• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Obat Atenolol Sebagai Obat Antihipertensi Golongan Beta (β) - Bloker

N/A
N/A
Yoland pharmasist

Academic year: 2024

Membagikan "Pengembangan Obat Atenolol Sebagai Obat Antihipertensi Golongan Beta (β) - Bloker"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Obat Atenolol Sebagai Obat Antihipertensi Golongan Beta (β) - Bloker

Disusun oleh :

Yoland Lygina Br.Sitepu ( 2023212220)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA

JAKARTA

2023

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awal perkembangan obat, usaha penemuan obat baru pada umumnya bersifat coba-coba ( trial and error ) sehingga biaya pegembangan obat baru sangat mahal. Untuk satu jenis obat sampai dapat dipasarkan dibutuhkan biaya lebih kurang Rp. 1 trilyun. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dari 8000 sampai 10.000 senyawa baru yang disintetis atau yang didapat dari sumber alam, setelah melaui berbagai uji kimia, fisika, aktivitas, toksisitas, farmakokinetik, farmakodinamik dan uji klinik, kemungkinan hanya satu senyawa yang secara klinik dapat digunakan sebagai obat.

Waktu yang dibutuhkan ,mulai dari proses sintetis atau ekstraksi, penapisan farmakologi, sampai evaluasi klinik dan persetujuan pendaftaran, memakan waktu lebih kurang 10 tahun. Hal tersebut juga disebabkan oleh ketatnya peraturan-peraturan tentang obat baru untuk diijinkan dapat dipasarkan.Ini berarti bahwa agar pengembangan obat baru tetap layak secara ekonomi,perlu terobosan pemikiran yang mendasar bagaimana melakukan penelitian dengan sejumlah kecil senyawa yang terpiih, dan bagaimana merancang senyawa dengan lebih baik.

Rancangan obat adalah usaha untuk mengembangkan obat yang telah ada, yang sudah diketahui struktur molekul dan aktivitas biologisnya, atas dasar penalaran yang sistematik dan rasional, dengan mengurangi factor coba-coba seminimal mungkin.

Tujuan dari rancangan obat pada awalnya adalah mendapatkan obat baru dengan aktivitas yang lebih baik dengan biaya yang layak secara ekonomi, kemudian berkembag untuk mendapatkan obat dengan efek samping yang minimal ( aman digunakan ), bekerja lebih selektif, masa kerja yang lebih lama, dan meningkatkan kenyamanan pemakaian obat. (Siswandono,2008)

(3)

Hipertensi merupakan kondisi kronis yang timbul akibat peningkatan tekanan darah pada pembuluh arteri secara signifikan. Kondisi tersebut menyebabkan organ utama seperti jantung harus bekerja ekstra keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh dibanding pada kondisi normal (Appel, L.J., et al., 1997). Kondisi hipertensi telah diketahui secara medis sebagai faktor risiko utama penyebab timbulnya berbagai penyakit kardiovaskular. Hal ini terkait dengan cedera pembuluh darah akibat tingginya tekanan darah yang mempengaruhi jantung, ginjal, dan otak. Akibatnya, berbagai jenis penyakit mematikan pun muncul seperti stroke, penyakit jantung iskemik, infark miokardium (serangan jantung), penyakit pembuluh darah perifer, gagal jantung dan penyakit ginjal kronis (Krotkiewski, M. et al., 1979).

Secara umum, kondisi hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer, atau esensial, atau idiopatik didefinisikan sebagai keaadaan tekanan darah tinggi yang muncul tanpa penyebab medis yang jelas. Hipertensi jenis ini merupakan gangguan heterogen, sehingga antara satu pasien dengan pasien yang lainnya memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda. Sejumlah faktor penyebab hipertensi primer yang lain diantaranya obesitas, resistensi insulin, asupan alkohol yang tinggi, asupan garam yang tinggi (pada pasien yang sensitif terhadap garam), penuaan, gaya hidup sedenter (kurang aktif bergerak), stres, serta asupan kalium dan kalsium yang rendah. Dalam banyak kasus, faktor-faktor tersebut bersifat aditif dalam menimbulkan efek hipertensi (David, S., 2010).

Sedangkan hipertensi sekunder adalah keadaan hipertensi yang disebabkan oleh induksi monogenik suatu penyakit kardiovaskular yang sebelumnya memang sudah diderita oleh pasien, seperti penyakit renovaskular, gagal ginjal, pheochromocytoma, aldosteronisme, atau penyakit penginduksi lainnya. Jenis hipertensi primer merupakan jenis yang mendominasi dan paling sering ditemukan. Sekitar 90-95% kasus hipertensi adalah jenis primer sedangkan jenis sekunder hanya berkisar 5-10% dari total kasus hipertensi (Petrella, R.J.,1998).

(4)

BAB II PEMBAHASAN A.Pengertian

Beta blockers adalah obat-obat yang menghalangi norepinephrine dan epinephrine (adrenaline) mengikat pada reseptor-reseptor beta pada syaraf-syaraf.

Beta blockers terutama menghalangi reseptor-reseptor beta1 dan beta2. Dengan menghalangi efek-efek dari norepinephrine dan epinephrine, beta blockers mengurangi denyut jantung; mengurangi tekanan darah dengan melebarkan pembuluh-pembuluh darah; dan mungkin menyempitkan saluran-saluran udara dengan menstimulasi otot- otot yang mengelilingi saluran-saluran udara untuk berkontraksi

Golongan Beta-blocker bekerja dengan cara memperlambat kerja jantung melalui pengurangan kontraksi otot-otot jantung dan menurunkan tekanan darah.

Secara kimiawi komponen obat golongan Beta-blocker menghambat kerja noradrenalin dan adrenalin. Kerja sama kedua senyawa kimia ini berguna mempersiapkan tubuh saat menghadapi bahaya sehingga tubuh siap "lari atau lawan". Penghambatan terhadap kerja noradrenalin dan adrenalin mengakibatkan menurunnya kontraksi otot, memperlambat kerja jantung, dan menurunkan tekanan darah.

Penemuan obat β-blocker (inhibitor β Adrenergic receptor) bermula lebih dari 100 tahun yang lalu, ketika penelitian awal menemukan gagasan bahwa senyawa kelas katekolamin terikat secara selektif pada struktur seperti reseptor dan menimbulkan efek farmakologis tertentu (Frishman, W.H., 2008). Pada tahun 1948, Raymond P. Ahlquist menerbitkan makalah ilmiah yang menyimpulkan temuannya bahwa ada dua reseptor yang berbeda untuk senyawa kelas katekolamin. Dua struktur reseptor itu menyebabkan respon fisiologis yang berbeda saat diamati efeknya pada otot jantung.

Raymond kemudian melabelinya dengan sebutan α-dan β-adrenoseptor. Temuan ini kemudian menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut dalam pengembangan obat β- blocker (Quirke, V., 2006).

Pada awal 1960-an, James Black seorang farmakologis Skotlandia dan rekan- rekannya di Imperial Chemical Industries (ICI) Inggris sedang mengerjakan proyek penelitian senyawa penghambat β-adrenergik reseptor untuk menghilangkan rasa sakit

(5)

angina pectoris. Berbekal struktur kerangka dasar katekolamin, James berhasil mengajukan model senyawa sintesis yakni pronethalol. Dalam hipotesisnya, obat tersebut akan mengurangi kebutuhan jantung akan oksigen melalui aktivitas kompetisi dengan katekolamin untuk terikat pada reseptor (Quirke, V., 2006).

Peluncuran pertama berlangsung pada November 1963 setelah banyak uji klinis skala kecil telah membuktikan keefektifannya dalam mengobati angina pectori.

Pronethalol hanya dipasarkan untuk digunakan dalam situasi yang mengancam jiwa.

James Black kemudian membuat obat β-blocker lain yang disebut propranolol (β- blocker non-selektif). Uji klinis dimulai pada musim panas 1964 dan diluncurkan setahun kemudian dengan nama dagang Inderal. Tidak disangka, ternyata efektivitasnya lebih tinggi daripada pronethalol dengan efek samping yang lebih sedikit (Hara, T., 2003). Sejak saat itu, propranolol menjadi obat utama dalam pengobatan angina pectoris dan kemudian digunakan pula untuk mengobati berbagai penyakit kardiovaskular seperti aritmia, hipertensi, dan kardiomiopati hipertrofik.

Beta bloker adalah obat-obat yang menghalangi norepinephrine dan epinephrine (adrenaline) mengikat pada reseptor-reseptor beta pada syaraf-syaraf. Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas sistem renninangiotensin‐aldosteron.

Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐bloker yang selektif (dikenal juga sebagai

(6)

cardioselective beta‐bloker), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati.

Beta‐bloker yang non‐selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2.Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol,bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saattidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga).

Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐

bloker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer.

Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta‐

blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid.

Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang .lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐

blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina,karena dapat terjadi fenomena rebound.

Atenolol merupakan senyawa organik yang masuk dalam kelas phenylacetamide dengan kerangka aromatik homomonosiklik. Atenolol termasuk dalam jenis obat penghambat beta-adrenergik kardioselektif yang bekerja dengan memblokir sisi aktif reseptor β1-adrenergik di jantung dari neurotransmitter pembawa impuls saraf seperti epinefrin sehingga dapat mengurangi denyut jantung dan menurunkan tekanan darah.

Namun sayangnya obat ini cukup banyak menimbulkan efek samping sehingga penggunaan klinisnya sebagai obat dibatasi.

(7)

Contoh obat-obat golongan beta bloker

(8)

Fungsi dan Mekanisme Kerja

Gambar 2.2. Mekanisme kerja β -1 Adrenergic receptor (Encyclopedia Britannica, 2009)

Reseptor β-1 adrenergik bertugas mengaktivasi enzim adenilyl siklase yang diinduksi neurotransmitter berupa hormon katekolamin (epinefrin) untuk menghasilkan second massanger c-AMP melalui serangkaian aksi yang dimediasi oleh G-protein. Kemudian c- AMP yang dihasilkan akan meregulasi sejumlah reaksi yang menimbulkan respon fisiologis tertentu, salah satunya adalah pengaturan detak jantung.

(9)

Design Thinking

Gambar 2.3. Struktur kerangka dasar senyawa kelas katekolamin

1. Cincin aromatic dan gugus Catechol hydroxyl

 Terdapat dua sisi interaksi pada gugus HBD (Hydrogen bond donor) yang perlu dimodifikasi untuk meningkatkan interaksi dan afinitas reseptor.

 Dua gugus hidroksil bersifat polar, sehingga mengurangi kelarutan lemak dan menyulitkan obat saat menembus membran sel.

 Tidak adanya gugus phenylethylamine menghasilkan penetrasi pada sistem saraf pusat yang lebih baik.

 Senyawa dengan substituen amino yang besar pada posisi 3 dan 5 memberikan selektivitas beta-2 reseptor.

2. Atom Karbon beta

 Menambahkan gugus hidroksil di posisi ini cenderung mengurangi kelarutan lemak, sehingga akan mengurangi penetrasi obat pada sistem saraf pusat.

 Penambahan gugus apapun di posisi ini sangat meningkatkan aktivitas agonis reseptor alfa dan beta.

 Setiap penambahan gugus di posisi ini akan menginhibisi aktivitas enzim monoamin oksidase (yang bertugas memetabolisme neurotransmitter yang memiliki satu gugus

(10)

3. Atom Karbon alfa amina seperti epinefrin, serotonin, dll dengan cara mengoksidasi gugus monoamin). Inhibisi enzim monoamin oksidase akan melindungi obat dari proses oksidasi dan meningkatkan waktu paruh obat di sinapsis serta menjadikan obat dapat bertindak

sebagai simpatomimetik tidak langsung.

4. Gugus Amina

 Penggantian gugus amina oleh gugus amida-metil dapat memberikan selektivitas alfa-reseptor. Semakin kecil ukuran gugus, semakin banyak efek alfa.

 Penggantian gugus amina oleh amida-substituen alkil akan meningkatkan preferensi

molekul untuk reseptor beta daripada alfa. Semakin besar substituen alkil, semakin banyak efek beta.

Interaksi Obat dengan Target Obat

(11)

Gambar 2.4. Structure–activity relationships (SAR) pada catecholamines (Graham L. P., 2013)

Gambar 2.5. Structure–activity relationships (SAR) pada Atenolol

B. Aspek Farmakodinamik Beta Bloker

Beta blocker menghambat efek obat adrenergik, baik NE dan epi endogen maupun obat adrenergik eksogen. Beta blocker kardioselektif artinya mempunyai

(12)

afinitas yang lebih besar terhadap reseptor beta-1 daripada beta-2. Propanolol, oksprenolol, alprenolol, asebutolol, metoprolol, pindolol dan labetolol mempunyai efek MSA (membrane stabilizing actvity) → efek anastesik lokal.

• Kardiovaskuler: mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard

• Menurunkan tekanan darah

• Antiaritmia: mengurangi denyut dan aktivitas fokus ektopik

• Menghambat efek vasodilatasi, efek tremor (melalui reseptor beta-2)

• Efek bronkospasme (hati-hati pada asma)

• Menghambat glikogenolisis di hati

• Menghambat aktivasi enzim lipase

• Menghambat sekresi renin → antihipertensi

C. Aspek Farmakokinetik Beta Bloker

 Beta bloker larut lemak (propanolol, alprenolol, oksprenolol, labetalol dan metoprolol) diabsorbsi baik (90%)

 Beta bloker larut air (sotolol, nadolol, atenolol) kurang baik absorbsinya

 Kardioselektif: asebutolol, metoprolol, atenolol, bisoprolol

 Non kardioselektif: propanolol, timolol, nadolol, pindolol, oksprenolol, alprenolol

Beta bloker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik Norepinefrin dan Epinefrin endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adrenoseptor beta. Potensi hambatan dilihat dari kemampuan obat ini dalam menghambat takikardia yang ditimbulkan oleh isoproterenol atau oleh exercise. Karena hambatan ini bersifat kompetitif reversible, maka dapat diatasi dengan meningkatkan kadar obat adrenergic.

Sifat kardioselektif artinya mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor beta 1 dari pada beta 2. Nonselektif artinya mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor beta1 dan beta2. Tetapi, sifat kardioselektivitas ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi beta blocker yang kardioselektif juga memblok reseptor beta 2. Beta blocker mempunyai aktivitas agonis parsial artinya, jika berinteraksi dengan reseptor beta tanpa adanya obat adrenergik seperti epinefrin atau isoproterenol,

(13)

menimbulkanefek adrenergik yang lemah tetapi jelas, ini disebut juga aktivitas simpatomimetik intrinsik.

Beta blocker juga mempunyai aktivitas stabilisasi membran artinya, mempunyai efekstabilisasi membrane atau efek seperti anestetik lokal atau seperti kuinidin. Ini disebut juga aktivitas anestetik lokal atau aktivitas seperti kuinidin.Efek terhadap kardiovaskuler merupakan efek beta bloker yang terpenting, terutama akibat kerjanya pada jantung. Beta blocker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitasmiokard.

Pemberian jangka pendek mengurangi curah jantung; resistensi perifer meningkatakibat reflex simpatis merangsang reseptor alfa pembuluh darah. Dengan beta blockernonselektif, terjadi hambatan reseptor beta 2 pembuluh darah, yang juga meningkatkan resistensi perifer.

D. Indikasi dan Kontraindikasi Beta Bloker a. Indikasi

Beta blockers diindikasikan untuk merawat:

· irama jantung yang abnormal,

· tekanan darah tinggi,

· gagal jantung,

· angina (nyeri dada),

· tremor,

· pheochromocytoma, dan

· pencegahan migrain-migrain.

Beta bloker juga mampu mencegah lebih jauh serangan jantung dan kematian setelah serangan jantung. Obat ini juga diindikasikan untuk pengobatan-pengobatan lain termasuk perawatan hyperthyroidism, akathisia (kegelisahan atau ketidakmampuan untuk duduk dengan tenang), dan ketakutan. Beberapa beta bloker mengurangi produksi dari aqueous humor dalam mata dan oleh karenanya digunakan untuk mengurangi tekanan dalam mata yang disebabkan oleh glaukoma.

b. Kontraindikasi

(14)

· Penyakit Paru Obstruktif

· Diabetes Militus (hipoglikemia)

· Penyakit Vaskuler

· Disfungsi Jantung

E. Dosis dan Sediaan Beta Bloker

Pembagian dosis beta-bloker dilakukan berdasarkan tujuan terapi. Jika digunakan untuk pengobatan hipertensi maka dosis beta-bloker harus dititrasi menurut tekanan darah yang ingin dicapai. Sementara, jika beta-bloker digunakan dalam jangka panjang seperti pada gagal jantung kronik atau pasca- infark miokard, dosis harus dititrasi sesuai dengan dosis yang digunakan dalam uji klinis. Penghentian terapi beta- bloker setelah pengobatan kronik dapat menimbulkan beberapa gejala seperti hipertensi, aritmia, dan eksaserbasi angina.

F. Efek Samping Beta Bloker Beta bloker mungkin menyebabkan :

 Diare

 kejang-kejang perut,

 mual, dan muntah

 Ruam, penglihatan yang kabur, kejang-kejang otot, dan kelelahan mungkin juga terjadi.

Sebagai perluasan dari efek-efek mereka yang bermanfaat, mereka memperlambat denyut jantung, mengurangi tekanan darah, dan mungkin menyebabkan gagal jantung atau penghalangan jantung pada pasien-pasien dengan persoalan- persoalan jantung. Beta bloker harus tidak diberhentikan dengan tiba-tiba karena penghentian tiba-tiba mungkin memperburuk angina (nyeri dada) dan menyebabkan serangan-serangan jantung atau kematian mendadak.

Efek-efek sistem syaraf pusat dari beta bloker termasuk:

(15)

o sakit kepala, o depresi, o kebingungan, o kepeningan,

o mimpi-mimpi buruk, dan o halusinasi-halusinasi.

Beta bloker yang menghalangi Beta-2 reseptor mungkin menyebabkan sesak napas pada penderita-penderita asma (asthmatics).Seperti dengan obat-obat lain yang digunakan untuk merawat tekanan darah tinggi, disfungsi seksual mungkin terjadi. Beta bloker mungkin menyebabkan glukosa darah yang rendah atau tinggi dan menyembunyikan gejala-gejala dari glukosa darah rendah (hypoglycemia) pada pasien- pasien diabetik.

1.1 Contoh Obat Beta Bloker 1. Asebutol

Nama Paten : sacral, corbutol,sectrazide.

Sediaan obat : tablet, kapsul.

Mekanisme kerja : menghambat efek isoproterenol, menurunkan aktivitas renin, menurunka outflow simpatetik perifer.

Indikasi : hipertensi, angina pectoris, aritmia,feokromositoma, kardiomiopati obtruktif hipertropi, tirotoksitosis.

Kontraindikasi : gagal jantung, syok kardiogenik, asma, diabetes mellitus, bradikardia, depresi.

Efek samping : mual, kaki tangan dingin, insomnia, mimpi buruk, lesu

Interaksi obat : memperpanjang keadaan hipoglikemia bila diberi bersama insulin.

Diuretic tiazid meningkatkan kadar trigleserid dan asam urat bila diberi bersaa alkaloid ergot. Depresi nodus AV dan SA meningkat bila diberikan bersama dengan penghambat kalsium

Dosis : 2 x 200 mg/hr (maksimal 800 mg/hari).

2. Atenolol

(16)

Nama paten : Betablok, Farnomin, Tenoret, Tenoretic, Tenormin, internolol.

Sediaan obat : Tablet

Mekanisme kerja : pengurahan curah jantung disertai vasodilatasi perifer, efek pada reseptor adrenergic di SSP, penghambatan sekresi renin akibat aktivasi adrenoseptor di ginjal.

Indikasi : hipertensi ringan – sedang, aritmia

Kontraindikasi : gangguan konduksi AV, gagal jantung tersembunyi, bradikardia, syok kardiogenik, anuria, asma, diabetes.

Efek samping : nyeri otot, tangan kaki rasa dingin, lesu, gangguan tidur, kulit kemerahan, impotensi.

Interaksi obat : efek hipoglikemia diperpanjang bila diberikan bersama insulin.

Diuretik tiazid meningkatkan kadar trigliserid dan asam urat.

Iskemia perifer berat bila diberi bersama alkaloid ergot.

Dosis : 2 x 40 – 80 mg/hari

3. Metoprolol

Nama paten : Cardiocel, Lopresor, Seloken, Selozok Sediaan obat : Tablet

Mekanisme kerja : pengurangan curah jantung yang diikuti vasodilatasi perifer, efek pada reseptor adrenergic di SSP, penghambatan sekresi renin akibat aktivasi adrenoseptor beta 1 di ginjal.

Farmakokinetik : diabsorbsi dengan baik oleh saluran cerna. Waktu paruhnya pendek, dan dapat diberikan beberapa kali sehari.

Farmakodinamik : penghambat adrenergic beta menghambat perangsangan simpatik,

sehingga menurunkan denyut jantung dan tekanan darah.

Penghambat beta dapat menembus barrier plasenta dan dapat masuk ke ASI.

Indikasi : hipertensi, miokard infard, angina pectoris

Kontraindikasi : bradikardia sinus, blok jantung tingkat II dan III, syok kardiogenik,

(17)

gagal jantung tersembunyi

Efek samping : lesu, kaki dan tangan dingin, insomnia, mimpi buruk, diare Interaksi obat : reserpine meningkatkan efek antihipertensinya

Dosis : 50 – 100 mg

4. Propranolol

Nama paten : Blokard, Inderal, Prestoral Sediaan obat : Tablet

Mekanisme kerja : tidak begitu jelas, diduga karena menurunkan curah jantung, menghambat pelepasan renin di ginjal, menghambat tonus simpatetik di pusat vasomotor otak.

Farmakokinetik :diabsorbsi dengan baik oleh saluran cerna. Waktu paruhnya pendek, dan dapat diberikan beberapa kali sehari. Sangat mudah berikatan dengan protein dan akan bersaing dengan obat – obat lain

yang juga sangat mudah berikatan dengan protein.

Farmakodinamik : penghambat adrenergic beta menghambat perangsangan simpatik,

sehingga menurunkan denyut jantung dan tekanan darah.

Penghambat beta dapat menembus barrier plasenta dan dapat masuk ke ASI.

Indikasi : hipertensi, angina pectoris, aritmia jantung, migren, stenosis subaortik hepertrofi, miokard infark, feokromositoma

Kontraindikasi : syok kardiogenik, asma bronkial, brikadikardia dan blok jantung tingkat II dan III, gagal jantung kongestif. Hati – hati pemberian pada penderita biabetes mellitus, wanita haminl dan menyusui.

Efek samping :bradikardia, insomnia, mual, muntah, bronkospasme, agranulositosis, depresi.

Interaksi obat : hati – hati bila diberikan bersama dengan reserpine karena

(18)

menambah berat hipotensi dan kalsium antagonis karena menimbulkan penekanan kontraktilitas miokard. Henti jantung dapat terjadi bila diberikan bersama haloperidol. Fenitoin,

fenobarbital,rifampin meningkatkan kebersihan obat ini. Simetidin menurunkan metabolism propranolol. Etanolol menurukan

absorbsinya.

Dosis : dosis awal 2 x 40 mg/hari, diteruskan dosis pemeliharaan.

Peningkatan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Atenolol

Drug (atenolol) sebelum dimodifikasi Drug (atenolol) sesudah dimodifikasi

Farmakokinetik  Menghilangkan gugus hidroksil akan mengurangi kepolaran dan

meningkatkan kelarutan dalam lemak sehingga menaikkan kemampuan obat menembus membran sel.

 Penambahan gugus metil akan menghambat proses oksidasi senyawa obat dan meningkatkan waktu paruh obat dalam tubuh karena dapat menginhibisi enzim monoamine oxidase (MAO)

 Penambahan gugus metil juga akan menaikkan sifat hidrofobik obat untuk mengimbangi efek

hidrofil akibat penambahan gugus asam karboksilat

Farmakodinamik  Menambahkan gugus asam karboksilat akan meningkatkan aktivitas agonis dan menambah interaksi ionik saat terjadi deprotonasi

 Memperpanjang gugus subtituen alkil yang terikat pada gugus amin akan meningkatkan selektivitas dan interaksi terhadap reseptor beta

(19)

Rancangan Pengembangan Obat

Rancangan obat adalah usaha untuk mengembangkan obat yang telah ada, yang sudah diketahui struktur molekul dan aktivitas biologisnya, atas dasar penalaran yang sistematik dan rasional, dengan mengurangi factor coba-coba seminimal mungkin.

1.Proses Docking

Sisi pengikatan paling optimal hasil Docking sebelum ligan dimodifikasi

(20)

Sisi pengikatan paling optimal hasil Docking sesudah ligan dimodifikasi

(21)

1. Usulan Modifikasi Obat

Drug (atenolol) sebelum dimodifikasi

Drug (Atenolol) sesudah dimodifikasi

BAB III PENUTUP

(22)

Kesimpulan

Beta blockers adalah obat-obat yang menghalangi norepinephrine dan epinephrine (adrenaline) mengikat pada reseptor-reseptor beta pada syaraf-syaraf.

Beta blockers terutama menghalangi reseptor-reseptor beta1 dan beta2. Dengan menghalangi efek-efek dari norepinephrine dan epinephrine, beta blockers mengurangi denyut jantung; mengurangi tekanan darah dengan melebarkan pembuluh-pembuluh darah; dan mungkin menyempitkan saluran-saluran udara dengan menstimulasi otot- otot yang mengelilingi saluran-saluran udara untuk berkontraksi.

Nilai afinitas ikatan (binding affinity) dari desain modifikasi obat atenolol terhadap reseptor beta-1 adrenergik semakin negatif berdasarkan hasil simulasi docking menggunakan software PyRx. Hal tersebut menandakan orientasi obat hasil modifikasi di binding site reseptor semakin baik dan akan meningkatkan interaksinya secara farmakodinamik.

Besar binding affinity optimal untuk senyawa obat atenolol dengan reseptor sebesar -5,5 sedangkan untuk senyawa obat atenolol yang sudah dimodifikasi menghasilkan nilai binding affinity optimal sebesar -6,1.

DAFTAR PUSTAKA

Appel L.J., Moore T.J., Obarzanek E, Vollmer W.M., Svetkey L.P., Sacks F.M., Bray

(23)

G.A., Vogt T.M., Cutler J.A., Windhauser M.M., Lin P.H., Karanja N.

(1997). A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure:

DASH Collaborative Research Group. N Engl J Med. 336:1117–1124.

Carretero O.A., Oparil S. (2000). Essential hypertension. Part I: Definition and etiology.

Circulation Journal and Article. 101 (3): 329–35 doi:10.1161/01.CIR.101.3.329. PMID 10645931

David, S. (2010). Drugs Acting on Autonomic Nervous System. Lecturer note of

Cambridge University hal. 3-14.Cambridge University Press and Library.

Encyclopedia Britannica. (2009). Mechanism of Adrenergic receptor and Adrenergic Nervous System. Article number 1336 (Issued 2): 325-331. UK: London.

Frishman, W.H. (December 2008). Fifty years of beta-blockers: a revolution in

CV pharmacotherapy Cardiologytoday

Graham L. Patrick. (2013). An Introduction to Medicinal Chemistry Fifth Edition. Oxford University Press. hal. 615.UK: Oxford

Hara, T. (2003). Innovation in the Pharmaceutical Industry: The Process of Drug

Discovery and Development. Great Britain: MPG Books. pp. 38–51. ISBN 1-84376-050-9

Krotkiewski M, Mandroukas K, Sjostrom L, Sullivan L, Wetterqvist H, Bjorntorp P.(1979).

Effects of long-term physical training on body fat, metabolism, and blood pressure in obesity. Metabolism Journal. 28:650–658.

Petrella R.J. (1998). How effective is exercise training for the treatment of hypertension. Clin J Sport Med. 8:224 – 231.

Quirke, V. (January 2006). Putting Theory into Practice: James Black, Receptor Theory and the Development of the Beta-Blockers at ICI, 1958–1978. Medical History. 50 (1): 69–92. doi:10.1017/s0025727300009455. PMC 1369014.

PMID 16502872

Siswandono dan soekarjo, B., 2008, Kimia Medisinal, Edisi 1& 2, Airlangga University press, Surabaya.

Williams R.R., Hunt S.C., Hopkins P.N., Hasstedt S.J., Wu L.L., Lalouel J.M. (1994).

Tabulations and expectations regarding the genetics of human hypertension. Kidney Internationale. 45:57–64.

Gambar

Gambar 2.2.  Mekanisme kerja β -1  Adrenergic receptor  (Encyclopedia Britannica, 2009)
Gambar 2.3. Struktur kerangka dasar senyawa kelas katekolamin

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui karakteristik pasien pre-eklampsia, jenis dan golongan obat, jumlah obat antihipertensi yang digunakan, cara pemberian obat,

Berdasarkan data Rekam Medis Kesehatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Sidoarjo dari 30 pasien sirosis hati yang mendapatkan terapi obat golongan beta bloker,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya potensi interaksi obat antihipertensi, frekuensi potensi interaksi obat, pola mekanisme interaksi, jenis obat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya potensi interaksi obat antihipertensi, frekuensi potensi interaksi obat, pola mekanisme interaksi, jenis obat

secara umum, golongan obat antihipertensi yang dikenal yaitu, diuretik, ACE inhibitor, Angiostensin Reseptor Bloker, Canal Calsium Bloker dan Beta Bloker (Fitrianto, H.,

)7 disertai dengan penurunan resistensi perifer. Tampakny ampaknya a kerja golongan kerja golongan obat ini tidak hanya melalui system rennin-angiotensin-aldosteron, tetapi juga

Hasil penelitian ini sejalan dengan Ramadhan 2015 menunjukkan bahwa obat antihipertensi dosis tunggal yang sering digunakan adalah Captopril dari golongan ACEI sebanyak 14 responden

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa penggunaan terapi dengan 2 kombinasi obat antihipertensi dengan golongan ARB+CCB memiliki presentase tertinggi yakni