SKRIPSI
PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH AMPAS KOPI SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN FILLER PADA CAMPURAN LAPIS TIPIS ASPAL BETON (LATASTON) DENGAN PERENDAMAN BERULANG
Disusun oleh :
MUH FADLY NOOR PONDY 45 16 041 078
FAKULTAS TEKNIK JURUSAN SIPIL
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2023
iii KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah yang telah memberikan kesehatan dan kelancaran dalam penulisan tugas akhir ini yang berjudul
“PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH AMPAS KOPI SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN FILLER PADA CAMPURAN LAPIS TIPIS ASPAL BETON (LATASTON) DENGAN PERENDAMAN BERULANG ”.
Tugas akhir ini disusun berdasarkan hasil penelitian dan pengujian yang dilakukan di laboratorium Bahan dan Jalan Universitas Bosowa Makassar.
Tugas Akhir ini merupakan suatu syarat akademik yang harus ditempu guna kelulusan studi Sarjana Strata Satu di Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar.
Dan penulisan Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan-bantuan pihak lain dalam memberti arahan dan bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan Tugas Akhir. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberi petunjuk dan pertolongan.
2. Kedua Orang Tua, calon istri dan saudara-saudara tercinta yang telah memberikan dukungan moral dan materi serta pengorbanan dan doa yang selalu mengiringi tiap langkah penulis hingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
iv
3. Bapak Ir.H. Abd Rahim Nurdin, MT. sebagai pembimbing I yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga terselesainya penyusan Tugas Akhir ini.
4. Ibu Ir. Nurhadijah Yunianti, ST. MT. sebagai pembimbing II yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga terselesainya penyusan Tugas Akhir ini.
5. Bapak Dekan, Para Wakil Dekan dan Staf Fakultas Teknik Universitas Bosowa Makassar.
6. Bapak Dr. Ir. Andi Rumpang Yusuf, M.T. sebagai Ketua Jurusan Sipil beserta staf dan dosen pada Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Bosowa Makassar.
7. Teman-teman Angkatan 2016 Teknik Sipil Universitas Bosowa Makassar yang telah berjuang bersama, saling menyemangati, dan menghibur dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
8. Terutama kepada diri sendiri yang telah berjuang dan bertahan melewati berbagai tantangan dan rintangan.
9. Serta Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan sedikit atau banyak andil dan doa kepada saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
v
Menyadari akan segala kekurangan dan keterbatasan penulis sebagai manusia biasa, maka penulis dengan tangan terbuka menerima segala saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas akhir ini.
Akhirnya, semoga penulisan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun rekan-rekan mahasiswa lainnya dimasa yang akan datang dan semoga segala bantuan dari semua pihak bernilai Ibadah disisi Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, Aamiin.
Makassar, November 2022
Muh. Fadly Noor Pondy
viii Abstract
This research was conducted using hot asphalt (HRS-WC) with coffee grounds waste as a partial filler replacement in asphalt mixtures. The purpose of this research is to analyze the characteristics of hot asphalt mixtures (HRS-WC) using hot asphalt with variations of coffee grounds waste as a partial filler replacement with repeated immersion. This study used coffee grounds waste with an accumulation of 20%, 25% and 30% of the filler weight. The soaking times in this study were 3, 7, and 14 days with repeated soaking. The manufacture of test specimens refers to the 2018 Bina Marga Specification. Testing using the Marshall Test. In the addition of coffee grounds waste as a partial substitute for filler as much as 20%, 25% and 30% of the asphalt mixture properties meet the limits of the 2018 Bina Marga Specifications. The best value in the properties of the asphalt mixture in this study is 20% at 3 days immersion, while the 30% mixture does not meet one of the properties of the asphalt mixture, namely the VIM value which is not within the specification limits.
ix Abstrak
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan aspal panas (HRS- WC) dengan limbah ampas kopi sebagai pengganti Sebagian filler pada campuran aspal. Tujuan dibuatnya riset ini untuk menganalisis karakteristik campuran aspal panas (HRS-WC) dengan menggunakan aspal panas dengan variasi limbah ampas kopi sebagai pengganti sebagian filler dengan perendaman berulang. Penelitian ini memakai limbah ampas kopi dengan akumulasi 20%, 25% dan 30% dari berat filler. Waktu perendaman yang dalam penelitian ini yaitu 3, 7, dan 14 hari dengan perendaman berulang.
Pembuatan benda uji mengacu pada Spesifikasi Bina Marga Tahun 2018.
Pengujian menggunakan Uji Marshall Test. Pada penambahan limbah ampas kopi sebagai pengganti sebagian filler sebanyak 20%, 25% dan 30%
sifat campuran aspal memenuhi batas -batas Spesifikasi Bina Marga tahun 2018. Nilai terbaik pada sifat campuran aspal pada penelitian ini yaitu 20%
pada perendaman 3 hari, sedangkan pada campuran 30% tidak memenuhi salah satu sifat campuran aspal yaitu nilai VIM yang tidak masuk dalam batas-batas spesifikasi.
x DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... I-1 1.2 Rumusan masalah ... I-3 1.3 Tujuan dan manfaat penelitian ... I-3 1.3.1 Tujuan penelitian ... I-3 1.3.2 Manfaat penelitian ... I-4 1.4 Pokok bahasan dan batasan masalah ... I-4 1.4.1 Pokok bahasan ... I-4 1.4.2 Batasan masalah ... I-4 1.5 Sistematika Penulisan ... I-5 1.5.1 Bab I Pendahuluan ... I-5 1.5.2 Bab II Tinjauan Pustaka ... I-5 1.5.3 Bab III Metode Penelitian ... I-5 1.5.4 Bab IV Hasil dan Pembahasan ... I-5 1.5.5 Bab V Kesimpulan dan Saran ... I-5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jalan ... II-1 2.1.1 Sistem Jaringan Jalan ... II-1 2.1.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Fungsi ... II-3 2.1.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Wewenang Pembinaan ... II-3 2.1.4 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Kelas Jalan ... II-5 2.2 Pembebanan Pada Perkerasan Jalan ... II-10
xi
2.3 Aspal Beton ... II-12 2.4 Lapis Tipis Aspal Beton (LATASTON) ... II-17 2.4.1 Fungsi Dan Sifat Lataston ... II-17 2.5 Material Aspal Beton ... II-18 2.5.1 Agregat ... II-18 2.6 Bahan Pengisi (Filler) ... II-28 2.7 Gradasi Agrega ... II-29 2.8 Aspal ... II-31 2.9 Perencanaan Campuran Lataston ... II-41 2.10 Pengujian Marshall Test ... II-42 2.11 Kopi ... II-49 2.11.1 Limbah Ampas Kopi ... II-51
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Bagan alur penelitian ... III-1 3.2 Lokasi material ... III-2 3.3 Lokasi penelitian ... III-3 3.4 Waktu pelaksanaan ... III-3 3.5 Persiapan peralatan dan pengambilan sampel ... III-3 3.5.1 Pemeriksaan analisa saringan agregat kasar dan halus ... III-3 3.5.2 Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat kasar ... III-4 3.5.3 Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat halus ... III-4 3.5.4 Pemeriksaan kadar lumpur agregat kasar ... III-5 3.5.5 Pemeriksaan kadar lumpur agregat halus ... III-5 3.6 Pemeriksaan aspal ... III-6 3.6.1 Pemeriksaan berat jenis aspal………... ... III-6 3.6.2 Pemeriksaan penetrasi aspal………. ... III-7 3.6.3 Pemeriksaan viskositas………... III-7 3.6.4 Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar……….. ... III-7 3.6.5 Pemeriksaan titik lembek aspal………... ... III-7 3.6.6 Penentuan Jumlah Benda Uji……….. ... III-8
xii
3.6.7 Perancangan Agregat Gabungan………... ... III-8 3.6.8 Perhitungan Kadar Aspal Optimum Rencana (KAO) Pb…. ... III-9 3.6.9 Pembuatan Briket / Benda Uji………. ... III-9 3.7 Pengetesan Benda Uji I Dengan Alat Marshall………... ... III-10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penyajian Data ... IV- 4.1.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat ... IV- 4.1.2 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Aspal Minyak ... IV- 4.1.3 Penentuan Komposisi Agregat Gabungan ... IV- 4.2 Pembuatan Benda Uji untuk Penentuan Kadar Aspal Optimum . IV- 4.2.1 Perkiraan Kadar Aspal Optimum Rencana (Pb) ... IV- 4.2.2 Penentuan Berat Agregat dan Aspal dalam Campuran ... IV- 4.2.3 Perhitungan Berat Jenis dan Penyerapan Campuran ... IV- 4.3 Data Uji Marshall untuk Penentuan Kadar Aspal Optimum ... IV- 4.4 Pembuatan Benda Uji dengan Penambahan Limbah Ampas Kopi
Pada Perendaman Berulang ... IV- 4.4.1 Perhitungan Berat Agregat dan Berat Aspal Menggunakan Kadar
Aspal Optimum dengan Menggunakan Ampas Kopi ... IV- 4.4.2 Data Hasil Uji dengan Alat Marshall yang Diperoleh dengan
Menggunakan Kadar Aspal Optimum ... IV- 4.4.3 Analisis Hasil Pengujian dengan Penambahan Ampas Kopi 20%
Pada Campuran Beton Aspal Panas HRS-WC. ... IV- 4.4.4 Analisis Hasil Pengujian Dengan Penambahan Ampas Kopi 25%
Pada Campuran Beton Aspal Panas HRS-WC. ... IV- 4.4.5 Analisis Hasil Pengujian Dengan Penambahan Ampas Kopi 30%
Pada Campuran Beton Aspal Panas HRS-WC. ... IV- 4.4.6 Analisis Hasil Pengujian dengan Penambahan Ampas Kopi Pada
Campuran Beton Aspal Panas HRS-WC dengan Perendaman 3 Hari ... IV- 4.4.7 Analisis Hasil Pengujian Dengan Penambahan ampas kopi Pada
xiii
Campuran Beton Aspal Panas HRS-WC dengan Perendaman 7 Hari ... IV- 4.4.8 Analisis Hasil Pengujian Dengan Penambahan ampas kopi Pada
Campuran Beton Aspal Panas HRS-WC dengan Perendaman 14 Hari ... IV- 4.5 Hubungan KAO dengan Persentase Nilai IK………. . IV- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan………. .. V-1
5.2 Saran……… . V-1
xiv DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku II-10 Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan perkerasan lentur dan perkerasan
kaku ... II-10 Tabel 2.3 Ketentuan aspal keras ... II-24 Tabel 2.4 Komposisi Kimia Calcium Hydroxide (Kondisi Basah) ... II-35 Tabel 2.5 Komposisi Kimia Calcium Hydroxide (Kondisi Kering) ... II-35 Tabel 2.6 Ketentuan sifat-sifat campuran beraspal panas (ac) ... II-37 Tabel 2.7 Gradasi agregat gabungan untuk campuran beraspal ... II-44 Tabel 2.8 Ketentuan agregat kasar ... II-47 Tabel 2.9 Spesifikasi gradasi agregat kasar... II-47 Tabel 2.10 Spesifikasi gradasi agregat halus ... II-49 Tabel 2.11 Ketentuan Agregat Halus ... II-49 Tabel 3.1 Perhitungan benda Uji ... III-21 Tabel 4.1 Pemeriksaan analisa saringan agregat ... IV-1 Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan berat jenis agregat kasar (Batu Pecah
1- 2 dan Batu Pecah 0,5 - 1) ... IV-2 Tabel 4.3 Hasil pemeriksaan berat jenis abu batu... IV-3 Tabel 4.4 Hasil pemeriksaan aspal penetrasi 60/70 ... IV-4 Tabel 4.5 Rancangan campuran aspal panas HRS-WC ... IV-6 Tabel 4.6 Komposisi campuran HRS-WC ... IV-8 Tabel 4.7 Berat aspal dan agregat pada campuran aspal HRS-WC
Normal ... IV-8 Tabel 4.8 Hasil pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat ... IV-8 Tabel 4.9 Komposisi campuran dengan ampas kopi 20% ... IV-16 Tabel 4.10 Komposisi campuran dengan ampas kopi 25% ... IV-17 Tabel 4.11 Komposisi campuran dengan ampas kopi 30% ... IV-17 Tabel 4.12 Hasil uji marshall KAO dengan perendaman selama 30
menit pada suhu 60°C ... IV-18 Tabel 4.13 Hasil Uji Marshall KAO menggunakan ampas kopi 20%
xv
dengan perendaman berulang kemudian di rendam selama 30 menit pada suhu 60°C. ... IV-18 Tabel 4.14 Hasil Uji Marshall KAO menggunakan ampas kopi 25%
dengan perendaman berulang kemudian di rendam selama 30 menit pada suhu 60°C ... IV-19 Tabel 4.15 Hasil Uji Marshall KAO menggunakan ampas kopi 30%
dengan perendaman berulang kemudian di rendam selama 30 menit pada suhu 60°C ... IV-19 Tabel 4.16 Komposisi campuran dengan penambahan limbah ampas
kopi perendaman 3 hari... IV-42 Tabel 4.17 Komposisi campuran dengan penambahan limbah ampas
kopi perendaman 7 hari ... IV-42 Tabel 4.18 Komposisi campuran dengan penambahan limbah ampas
kopi perendaman 14 hari ... IV-42 Tabel 4.19 Hubungan KAO dengan persentase nilai IKS beton aspal
HRS-WC ... IV-69
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Potongan lapisan pada perkerasan lentur ... II-5 Gambar 2.2 Komponen perkerasan kaku ... II-14 Gambar 2.3 Limbah las karbit ... II-33 Gambar 2.4 Grafik Hubungan Antara Kadar Aspal Terhadap
Nilai Karakteristik ... II-60 Gambar 2.5 IVM, VMA, VFA ... II-61 Gambar 3.1 Diagram alir penelitian... III-3 Gambar 4.1 Grafik gradasi penggabungan agregat HRS-WC ... IV-6 Gambar 4.2 Grafik hasil uji marshall untuk penentuan KAO ... IV-11 Gambar 4.3 Grafik hasil uji marshall untuk penentuan KAO ... IV-11 Gambar 4.4 Grafik Hasil Uji Marshall untuk Penentuan KAO... IV-14 Gambar 4.5 Diagram penentuan kadar aspal optimum... IV-14 Gambar 4.6 Diagram hubungan variasi kadar ampas kopi 20%
terhadap kepadatan pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C. ... IV-20 Gambar 4.7 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 20%
terhadap stabilitas pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-21 Gambar 4.8 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 20%
terhadap IVM pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-22 Gambar 4.9 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 20%
terhadap VMA pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-24 Gambar 4.10 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 20%
terhadap VFB pada kondisi kadar aspal optimum
xvii
dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-25 Gambar 4.11 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 20%
terhadap nilai MQ pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-26 Gambar 4.12 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 20%
terhadap kepadatan pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-27 Gambar 4.13 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 25%
terhadap Stabilitas pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C. ... IV-28 Gambar 4.14 Diagram hubungan Variasi limbah ampas kopi 25%
terhadap flow pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-29 Gambar 4.15 Diagram hubungan variasi kadar limbah ampas kopi
25% terhadap VIM pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-30 Gambar 4.16 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 25%
terhadap VMA pada kondisi kadar aspal optimum Dengan Waktu Perendaman 30 Menit Dengan Suhu
60°C. ... IV-31 Gambar 4.17 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 25%
terhadap VFB pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-32 Gambar 4.18 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 25%
terhadap nilai MQ pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C. ... IV-33 Gambar 4.19 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 30%
terhadap kepadatan pada kondisi kadar aspal
xviii
optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C. ... IV-34
xix
Gambar 4.20 Diagram hubungan variasi kadar limbah ampas kopi 30% terhadap Stabilitas pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-35 Gambar 4.21 Diagram hubungan Variasi limbah ampas kopi 30%
terhadap flow pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-36 Gambar 4.22 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 30%
terhadap VIM pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-37 Gambar 4.23 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 30%
terhadap VFB pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-38 Gambar 4.24 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 30%
terhadap VMA pada kondisi kadar aspal optimum Dengan Waktu Perendaman 30 Menit Dengan Suhu
60°C ... IV-39 Gambar 4.25 Diagram hubungan variasi kadar limbah ampas kopi
30% terhadap VFB pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-40 Gambar 4.26 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi 30%
terhadap nilai MQ pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit dengan suhu
60°C ... IV-41 Gambar 4.27 Diagram hubungan variasi Perendaman 3 hari
terhadap kepadatan pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C. ... IV-43 Gambar 4.28 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 3 hari terhadap Stabilitas pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C. ... IV-44
xx
Gambar 4.29 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi perendaman 3 hari terhadap flow pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-45 Gambar 4.30 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 3 hari terhadap VIM pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-46 Gambar 4.31 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 3 hari terhadap VMA pada kondisi kadar aspal optimum Dengan Waktu Perendaman
30 Menit Dengan Suhu 60°C ... IV-47 Gambar 4.32 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 3 hari terhadap VFB pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-48 Gambar 4.33 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 3 hari terhadap nilai VIM pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-49 Gambar 4.34 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 7 hari terhadap kepadatan pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu
perendaman 30 menit dengan suhu 60°C ... IV-50 Gambar 4.35 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 7 hari terhadap Stabilitas pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-51 Gambar 4.36 Diagram hubungan Variasi limbah ampas kopi
perendaman 7 hari terhadap flow pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C. ... IV-52 Gambar 4.37 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 7 hari terhadap VIM pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C ... IV-53
xxi
Gambar 4.38 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi perendaman 7 hari terhadap VMA pada kondisi kadar aspal optimum Dengan Waktu Perendaman
30 Menit Dengan Suhu 60°C ... IV-54 Gambar 4.39 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 7 hari terhadap VFB pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30 menit
dengan suhu 60°C. ... IV-55 Gambar 4.40 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 7 hari terhadap nilai MQ pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-56 Gambar 4.41 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 14 hari terhadap kepadatan pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu
perendaman 30 menit dengan suhu 60°C ... IV-58 Gambar 4.42 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 14 hari terhadap Stabilitas pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-59 Gambar 4.43 Diagram hubungan Variasi limbah ampas kopi
perendaman 14 hari terhadap flow pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-60 Gambar 4.44 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 14 hari terhadap VIM pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-61 Gambar 4.45 Diagram hubungan variasi perendaman 14 hari
terhadap VMA pada kondisi kadar aspal optimum Dengan Waktu Perendaman 30 Menit Dengan Suhu
60°C. ... IV-62 Gambar 4.46 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi
perendaman 14 hari terhadap VFB pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-63
xxii
Gambar 4.47 Diagram hubungan variasi limbah ampas kopi perendaman 14 hari terhadap nilai MQ pada kondisi kadar aspal optimum dengan waktu perendaman 30
menit dengan suhu 60°C ... IV-64
xxiii DAFTAR NOTASI
AASHTO = American Association of State Higways and Transportation of Official
AC = Asphalt Concrete
AC-Base = Asphalt Concrete Base
AC-WC = Asphalt Concrete Wearing Course AC-BC = Asphalt Concrete Binder Course AMP = Asphalt Mixing Plant
ASTM = American Society for Testing and Materials
Ba = Berat benda uji kering permukaan jenuh didalam air Beton aspal padat
Bj = Berat benda uji kering permukaan jenuh Bk = Berat benda uji kering oven
CA = Course Aggregate
Ga = Berat jenis aspal
Gmb = Berat jenis padat (Bulk) campuran Gmm = Berat jenis maksimum campuran Gsa = Berat jenis semu aggregat
Gsb = Berat jenis padat (bulk) aggregat gabungan
xxiv Gse = Berat jenis efektif agregat HRS = Hot Rolled Sheet
HRS-Base = Hot Rolled Sheet Base HRSS = Hot Rolled Sand Sheet
HRS-WC = Hot Rolled Sheet Wearing Course
K = Nilai konstanta
KAO = Kadar Aspal Optimum LASTON = Laspis Aspal Beton LATASIR = Lapis tipis Aspal Pasir LATASTON = Lapis Tipis Aspal Beton
MF = Flow Marshall
MQ = Marshall Quotient (Hasil Bagi Marshall)
MS = Marshall Stability
Pb = Perkiraan Kadar Aspal Optimum
PE = Polyethylene
Pen 60/70 = Penetraso 60/70
PET = Polyetylene Terephtalate
PP = Polypropylene
PS = Polysterene
xxv
Ps = Agregat, persen bahan tambah campuran PVC = Polyvinyl Chloride
SNI = Standar Nasional Indonesia
xxvi
= Sand Sheet
SSD = Surface Saturated Dry V = Berat Jenis Efektif Agregat
Va = Volume aspal dalam beton aspal padat
Vab = Volume aspal yang terabrobsi ke dalam agregat dari beton aspal padat
VFA = Voids Filled With Asphalt ( Rongga Terisi Aspal ) VIM = Voids in Mixture (Rongga Dalam Campuran) Vmb = Volume bulk dari campuran beton aspal padat Vmm = Volume tanpa pori dari beton aspal padat Vsb = Vilume agregat (berdasarkan berat jenis bulk) Vse = Volume agregat (berdasarkan berat jenis afektif)
I - 1 BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Salah satu bahan penyusun dari sebuah perkerasan jalan yang mempunyai fungsi sebagai bahan pengikat yaitu aspal. Aspal mempunyai fungsi sebagai bahan pengikat dan pengisi rongga dan pori antar agregat.
Perkerasan yang sesuai dengan umur rencana harus diperhatikan material campurannya. Banyak bahan tambah yang dapat digunakan pada campuran perkerasan.
Kerusakan jalan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia saat ini merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks. Dilansir dari fakta- fakta yang ada, penyebab awal dari kerusakan jalan adalah perencanaan dan mutu awal kualitas produk jalan yang belum memadai sehingga menjadi pemicu utama terjadinya kerusakan-kerusakan pada jalan, disamping itu juga penyebab lainnya adalah umur rencana jalan yang telah dilewati, genangan air pada permukaan jalan yang tidak dapat mengalir akibat drainase yang kurang baik, beban lalu lintas berulang dan berebihan (overload) yang menyebabkan umur pakai jalan lebih pendek dari perencanaan.
Untuk mengurangi keterbatasan material, limbah ampas kopi dijadikan sebagai bahan pengisi atau penambah aspal. Sisa ampas kopi mudah dijumpai dan menjadi sebuah limbah. Ketersediaan ampas kopi di Indonesia mudah dijumpai. Saat ini banyak penelitian tentang aspal
I - 2
modifikasi salah satunya dengan menggunakan bahan polimer, sedangkan pada penelitian ini dicoba memodifikasi aspal dengan ampas kopi sebagai pengganti sebagian filler yang diharapkan mampu memperbaiki karakteristik aspal. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh limbah ampas kopi terhadap kekuatan campuran beton aspal.
Hal ini melatar belakangi penulis untuk melakukan perencanaan dengan mendesain campuran aspal Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston).
Mengganti sebagian (filler) dengan limbah ampas kopi. Pada proses pendesainan menggunakan komponen-komponen tersebut diharapkan dapat menghasikan perencanaan untuk perkerasan jalan dengan mutu dan kualitas baik dan dapat memberikan manfaat dalam jangka waktu yang panjang dalam pembangunan konstruksi lapis perkerasan jalan
Dari uraian tersebut di atas menjadi latar belakang untuk mengadakan penilitian di laboratorium dan menuliskannya dalam bentuk tugas akhir yang berjudul :
“PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH AMPAS KOPI SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN FILLER PADA CAMPURAN LAPIS TIPIS ASPAL BETON
(LATASTON) DENGAN PERENDAMAN BERULANG”.
I - 3 1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh penambahan sebagian limbah ampas kopi sebagai subtutisi filler pada campuran Lapis Tipis Beton Aspal (Lataston) dengan perendaman berulang ?
2. Berapa persentase ampas kopi yang optimal yang digunakan dalam campuran aspal ?
1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui pengaruh ampas kopi sebagai pengganti Sebagian filler terhadap karakteristik campuran aspal pada perendaman berulang
2. Untuk mengetahui persentase ampas kopi yang optimal pada campuran lapisan aspal beton
1.3.2. Manfaat Penelitian
1. Menemukan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ataupun solusi sebagai pemanfaatan limbah ampas kopi.
2. Dapat menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan kebutuhan akan inovasi peningkatan kualitas perkerasan jalan menggunakan bahan-bahan alternatif khususnya.
I - 4
1.4. Pokok Bahasan dan Batasan Masalah 1.4.1. Pokok Pembahasan
Pokok Bahasan pada Penelitian ini adalah :
1. Tipe campuran yang digunakan adalah Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston) Spesifikasi Bina Marga 2018.
2. Pengujian karakteristik agregat dan bahan pengisi (filler).
3. Pengujian dilakukan dengan metode Marshall.
4. Bahan tambah ampas kopi yang digunakan didapatkan di Kab.
Enrekang
1.4.2. Pokok Batasan Masalah
Untuk mengarahkan penulis agar penelitian dan permasalahan yang dikaji lebih mendetail dan sesuai dengan Judul dan Tujuan penulisan Tugas Akhir ini, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas berikut ini : 1. Permasalahan yang diamati adalah Karakteristik Marshall.
2. Limbah ampas kopi digunakan sebagai pengganti sebagian filler 3. Aspal yang digunakan adalah aspal minyak dengan penetrasi 60/70,
dilakukan perendaman dengan variasi 3, 7 dan 14 hari.
4. Pengujian material yang dilakukan mengacu pada standar SNI 5. Pengujian dilakukan dengan Metode Marshall
6. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Tenik Sipil Universitas Bosowa Makassar
I - 5 1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut : 1.5.1. Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, batasan masalah, dan sistematika penulisan
1.5.2. Bab II Tinjauan Pustaka
Pada bab ini membahas teori-teori serta rumus-rumus yang digunakan untuk menujang penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber.
1.5.3. Bab III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian untuk data-data yang dibutuhkan dalam proses pengolahan data
1.5.4. Bab IV Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi tantang pelaksanaan penelitian mencakup hasil pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan pembahasan data yang diperoleh dari teori yang ada.
1.5.5. Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran mengenai dari Tugas Akhir ini.
Pada akhir penulisan akan dilampirkan daftar pustaka dan lampiran yang berisi data-data penunjang dalam proses pengolahan data.
II - 1 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jalan
Jalan adalah sarana transportasi darat yang meliputi bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/ air, serta diatas permukaan air kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. (UU No. 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN). Lingkup jalan mencakup peraturan jalan umum, jalan khusus dan jalan tol, meliputi:
2.1.1 Jalan Umum
Penyelenggaraan jalan umum dilakukan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan di pusat- pusat produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran. Penyelenggaraan jalan umum diarahkan untuk pembangunan jaringan jalan dalam rangka memperkokoh kesatuan wilayah nasional sehingga menjangkau daerah terpencil. Penyelenggaraan jalan umum diarahkan untuk mewujudkan :
a perikehidupan rakyat yang serasi dengan tingkat kemajuan yang sama, merata dan seimbang.
b daya guna dan hasil guna upaya pertahanan keamanan negara.
II - 2 1. Sistem Jaringan Jalan
Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan. Berdasarkan sistem jaringan jalan, maka dikenal 2 istilah, yaitu:
a. Sistem Jaringan primer
Jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan.menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.
Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan antarkawasan perkotaan, yang diatur secara berjenjang sesuai dengan peran perkotaan yang dihubungkannya. Untuk melayani lalu lintas menerus maka ruas-ruas jalan dalam sistem jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kawasan perkotaan.
b Sistem jaringan sekunder
Jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara
II - 3
menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.
Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan antarkawasan di dalam perkotaan yang diatur secara berjenjang sesuai dengan fungsi kawasan yang dihubungkannya.
2. Klasifikasi Jalan Umum Berdasarkan Fungsi
Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan kedalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan.
1. Jalan Arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan jarak jauh dengan kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah masuk dibatasi secara efisien
2. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang,
3. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
3. Klasifikasi Persyaratan Teknis Jalan Persyaratan teknis jalan meliputi
II - 4 a. Kecepatan rencana, dan lebar jalan
Kecepatan rencana merupakan kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan
Lebar jalan merupakan ukuran dari satu sisi ke sis yang lain pada jalan
b. Kapasitas
Adalah arus maksimum yang dapat dilalui dalam kontruksi perkerasan jalan
c. Jalan masuk
Prasarana transportasi darat yang meluputi segala bagian jalan d. Persimpangan sebidang
Pertemuan atau percabangan jalan baik sebidang maupun tidak sebidang
e. Bangunan pelengkap
Yaitu bangunan yang digunakan untuk mendukung fungsi dan keamanan konstruksi jalan
f. Perlengkapan jalan
Adalah sarana yang dimaksud untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas
g. Penggunaan jalan sesuai dengan fungsinya Saran untuk menjangkau tempat tertentu h. Tidak terputus
II - 5
Jalan penghubung antara primer, sekunder, local primer dan local sekunder
4. Kasifikasi Jalan Umum Berdasarkan Status Jalan Klasifikasi Jalan Umum Berdasrkan Status Jalan Meliputi
a Jalan Nasional, yang termasuk kelompok ini adalah jalan arteri primer, jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi dan jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional. Penerapan status suatu jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan keputusan Menteri.
b Jalan Propinsi, yang termasuk kelompok jalan propinsi adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan Ibukota Propinsi dengan Ibukota Kabupaten/Kotamadya atau antar Ibukota Kabupaten/
Kotamadya. Penetapan suatu jalan sebagai jalan propinsi dilakukan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri atas usulan Pemda Tingkat I yang bersangkutan, dengan memperhatikan pendapat Menteri.
c Jalan Kabupaten, yang termasuk kelompok jalan Kabupaten adalah jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan propinsi, jalan lokasi primer, jalan sekunder dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan nasional atau jalan propinsi serta jalan kotamadya. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan kabupaten dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usul Pemda Tingkat II yang bersangkutan.
II - 6
d Jalan Kotamadya, yang termasuk kelompok jalan Kotamadya adalah jalan sekunder di dalam kotamadya. Penetapan status suatu ruas jalan arteri sekunder dan atau ruas jalan kolektor sekunder sebagai jalan Kotamadya dilakukan dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usulan Pemda Kotamadya yang bersangkutan.
e jalan desa
5. Klasifikasi Jalan Umum Berdasarkan Kelas Jalan Klasifikasi jalan berdasarkan kelas jalan adalah sebagai berikut:
a. Kelas Jalan I Jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan adalah 10 ton.
b. Kelas Jalan II Jalan arteri, kolektor, local, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, ukuran tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan adalah 8 ton.
c. Kelas Jalan III Jalan arteri, kolektor, local, dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan adalah 8 ton.
II - 7
d. Kelas Jalan Khusus Jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton.
2.1.2 Jalan Khusus
Jalan khusus merupakan jalan yang dibangun dan dipelihara oleh orang atau instansi untuk kepentingan sendiri dimana harus berpedoman pada peraturan yang telah diterapkan oleh Menteri. Jalan khusus dapat digunakan untuk lalu lintas umum sepanjang tidak merugikan kepentingan penyelenggara jalan khusus berdasarkan persetujuan dari penyelenggara jalan khusus, dan sewaktu waktu dapat diambil alih oleh pemerintah dan dijadikan jalan umum dengan pertimbangan
1. Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.
2. Untuk kepentingan membangun ekonomi nasional dan perkembangan suatu daerah.
3. Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat 2.1.3 Jalan Tol
Jalan Tol merupakan bagian dari sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
Spesifikasi jalan Tol :
1. Tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan sarana transportasi lainnya
II - 8
2. Jumlah jalan masuk dan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara efisien dan semua jalan masuk dan keluar harus terkendali
3. Jarak antar simpang susun, paling rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk jalan tol dalam perkotaan
4. Jumlah jalur sekurang kurangnya 2 (dua) jalur dalam satu arah 5. Menggunakan pemisah tengah atau median
6. Lebar bahu jalan sebelah harus dapat dipergunakan sebagai jalur lalu-lintas sementara dalam keadaan darurat
2.2 Konstruksi perkerasan jalan
Kontruksi perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat dipakai antara lain adalah batu pecah, batu belah, batu kali, dan hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen, dan tanah liat. Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dibedakan atas tiga macam, yaitu:
2.2.1 Kontruksi perkerasan kaku (rigid pavement) - Memakai bahan pengikat semen portland (PC)
- Sifat lapisan utama (plat beton) yaitu memikul sebagian besar beban lalu lintas.
- Pengaruhnya terhadap repetisi beban adalah timbulnya retak-retak pada permukaan jalan.
- Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, bersifat
II - 9 sebagai balok di atas permukaan.
Gambar 2.1. komponen perkerasan kaku 2.2.2 Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement)
- Memakai bahan pengikat aspal.
- Sifat dari perkerasan ini adalah memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
- Pengaruhnya terhadap repetisi beban adalah timbulnya rutting (lendutan pada jalur roda).
- Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, jalan bergelombang (mengikuti tanah dasar).
Gambar 2.2. komponen perkerasan lentur
2.2.3 Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement) - Kombinasi antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur.
- Perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau sebaliknya.
II - 10
Gambar 2.3. komponen perkerasan komposit
Konstruksi perkerasan jalan yang banyak digunakan di Indonesia adalah konstruksi perkerasan lentur yang terdiri dari lapisan-lapisan yang berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya kelapisan bagian bawah, karena tekanan makin menyebar maka tekanan yang ditimbulkan pada perkerasan bagian atas lebih berat dari pada perkerasan bagian bawah.
Adapun sistematika bentuk dari perkerasan jalan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.5 Sistematika Bentuk Perkerasan Jalan (Sumber : UU No. 38 Tahun 2004)
II - 11
Adapun fungsi dari lapis perkerasan yaitu :
a Lapis permukaan adalah lapisan yang terletak pada bagian paling atas dari struktur perkerasan konstruksi jalan dan berfungsi sebagai:
1. Lapisan perkerasan yang ikut mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang diterima oleh perkerasan, baik beban vertikal maupun beban horizontal (gaya geser).
2. Lapisan kedap air, mencegah masuknya air ke dalam lapisan perkerasan yang ada di bawahnya.
3. Lapisan perkerasan menyediakan permukaan yang tetap rata, agar kendaraan dapat berjalan dan memperoleh kenyamanan yang cukup.
4. Lapisan aus (wearing course), lapisan yang langsung akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
b Lapis Pondasi Atas (LPA) atau Base Course
Lapis pondasi atas adalah bagian dari perkerasan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah atau dengan tanah apabila tidak menggunakan lapis pondasi bawah. Fungsi lapis ini adalah :
a. Lapis pendukung bagi lapis permukaan.
b. Pemikul beban horizontal dan vertikal.
c. Lapis perkerasan bagi pondasi bawah.
c Lapis Pondasi Bawah (LPB) atau Subbase Course
Lapis Pondasi Bawah adalah bagian perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar. Fungsi lapis ini adalah :
II - 12 a. Penyebar beban roda.
b. Lapis peresapan.
c. Lapis pencegah masuknya tanah dasar ke lapis pondasi.
d. Lapis pertama pada pembuatan perkerasan.
d Lapisan Tanah Dasar (TD) atau Subgrade
Tanah dasar (subgrade) adalah permukaan tanah semula, permukaan tanah galian atau permukaan tanah timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan tanah dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya.
2.3 Pembebanan pada perkerasan jalan
Kendaraan pada posisi berhenti di atas struktur yang diperkeras menimbulkan beban langsung pada arah vertikal (tegangan statis) yang terkonsentrasi pada bidang kontak yang kecil antara roda dan perkerasan.
Ketika kendaraan bergerak, timbul tambahan tegangan dinamis pada arah horisontal akibat akselerasi pergerakan kendaraan serta pada arah vertikal akibat pergerakan kendaraan ke atas dan ke bawah karena perkerasan yang tidak rata. Intensitas tegangan statis dan dinamis terbesar terjadi di permukaan perkerasan dan terdistribusi dengan bentuk piramida dalam arah vertikal pada seluruh ketebalan struktur perkerasan.
Peningkatan distribusi tegangan tersebut mengakibatkan tegangan semakin kecil sampai permukaan lapis tanah dasar. Untuk memperjelas hal tersebut maka ditampilkan pada Gambar 2.6 berikut ini.
II - 13
Perkerasan Kaku Perkerasan Lentur
Gambar 2.6. Distribusi beban roda melalui lapisan perkerasan jalan
(Sumber, dikutip dari bahan kuliah Rekayasa Tanah Dan Perkerasan Jalan Raya oleh Ir. H. Abd. Rahim Nurdin, MT.) Mekanisme retak yang terjadi di lapangan terjadi karena adanya gaya tarik yang ditandai dengan adanya retak awal pada bagian bawah perkerasan yang mengalami deformasi kemudian retak ini lama kelamaan akan menjalar kepermukaan perkerasan jalan yang dapat mengakibatkan kerusakan dan ketidaknyamanan.
Banyak hal yang menyebabkan rusaknya perkerasan jalan, salah satunya adalah karena beban tarik. Beban tarik sering menyebabkan adanya retak, terutama diawali dengan adanya retak awal (crack initation) pada bagian bawah lapisan perkerasan yang kemudian akan menjalar kepermukaan- permukaan. Untuk mengetahui karakteristik material perkerasan lentur di lapangan mulai dikembangkan dengan analisa di laboratorium agar tercapai mix desain yang tepat. Beban lalu lintas yang bekerja di atas konstruksi perkerasan dapat dibedakan menjadi :
II - 14
1. Muatan kendaraan yang berupa gaya vertikal.
2. Gaya rem atau gaya inersia percepatan pada kendaraan berupa gaya horizontal.
3. Pukulan roda kendaraan berupa getaran-getaran.
Oleh karena itu sifat penyebaran gaya maka muatan yang diterima oleh masing-masing lapisan berbeda dan semakin ke bawah semakin kecil. Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja, lapis pondasi atas menerima gaya vertikal dan getaran, sedangkan tanah dasar dianggap hanya menerima gaya vertikal saja.
2.4 Aspal
2.4.1 Pengertian Aspal
Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat pemanasan dan sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal dapat menyelimuti dan menahan agregat tetap pada tempatnya selama proses produksi dan masa pelayanannya. Pada dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai hidrokarbon yang disebut bitumen.
Oleh sebab itu, aspal sering disebut material berbituminous. Umumnya aspal dihasilkan dari penyulingan minyak bumi, sehingga disebut aspal keras.
Aspal merupakan bahan pengikat yang digunakan pada perkerasan lentur. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya kerusakan pada
II - 15
perkerasan jalan akibat beban muata kendaraan adalah dengan meningkatkan kualitas dan stabilitas perkerasan tesebut.
Aspal sebagai bahan pengikat merupakan senyawa hidrokarbon berwarna coklat gelap atau hitam yang terbentuk dari unsure-unsur asphaltenese resins dan oils. Aspal pada lapisan keras jalan berfungsi sebagai bahan pengikat antar agregat untuk membentuk suatu cairan yang kompak, sehingga akan memberikan kekuatan yang lebih besar dari pada kekuatan masing-masing agregat.
Untuk menentukan penggunaan kadar aspal sesuai persyaratan yang ditetapkan Bina Marga digunakan rumus:
PB = 0,035 ( % CA ) + 0,045 ( % FA ) + 0,18 ( % Filler ) + konstanta
PB = Perkiraan kadar aspal optimum CA = Agregat kasar
FA = Agregat halus
Aspal merupakan hasil produksi dari bahan-bahan alam, sehingga sifat-sifat aspal harus selalu diperiksa di laboratorium dan aspal yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dapat digunakan sebagai bahan bahan pengikat perkerasan lentur.
2.4.2 Sifat Kimia Aspal 1. Asphalten
Asphalten adalah unsur kimia aspal yang padat yang tidak larut dalam n-penten. Aspalten berwarna coklat sampai hitamyang terdiri dari
II - 16
senyawa karbon dan hydrogen dengan perbandingan 1 : 1, dan kadang- kadang mengandung nitrogen, sulfur, dan oksigen. Molekul asphalten ini memiliki ukuran antara 5 – 30 nano meter. Besar kecilnya kandungan aspalten dalam aspal sangat mempengaruhi sifat rheologi aspal tersebut.
2. Malten
Malten adalah unsur kimia lainnya yang terdapat di dalam aspal selain asphalten. Unsur malten ini terbagi lagi menjadi tiga unsur yaitu:
a) Resin
Terdiri dari hidrogen dan karbon, dan sedikit mengandung oksigen, sulfur dan nitrogen. Resin memiliki ukuran antara 1 – 5 nano meter, berwarna coklat, berbentuk semi padat sampai padat, bersifat sangat polar dan memberikan sifat adesif pada aspal.
b) Aromatik
Aromatik adalah unsur pelarut asphalten yang paling dominan didalam aspal. Aromatik berbentuk cairan kental yang berwarna coklat tua dan kandungannya dalam aspal berkisar 40% - 60% terhadap berat aspal.
Aromatik terdiri dari rantai karbon bersifat non-polar yang didominasi oleh unsur tak jenuh (unsaturated) dan memiliki daya larut yang tinggi terhadap molekul hidrokarbon.
c) Saturated
Saturated adalah bagian dari molekul malten yang berupa minyak kental yang berwarna putih atau kekuning-kuningan dan bersifat non-polar.
II - 17
Saturated terdiri dari paraffin dan non-paraffin, kandungannya dalam aspal berkisar antara 5% - 20% terhadap berat aspal.
2.4.3 Sifat Fisik Aspal
Sifat fisik aspal sangat mempengaruhi perencanaan, produksi dan kinerja campuran beraspal antara lain adalah durabilitas, adhesi dan kohesi, kepekaan terhadap suhu, pengerasan dan penuaan.
a) Daya Tahan (Durability)
Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat aslinya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan.
Kinerja aspal sangat dipengaruhi oleh sifat aspal tersebut setelah digunakan sebagai bahan pengikat dalam campuran beraspal dihampar dilapangan. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat aspal akan berubah secara signifikan akibat oksidasi dan pengelupasan yang terjadi baik pada saat pencampuran, pengangkutan dan penghamparan campuran beraspal dilapangan.
Perubahan sifat ini akan menyebabkan aspal menjadi daktilitas rendah atau dengan kata lain aspal telah mengalami penuaan. Kemampuan aspal untuk menghambat laju penuaan ini disebut durabilitas aspal, aspal dengan durabilitas yang baik akan menghasilkan campuran dengan kinerja baik pula.
b) Adhesi dan Kohesi
Adhesi adalah kemampuan untuk mengikat agregat sehingga menghasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah
II - 18
kemampuan aspal untuk mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah terjadi pengikatan. Sifat adhesi dan kohesi sangat penting diketahui dalam pembuatan campuran beraspal karena sifat sangat mempengaruhi kinerja dan durabilitas campuran.
c) Kepekaan Aspal Terhadap Suhu
Aspal adalah material yang bersifat termoplastik, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika suhu rendah dan akan lunak atau lebih cair jika suhu tinggi. Hal ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan suhu.
Kepekaan terhadap suhu dari setiap hasil produksi aspal berbeda- beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut memiliki jenis yang sama.
➢ Tes Standar Bahan Aspal
Aspal merupakan hasil produksi dari bahan-bahan alam, sehingga sifat-sifat aspal harus selalu diperiksa di laboratorium dan aspal yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dapat digunakan sebagai bahan bahan pengikat perkerasan lentur.
a. Penetrasi
Penetrasi adalah masuknya jarum penetrasi ukuran tertentu, beban tertentu dan waktu tertentu kedalam aspal pada suhu tertentu. Pengujian penetrasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kekerasan aspal.
Berdasarkan nilai penetrasinya, semen aspal dibagi menjadi lima kelompok jenis aspal, yaitu aspal 40-50, aspal 60-70, aspal 80-100, aspal 120-150, dan aspal 200-300. Di indonesia, aspal yang umum digunakan untuk
II - 19
perkerasan jalan adalah aspal pen 60/70 dan aspal pen 80/100.
b. Titik Lembek
Titik nyala adalah suhu pada saat terlihat nyala singkat kurang dari 5 detik pada suatu titik diatas permukaan aspal. Tujuan dari pengujian titik nyala aspal adalah untuk menentukan batas temperatur tertinggi dimana aspal mulai menyala sehingga menjaga keselamatan agar pada waktu pemanasan aspal tidak mudah terjadi kebakaran.
c. Daktilitas
Daktilitas aspal adalah nilai keelastisitasan aspal, yang diukur dari jarak terpanjang, apabila diantara dua cetakan berisi bitumen keras yang ditarik sebelum putus pada suhu 25oC dan dengan kecepatan 50 mm/menit (SNI 06-2432-1991). Jarak minimal benang aspal hasil tarikan adalah minimal 100 cm.
Maksud pengujian ini adalah untuk mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara 2 cetakan yang berisi aspal keras sebelum putus pada temperatur dan kecepatan tarik tertentu. Pengujian ini juga dilakukan untuk mengetahui bahan aspal mengandung bahan lain yang tidak menyatu dengan aspal, karena bila ada bahan asing yang lain maka benang aspal hasil tarikan mesin tidak akan mencapai panjang 100 cm. Pendapat lain mengatakan bahwa tes dakilitas dimaksudkan untuk melihat kekuatan kohesi aspal, bila tarikan tidak mencapai 100 cm maka dikhawatirkan bahan tidak punya kelenturan cukup dan akan cenderung putus dan retak.
II - 20 d. Berat Jenis Aspal
Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat jenis aspal padat dan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu 25oC atau 15,6oC.
Pengujian ini ditujukan untuk memperoleh nilai berat jenis aspal keras denga menggunakan rumus berat jenis hasil pengujian. Batasan minimal yang dicantumkan dalam spesifikasi ini mensyaratkan berat jenis diatas 1,0 gram/cc, kalau terlalu ringan berarti bahan aspal tersebut kekurangan asphaltene dan terlalu banyak minyak ringan yang mudah menguap dan kehilangan daya lengketnya
e. Kehilangan Berat
Kehilangan berat adalah selisih sebelum dan sesudah pemanasan pada tebal tertentu pada suhu terentu. Maksud dari pemeriksaan ini untuk mencegah pasokan bahan aspal yang terlalu banyak mengandung minyak- minyak ringan yang kalau dipanaskan lama (pada tes ini sampel dipanaskan 163oC selama 5 jam sebagai simulasi) terlalu banyak yang menguap sehingga aspal akan kering dan sulit dikerjakan. Aspal yang dipakai dalam konstruksi jalan mempunyai sifat yang penting, yaitu : kepekatan, ketahanan lama atau ketahanan terhadap pelapukan.
II - 21 Tabel 2.7. Pengujian Aspal Keras
No. Jenis pengujian Metode pengujian Tipe 1
Aspal pen. 60/70 1 Penetrasi pada 25 ͦ C (0,1mm) SNI 2456-2011 60-70
2 Temperatur SNI 06-6442-2000 -
3 Viskositas 135̊ C (Cst) ASTM D2170-10 ≥ 300
4 Titik Lembek (̊C) SNI 2434-2011 ≥ 48
5 Daktilitas pada 25̊ C, (cm) SNI 2432-2011 ≥ 100
6 Titik Lembek ( ̊C) SNI 2433-2011 ≥ 232
7 Larutan dlm Toluene (%) AASHTO T44-14 ≥ 99
8 Berat jenis SNI 2441-2011 ≥ 1.0
9 Stabilitas penyimpanan ( ̊C) ASTM D5976 part
6.1 -
10 Berat yang hilang (%) SNI 06-2441-1991 ≤ 0.8 11 Penetrasi pada 25̊C (%) SNI 2456-2011 ≥ 54
12 Indeks Penetrasi 4 - ≥ -1.0
14 Daktilitas pada 25̊C (cm) SNI 2432-2011 ≥ 50 15 Temperatur ≤ 5000 kPa, (*C) SNI 06-6442-2000 -
Sumber : Spesifikasi Umum 2018, divisi 6.Perkerasan jalan 2.4.4 Jenis-Jenis Aspal
1. Aspal Buatan
adalah buatan dalam negeri hanya dihasilkan dikilang Refinery Unit IV Cilacap ( Jawa Tengah ), aspal pertamina digunakan diberbagai proyek diindonesia untuk pembuatan jalan dan landasan pesawat yang berfungsi sebagai perekat bahan pengisi dan bahan kedap air cocok untuk iklim tropis
II - 22
Secara luas, aspal dipakai sebagai pengikat agregat untuk lapisan perkerasan (terutama lapis permukaan), pada jalan dengan lalu lintas ringan sampai dengan berat dan di bawah segala macam cuaca.
Pengujian dan persyaratan untuk aspal seperti yang tercantum dalam Tabel 2.8. Persyaratan Untuk Aspal Keras Penetrasi 60/70
No Jenis Pemeriksaan Persyaratan
Satuan
Min Max
1 Penetrasi (25°c 5 detik) 60 79 0,1 mm
2 Titik Lembek (Ring Ball) 48 58 °C
3 Daktilitas (25°c Cm/det) 100 Cm
4 Titik Nyala (Elev.Open Cup) 200 - °C
No Jenis Pemeriksaan Persyaratan
Satuan
Min Max
5 Berat Jenis (25°c) 1 - gr/cc
6 Daktilitas Kehilangan Berat - 1 % berat 7 Pen setelah kehilangan berat 50 - % asli
8 Kelarutan (C2HCL3) 99 - %
2. Aspal Alam
Aspal alam adalah aspal yang secara alamiah terjadi di alam.
Berdasarkan depositnya aspal alam ini dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Aspal Danau (Lake Asphalt)
Aspal ini secara alamiah terdapat di danau trinided Venezuella dan Lawele. Aspal ini terdiri dari bitumen, mineral dan bahan organik lainnya.Angka penetrasi dari aspal ini sangat rendah dan titik lembeknya
II - 23
sangat tinggi.Karena aspal ini sangat keras, dalam pemakainnya aspal ini dicampur dengan aspal keras yang mempunyai angka penetrasi yang tinggi.
2. Aspal Batu (Rock Asphalt)
Aspal batu Kentucky dan Buton adalahaspal yang secara terdeposit di pulau Buton, Indonesia dan di daerah Kentusky, USA.
Aspal dari deposit ini terbentuk dalam celah-celah batuan kapur dan batuan pasir. Aspal yang terkandung dalam batuan ini berkisar antara 12 – 35 % dari masa batu tersebut dan memiliki tingkat penetrasi antara 0 – 40.Untuk pemakainanya, deposit ini harus ditimbang terlebih dahulu, lalu aspalnya diekstraksi dan dicampur dengan minyak pelunak atau aspal keras dengan angka penetrasi yang lebih tinggi agar didapat suatu campuran aspal yang memiliki angka penetrasi sesuai dengan yang diinginkan.Pada saat ini aspal batu telah dikembangkan lebih lanjut, sehingga menghasilkan aspal batu dalam bentuk butiran partikel yang berukuran lebih kecil dari 1 mm dan dalam bentuk mastik.
2.5 Aspal Beton
2.5.1 Pengertian Aspal Beton
Aspal beton adalah jenis perkerasan jalan yang terdiri dari campuran agregat dengan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan.
Material-material pembentuk aspal beton dicampur di tempat pencampuran pada suhu tertentu, kemudian diangkut ke lokasi, dihamparkan dan dipadatkan. Suhu pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang
II - 24
digunakan. Aspal Beton atau Laston mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan bahan – bahan lain, kemampuannya dalam mendukung beban berat kendaraan yang tinggi dan dapat dibuat dari bahan – bahan lokal yang tersedia dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap cuaca.
Kekuatan utama aspal beton ada pada keadaan butir agrerat. Pengalaman para pembuat aspal beton mengatakan bahwa campuran ini sangat stabil tetapi sangat sensitif terhadap variasi dalam pembuatannya. (Silvia Sukirman, 2012)
2.5.2 Jenis-Jenis Aspal Beton
Jenis aspal beton dapat dibedakan berdasarkan suhu pencampuran material pembentukan aspal beton, dan fungsi aspal beton. (Silvia Sukirman, 2012)
1. Berdasarkan temperatur ketika mencampur dan memadatkan campuran, aspal beton dapat dibedakan atas :
a) Aspal beton campuran panas (Hot Mix), adalah aspal beton yang material pembentukannya dicampur pada suhu pencampuran sekitar 140° c.
b) Aspal beton campuran sedang (Warm Mix), adalah aspal beton yang material pembentukannya dicampur pada suhu pencampuran sekitar 60° c.
c) Aspal beton campuran dingin (Cold mix), adalah aspal beton yang material pembentukannya dicampur pada suhu sekitar 25° c.
2. Berdasarkan fungsinya aspal beton dapat dibedakan atas :
II - 25
a) Aspal beton untuk lapisan aus (Wearing Course), adalah lapisan perkerasan yang berhubungan langsung dengan ban kendaraan, merupakan lapisan yang kedap air, tahan terhadap cuaca, dan mempunyai kekesatan yang disyaratkan.
b) Aspal beton untuk lapisan pondasi (Binder Course), adalah lapisan perkerasan yang terletak dibawah lapisan aus. Tidak berhubungan langsung dengan cuaca, tetapi perlu memiliki stabilitas untuk memikul beban lalu lintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan.
c) Aspal beton untuk pembentukan dan perata lapisan lapisan aspal beton yang sudah lama, yang pada umumnya sudah aus dan sering kali tidak lagi berbentuk crown.
3. Jenis aspal beton campuran panas yang ada di indonesia saat ini adalah :
a) Laston (Lapisan aspal beton), adalah aspal beton bergradasi menerus dan umum digunakan untuk jalan-jalan dengan beban lalu lintas berat. Laston dikenal pula dengan nama AC (Aspal Concrete).
b) Lataston (Lapisan tipis aspal beton) adalah aspal beton bergradasi senjang. Lataston biasa pula disebut dengan HRS (Hot Rolled Sheet). Karakteristik aspal beton yang terpenting pada campuran ini adalah durabilitas, dan fleksibilitas.
c) Latasir (Lapisan Tipis Aspal Pasir), adalah aspal beton untuk jalan- jalan dengan lalu lintas ringan, khususnya dimana agregat kasar
II - 26
tidak atau sulit diperoleh. Latasir biasa pula disebut sebagai SS (Sand Sheet) atau HRSS (Hot Rolled Sand Sheet).
d) Lapisan perata adalah aspal beton yang digunakan sebagai lapisan perata dan pembentuk penampang melintang pada permukaan jalan lama. Semua jenis campuran aspal beton dapat digunakan, tetapi untuk membedakan dengan campuran untuk lapisan perkerasan jalan baru, maka setiap jenis campuran aspal beton tersebut ditambahkan Huruf L (Leveling). Jadi ada jenis campuran AC - WC (L), AC - BC (L), HRS– WC(L), dan seterusnya.
2.5.3 Karakteristik Aspal Beton
Pada dasarnya lapisan perkerasan aspal beton sangat dipengaruhi oleh material pembentuknya. Hal ini akan menentukan karakteristik dari lapisan perkerasan tersebut. Adapun karakteristik dari lapisan aspal beton (Silvia Sukirman, 2012) adalah :
1. Stabilitas
Stabilitas adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti bergelombang, alur dan bleeding. Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan, dan beban lalu lintas yang akan dilayani. Jalan yang melayani volume lalu lintas tinggi, sebaliknya perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk melayani lalu lintas kendaraan ringan tentu tidak perlu mempunyai stabilitas yang tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai stabilitas aspal beton adalah
II - 27 gesekan interna dan kohesi.
2. Keawetan atau Durabilitas
Durabilitas adalah kemampuan aspal beton menerima repitisi beban lalu lintas seperti beban lalu lintas sebagai berat kendaraan dan gesekan antara roda kendaraan dan permukaan jalan, serta menahan keausan akibat pengaruh cuaca dan iklim, seperti udara, air, atau perubahan temperatur. Durabilitas aspal beton dipengaruhi oleh tebalnya film atau selimut aspal,banyaknya pori dalam campuran, kepadatan dan kedap airnya campuran.
3. Kelenturan atau Fleksibelitas
Kelenturan adalah kemampuan aspal beton untuk menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/settlement) dan pergerakan dari pondasi atau tanah dasar, tanpa terjadi akibat dari repitisi beban lalu lintas, ataupun penurunan akibat berat sendiri tanah timbunan yang dibuat diatas tanah asli. Fleksibel dapat ditingkatkan dengan mempergunakan agregat bergradasi terbuka dengan kadar aspal yang tinggi.
4. Ketahanan terhadap kelelahan (Fatique Resistance)
Ketahanan adalah kemampuan aspal beton menerima lendutan berulang akibat repitisi beban, tanpa terjadinya kelelahan berupa alur dan retak. Hal ini dapat terjadi jika mempergunakan aspal yang tinggi.
5. Kekesatan/tahanan geser (Skid Resistance)
Kekesatan dalah kemampuan permukaan aspal beton terutama pada kondisi basah, memberikan gaya gesek pada roda kendaraan sehingga
II - 28
kendaraan tidak tergelincir, ataupun slip. Faktor-faktor untuk mendapatkan kekesatan jalan sama dengan untuk mendapatkan stabilitas yang tinggi yaitu kekasaran permukaan dari butir-butir agregat, kepadatan campuran, dan tabel film aspal. Ukuran maksimum butir agregat ikut menentukan kekesatan permukaan.
6. Kedap Air ( Impermebility )
Kedap air adalah kemampuan aspal beton untuk tidak dimasuki air ataupun udara kedalam lapisan aspal beton. Air dan udara dapat mengakibatkan percepatan proses penuaan aspal dan pengelupasan film/selimut aspal dari permukaan agregat.jumlah pori yang tersisa setelah aspal beton dipadatkan dapat menjadi indikator kekedapan air campuran.
7. Mudah Dilaksanakan (Workability)
Workability adalah kemampuan campuran aspal beton untuk mudah dihamparkan dan dipadatkan. Faktor yang mempengaruhi tingkat kemudahan dalam proses penghamparan dan pemadatan adalah viskositas aspal, kepekatan aspal terhadap perubahan temperatur, dan gradasi serta kondisi agregat.
2.5.4 Material Aspal Beton 1. Agregat
Agregat atau batuan merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan yang mengandung 90-95% agregat berdasarkan presentase volume. Dengan demikian daya dukung, keawetan dan mutu
II - 29
perkerasan jalan ditentukan dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.
1. Agregat Kasar
Agregat kasar adalah material yang tertahan pada saringan no.4 (4,75 mm). Agregat kasar untuk campuran aspal harus terdiri dari batu pecah yang bersih, kuat, kering, awet, bersudut, bebas dari kotoran lempung dan material asing
lainnya serta mempunyai permukaan tekstur yang kasardan tidak bulat agar dapat dapat memberikan sifat interlocking yang baik yang baik dengan material yang lain. Tingginya kandungan agregat kasar membuat lapis perkerasan lebih permeabel. Hal ini menyebabkan rongga udara meningkat dan menurunnya daya lekat bitumen, maka terjadi pengelupasan aspal dari batuan. Agregat kasar pada umumnya harus memenuhi persyaratanya yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang ada.