• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TIMUR TAHUN 2010-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TIMUR TAHUN 2010-2015"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TIMUR

TAHUN 2010-2015

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Reny Laraswati 135020101111050

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2017

(2)
(3)

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TIMUR TAHUN 2010-2015

Reny Laraswati

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email : [email protected]

ABSTRAK

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan serius yang harus dihadapi setiap daerah dalam rangka percepatan pembangunan daerah. Maka dari itu, diperlukan adanya eksistensi dari pemerintah daerah dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan penduduk terhadap tingkat kemiskinan pada Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2015.

Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Estimasi dilakukan dengan regresi data panel yang menggunakan program Eviews 7. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan penduduk berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan, baik secara simultan maupun parsial.

Kata kunci: desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan penduduk, kemiskinan.

A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memberlakukan sistem desentralisasi fiskal dalam era otonomi daerah. Menurut Sidik (2002), bentuk-bentuk desentralisasi dalam otonomi daerah antara lain desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, desentralisasi politik dan desentralisasi ekonomi. Namun, salah satu bentuk desentralisasi yang paling banyak berpengaruh dalam perkembangan daerah di Indonesia adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Awal permulaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola dan mengatur keuangannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, pemerintah daerah juga berhak untuk mengalokasikan pendapatannya ke dalam prioritas pembangunan daerah (Mardiasmo, 2002).

Sistem otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat memungkinkan pemerintah daerah diberikan sumber-sumber pendanaan dari pemerintah pusat untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Sumber-sumber pendanaan utama yang dimaksud adalah dana transfer daerah atau dana perimbangan. Besarnya dukungan pendanaan dari pusat ke daerah tersebut akan semakin menuntut kemandirian pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah yang lain dan mengalokasikan sumber-sumber penerimaan tersebut ke dalam proporsi belanja yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, sehingga keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah sangat tergantung pada pemerintah daerah sebagai pengelola alokasi belanja pada kegiatan dan program yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan publik. Menurut William dan Vyasulu (dalam Sudewi, 2013) menyatakan bahwa adanya desentralisasi fiskal diharapkan dapat mengurangi kemiskinan apabila diarahkan kepada perubahan struktur politik dan perubahan sikap antara pemerintah terhadap penduduk miskin (pro poor).

Provinsi Jawa timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah kabupaten/kota paling banyak di Indonesia, yaitu sebanyak 38 kabupaten/kota. Dengan banyaknya kabupaten/kota serta berbagai potensi sumber daya yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Timur, maka setidaknya transfer daerah berupa dana perimbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung lebih besar dari provinsi lainnya. Pada tahun 2015, Provinsi Jawa Timur menempati posisi kedua

(4)

teratas yang memiliki total dana perimbangan terbesar di Indonesia setelah Provinsi DKI Jakarta, yaitu dengan dana perimbangan sebesar Rp 4.345.684.118.152,00.

Tabel 1 : Perkembangan Dana Perimbangan Jawa Timur Tahun 2009-2015

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2017

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih mendominasi dalam dana perimbangan Jawa Timur yang ditransfer oleh pemerintah pusat. Dari tahun 2009 hingga tahun 2015, dana perimbangan Jawa Timur mengalami pergerakan naik dan turun. Dana perimbangan di tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 18%, tahun 2011 dan 2012 juga mengalami kenaikan masing-masing sebesar 3% dan 21%. Namun, terjadi penurunan di tahun 2013 sebesar 9,6% dan selanjutnya pada tahun 2014 mengalami kenaikan kembali sebesar 25%, sedangkan di tahun 2015 mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu sebesar 10,6%.

Dengan melihat fenomena dana perimbangan di Jawa Timur yang cenderung tidak stabil ditiap tahunnya, maka pemerintah daerah akan semakin berusaha untuk memaksimalkan serta menggali semua sumber-sumber penerimaannya dan mengalokasikan penerimaan tersebut ke dalam alokasi belanja yang disesuaikan dengan kebutuhan dasar masyarakat terutama dalam hal mendapatkan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan, yang sebagaimana jika kebutuhan dasar masyarakat tersebut terpenuhi dengan maksimal, maka kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat, tingkat kemiskinan akan berkurang dan proses pembangunan daerah pun juga akan semakin cepat (Maier dalam Kuncoro, 2010).

Dengan melihat beberapa aspek tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pengaruh masing-masing aspek tersebut terhadap kemiskinan. Maka disini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Tingkat Kemiskinan di Jawa Timur Tahun 2010-2015”.

B. TINJAUAN PUSTAKA Otonomi Daerah

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, konteks otonomi daerah merupakan otonomi yang memberikan suatu kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat secara proporsional, yang diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di sisi lain, pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat berhukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang mempunyai hak, wewenang dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sarundajang, 2005).

Desentralisasi Fiskal

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi fiskal merupakan penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus segala bentuk keuangannya secara mandiri yang sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Menurut Ebel dan Yilmaz (2002) ada tiga macam desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian daerah, antara lain:

1. Deconcentration

Deconcentration merupakan pelimpahan kewewenangan dari pemeritah pusat kepada pemerintah daerah.

Keterangan 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Dana Perimbangan 2071642 2445304 2528086 3069016 2773894 3485336 3115619 DAU 1118478 1212934 1347501 1491561 1632648 1866548 1587261

DAK 180010 569820 550310 534900 856440 1018750 660390

DBH 773154 1175388 1125554 1523965 1055602 1516912 1462318

(5)

2. Delegation

Delegation merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan tanggung jawab penuh kepada pemerintah pusat.

3. Devolution

Devolution merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah juga diberi kewenangan dalam mengelola sendiri keuangan daerahnya.

Kemiskinan

Kemiskinan merupakan ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan standar minimum. Menurut Todaro (2011), kemiskinan merupakan individu yang tidak mampu dalam mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup individu tersebut. Selain itu, menurut Widodo (dalam Sartika et al, 2016) menyebutkan bahwa kebutuhan standar minimum selalu dikaitkan dengan kemiskinan, karena kemiskinan merupakan persoalan yang sangat mendasar yang harus segera ditangani dan penduduk miskin umumnya tidak berpenghasilan cukup, bahkan tidak berpenghasilan sama sekali. Penduduk miskin sangat rendah dalam kemampuan menghasilkan pendapatan dan terbatasnya akses dalam sebuah kegiatan ekonomi sehingga cenderung tertinggal dari masyarakat yang lainnya.

Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrument kebijakan fiskal. Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pengeluaran atau pembayaran atas barang dan jasa yang digunakan untuk kepentingan nasional seperti kepentingan untuk membeli alat-alat kantor pemerintahan, persenjataan, pembangunan jalan dan bendungan, gaji pegawai negeri dan lainnya (Samuelson dalam Wahyuningtyas, 2010). Pengeluaran pemerintah juga merupakan salah satu instrument untuk mengukur seberapa besar peran sektor pemerintah dan sektor swasta.

Pertumbuhan Penduduk

Menurut Badan Pusat Statistik (2016), pertumbuhan penduduk merupakan perubahan jumlah penduduk di wilayah tertentu dan pada waktu tertentu dari waktu sebelumnya. Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat akan menimbulkan masalah bagi kesejahteraan dan pembangunan daerah. Terdapat beberapa aspek-aspek kependudukan yang perlu diperhatikan di negara-negara ketiga atau negara berkembang (Irawan dan Suparmoko, 2002), antara lain:

1. Angka kelahiran (fertilitas) yang cenderung lebih tinggi daripada angka kematian (mortalitas) di tiap tahunnya.

2. Adanya ketidakseimbangan struktur umur antara penduduk berusia muda yang cenderung lebih banyak daripada penduduk yang berusia dewasa atau lanjut usia.

3. Urbanisasi yang tinggi akan mengakibatkan padatnya jumlah penduduk di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan, sehingga terjadi distribusi penduduk yang tidak merata.

4. Rendahnya kualitas penduduk yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan atau rendahnya keterampilan dan keahlian yang dimiliki, sehingga hal-hal tersebut dapat menghalangi pembangunan ekonomi di suatu Negara

Hubungan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan

Pada umumnya salah satu kegiatan dan program dalam prioritas pemerintah daerah adalah menekan tingkat kemiskinan, sehingga diperlukan adanya pengelolaan desentralisasi fiskal secara optimal, dimana mempunyai tujuan penting yaitu agar pemerintah dapat merespon lebih cepat mengenai kebutuhan-kebutuhan dasar penduduk miskin, misalnya dalam kebutuhan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak. Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari kebijakan desentralisasi fiskal terutama dalam hal desentralisasi pengeluaran, dimana pemerintah memiliki peran yang sangat penting melalui kebijakan-kebijakan yang telah dibuat untuk menekan tingkat kemiskinan dan mengalokasikan secara efektif dan efisien anggaran pengeluarannya untuk menekan tingkat kemiskinan tersebut. (Sapulveda dan Vazques dalam Hutabarat dan Sriyono, 2016).

(6)

Hubungan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Kemiskinan

Salah satu peranan pemerintah adalah sebagai penyedia kebutuhan publik di bidang pendidikan dan kesehatan, dimana hal tersebut tidak bisa disentuh oleh sistem pasar yang disebabkan oleh adanya kegagalan pasar dan kaitannya dengan peranan pemerintah sebagai peranan distribusi, alokasi dan stabilisasi. Menurut Center for the Study of Living Standarts 2001 (dalam Widodo et al, 2011) menyebutkan bahwa bidang pendidikan merupakan suatu elemen parenting dalam menanggulangi kemiskinan, memberdayakan perempuan serta dapat mencegah anak-anak usia sekolah dari upaya eksploitasi. Pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan akan memberikan kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih merata sehingga Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas akan semakin meningkat. Meningkatnya kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, sehingga hal tersebut akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat dan berujung pada pengurangan tingkat kemiskinan.

Hubungan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Kemiskinan

Menurut Maltus (dalam Saputra, 2011) penduduk suatu Negara cenderung untuk tumbuh berdasarkan deret ukur yaitu dua kali lipat setiap 30 sampai 40 tahun. Pada saat yang sama, karena adanya hasil yang menurun dari faktor produksi tanah, persediaan bahan pangan hanya tumbuh berdasarkan deret hitung. Seiring berjalannya waktu, jumlah persediaan pangan tidak bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, maka pendapatan per kapita (dalam masyarakat tani yang didefinisikan sebagai produksi pangan per kapita) akan cenderung menurun.

Selain itu, adanya laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi tidak hanya berdampak pada buruknya supply bahan pangan, namun juga menyebabkan lambatnya proses pembangunan serta munculnya kendala rendahnya kualitas sumber daya manusia yang nantinya akan berdampak pada menurunnya pendapatan per kapita (Maier dalam Kuncoro, 2010).

C. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Untuk menganalisis tentang pengaruh desentralisasi fiscal, pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan penduduk terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Timur akan dilakukan dengan pendekatan kuantitatif.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten/Kota Jawa Timur karena provinsi Jawa Timur memiliki jumlah kabupaten/kota paling banyak di Indonesia dan mendapat dana perimbangan terbesar kedua di Indonesia.

Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini variabel dependen yang digunakan adalah kemiskinan. Kemiskinan yaitu dengan menggunakan persentase jumlah penduduk miskin yang didasarkan pada pengeluaran riil per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2010- 2015. Untuk variabel independen dalam penelitian ini adalah desentralisasi fiskal yaitu menggunakan derajat desentralisasi fiskal di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2010-2015, pengeluaran pemerintah sektor pendidikan yaitu realisasi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2010-2015, variabel pengeluaran pemerintah sektor kesehatan yaitu realisasi pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2010-2015, serta pertumbuhan penduduk yaitu menggunakan laju pertumbuhan di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2010-2015.

Data dan Cara Pengembilan Data

Dalam penelitian ini, digunakan data kuantitatif dengan sumber data sekunder. Data sekunder yang dimaksud adalah data besaran nilai derajat desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2010-2015 yang diperoleh dari DJPK (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan) dan data besaran nilai persentase penduduk miskin dan laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten/Kota Jawa Timur pada tahun 2010-2015 diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Jawa Timur.

(7)

Model Analisis

Dalam penelitian ini untuk menganalisis pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen menggunakan model ekonometrika yaitu dengan alat analisis model regresi linier berganda dengan persamaan sebagai berikut :

Keterangan:

POV : Kemiskinan (persen) α : Konstanta atau intersep

β : Koefisien regresi dari setiap variabel yang digunakan i : Individual cross section kabupaten/kota

t : Individual cross section waktu/periode it-1 : Variabel tenggat (lag variable) FD : Desentralisasi fiskal (persen)

GOVEX1 : Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan (miliar) GOVEX2 : Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan (miliar) POP : Pertumbuhan penduduk (persen)

µ : Error/residual

Pemilihan Model Estimasi

Analisis regresi dengan data panel dapat dilakukan dalam beberapa langkah:

1. Common Effect Model

Penggunaan metode ini secara sederhana adalah dengan menggabungkan semua data cross section dan time series tanpa melihat perbedaan baik antar series maupun antar unit cross section (Widarjono, 2010), sehingga diasumsikan intersep dan koefisien slope konstan sepanjang waktu dan individu, dan error term menjelaskan perbedaan intersep dan koefisien slope sepanjang waktu dan individu tersebut, yang selanjutnya dilakukan estimasi dengan metode regresi Ordinary Least Square (OLS).

2. Fixed Effect Model (FEM)

Menurut Kuncoro (2011), metode Fixed Effect merupakan teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan dummy variable untuk menangkap adanya perbedaan antar series dan antar unit cross section yang diakomodasikan melalui intercept, sehingga model estimasi ini sering disebut dengan metode Least Square Dummy Variabel (LSDV).

3. Random Effect Model (REM)

Penggunaan dummy variable pada Metode Fixed Effect berkonsekuensi pada berkurangnya derajat bebas (degree of freedom) yang akan berdampak pada efisiensi dari parameter yang diestimasi. Menurut Kuncoro (2011), untuk mengatasi hal ini, penggunaan dummy untuk menggambarkan perbedaan antar series maupun antar cross section diganti dengan memasukkan komponen perbedaan tersebut ke dalam bentuk error/residual.

Pemilihan Metode Estimasi

Dalam melakukan estimasi data panel, dapat dilakukan dengan pengujian model untuk menentukan sebagai berikut:

1. Uji Chow

Uji Chow dilakukan untuk menentukan model common effect atau model Fixed Effect Model (FEM) yang lebih tepat digunakan untuk mengestimasi data panel. Apabila hasil yang diterima:

H0: Model common effect H1: Model fixed effect 2. Uji Hausman

Uji Hausman dilakukan untuk menentukan model Random Effect Model (REM) atau model Fixed Effect Model (FEM) yang lebih tepat digunakan untuk mengestimasi data panel. Apabila hasil yang diterima:

H0: Model random effect H1: Model fixed effect

(8)

3. Uji Lagrange Multiplier

Uji Lagrange Multiplier dilakukan untuk mengetahui apakah model Random Effect Model (REM) lebih baik dari model common effect. Apabila hasil yang diterima:

H0: Model common effect H1: Model random effect

Uji Statistik

Dalam melakukan estimasi dan menguji hipotesa dari data panel dilakukan melalui uji T (parsial), uji F (simultan), serta uji koefisien determinasi (R2).

D. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis data serta pengujian hipotesis di penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model regresi liner berganda guna menganalisis pengaruh dari desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah sektor pendidikan, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dan pertumbuhan penduduk terhadap kemiskinan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menguji secara parsial maupun simultan.

Dalam menguji hipotesis di data panel, terlebih dahulu harus dilakukan pengujian untuk memilih model terbaik yang akan digunakan. Pengujian tersebut terdiri dari tiga cara yaitu Uji Chow dan Uji Hausman. Dari pengujian tersebut diperoleh model yang digunakan yaitu Fixed Effect Model (FEM). Dengan menggunakan software Eviews 7, di bawah ini disajikan tabel hasil estimasi regresi linier berganda:

Tabel 2 : Hasil Estimasi Regresi Linier Berganda

Sumber: Hasil olah data, Eviews 7

Model regresi tersebut berarti:

1. Adjusted R-squared sebesar 0,975054. Dengan perolehan tersebut, maka berarti variabel FD, GOVEX1, GOVEX2 dan POP mampu menjelaskan variabel POV sebesar 97,51%

dengan error sebesar 2,49%.

2. Probabilititas [Prob (F-statistic)] sebesar 0.000000 (0.000000 < 0,05). Dengan demikian, berarti bahwa desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah sektor pendidikan, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan dan pertumbuhan penduduk di Kabupaten/Kota Jawa Timur berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan secara simultan.

3. Probabilitas FD sebesar 0.0095 (0.0095 > 0,05) dengan koefisien regresi dari FD sebesar - 0,011856. Sehingga dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur.

4. Probabilitas GOVEX1 sebesar 0.0292 (0.0292 < 0,05) dengan koefisien regresi dari GOVEX1 sebesar -0,001094 sehingga dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur.

5. Probabilitas GOVEX2 sebesar 0.0146 (0.0146 < 0.05) dengan koefisien regresi dari GOVEX1 sebesar -0,005343. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur.

6. Probablisitas POP sebesar 0,0000 (0,0000 < 0,05) dengan koefisien regresi dari POP sebesar -0,201728. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan penduduk berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur.

Variabel Koefisien Probabilitas

FD -0,011856 0,0095

GOVEX1 -0,001094 0,0292

GOVEX2 -0,005343 0,0146

POP -0,201728 0,0000

C 22,20613 0,0000

R2 Adj. R2 Prob. F-statistik

: 0,980465 : 0,975054 : 0,000000

(9)

Pembahasan Penelitian

Dari hasil analisis data di atas, diperoleh hasil bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan. Hal tersebut berarti bahwa adanya peningkatan derajat desentralisasi fiskal dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Telah diketahui sebelumnya bahwa dalam Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 disebutkan terdapat dana perimbangan yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah dearah untuk membantu dalam mendanai segala kebutuhan atau urusan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dengan adanya dana transfer atau dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah tidak selamanya bergantung pada dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tersebut.

Tabel 3 : Tingkat Ketergantungan Keuangan Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010- 2015

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2017 (diolah)

Dari tabel 3 di atas dapat terlihat bahwa tingkat ketergantungan keuangan daerahnya semakin menurun ditiap tahunnya. Mengenai penjabaran fenomena tingkat ketergantungan daerah, maka dapat dikatakan bahwa salah satu tujuan utama adanya desentralisasi fiskal adalah terciptanya kemandirian suatu daerah. Kemandirian daerah dalam hal ini diinterpretasikan melalui derajat desentralisasi fiskal. Semakin tinggi derajat desentralisasi fiskal, maka semakin tinggi pula upaya pemerintah daerah untuk menggali potensi penerimaan lokalnya, yaitu melalui pengoptimalan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama dalam pemungutan pajak dan retribusi daerah, yang juga turut digunakan untuk mendanai sendiri segala kebutuhan publik (Mahmudi, 2010). Selain mencukupi kebutuhan publik dalam hal kebutuhan dasar, pemerintah daerah juga harus memberikan pelayanan publik lain yang meliputi pelayanan administratif, pelayanan barang dan pelayanan jasa. Terbatasnya akses bagi penduduk miskin menyebabkan penduduk tersebut tidak mampu untuk mengakumulasikan modal yang diperlukan untuk keluar dari jebakan kemiskinan (poverty trap). Minimalnya akumulasi modal dapat mengakibatkan penduduk miskin tidak mampu untuk berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dan merasakan hasil dari adanya pembangunan. Hal tersebut yang dapat mendasari pentingnya upaya pembangunan manusia, tidak hanya meliputi dari sisi kesejahteraan saja melainkan juga terkait dengan peningkatan kapasitas dasar manusia melalui seberapa besar atau kecilnya akses pendidikan dan kesehatan bagi penduduk miskin.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdillah dan Mursinto (2016). Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan dalam jangka panjang. Hal tersebut disebabkan adanya perbaikan regulasi pada pengelolaan desentralisasi penerimaan, yaitu dalam peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang dapat mengurangi suatu daerah dalam jangka panjang. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan dapat ditekan dengan mengalokasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke dalam alokasi belanja publik melalui program-program pemerintah daerah yang berbasis pro poor guna peningkatan standar pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama bagi penduduk miskin.

Selanjutnya, untuk pengeluaran pemerintah sektor pendidikan didapatkan hasil bahwa adanya kenaikan pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan karena pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Apabila tingkat pendidikan atau pengetahuan rendah, maka dapat mengakibatkan produktivitas menjadi rendah dan diikuti dengan rendahnya output produksi, selanjutnya

Tahun Dana Perimbangan Total Pendapatan Daerah Ketergantungan Keuangan Daerah

2010 2445305 9777104 25,01052459

2011 2528086 11493376 21,99602623

2012 3069016 15401494 19,92674217

2013 2773895 17411309 15,93157068

2014 3485337 20772484 16,77862407

2015 3115619 22228450 14,01635742

(10)

berdampak pada rendahnya pendapatan yang dihasilkan sehingga individu tersebut memiliki daya beli pendidikan dan informasi yang sangat rendah. Salah satu cara agar dapat keluar dari lingkaran setan kemiskinan adalah dengan melalui perbaikan kualitas pendidikan, dimana pelayanan pendidikan masyarakat yang paling elementer adalah pendidikan sekolah dasar (SD) yang termasuk dalam program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Namun, pada saat ini pemerintah menciptakan program Wajib Belajar Dua Belas Tahun agar pemerintah dapat menjamin bahwa semua anak dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya agar dapat turut berpartisipasi dalam persaingan dunia kerja dengan berbekal tingkat pendidikan dan pengetahuan yang memadai untuk masuk ke dunia kerja. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pendidikan yang terakhir ditamatkan pada jenjang SMA/SMK dan Perguruan Tinggi di Jawa Timur semakin meningkat setiap tahunnya (BPS Jatim, 2017).

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Widodo et al (2011) yang menyebutkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan, meskipun berpengaruh dalam jangka panjang. Untuk menekan tingkat kemiskinan, peranan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pembangunan manusia sangat besar diharapkan oleh semua lapisan masyarakat. Investasi pemerintah dalam peningkatan sumber daya manusia, baik itu di sektor pendidikan maupun di sektor lainnya yang berhubungan dengan pelayanan publik, akan berdampak pada suatu kegiatan ekonomi.

Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis regresi di atas, diketahui bahwa adanya kenaikan pada pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Menurut Mardiasmo (2002) yang menyatakan bahwa dalam era otonomi dearah, pemerintah daerah dituntut untuk terus semakin mendekatkan diri pada pelayanan dasar masyarakat. Salah satu dari pelayanan dasar masyarakat tersebut adalah sektor kesehatan. Hal tersebut juga tercantum dalam teori yang dikemukakan oleh Arsyad (2010) yang menjelaskan bahwa intervensi pemerintah untuk memperbaiki sektor kesehatan juga merupakan salah satu alat kebijakan yang sangat penting untuk mengurangi kemiskinan di suatu daerah. Salah satu faktor yang menjadi dasar atas perbaikan kebijakan tersebut adalah dengan adanya perbaikan kesehatan akan meningkatkan produktivitas penduduk miskin, sehingga dapat dikatakan bahwa kesehatan yang lebih baik akan meningkatkan daya kerja, mengurangi hari tidak bekerja (leisure time) dan dapat menaikkan output tiap individu.

Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang anggaran kesehatan, yang menyebutkan bahwa besar anggaran kesehatan untuk pemerintah pusat dialokasikan sebesar 5% dari APBN, sedangkan besaran anggaran kesehatan untuk pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan alokasi minimal 10% dari APBD.

Semua alokasi tersebut diluar gaji para tenaga medis atau kesehatan. Keberhasilan program kesehatan yang dibuat oleh pemerintah daerah pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduk. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan angka harapan hidup (AHH) Jawa Timur yang semakin meningkat tahunnya. Pada tahun 2010, AHH Jawa Timur sebesar 69,6% dan sedangkan pada tahun 2015 menunjukkan angka 70,68% (BPS Jatim, 2017).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil peneliti dari Setyaningrum (2009) yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan juga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Hal tersebut mengandung makna bahwa untuk menekan tingkat kemiskinan, maka harus didukung dengan kebijakan pemerintah melalui alokasi sumber pendanaan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Penekanan tingkat kemiskinan dalam hal ini merupakan salah satu sebagai upaya meningkatkan kualitas pembangunan manusia terkait dengan aspek pemenuhan kebutuhan akan hidup panjang umur dan hidup sehat untuk bisa memenuhi standar hidup yang layak.

Pada pertumbuhan penduduk, didapatkan hasil regresi bahwa kenaikan laju pertumbuhan penduduk dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Pada dasarnya, hasil penelitian ini bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Maier (dalam Kuncoro, 2011) yang menyatakan bahwa adanya laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi tidak hanya berdampak pada buruknya supply bahan pangan, namun juga menyebabkan lambatnya proses pembangunan serta munculnya kendala rendahnya kualitas sumber daya manusia yang nantinya akan berdampak pada menurunnya pendapatan per kapita. Teori tersebut juga selaras dengan teori yang disebutkan oleh Coale-Hoover (dalam Mahsunah, 2013) yang juga menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi dikatakan sebagai pengganggu pembangunan.

Hasil penelitian ini dibuktikan dengan adanya jumlah penduduk usia produktif yang semakin meningkat. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur yang tergolong usia produktif sebesar 26.623.859 jiwa dari jumlah penduduk secara keseluruhan

(11)

yaitu sebesar 37.476.757 jiwa. Sedangkan pada hasil SUPAS tahun 2015, jumlah usia produktif mencapai 26.936.754 jiwa dari jumlah penduduk secara keseluruhan yaitu sebesar 38.847.561 jiwa. Melihat fenomena semakin bertambahnya jumlah usia produktif, maka semakin besar pula penawaran tenaga kerja yang ada di pasar tenaga kerja. Hal tersebut dapat terlihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah.

Pada umumnya, tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan akan mempengaruhi individu untuk terlibat dalam kegiatan perekonomian, yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh maka TPAK juga cenderung semakin tinggi. Hal tersebut terjadi karena individu akan memiliki peluang untuk mendapat pekerjaan semakin meningkat yang sejalan dengan tingginya tingkat pendidikan yang diperolehnya. Di Jawa Timur, kelompok usia produktif pada tahun 2015 yang memiliki pendidikan tertinggi atau diploma/universitas masih tetap cenderung lebih banyak terserap dalam kegiatan perekonomian. Namun, terdapat perbedaan pada kelompok usia tua yang menunjukkan bahwa pada penduduk kelompok usia tua atau 60 tahun ke atas didominasi dengan tingkat pendidikan tertinggi yang cenderung rendah atau pada level SD ke bawah, sehingga persentase TPAK pada penduduk kelompok usia tua tahun 2015 cenderung lebih rendah yang menandakan bahwa penduduk pada kelompok usia tua tidak banyak yang terserap di pangsa kerja (BPS Jatim, 2017).

Di sisi lain, TPAK yang cenderung rendah pada tahun 2015 menandakan bahwa banyak penduduk terutama pada kelompok usia tua yang masih ikut berperan aktif dalam kegiatan perekonomian, yaitu dengan beralih profesi menjadi wirausaha. Dengan begitu, penduduk tersebut masih bisa mendapatkan penghasilan serta agar tidak terjebak dalam jurang kemiskinan. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumalasari (2011) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan, dimana hal tersebut disebabkan karena penduduk memiliki fungsi ganda dalam perekonomian. Di dalam konteks pasar, penduduk berada di sisi permintaan (konsumen) dan sisi penawaran (produsen atau tenaga kerja). Di sisi permintaan akan meningkat jika penduduk sebagai konsumen mempunyai daya beli yang dapat dijangkau. Sedangkan di sisi penawaran akan meningkat jika penduduk sebagai produsen memiliki kapasitas produktif yang memadai dan efisien. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penduduk merupakan pemacu pembangunan ekonomi. Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2011) yang menemukan hasil regresi bahwa jumlah penduduk memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan. Hal demikian bisa terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan ekonomi, yaitu kesejahteraan rakyat dan penekanan tingkat kemiskinan. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang sangat besar dapat memberikan dampak pada timbulnya masalah-masalah yang baru, baik dari segi sosial maupun ekonomi, seperti terjadinya peningkatan angka pengangguran.

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil penelitian serta pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur. Hal tersebut berarti bahwa terjadinya kenaikan derajat desentralisasi fiskal dapat menurunkan jumlah penduduk miskin.

2. Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur. Hal tersebut berarti bahwa terjadinya kenaikan pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin.

3. Pengeluaran pemerintah sektor kesehatan berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur. Hal tersebut berarti bahwa terjadinya kenaikan pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin.

4. Pertumbuhan penduduk berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan di Jawa Timur. Hal tersebut berarti bahwa terjadinya kenaikan laju pertumbuhan penduduk dapat menurunkan jumlah penduduk miskin.

(12)

Saran

Dari hasil penelitian serta pembahasan di atas, maka terdapat beberapa saran yang dapat diberikan sebagai berikut:

1. Diharapkan pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintahannya agar dapat menjalankan desentralisasi fiskal yang sesuai dengan hakikat desentralisasi fiskal itu sendiri.

2. Seiring bertambahnya anggaran pengeluaran di sektor pendidikan, diharapakan pemerintah daerah untuk menciptakan beberapa inovasi program pemerintah yang berbasis pro poor agar semua penduduk miskin dapat menikmati berbagai akses pelayanan publik dengan mudah. Selain itu, juga diharapkan untuk memberikan tenaga pengajar tambahan yang dapat menjangkau ke daerah-daerah pelosok sehingga penduduk pelosok atau penduduk miskin dapat mengenyam pendidikan yang layak.

3. Diharapkan pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran di sektor kesehatan seiring dengan semakin besarnya jumlah penduduk di tiap tahunnya. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu untuk melakukan pengaturan birokrasi ulang tentang pelayanan dan fasilitas kesehatan terutama yang diperuntukkan bagi penduduk miskin agar penduduk miskin mendapatkan akses dan fasilitas kesehatan dengan mudah dan tidak berbelit-belit.

4. Dengan terus adanya penambahan jumlah penduduk, diharapkan pemerintah daerah untuk memberikan program-program yang berkaitan dengan penekanan fertilitas, seperti menciptakan inovasi baru dalam program Keluarga Berencana (KB) agar penduduk tertarik kembali untuk menggunakan KB. Selain itu, dengan bertambahnya jumlah usia produktif di sepanjang tahun, diharapkan pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk dapat menarik investor sebanyak-banyaknya untuk masuk ke Provinsi Jawa Timur sehingga akan terciptanya lapangan pekerjaan yang baru dan dapat menyerap jumlah penduduk di usia produktif yang tersedia di pasar tenaga kerja.

5. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan untuk mengembangkan penelitian pada variabel bebas misalnya subsidi untuk listrik dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diduga berpengaruh pada kemiskinan di suatu daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah dan Mursinto. 2016. The Effects of Fiscal Decentralization, Economic Growth and Income Inequality on Poverty Rate of Indonesia’s 33 Provinces. International Journal of Advanced Research. Vol. 4, Issue 2.

Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Edisi kelima. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Badan Pusat Statistik. 2016. Laporan Eksekutif Keadaan Angkatan Kerja di Jawa Timur 2014- 2015.https://jatim.bps.go.id/4dm!n/pdf_publikasi/Laporan-Eksekutif-Keadaan-Angkatan- Kerja-di-Jawa-Timur-2014--2015.pdf. Diakses tanggal 28 Mei 2017.

Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2017. Indeks Pembangunan Manusia.

https://jatim.bps.go.id/Subjek/view/id/26#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1.

Diakses tanggal 24 Mei 2017.

Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2017. Kemiskinan.https://jatim.bps.go.id/

linkTabelStatis/view/id/353. Diakses tanggal 19 Januari 2017.

Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2017. Kependudukan. https://www.bps.go.id/ subjek/

view/id/12. Diakses tanggal 19 Januari 2017.

Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2017. Pendidikan. https://jatim.bps.go.id/

Subjek/view/id/28#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1. Diakses tanggal 26 Mei 2017.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2016. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.http://www.djpk.depkeu.go.id/ ?page_id=316. Diakses tanggal 13 Januari 2017.

Hutabarat dan Sriyono. 2016. Pengaruh Desentralisasi Fiskal, Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan (Studi Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2002-2013). Skripsi. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Irawan dan Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan. Edisi Keenam. Yogyakarta: BPFE.

(13)

Kumalasari, Mema. 2011. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-Rata Lama Sekolah, Pengeluaran Per Kapita dan Jumlah Penduduk Terhadap Tingkat Kemiskinan di Jawa Tengah. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Kuncoro, Mudrajat. 2010. Dasar-dasar Ekonomika Pembangunan. Edisi kelima. Yogyakarta:

Penerbit YKPN.

Kuncoro, Mudrajat. 2011. Dasar-dasar Ekonomika Pembangunan. Edisi kelima. Yogyakarta:

Penerbit YKPN.

Kusumaningrum, Rr. Sita Dewi. 2013. Link of Fiscal Decentralization to Poverty Reduction:

Indonesian Context. Jurnal Ekonomia. Vol. 9, No. 2.

Mahmudi, 2010. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Edisi Kedua. Yogyakarta:

Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.

Mahsunah, Durrotul. 2013. Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk, Pendidkan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Jawa Timur. Jurnal Pendidikan Ekonomi. Vol. 1, No. 3.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi Saputra, Whisnu Adhi. 2011. Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, IPM, Pengangguran

Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi. Vol. 1, No. 1.

Sartika, et al. 2016. Studi Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Masyarakat Desa Lohia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna. Jurnal Ekonomi. Vol. 1, No. 1.

Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Hasta.

Setyaningrum, Elya. 2009. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Tingkat Kemiskinan: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa Timur Periode 2000-2005. Tesis. Universitas Airlangga.

Sidik, Machfud. 2002. Kebijakan, Implementasi dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Makalah Seminar Nasional. Yogyakarta.

Sudewi dan Wirathi. 2013. Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan Propinsi Bali. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 2, No. 3.

Todaro, Michael P., et al. 2011. Ekonomi Pembangunan. Edisi kesebelas. Diterjemahkan oleh:

Putra, Devri Barnadi. Jakarta: Erlangga.

Wahyuningtyas, Agustina Endah. 2010. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Defisit Anggaran Terhadap Investasi di Indonesia (1989-2008).Skripsi. Universitas Diponegoro.

Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistika Multivariat Terapan. Edisi pertama. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Widodo, Adi., et al. 2011. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan Melalui Peningkatan Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan. Vol. 1, No.

1.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis regresi linear berganda adalah analisis untuk mengukur besarnya pengaruh antara dua atau lebih variabel independen terhadap satu variabel dependen dan

Dari hasil analisis regresi antara variabel dependen tingkat pertumbuhan laba dengan variabel independen rasio-rasio keuangan diperoleh nilai R 2 sebesar 0,536 yang

Hasil penelitian menunjukkan dari variabel-variabel yang telah diteliti antara variabel dependen dan independen, bahwa hasil uji penelitian menggunakan analisis regresi

Analisis regresi linear bertingkat digunakan untuk menganalisis pengaruh antara variabel independen yaitu kualitas pelayanan, terhadap variabel dependen

Analisis regresi linear sederhana digunakan untuk menganalisis hubungan antara satu variabel independen (X) yaitu struktur modal (DAR) terhadap variabel dependen

Dengan demikian maka Ho ditolak dan Ha diterima maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara variabel PDRB, Pengangguran dan

Penelitian ini menggunakan model analisis regresi untuk melakukan pengujian pengaruh dari variabel independen (Struktur Kepemilikan Keluarga) terhadap variabel

Metode kuantitatif , menggunakan data panel dari 29 provinsi yang meliputi periode tahun 1999 –2004, variabel dependen (tingkat pertumbuhan dari PDRB), variabel