). Data yang digunakan adalah berupa
data sekunder dengan memperlajari literatur dan putusan-putusan pengadilan
negeri yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Bahan hukum sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian
dianalisa dengan menggunakan:
a. Metode deduktif yakni dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan
berbagai bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan permasalahan dalam
skripsi ini.
b. Metode induktif yakni dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai sumber
yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sehingga diperoleh
kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab, yang pada tiap bab
sehingga dapat memberi penjelasan secara benar, rinci, dan sistematis. Secara
garis besar sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab pendahuluan ini memuat 7 (tujuh) sub bab yang
terdiri dari Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Batasan Pengaturan Kekerasan Fisik Terhadap Istri jika Dikaitkan dengan Tindak Pidana Penganiayaan menurut Ketentuan Hukum Pidana Di Indonesia
Pada bab ini akan diuraikan mengenai Batasan Pengaturan
Tindak Pidana Kekerasan Fisik terhadap Istri dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Batasan Pengaturan Tindak
Pidana Penganiayaan terhadap Istri dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Perbedaan Rumusan
Tindak Pidana Kekerasan Fisik/ Penganiayaan terhadap Istri
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Kitab
BAB III : Penerapan Ketentuan Pidana dalam Kekerasan Fisik terhadap Istri ditinjau dari Aspek Perlindungan Terhadap Korban
Pada bab ini akan dibahas mengenai Aspek Perlindungan
Korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Penerapan
Ketentuan Pidana dalam Kekerasan Fisik terhadap Istri ditinjau
dari Aspek Perlindungan Korban yang di dalamnya terdiri dari
Kasus Posisi dan Analisa Kasus.
BAB IV : Kesimpulan dan Saran
Merupakan bagian penutup yang memuat hasil yang didapat
dari penelitian pada bab-bab sebelumnya. Terdiri dari 2 (dua)