PENGAMATAN TERHADAP WARNA DAN PARAMETER YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENGOLAHAN AIR LIMBAH MENGGUNAKAN
BAKTERI
1.1 Warna
Dilansir dari (https://www.biologicalwasteexpert.com/blog/color-foam-two-easily-monitored- wastewater-parameters-that-should-be-recorded), dapat dilakukan pengamatan sederhana dari warna air limbah:
a. Coklat muda
Menunjukkan bakteri yang masih muda. Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan pak Tri dan Pak Dedi, dimana sludge pada hari pertama seeding masih berwarna coklat muda. Berdasarkan
(https://www.environmentalpollution.in/sewage-treatment/sludge/sludge-
characteristics-and-quantity-waste-management/5638), sludge yang berwarna coklat muda juga mengindikasikan kurangnya aerasi pada bak air limbah.
b. Coklat
Menunjukkan warna sludge yang sehat.
c. Coklat tua
Menandakan lumpur yang sudah tua.
d. Abu-abu
Berdasarkan jurnal (https://water.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Limbah- modul_2.pdf), Wama abu-abu muda, abu-abu setengah tua tandanya air sedang mengalami pembusukan oleh bakteri. Jika abu-abu tua - hitam berarti sudah busuk akibat bakteri.
e. Hitam
Menandakan pembusukan oleh bakteri, DO rendah, juga bisa menjadi pewarna.
Berdasarkan dari sesi tanya jawab di researchgate (Williams, Jay. (2014). Re: Why is the color of mixed liquor in activated sludge basins or aerobic sequencing batch reactors (SBR) cream or orange?. Retrieved from: https://www.researchgate.net/post/Why-is-the- color-of-mixed-liquor-in-activated-sludge-basins-or-aerobic-sequencing-batch-reactors-SBR- cream-or-orange/546a4473d11b8b2f168b4648/citation/download.)
f. Oranye–merah
umumnya karena kadar besi (Fe³ ) tinggi atau mikroba yang banyak menyerap⁺ besi (mis. Euglena berinti merah).
g. Krem/putih
Biasanya warna pada busa bak aerobik dan itu menunjukkan start up normal atau load BOD yang sangat tinggi dengan rasio F/M yang tinggi pula. biasanya pulih setelah MCRT/F-M disetel ke ±5-6 hari.. Jika tidak ada perubahan, maka perlu melihat pengaturan RAS dan WAS untuk melihat apakah Anda perlu membuang lebih banyak lumpur atau menahannya sedikit lebih lama untuk mencegah shock loading.
h. Beragam warna lain (ungu, kuning, biru, hijau)
sering berasal dari limbah industri spesifik (pewarna makanan, portable-toilet dye, tumin, alga, dll.).
1.2 COD
COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan jumlah kebutuhan senyawa kimia terhadap oksigen untuk mengurai bahan organik.
1.3 BOD
BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik didalam air.
Menurut RACHMAT KUKUH PATRIA, (2019) “ANALISIS RISIKO PADA INSTALASI PENGOLAH AIR LIMBAH PT X DENGAN KONSEP MANAJEMEN RISIKO”. Beban BOD yang masuk (Organic Loading Rate), merupakan jumlah bahan organik yang dapat diolah dengan mikroorganisme dengan membutuhkan oksigen sebagai penunjang proses metabolisme nya. Dengan beban BOD yang tinggi maka dapat menyebabkan performa berkurang dikarenakan kebutuhan oksigen dan mikroorganisme nya meningkat. Jika beban BOD melebihi batas kriteria maka dapat berpengaruh pada variabel kontrol yang lain yakni rasio food to microorganism F/M.
1.4 DO
DO (Dissolved Oxygen / Oxygen Demand) adalah kandungan oksigen yang terlarut didalam air sebagai parameter untuk mengukur kualitas air.
Dari perkataan pak yusuf, DO dijaga pada 4 ppm.
Menurut pak Dedi, DO yang terlalu banyak dapat menyebabkan terjadinya evergrowth bakteri sehingga meningkatkan bakteri, DO yang terlalu banyak juga dapat mengakibatkan sludge mengendap ke atas sehingga penguraian COD menjadi kurang maksimal.
Sedangkan jika DO Kurang, bakteri akan kekurangan oksigen dan mati, menurut Mr. Kim, DO kurang dapat disadari dengan adanya bau amis pada air limbah.
1.5 MLSS
MLSS adalah jumlah total dan padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 105 oC, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
Dari perkataan pak yusuf, MLSS untuk MBR dijaga pada 4000-6000 mg/L dan untuk konventional dijaga pada 2000-4000 mg/L.
1.6 MLVSS
Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS
diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel. MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 – 6500oC, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
1.7 SVI
Menurut RACHMAT KUKUH PATRIA, (2019) “ANALISIS RISIKO PADA INSTALASI PENGOLAH AIR LIMBAH PT X DENGAN KONSEP MANAJEMEN RISIKO”.
menunjukkan besamya volume yang ditempati 1 gram lumpur (sludge). Sludge Volume Index atau SVI merupakan parameter terpenting dalam menentukan karakteristik pengendapan lumpur/biomassa activated sludge. ketika SVI memiliki nilai cukup tinggi atau lebih dari
kriteria desain yakni 150 mL/g maka dapat dipastikan bahwa terdapat bulking sludge yang membuat penyisihan biomasa dan TSS tidak sempurna. sedangkan apabila nilai SVI berada pada range 100-150 menandakan pengendapan lumpur dalam keadaan baik dengan daya kompaksi yang tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh SVI dengan nilai < 100 mL/g memiliki persentase penyisihan COD > 90%.
1.8 F/M Ratio
F/M merupakan perbandingan antara jumlah bahan organik yang akan diurai (BOD) dengan jumlah mokroorganisme pengurai yang ada dalam bak lumpur aktif. Besarnya nilai F/M ditunjukkan dalam satuan kilogram BOD per kilogram MLSS per hari.
Proses pengendapan lumpur tergantung dari rasio F/M, pengendapan terjadi dengan baik pada rasio F/M rendah, dan sebaliknya rasio F/M yang tinggi akan mengakibatkan pengendapan lumpur yang buruk
1.9 Hidraulic Retention Time
HRT adalah waktu rata-rata air limbah berada dalam bak aerasi untuk proses penguraian bahan organik. Dapat dikatakan waktu air limbah masuk ke dalam bak aerasi sampai keluar ke unit pengolahan selanjutnya.
1.10 Sludge Retention Time
SRT merupakan waktu tinggal rata-rata lumpur aktif (mikroorganisme) dalam sistem lumpur aktif. SRT menunjukan tingkat pertumbuhan mikroorganisme dalam proses lumpur aktif, dengan kontroling SRT maka dapat menstabilkan penyisihan ammonia oleh proses nitrifikasi, dan 80 nutrien biologis lainya. Menurut
(https://efcnetwork.org/wp-content/uploads/2023/10/Activated-Sludge-Characteristics-and- Trouble-Shooting-1.pdf), cara untuk mengurangi SRT adalah dengan meningkatkan sludge wasting (WAS) dan sebaliknya.
1.11 Trouble Shooting
Menurut (https://www.wastewatersystem.net/2012/05/biological-treatment-system.html), berikut beberapa trouble shooting yang dilakukan dalam pengolahan air limbah:
Problem Possible causes Corrective Actions
Bulking: Lumpur berubah menjadi warna cokelat muda. Pengendapan lumpur yang buruk ditandai dengan nilai SVI yang tinggi (>200). Hal ini akan menyebabkan kualitas air buangan yang buruk karena lumpur tidak dapat terpisah dengan baik dari air di penjernih.
a). Biomassa tidak
mencukupi. Biasanya hal ini dapat dilihat dari penurunan tiba-tiba pada level MLSS.
Konsentrasi biomassa ideal harus berada di antara 4000 – 5000ppm tergantung pada pengaturan pabrik yang berbeda dan faktor-faktor pengolahan seperti karakteristik air limbah terutama pada nilai BOD influen.
b) Pertumbuhan bakteri berfilamen karena:
Aerasi tidak mencukupi yang menyebabkan level DO rendah
Kondisi nutrisi
rendah/ketidakseimbangan dalam rasio COD:N:P
MLSS terlalu tinggi atau terlalu rendah terkait dengan rasio makanan terhadap mikroorganisme (F/M). Rasio F/M ideal yang sesuai untuk setiap sistem aerasi dapat bervariasi tetapi sebagai panduan umum, rasio tersebut harus berada di kisaran 0,15 – 0,50 (jika COD digunakan sebagai dasar perhitungan).
Beban hidrolik dan BOD influen yang berubah atau berfluktuasi.
Keberadaan atau masuknya zat beracun secara tiba- tiba yang menghambat pertumbuhan biomassa dan kematian
mikroorganisme
pH rendah terutama kondisi asam yang
berkepanjangan di kolam aerasi
Untuk memulai program
Bioaugmentasi guna
memperkenalkan dan
membudidayakan jenis
lumpur/bakteri yang tepat dengan karakteristik pengendapan yang diinginkan.
Pilihan lain seperti pemberian dosis bahan pengikat seperti polimer ke dalam penjernih dapat
dipertimbangkan yang akan
membantu lumpur membentuk
molekul yang lebih besar yang akan mengendap lebih cepat. Namun, ini hanyalah solusi jangka pendek.
Deflokulasi atau
terbentuknya flok pin. Hal ini biasanya ditandai dengan adanya partikel yang sangat halus atau padatan berukuran pin yang mengapung di permukaan clarifier.
Akumulasi bahan-bahan ini dapat menyebabkan terbawa ke pembuangan akhir yang menyebabkan tampilan limbah menjadi keruh/berawan.
(a) Kondisi ini dapat disebabkan oleh karakteristik lumpur yang mengendap terlalu cepat sehingga hanya menyisakan partikel- partikel kecil
(b) Rasio F/M rendah yang berarti jumlah makanan terlalu sedikit untuk mikroorganisme yang lebih banyak
(c) Aerasi berlebihan atau beban BOD rendah (d) Pembuangan lumpur
tidak mencukupi.
Adanya zat-zat beracun.
(a) Mengendalikan laju aerasi atau
meningkatkan beban BOD.
(b) Meningkatkan WAS.
(c) Menghilangkan sumber
pembuangan racun yang masuk ke sistem pengolahan.
(a) Dekomposisi / Pembusukan lumpur (b) Cairan campuran
berwarna coklat tua, berbau septik atau asam.
(a) Kadar oksigen terlarut rendah (apa pun di bawah 0,3 ppm dianggap kritis)
(b) Usia lumpur atau waktu retensi lumpur terlalu lama di bak lumpur aktif.
(a) Tingkatkan durasi fase aerasi selama mungkin atau periksa peralatan aerator.
(b) Tingkatkan frekuensi pembuangan lumpur.
(a) Berbusa. Ada berbagai jenis busa dan untuk mengidentifikasi jenisnya hanya bergantung pada inspeksi visual. (Lihat rangkaian gambar di bawah ini yang menggambarkan jenis busa yang terlihat dalam sistem biologis)
(b) Jenis Busa I
Berwarna keputihan, tebal dan berbusa.
Biasanya ini terjadi selama permulaan pabrik ketika
mikroorganisme masih terlalu muda dan terdapat beban F/M yang tinggi
(c) Jenis Busa II
Busa berwarna putih
(a) Untuk Jenis Busa I, dalam situasi awal pabrik yang umum, hal ini biasanya disebabkan oleh beban berlebih saat MLSS belum mencapai nilai optimal. Fluktuasi yang besar pada
karakteristik air limbah juga dapat menyebabkan skenario ini.
(b) Untuk Jenis Busa II, bakteri berfilamen hadir tetapi tidak dalam jumlah yang dominan (dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
mikroskopis)
(c) Untuk Jenis Busa III, biasanya Anda dapat melihat keberadaan
(a) Untuk Jenis Busa I, perlambat laju pemuatan, kurangi laju Pembuangan lumpur, dan tunggu hingga konsentrasi MLSS yang ideal tercapai.
(b) Untuk Jenis Busa II, biasanya keberadaan jenis busa ini sangat umum dan terjadi di hampir setiap sistem pengolahan biologis.
Namun, jika kondisi ini terus berlanjut hingga menyebabkan area permukaan cekungan yang tertutup busa semakin luas, maka gunakan pendekatan penimbunan lumpur
hingga cokelat muda.
Lebih stabil dan tidak terlalu berbusa.
(d) Jenis Busa III Cokelat tua, stabil dengan lapisan busa tipis. Ini disebabkan oleh sistem yang sudah tua yang beroperasi pada konsentrasi MLSS yang tinggi
(e) Jenis Busa IV
Keberadaan busa juga dapat disebabkan oleh faktor lain yang tidak terkait secara biologis seperti adanya deterjen dalam air limbah yang masuk. Jenis busa ini cenderung berwarna keputihan, ringan dan lembut. Busa ini juga akan mudah hancur.
rotifer (berdasarkan pemeriksaan
mikroskopis) atau cacing yang muncul di sisi bak aerasi yang memakan endapan lumpur yang membusuk. Ini menandakan masalah yang dihadapi oleh sistem yang menua di mana lumpur sudah terlalu tua.
(d) Pembusaan Kimia disebabkan oleh keberadaan deterjen karena karakteristik air limbah yang masuk.
untuk mengatasinya.
(c) Untuk Jenis Busa III, tingkatkan laju Pembuangan lumpur sambil terus
memantau
penurunan MLSS dan lakukan pemeriksaan mikroskopis.
(d) Periksa sumbernya dan temukan cara untuk mengurangi deterjen yang masuk ke sistem.
Semprotkan agen antibusa/air dari sistem penyiram untuk memecah gelembung dalam busa.