• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil peresepan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil peresepan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005."

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Penyakit hipertensi dalam kehamilan termasuk pre-eklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di Indonesia (Armanza dan Karkata, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui karakteristik pasien pre-eklampsia, jenis dan golongan obat, jumlah obat antihipertensi yang digunakan, cara pemberian obat, lama perawatan, dan potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain yang diberikan kepada pasien pre-eklampsia.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif non analitik. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan meliputi pengambilan data, analisis terhadap profil penggunaan obat antihipertensi, dan analisis data.

Dari hasil penelitian diperoleh kasus pre-eklampsia sebanyak 40 pasien, berdasarkan umur, kelompok umur 20–34 tahun sebesar 77,5% dan untuk kelompok umur ≥ 35 tahun sebesar 22,5%. Berdasarkan diagnosis, pre-eklampsia berat sebesar 82,5% dan persentase pre-eklampsia ringan sebesar 17,5%. Golongan obat yang digunakan meliputi antihipertensi yang bekerja sentral 45,3%, antagonis Ca 32,8%, diuretik 17,2%, penghambat α 3,1% dan penghambat ACE 1,6%. Jumlah obat antihipertensi yang digunakan: tunggal 32,5%, dua kombinasi 25%, tiga kombinasi 17,5%, 4 kombinasi 2,5% dan 6 kombinasi 2,5%. Cara pemberian obat secara oral 87,5%, secara injeksi 9,4%, dan secara sublingual 3,1%. Persentase menginap terbanyak yakni 20% dengan lama menginap selama 4 hari dan 5 hari. Interaksi yang paling sering terjadi adalah interaksi antara metildopa dengan nifedipin sebesar 23,9%.

(2)

ABSTRACT

Hypertension in pregnancy including pre-eclampsia and eclampsia nowadays is still a problem in maternal care in Indonesia. This research aims to understand the using of antihypertension medicine for the patients of pre-eclampsia in Panti Rapih Hospital Yogyakarta. The specific goal is to know the pre-eclampsia patient characteristics, medicines type and category, the amount of medicine, medicines taking method, the treatment duration and the interaction potential between antihypertension medicine and other antihypertension medicine that is given to the pre-eclampsia patient.

This research is an observational research with non analytical descriptive plan. The steps of the research covers collecting data, doing the analysis toward the profile of medicine using, and data analysis.

From the research, it can be obtained the case of pre-eclampsia consist of fourty patients, based on the age, there are 77,5% for 20-34 year old patient, 22,5% for ≥35 year old patient. While, based on the diagnosis, it consists of severe pre-eclampsia (82,5%) and light pre-pre-eclampsia (17,5%). Used medicine category covers centrally antihypertension 45,3%, antagonis Ca 32,8%, diuretic 17,2%, α blocker 3,1% and ACE inhibitor 1,6%. The amount of antihypertension medicines that are used: single 32,5%, two combination 25%, three combination 17,5%, four combination 2,5% and six combination 2,5%. Orally medicine given is 87,5%, 9,4 % by injection and 3,1% by sublingual. The most patients stay in the hospital 4 day and 5 day are 20%. The most interaction happened between metildopa and nifedipin are 23,9%.

(3)

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI

PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Beatrix Marendeng

NIM : 028114167

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI

PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

TAHUN 2005

Yang diajukan oleh :

Beatrix Marendeng

NIM : 028114167

telah disetujui oleh

Pembimbing Utama :

dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes.

(5)
(6)

In every step you take

For choices that you make

Dreams aren

t made to be erased

(Anggun)

Which causes the most pain is that

which caused the most joy. You can’t

have joy without pain or pain without

joy

( kahlil gibran)

Kupersembahkan untuk :

Tuhanku Yesus Kristus atas kasih dan petunjuk-Nya, Mama dan Papa sebagai

ungkapan rasa hormat dan baktiku, Opel, my

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

anugerah dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu

Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini karena bimbingan dan bantuan dari

berbagai pihak yang telah memberikan saran, kritik, dan dukungan kepada penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma dan selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada

penulis.

2. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes yang telah membimbing dan memberikan kritik

dan saran kepada penulis.

3. Drs. Mulyono, Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran

kepada penulis.

4. Seluruh staf rekam medik di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

5. Mama dan Papa atas dukungan kepada penulis agar senantiasa pantang menyerah.

6. Nenek mama dan Nenek papa (Alm) thanks for loving me unconditionally

7. Rannu dan Hilde atas segala pengorbanan, dukungan, dan kasih sayangnya

sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. Thanks for making my world

worthwhile.

8. Mas wawan, terima kasih buat kursus kilat ilmu komputernya dan semua

pengalaman hidup.

9. Opel untuk semua tuntutan dan tawa.

10. Teman-teman mahasiswa Fakultas Farmasi angkatan ’02 dan ’03 terima kasih

(8)

11. Teman-temanku: Riri, Berta, Wira, Elni, Hen, Sindu, Fitri, Tesa, Ratih, Diyu,

Vero, Arianto, Mitae, Mila, Mega.

12. Teman-teman KKN : Lukas, Agnes, Danang, Murni, Mas Vincent, Afril, Yosi,

Niken, dan Hanik untuk kebersamaan selama di bometen kidul tercinta

13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Yogyakarta, 30 januari 2007

Penulis

(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Januari 2007

Penulis

(10)

INTISARI

Penyakit hipertensi dalam kehamilan termasuk pre-eklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di Indonesia (Armanza dan Karkata, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui karakteristik pasien pre-eklampsia, jenis dan golongan obat, jumlah obat antihipertensi yang digunakan, cara pemberian obat, lama perawatan, dan potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain yang diberikan kepada pasien pre-eklampsia.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif non analitik. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan meliputi pengambilan data, analisis terhadap profil penggunaan obat antihipertensi, dan analisis data.

Dari hasil penelitian diperoleh kasus pre-eklampsia sebanyak 40 pasien, berdasarkan umur, kelompok umur 20–34 tahun sebesar 77,5% dan untuk kelompok umur ≥ 35 tahun sebesar 22,5%. Berdasarkan diagnosis, pre-eklampsia berat sebesar 82,5% dan persentase pre-eklampsia ringan sebesar 17,5%. Golongan obat yang digunakan meliputi antihipertensi yang bekerja sentral 45,3%, antagonis Ca 32,8%, diuretik 17,2%, penghambat α 3,1% dan penghambat ACE 1,6%. Jumlah obat antihipertensi yang digunakan: tunggal 32,5%, dua kombinasi 25%, tiga kombinasi 17,5%, 4 kombinasi 2,5% dan 6 kombinasi 2,5%. Cara pemberian obat secara oral 87,5%, secara injeksi 9,4%, dan secara sublingual 3,1%. Persentase menginap terbanyak yakni 20% dengan lama menginap selama 4 hari dan 5 hari. Interaksi yang paling sering terjadi adalah interaksi antara metildopa dengan nifedipin sebesar 23,9%.

(11)

ABSTRACT

Hypertension in pregnancy including pre-eclampsia and eclampsia nowadays is still a problem in maternal care in Indonesia. This research aims to understand the using of antihypertension medicine for the patients of pre-eclampsia in Panti Rapih Hospital Yogyakarta. The specific goal is to know the pre-eclampsia patient characteristics, medicines type and category, the amount of medicine, medicines taking method, the treatment duration and the interaction potential between antihypertension medicine and other antihypertension medicine that is given to the pre-eclampsia patient.

This research is an observational research with non analytical descriptive plan. The steps of the research covers collecting data, doing the analysis toward the profile of medicine using, and data analysis.

From the research, it can be obtained the case of pre-eclampsia consist of fourty patients, based on the age, there are 77,5% for 20-34 year old patient, 22,5% for ≥35 year old patient. While, based on the diagnosis, it consists of severe pre-eclampsia (82,5%) and light pre-pre-eclampsia (17,5%). Used medicine category covers centrally antihypertension 45,3%, antagonis Ca 32,8%, diuretic 17,2%, α blocker 3,1% and ACE inhibitor 1,6%. The amount of antihypertension medicines that are used: single 32,5%, two combination 25%, three combination 17,5%, four combination 2,5% and six combination 2,5%. Orally medicine given is 87,5%, 9,4 % by injection and 3,1% by sublingual. The most patients stay in the hospital 4 day and 5 day are 20%. The most interaction happened between metildopa and nifedipin are 23,9%.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Keaslian Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Pre-eklampsia... 7

1. Definisi ... 7

2. Etiologi ... 8

3. Patogenesis ... 9

4. Manifestasi Klinis ... 12

5. Diagnosis ... 13

6. Pencegahan... 14

7. Srategi Terapi ... 15

(13)

C. Pengobatan Rasional ... 27

D. Interaksi Obat ... 29

1. Interaksi Farmasetik ... 31

2. Interaksi Farmakokinetik ... 31

3. Interaksi Farmakodinamik ... 32

E. Keterangan Empiris... 32

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33

B. Definisi Operasional ... 33

C. Bahan Penelitian ... 34

D. Lokasi Penelitian ... 35

E. Tata Cara Pengumpulan Data ... 35

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Karakteristik Pasien Pre-eklampsia... 38

1. Distribusi Umur Pasien Pre-eklampsia ... 38

2. Distribusi Usia kehamilan ... 39

3. Distribusi Paritas ... 40

4. Distribusi Macam Persalinan………. 41

5. Distribusi Diagnosis Utama………... 42

6. Distribusi Tekanan Darah Sistolik………. 43

7. Distribusi Tekanan Darah Diastolik………... 44

B. Profil Peresepan Obat Antihipertensi... 44

1. Jenis dan Golongan Obat Antihipertensi Yang Digunakan... 45

2. Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi secara Tunggal maupun Kombinasi... 50

3. Cara Pemberian Obat Antihipertensi ... 56

4. Lama Perawatan... 57

5. Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Antihipertensi Lainnya... 58

(14)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN ... 71

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

I. Obat Antihipertensi yang Dapat Digunakan Pada Pre-eklampsia …… 17

II. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil . …… 20

III. Distribusi Penggunaan Kombinasi >2 Jenis Obat Antihipertensi

pada Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 55

IV. Distribusi Cara pemberian Obat Antihipertensi pada Pasien

Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Tahun 2005………... 56

V. Distribusi Lama Perawatan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 58

VI. Distribusi Interaksi Jenis Obat Antihipertensi dengan Obat

Antihipertensi Lainnya di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ... 59

VII. Distribusi Interaksi dan Sifat Interaksi Obat Antihipertensi

dengan Obat Antihipertensi Lainnya di Instalasi Rawat Inap

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Distribusi Umur Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005……… 38

2. Distribusi Usia Kehamilan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 39

3. Distribusi Paritas Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 40

4. Distribusi Macam Persalinan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 41

5. Distribusi Diagnosis Utama Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 42

6. Distribusi Tekanan Darah Sistolik Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 43

7. Distribusi Tekanan Darah Diastolik Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 44

8. Distribusi Jenis Obat Antihipertensi yang Digunakan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... ... 46

9. Distribusi Golongan Obat Antihipertensi yang Digunakan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 46

10.Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi Secara

Tunggal maupun Kombinasi di Instalasi Rawat Inap Rumah

(17)

11.Distribusi Penggunaan Jenis Obat Antihipertensi Secara

Tunggal di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Tahun 2005... 52

12.Distribusi Penggunaan Kombinasi 2 Jenis Obat Antihipertensi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta……… ... 71

2. Data Umum Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005... 72

3. Gejala, Tanda Fisik dan Data Laboratorium Pasien

Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah sakit Panti Rapih

Yogyakarta tahun 2005... ... 74

4. Daftar Obat yang Digunakan oleh Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah sakit Panti rapih Yogyakarta tahun

2005... 77

5. Tingkatan evidence……… ... 90

(19)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam pelayanan obstetri, selain Angka Kematian Maternal (AKM) terdapat

Angka Kematian Perinatal (AKP) yang dapat digunakan sebagai parameter

keberhasilan pelayanan. Namun, keberhasilan menurunkan AKM di negara-negara

maju saat ini menganggap AKP merupakan parameter yang lebih baik dan lebih peka

untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Salah satu penyebab kematian perinatal

adalah penyakit hipertensi dalam kehamilan (Sudhaberata, 2001).

Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) termasuk pre-eklampsia dan

eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di

Indonesia. Walaupun sudah jauh menurun, angka morbiditas dan mortalitas maternal

dan perinatal akibat pre-eklampsia dan eklampsia masih tinggi dan merupakan salah

satu dari ketiga penyebab utama kematian ibu, di samping perdarahan dan infeksi

(Armanza dan Karkata, 2005).

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda–tanda hipertensi, edema, dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam

trimester ke-3 kehamilan dan sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh

wanita yang bersangkutan sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul

pre-eklampsia berat, bahkan eklampsia. Eklampsia adalah pre-eklampsia yang

disertai dengan kejang (Wiknjosastro, 2002).

(20)

Di Indonesia pre-eklampsia masih merupakan sebab utama kematian ibu,

disamping perdarahan dan infeksi dan penyebab kematian perinatal yang tinggi. Dari

berbagai penelitian di Indonesia diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% -25,5%

sedangkan kematian bayi di negara maju lebih kecil (Wiknjosastro, 2002). Menurut

Zuspan dan Arulkumaran (cit., Sudhaberata, 2001), melaporkan angka kejadian

pre-eklampsia di dunia sebesar 0-13%, di Singapura 0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia

3,4-8,5%. Penelitian yang dilakukan oleh Soejoenoes (cit., Sudhaberata, 2001), di 12

RS Pendidikan di Indonesia, didapatkan kejadian pre-eklampsia–eklampsia 5,30%

dengan kematian perinatal 10,83 perseribu (4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan

kehamilan normal). Penelitian yang dilakukan oleh Meizia dan Mose (cit., Armanza

dan Karkata, 2005), jumlah kematian ibu di duabelas rumah sakit pendidikan di

Indonesia antara tahun 1997–1980 berkisar 30-40% yang diakibatkan oleh

pre-eklampsia. Menurut Dwijayasa (cit., Armanza dan Karkata, 2005) pada dekade

1990-an pre-eklampsia d1990-an eklampsia sudah merupak1990-an penyebab kemati1990-an maternal y1990-ang

paling banyak yaitu sebesar 30%.

Pada pre-eklampsia–eklampsia juga didapatkan risiko persalinan prematur

2,67 kali lebih besar, persalinan buatan 4,39 kali lebih banyak, dan mempunyai

kecenderungan lebih tinggi untuk mendapatkan bayi dengan berat badan lahir rendah

(Sudhaberata, 2001).

Tingginya kematian ibu dan anak di negara–negara berkembang disebabkan

oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan natal, penderita–penderita

eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Oleh karena itu

(21)

penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu

dan anak (Wiknjosastro, 2002).

Salah satu upaya untuk menurunkan AKP akibat pre-eklampsia–eklampsia

adalah dengan menurunkan angka kejadian pre-eklampsia–eklampsia. Angka

kejadian dapat diturunkan melalui upaya pencegahan, pengamatan dini, dan terapi

(Sudhaberata, 2001).

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas terapi medik dan

penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada

saat yang optimal. Terapi medik hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena

etiologi pre-eklampsia belum diketahui. Salah satu terapi medik pada pre-eklampsia

adalah obat antihipertensi. Penanganan pre-eklampsia ringan dapat dilakukan dengan

beristirahat yang cukup dan mengurangi konsumsi garam. Penanganan pasien dengan

tanda-tanda dan gejala-gejala pre-eklampsia berat segera harus diberi sedatif yang

kuat untuk mencegah timbulnya kejang (Wiknjosastro, 2002).

Penanganan eklampsia dilakukan di rumah sakit, terutama untuk

pre-eklampsia berat. Salah satu rumah sakit terbesar di Yogyakarta adalah Rumah Sakit

Panti Rapih. Rumah Sakit Panti Rapih adalah Rumah Sakit Swasta Katolik di Daerah

Istimewa Yogyakarta yang didirikan pada tanggal 14 September 1929 dengan tujuan

dapat melayani masyarakat umum termasuk mereka yang kekurangan. Rumah Sakit

Panti Rapih adalah Rumah Sakit swasta tipe madya dan memiliki 316 tempat tidur

(22)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan

masalahnya sebagai berikut di bawah ini.

1. Seperti apakah karakteristik pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005?

2. Jenis dan golongan obat antihipertensi apakah yang diberikan pada setiap pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

tahun 2005 ?

3. Berapa jumlah obat antihipertensi yang diberikan secara tunggal maupun

kombinasi pada setiap pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

4. Dengan cara pemberian apakah obat antihipertensi diberikan pada pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun

2005 ?

5. Berapa lama perawatan yang dijalani oleh setiap pasien pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

6. Apakah terdapat potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat

antihipertensi lainnya yang diberikan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi

(23)

C. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Juwita (2004), yaitu tentang pola

peresepan pasien hipertensi gestasional di Bangsal Rawat Inap Obstetri dan

Ginekologi Rumah Sakit DR.Sardjito Yogyakarta tahun 2002. Penelitian ini berbeda

dengan penelitian terdahulu dalam hal objek pengamatan, lokasi pengamatan, dan

waktu pengamatan. Selain itu, penelitian ini hanya mengamati obat antihipertensi

yang digunakan pada pasien pre-eklampsia (tidak mengamati seluruh obat yang

digunakan oleh pasien pre-eklampsia). Pada penelitian ini peneliti menggunakan

instalasi rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 dan yang

diteliti sebagai objek lebih spesifik yaitu kasus pre-eklampsia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Dapat digunakan sebagai informasi untuk mengembangkan konsep pelayanan

farmasi di rumah sakit.

2. Manfaat praktis

a. dapat dijadikan evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

melalui penggunaan obat secara rasional khususnya untuk kasus pre-eklampsia

b. dapat dijadikan referensi untuk penyusunan standar terapi di suatu rumah

(24)

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil peresepan obat

antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan khusus untuk mengetahui:

a. karakteristik pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta tahun 2005.

b. jenis dan golongan obat antihipertensi yang digunakan pada pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

tahun 2005.

c. jumlah obat antihipertensi yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi

pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta tahun 2005.

d. cara pemberian obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

e. lama perawatan pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005

f. potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi

lainnya yang diberikan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

(25)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pre-eklampsia 1. Definisi

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda–tanda hipertensi, edema, dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam

trimester ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola

hidatidosa (Winknjosastro, 2002).

Pre-eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung

disebabkan oleh kehamilan. Definisi pre-seklampsia adalah hipertensi disertai

proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau

segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi

penyakit trofoblastik (Manuaba, 2001).

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk

menegakkan diagnosis pre-eklampsia, penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2

kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat (Winknjosastro, 2002).

The National High Blood Pressure Education Program Working Group on

High Blood Pressure in Pregnancy mengelompokkan hipertensi dalam kehamilan

menjadi 4 kelompok sebagai berikut.

a. Pre-eklampsia. Diagnosis pre-eklampsia ditetapkan bila tekanan darah

sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg yang muncul

pada wanita hamil setelah minggu ke–20 yang mana sebelum minggu ke–20,

tekanan darah wanita hamil normal. Adanya protein pada urin sebesar

≥30mg/dl atau hasil test dipstik +1.

(26)

b. Hipertensi kronik. Diagnosis hipertensi kronik ditetapkan bila tekanan darah

≥ 140/90 mmHg sebelum minggu ke–20 atau jika pengukuran setelah minggu

ke–20 tekanan darah tetap >140/90 mmHg sampai 12 minggu setelah

melahirkan.

c. Superimpose pre-eklampsia dengan hipertensi kronis didefinisikan sebagai

hipertensi kronis pada wanita hamil yang kemudian berkembang menjadi

pre-eklampsia dengan adanya protein urin, trombositopenia, atau peningkatan

enzim hati.

d. Hipertensi gestasional adalah hipertensi pada kehamilan yang tidak disertai

dengan tanda- tanda pre-eklampsia seperti adanya protein urin (Gifford dkk,

2000).

Pre-eklampsia dan eklampsia hampir secara ekslusif merupakan penyakit

pada primipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrim,

yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun.

Pada multipara, penyakit ini biasanya dijumpai pada keadaan-keadaan berikut:

a. kehamilan multifetal dan hidrops fetalis

b. penyakit vaskuler, termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus

c. penyakit ginjal (Manuaba, 2001).

2. Etiologi

Apa yang menjadi penyebab pre-eklampsia sampai sekarang ini belum

diketahui dengan pasti. Penyebab pre-eklampsia rupanya tidak hanya satu faktor,

(27)

3. Patogenesis

Walaupun apa yang menjadi penyebab pre-eklampsia sampai sekarang belum

diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan patogenesis

penyakit tersebut. Adapun teori–teori tersebut antara lain :

a. teori genetik, menyebutkan bahwa hipertensi dalam kehamilan ada

kemungkinan diturunkan, khususnya pada kehamilan pertama. Tingkat

kejadian pre-eklampsia pada anak perempuan lebih tinggi dibandingkan

dengan menantu wanita (Manuaba, 2001).

b. teori imunologik, menyebutkan bahwa janin adalah ”benda asing”. Pada

kehamilan normal terdapat human leukocyte antigen (HLA). HLA G terdapat

pada jaringan plasenta pada kehamilan normal. HLA G mempunyai peran

dalam merangsang respon imun terhadap ”benda asing” yang terdapat di

plasenta. Pada pre-eklampsia memiliki HLA G yang lebih sedikit atau

memiliki protein HLA G yang berbeda sehingga terjadi gangguan adaptasi

terhadap ”benda asing” dalam hal ini janin (Grifford, 2000).

c. teori ischemia regio uteroplasenter menyebutkan invasi sel trofoblas dapat

menimbulkan dilatasi pembuluh darah pada kehamilan normal, sehingga

dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigen serta plasenta dapat berfungsi

dengan normal. Pada kasus pre-eklampsia, invasi sel trofoblas hanya terjadi

pada sebagian arteri spiralis di daerah endometrium-desidua, yang

mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi plasenta karena sebagian besar

arteri spiralis miometrium tetap dalam keadaan konstriksi sehingga tidak

(28)

Akibat labilnya distribusi oksigen ke plasenta, maka akan menghasilkan

radikal bebas dan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.

Kerusakan endotel akan mengakibatkan terjadi agregasi dan adhesi trombosit

di tempat kerusakan pembuluh darah. Timbunan agregasi dan adhesi

trombosit disekitar pembuluh darah yang rusak mengakibatkan kerusakan dan

lisis dari trombosit, dan akhirnya berakibat menurunnya jumlah trombosit

sehingga memudahkan terjadi perdarahan (Manuaba, 2001).

d. teori radikal bebas. Teori ini menjelaskan jika oksigen labil distribusinya

akan menimbulkan produk metabolisme samping yaitu radikal bebas, dengan

ciri terdapat “elektron bebas”. Elektron bebas ini akan mencari pasangan

dengan merusak jaringan, khususnya endotel pembuluh darah. Antiradikal

bebas yang dapat dipakai untuk menghalangi kerusakan membran sel sebagai

anti aksi adalah vitamin C dan Vitamin E. kerusakan dari membran sel akan

merusak dan membunuh sel endotel (Manuaba, 2001).

e. teori kerusakan endotel

Fungsi endotel sendiri adalah melancarkan sirkulasi darah sehingga terdapat

aliran nutrisi dan pembuangan hasil metabolisme dapat berjalan baik,

melindungi pembuluh darah agar tidak terjadi timbunan trombosit, serta

menghindari pengaruh vasokonstriktor. Adapun kerusakan sel endotel

menyebabkan fungsi sel endotel sendiri menurun sampai hilang, terjadi

timbunan trombosit pada lumen pembuluh darah sehingga aliran darah

terganggu karena lumen sempit, meningkatnya permeabilitas membran dan

(29)

endotel akan menimbulkan gangguan relaksasi pembuluh darah. Kerusakan

endotel menyebabkan gangguan produksi prostaglandin total, terjadi

gangguan keseimbangan produksi dengan lebih banyak tromboksan, yang

merupakan vasokontriksi pembuluh darah yang poten sehingga hipoksia

plasenta makin bertambah. Kerusakan khas dari endotel pembuluh darah,

terutama pada ginjal menimbulkan glomerular endotheliosis yang

menyebabkan proteinuria (Manuaba, 2001).

f. teori trombosit, menyebutkan pada kejadian pre-eklampsia terjadi

ketidakseimbangan pada produksi derivat prostaglandin. Derivat

prostaglandin yang terganggu adalah protasiklin (PGI2) yang dapat

menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serta menghalangi agregasi dan

adhesi trombosit pada endotel pembuluh darah, derivat prostaglandin yang

lain yang juga terganggu adalah tromboksan A2 yang bekerja sebaliknya,

yaitu menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah dan menyebabkan

agregasi dan adhesi trombosit pada endotel pembuluh darah yang rusak.

Kerusakan trombosit meningkatkan pengeluran tromboksan sehingga

tromboksan dibandingkan prostasiklin yaitu 7:1 (Manuaba, 2001). Akibat

tingginya pengeluaran tromboksan, berakibat terjadinya vasokontriksi

pembuluh darah yang menyebabkan tekanan darah meningkat (Manuaba,

2001).

g. teori diet ibu hamil

Kebutuhan kalsium ibu hamil cukup tinggi. Kebutuhan untuk pembentukan

(30)

diperlukan untuk mempertahankan agar konsentrasi dalam darah menjadi

konstan. Bila terjadi kekurangan kalsium, maka kalsium ibu hamil akan

dikuras untuk memenuhi kebutuhan sehingga terjadi pengeluaran kalsium

dari jaringan otot. Manifestasi yang terjadi akibat kalsium keluar dari otot

jantung adalah melemahnya kontraksi otot jantung dan menurunkan stroke

volume, sehingga aliran darah akan menurun dan seterusnya mengakibatkan

ischemia regio uteroplasenter, selain itu keluarnya kalsium dari otot

pembuluh darah akan menimbulkan kompensasi terjadinya vasokontriksi

pembuluh darah akibatnya tekanan darah meningkat dan terjadi hipertensi

(Manuaba, 2001).

Dalam standar pendidikan obstetri dan ginekologi tersurat teori yang dianut yaitu

teori ischemia regio uteroplasenter dengan dukungan teori yang lainnya (Manuaba,

2001).

4. Manifestasi klinik

Biasanya tanda–tanda pre-eklampsia timbul dalam urutan : pertambahan berat

badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada

pre-eklampsia ringan tidak ditemukan gejala–gejala subjektif. Pada pre-pre-eklampsia berat

didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri

di daerah epigastrum, mual atau muntah. Gejala–gejala ini sering dikemukakan pada

pre-eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan

timbul. Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum, dan

(31)

5. Diagnosis

Pada umumnya diagnosis pre-eklampsia didasarkan atas adanya dua dari tiga

tanda utama yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria. Penambahan berat badan yang

berlebihan bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali. Edema terlihat sebagai

peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari, tangan, dan muka. Tekanan darah

≥140/90mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat (Mansjoer dkk, 1999).

Dahulu, kenaikan tekanan darah sistolik sebesar >30mmHg atau tekanan

diastolik meningkat >15mmHg walaupun nilai absolut tekanan darahnya dibawah

140/90 mmHg merupakan salah satu kriteria diagnosis pre-eklampsia, tetapi menurut

The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High

Blood Pressure in Pregnancy, hal ini tidak lagi merupakan salah satu kriteria

diagnosis, karena bukti klinis yang ada menunjukkan bahwa pasien pada kategori ini

tidak mengalami perburukan keadaan. Namun, penilaian para praktisi klinik

menyatakan bahwa pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik

sebesar >30mmHg atau tekanan diastolik meningkat >15mmHg perlu pengawasan

yang ketat, khususnya jika terdapat protein urin dan nilai asam urat sama dengan atau

lebih besar dari 6mg/dl (Grifford, 2000).

Tekanan diastolik pada trimester kedua yang lebih dari 85mmHg patut

dicurigai sebagai bakat pre-eklampsia. Proteinuria bila terdapat protein sebanyak

0,3g/L dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau 2,

atau kadar protein ≥1g/L dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi

(32)

Menurut Sudhaberata (2001), eklampsia dibagi menjadi 2 yaitu,

pre-eklampsia ringan dan pre-pre-eklampsia berat. Kriteria diagnosis pre-pre-eklampsia ringan

sebagai berikut ini.

a. Tekanan darah ≥140mmHg/90mmHg

b. Edema tungkai, lengan atau wajah, atau kenaikan berat badan 1 kg/minggu.

c. Proteinuria 0,3g/24 jam atau plus 1-2.

d. Oliguria.

Kriteria diagnosis pre-eklampsia berat yaitu apabila pada kehamilan lebih 20 minggu

didapatkan satu atau lebih tanda berikut ini.

a. Tekanan darah >160/110mmHg diukur dalam keadaan relaks dan tidak dalam

keadaan his.

b. Proteinuria >5g/24 jam atau +4 pada pemeriksaan kualitatif.

c. Oliguria : urine <500 ml/24 jam disertai kenaikan kreatinin plasma

d. Gangguan visus dan serebral

e. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan.

f. Edema paru dan sianosis.

g. Gangguan pertumbuhan janin intrauterin.

h. Adanya sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low platelet

Count).

6. Pencegahan

Walaupun timbulnya pre-eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun

frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian informasi dan pelaksanaan

(33)

istirahat, diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam, dan pertambahan

berat badan yang tidak berlebihan (Wiknjosastro, 2002).

Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan pre-eklampsia. Beberapa

penelitian menunjukkan pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diet tinggi protein,

suplemen kalsium, magnesium, dan lain-lain) atau medikamentosa (teofilin,

antihipertensi, aspirin, diuretik, dan lain-lain) dapat mengurangi kemungkinan

timbulnya pre-eklampsia (Mansjoer dkk, 1999).

7. Strategi Terapi

Pengobatan hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena etiologi

pre-eklampsia dan faktor-faktor yang menyebabkan belum diketahui. Tujuan utama

penanganan ialah untuk mencegah terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia,

melahirkan janin hidup, dan melahirkan janin dengan trauma sekecil–kecilnya

(Wiknjosastro, 2002).

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medisinal

dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi

pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi

sudah cukup matur untuk hidup diluar uterus (Wiknjosastro, 2002).

Penanganan pre-eklampsia dibagi menjadi 2 bagian yaitu perawatan aktif dan

perawatan konservatif. Perawatan aktif terbagi pengobatan medisinal dan pengobatan

obstetrik.

a. Terapi medisinal meliputi :

1). segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus dekstrosa

(34)

2). total bed rest dalam posisi lateral decubitus.

3). diet cukup protein, rendah karbohidrat-lemak dan garam.

4). antasida.

5). anti kejang:

a). magnesium sulfat (MgSO4)

Syarat: tersedia antidotum kalsium glukonat 10% (1 ampul secara i.v dalam 3

menit), reflek patella positif kuat, kecepatan nafas >16 kali/menit, tanda distress

nafas negatif, produksi urin >100 cc dalam 4 jam sebelumnya. Cara pemberian:

loading dose secara intravena (i.v): MgSO4 20% 4g dalam 4 menit, intramuskuler

(i.m): 4g MgSO4 40% gluteus kanan, 4g MgSO4 40% gluteus kiri. Jika ada tanda

impending eklampsia loading dose diberikan i.v dan i.m, jika tidak ada loading

dose cukup diberikan secara i.m saja. Maintenance dose diberikan 6 jam setelah

loading dose, secara i.m 4g MgSO4 40% dalam 6 jam, bergiliran pada gluteus

kanan atau gluteus kiri.

b). diazepam: digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian

MgSO4 tidak dipenuhi. Cara pemberian: drip 10mg dalam 500 ml, maksimal 120

mg dalam 24 jam. Jika dalam dosis 100 mg dalam 24 jam tidak ada perbaikan,

alih rawat ke ruang ICU.

6). antihipertensi

(35)

Tabel I. Obat Antihipertensi yang Dapat Digunakan pada Pre-eklampsia (Wiknjosastro, 2002).

NO Jenis Obat Dosis

1 Penghambat adrenergik a. Adrenergik sentral

1). Metildopa

2). Klonidin

b. Penghambat beta 1). Pindolol

c. Penghambat alfa 1). Prazosin

d. Penghambat alfa-beta 1). Labetalol

3x125 mg/hari sampai 3x500 mg/hari

3x0,1 mg/hari atau 0,30 mg/500ml dekstrosa 5% / 6 jam

1x5 mg/hari sampai 3x10 mg/hari

3x1 mg/hari sampai 3x5 mg/hari

3x100 mg/hari

2 Vasodilator

1). Hidralazin 4x25 mg/hari atau parenteral 2,5mg – 5 mg 3 Antagonis kalsium

1). Nifedipin 3x10 mg/hari

Alternatif untuk antepartum, dapat digunakan metildopa dengan aturan dosis

3x125-500 mg atau klonidin drips/titrasi 0,30 mg/500 ml dekstrosa 5% per 6 jam dan

klonidin oral 3x0,1 mg/hari. Alternatif untuk postpartum, dapat digunakan

penghambat ACE misalnya kaptopril dengan aturan dosis 2x2,5-25 mg atau dapat

digunakan antagonis kalsium misalnya nifedipin dengan aturan dosis 3x5-10 mg.

Diuretik, untuk penggunaan antepartum, dapat digunakan manitol dan untuk

penggunaan postpartum dapat digunakan spironolakton atau furosemid. Indikasi

penggunaan diuretika bila terdapat edema paru-paru, gagal jantung kongestif ataupun

(36)

7). kardiotonika

8). lain-lain seperti antipiretika jika suhu >38,5°C, antibiotika jika ada indikasi,

analgetika, dan sebagainya (Sudhaberata, 2001).

b. Pengobatan obstetrik meliputi pengobatan pada tahap belum inpartu dan tahap

sudah inpartu. Tahap belum inpartu meliputi amniostomi atau oksitosin drip bila

bishop score > 8 setelah 3 menit terapi medisinal dan seksio sesarea bila terdapat

kontraindikasi oksitosin drip atau selama 12 jam diberi oksitosin drip belum masuk

fase aktif. Tahap sudah inpartu meliputi kala I dan kala II. Pada kala I dilakukan

seksio sesarea bila dalam 6 jam tidak masuk fase aktif atau dilakukan amniotomi

pada fase laten dan 6 jam kemudian bila pembukaan belum lengkap dilakukan seksio

sesarea. Pada kala II untuk persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan vakum

ekstraksi atau forcep ekstraksi. Untuk kehamilan <37 minggu, bila memungkinkan

terminasi ditunda 2x24 jam untuk maturasi paru janin (Sudhaberata, 2001).

Perawatan konservatif kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai

tanda-tanda impending eklampsia, dengan keadaan janin baik. Perawatan tersebut terdiri

dari terapi MgSO4 dan terapi lain sama seperti di atas. Perawatan konservatif

dianggap gagal jika dalam waktu lebih dari 24 jam tidak ada perbaikan, harus

diterminasi atau jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan MgSO4

20% 2 g secara i.v terlebih dahulu.

Penderita pulang bila dalam 3 hari perawatan setelah penderita menunjukkan

tanda-tanda pre-eklampsia ringan dan keadaan penderita tetap baik dan stabil (Sudhaberata,

(37)

B. Obat Antihipertensi

Terapi obat antihipertensi direkomendasikan untuk wanita hamil dengan

tekanan darah sistolik 160-180 mmHg atau tekanan darah sistolik yang lebih besar

dari 180 mmHg dan tekanan darah diastolik 105–110 mmHg atau tekanan darah

diastolik yang lebih besar dari 105–110 mmHg. Tujuan terapi adalah untuk

menurunkan tekanan sistolik sampai 140–155 mmHg dan tekanan diastolik sampai

90–105 mmHg. Untuk menghindari terjadinya hipotensi, tekanan darah harus

diturunkan secara perlahan–lahan (Wagner, 2004).

Hipertensi ringan hingga hipertensi berat selama kehamilan adalah umum.

Obat antihipertensi sering digunakan dengan harapan bahwa penurunan tekanan

darah akan mencegah berkembangnya penyakit menjadi lebih parah dan dengan

demikian meningkatkan kondisi pasien (Abalos dkk, 2001).

1. Rekomendasi Terapi Hipertensi Ringan Dalam Kehamilan

Tujuan terapi hipertensi ringan dalam kehamilan adalah untuk mencapai

tekanan darah diastolik 80–90 mmHg (grade D). Adapun obat lini pertama adalah

metildopa (grade A), obat lini kedua adalah labetalol (grade A/B), pindolol (grade

A/B), oxprenolol (gradeA/B), nifedipin (grade A/B), dan obat lini ketiga adalah

kombinasi klonidin dengan hidralazin (grade A, tetapi sebaiknya monoterapi),

kombinasi metoprolol dengan hidralazin (grade A, tetapi sebaiknya monoterapi),

klonidin (grade B), dan kombinasi metildopa dengan obat lini kedua atau hidralazin

(grade D) (Rey dkk, 1997).

Indikasi khusus untuk penyakit jantung dan penyakit ginjal, dapat digunakan

(38)

(grade C) dan antagonis reseptor angiotensin II (grade D). Hal-hal yang harus

diperhatikan antara lain, fungsi neuromuscular dan tekanan darah ketika

menggunakan nifedipin bersamaan dengan magnesium sulfat, dan tanda-tanda

ß-blockage pada janin yang baru lahir dari ibu yang diberi penghambat β (Rey dkk,

1997).

2. Rekomendasi Terapi Hipertensi Berat Dalam Kehamilan

Tujuan terapi hipertensi berat dalam kehamilan adalah untuk mencapai

tekanan darah diastolik 90–100 mmHg (grade D). Adapun obat lini pertama adalah

hidralazin (grade B), labetalol (grade B), nifedipin (grade B). Indikasi khusus untuk

pasien yang tidak dapat diberi obat lini pertama digunakan diazoxide (grade D) dan

sodium nitroprusside (grade D). Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain, fungsi

neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan

magnesium sulfat (grade D) dan perlu memonitor denyut jantung bayi selama terapi

akut (grade D) (Rey dkk, 1997).

3. Rekomendasi Terapi Hipertensi Post Partum

Obat yang direkomendasikan adalah metildopa (grade B), nifedipine (grade B),

timolol (grade B) (Rey dkk, 1997).

4. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil

Tabel II. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil (Rey dkk, 1997)

Kategori CHS NHBPEP ASSH

Hipertensi ringan

Obat pilihan

Metildopa, labetalol, pindolol, oxprenolol,

nifedipin

Metildopa Metildopa, labetalol, oxprenolol, klonidin

(39)

Hipertensi berat Obat pilihan Hidralazin, labetalol,

nifedipin

Hidralazin Hidralazin, labetalol, nifedipin, diazoxide Kejang

Obat untuk pencegahan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat

Magnesium sulfat, fenitoin Obat untuk

pengobatan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat

Diazepam secara i.v

Keterangan

CHS : Canadian Hypertension Society (Kanada)

NHBPEP : National High Blood Pressure Education Program Working Group ( Amerika Serikat)

ASSH : Australasian Society for Study of Hypertension (Australia)

Klasifikasi obat antihipertensi berdasarkan pada tempat regulasi utama atau

titik tangkap kerjanya sebagai berikut:

1. diuretik

Obat antihipertensi golongan diuretik menurunkan tekanan darah terutama

dengan cara mendeplesi simpanan natrium tubuh. Awalnya, diuretik menurunkan

tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung sedangkan

tahanan perifer tidak berubah pada awal terapi (Benowitz, 2001).

Penurunan tekanan darah terlihat setelah pemberian diuretik, hal ini

disebabkan karena efek utamanya yaitu diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan

volume plasma dan stroke volume yang akan menurunkan curah jantung dan

akhirnya menurunkan tekanan darah (Saseen dan Carter, 2005).

Obat–obat diuretik yang digunakan dalam terapi hipertensi antara lain:

a. diuretik tiazid dan sejenisnya

Mekanisme antihipertensi tiazid dengan cara menghambat reabsorpsi natrium

pada tubulus distal yang menyebabkan eksresi natrium dan air dan juga eksresi

(40)

maksimal kira–kira 4–6 jam setelah pemberian dengan durasi selama 6–12 jam (Lacy

dkk, 2003).

b. diuretik kuat

Diuretik kuat bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat

reabsorpsi natrium dan klorida pada ascending loop henle dan di tubulus distal ginjal,

mempengaruhi sistem transpor pengikatan klorida sehingga menyebabkan

peningkatan eksresi dari air, natrium, klorida, magnesium dan kalsium (Lacy dkk,

2003). Diuretik kuat merupakan diuretik yang lebih poten dibandingkan tiazid,

sehingga pemberian obat ini harus diberikan dengan dosis rendah dan diawasi untuk

mencegah ketidakseimbangan cairan tubuh.

c. diuretik hemat kalium

Jenis diuretik ini merupakan diuretik lemah, merupakan antagonis aldosteron.

Mekanisme kerjanya dengan cara berkompetisi dengan aldosteron pada bagian

reseptor di tubulus distal, sehingga dapat menghambat efek aldosteron pada otot

halus arteriola dengan baik, meningkatkan eksresi garam dan air, mencegah

kehilangan kalium dan ion hidrogen (Lacy dkk, 2003). Penggunaannya terutama

dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi efek

hipokalemia dari diuretik lain (Benowitz, 2001).

2. obat antihipertensi yang bekerja sentral

Metildopa dan klonidin, merupakan contoh obat golongan ini. Metildopa dan

klonidin bekerja dengan jalan menstimulasi reseptor adrenergik α2 di otak. Stimulasi

ini menyebabkan pengurangan aliran simpatis dari pusat vasomotor di otak dan

meningkatkan denyut vagal. Juga dipercaya bahwa stimulasi perifer dari presinaptik

(41)

aktifitas saraf simpatis bersamaan dengan peningkatan aktifitas saraf parasimpatis,

dapat menurunkan denyut jantung, curah jantung, dan tahanan perifer. Klonidin

sering digunakan untuk terapi hipertensi berat sedangkan metildopa merupakan obat

pilihan utama untuk terapi hipertensi dalam kehamilan (Saseen dan Carter, 2005).

3. antagonis kalsium

Kontraksi dari otot halus pembuluh darah bergantung pada konsentrasi ion

Ca2+ di intrasel. Penghambatan pergerakan dari ion Ca2+ akan mengurangi jumlah

total ion Ca2+ yang mencapai intrasel, sehingga terjadi penurunan kontraktilitas otot

jantung. Penurunan kontraktilitas otot jantung akan mengakibatkan penurunan curah

jantung.

Antagonis kalsium menghambat masuknya kalsium melalui saluran kalsium,

menghambat pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma (Oates dan Brown,

2001). Contoh obat golongan ini adalah nifedipin, diltiazem, amlodipin, nimodipin,

verapamil, felodipin, dan isradipin.

4. vasodilator

Vasodilator bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot

polos arteriol, sehingga dapat menurunkan tahanan vaskuler sistemik. Relaksasi

arteriol menyebabkan penurunan tahanan arteri sehingga terjadi penurunan tekanan

darah arteri. Hal ini menyebabkan terjadinya kompensasi oleh baroreseptor dan

sistem saraf simpatis (Benowitz, 2001).

Adapun kompensasi yang terjadi akibat aktifitas baroreseptor yaitu

peningkatan aliran keluar sistem saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan

(42)

terjadi retensi air dan garam yang mana hal–hal tersebut diatas melawan efek

hipotensi dari vasodilator. Oleh karena itu, pemberian vasodilator harus diberikan

bersama dengan diuretik dan penghambat β untuk mengatasi adanya kompensasi

dari baroreseptor (Saseen dan Carter, 2005).

5. penghambat enzim pengkonversi angiotensin (penghambat ACE)

Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) memfasilitasi terbentuknya

angiotensin II yang mempunyai peran penting dalam pengaturan tekanan darah arteri.

Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) terdistribusi dalam banyak jaringan dan

terdapat dalam beberapa tipe sel yang berbeda, tetapi secara umum ACE terletak

pada sel endotelial. Oleh karena itu, produksi utama angiotensin II terletak di

pembuluh darah bukan di ginjal (Saseen dan Carter, 2005).

Efek hipotensi penghambat ACE dengan cara menghambat perubahan

angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang

poten yang juga menstimulasi pengeluaran aldosteron. Penghambat ACE juga

menghambat pembongkaran bradikinin dan merangsang sintesis dari beberapa

substansi vasodilator termasuk prostaglandin E2 dan protasiklin. Peningkatan

bradikinin akan meningkatkan efek hipotensi dari penghambat ACE sehingga hal ini

menimbulkan batuk kering yang menjadi efek samping dari obat golongan

penghambat ACE (Saseen dan Carter, 2005). Contoh obatnya adalah kaptopril,

enalapril maleat, benazepril, lisinopril, perindopril, kuinapril, ramipril, dan

(43)

6. penyekat adrenoreseptor β

Mekanisme penyekat adrenoreseptor β sebagai antihipertensi masih belum

diketahui pasti. Diduga penyekat adrenoreseptor β menurunkan tekanan darah

dengan cara penyekat adrenoreseptor β mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas

otot jantung sehingga mengurangi curah jantung. Selain itu adrenoreseptor β juga

terletak pada permukaan membran dari sel juxtaglomerular dan penyekat

adrenoreseptor β menghambat pelepasan renin (Saseen dan Carter, 2005). Obat-obat

penyekat adrenoreseptor β yang sering digunakan adalah propanolol, pindolol,

acebutolol, bisopralol, timolol, penbutolol, dan satolol.

Penghentian penggunaan penghambat β secara tiba-tiba dapat mengakibatkan

infark miokardial, angina pektoris dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada

pasien dengan penyakit koroner . Penghentian penggunaan penghambat β secara

tiba-tiba juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba-tiba-tiba dengan nilai

tekanan darah diatas nilai sebelum terapi. Untuk menghindari hal ini, maka dosis

pemberian penghambat β ditingkatkan bertahap selama selama 1 sampai 2 minggu

sebelum akhirnya melanjutkan pemakaian obat ini (Saseen dan Carter, 2005).

7. penyekat adrenoreseptor α (penyekat α)

Obat antihipertensi yang termasuk dalam penyekat adrenoreseptor α seperti

prazosin, terazosin dan doxazosin. Obat penyekat adrenoreseptor α menghasilkan

efek antihipertensinya dengan menyekat reseptor α1 di arteriol dan venula.

Penghambatan reseptor α1 di arteriol dan venula menyebabkan penghambatan efek

(44)

vena. Dilatasi arteriola menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan tekanan

darah (Benowitz, 2001).

Retensi garam dan cairan terjadi apabila obat tersebut diberikan tanpa

diuretik. Obat ini menjadi lebih efektif apabila digunakan dalam kombinasi dengan

obat lain seperti penyekat adrenoreseptor β dan diuretik, dibandingkan jika

digunakan secara tunggal (Benowitz, 2001).

8. antagonis reseptor angiotensin II

Angiotensin II dihasilkan oleh dua jalur enzimatis yaitu melalui sistem renin

angiotensin–aldosteron, yang melibatkan ACE dan melalui jalur lain yang

menggunakan enzim–enzim lain seperti enzim kimase. Penghambat ACE

menghambat efek dari angiotensin II yang berasal dari jalur sistem renin

angiotensin–aldosteron, sedangkan antagonis reseptor angiotensin II menghambat

angiotensin II dari semua jalur.

Antagonis reseptor angiotensin II secara langsung menghambat reseptor

angiotensin II tipe 1 yang menyebabkan vasokonstriksi, pelepasan aldosteron,

aktivasi saraf simpatis, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriola

efferent pada glomerulus. Antagonis reseptor angiotensin II tidak menghambat

reseptor angiotensin II tipe 2. Oleh karena itu, keuntungan dari stimulasi reseptor

angiotensin II tipe 2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan

pertumbuhan sel tetap berlangsung ketika obat antagonis reseptor angiotensin II

digunakan. Tidak seperti penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin II tidak

(45)

Contoh obat yang termasuk antagonis reseptor angiotensin II yaitu losartan kalium

dan valsartan.

C. Pengobatan Rasional

Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak

ekonomis atau yang lebih populer dengan istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi

masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan (Anonim, 2000).

Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak

imbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat.

Penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika:

1. indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru.

2. pemilihan obat tidak tepat artinya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti

paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis.

3. cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian,

frekuensi pemberian, dan lama pemberian.

4. kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaan–

keadaan yang tidak memungkinkan penggunaan suatu obat, atau

mengharuskan penyesuaian dosis atau keadaan yang akan meningkatkan

risiko efek samping obat.

5. pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien

atau keluarganya.

6. pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan,

tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara

(46)

Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari

berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, pola penggunaan obat yang

tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya

meningkatnya efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan,

meningkatnya resistensi antimikroba dan sebagainya.

Adapun langkah–langkah yang dilakukan untuk mencapai pengobatan yang

rasional yaitu sebagai berikut ini.

1. Ketika pasien berhadapan dengan dokter, seharusnya dilakukan proses

konsultasi secara lengkap untuk menentukan atau memperkirakan diagnosis

dan memberikan tindakan terapi setepat mungkin. Komunikasi antara dokter

dengan pasien memegang peranan penting dalam farmakoterapi.

2. Pemberian obat harus tepat indikasi

3. Penilaian kondisi pasien harus tepat

4. Pemilihan obat tepat, yakni obat yang efektif, aman, ekonomis dan sesuai

dengan kondisi pasien.

5. Memberikan informasi untuk pasien atau keluarga pasien secara tepat.

Unsur–unsur informasi yang perlu dikomunikasikan kepada pasien atau

keluarga pasien mencakup informasi tentang penyakit, informasi tentang

penanganan penyakit, informasi tentang obat yang sedang digunakan, pesan

untuk meningkatkan kepercayaan pasien, dan informasi tentang pemeriksaan

lanjut seperti kapan harus periksa lagi, pemeriksaan tambahan yang

diperlukan, dan apa yang harus dilakukan jika muncul gejala yang tidak

(47)

6. Mengevaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat (Anonim, 2000).

D. Interaksi Obat

Interaksi obat dapat didefenisikan sebagai respon farmakologik dan klinik

pada pemberian kombinasi obat yang berbeda yang didahului dengan pengetahuan

tentang efek dari kedua obat tersebut jika digunakan secara tunggal. Hasil secara

klinik dari interaksi tersebut dapat bersifat antagonis, sinergis, atau bersifat

idosinkratik (Tatro, 2001).

Penilaian potensial dari interaksi obat utamanya memperhatikan manifestasi

klinis yang ditimbulkan oleh interaksi tersebut dan arti klinis dari interaksi. Arti

klinis dari interaksi obat berhubungan dengan jenis dan besarnya efek yang

ditimbulkan. Hal yang juga perlu diperhatikan yaitu terus memonitor keadaan pasien

dan mengganti terapi untuk mencegah efek samping yang berbahaya. Faktor utama

yang mendefinisikan arti klinis dari interaksi obat yaitu significance rating yang

terdiri atas onset dari timbulnya efek, potensi keparahan dari interaksi, dan

dokumentasi manifestasi klinis dari interaksi yang telah terjadi (Tatro, 2001).

Significance rating terbagi menjadi lima yaitu peringkat 1 jika tingkat

keparahan mayor dan dokumentasi suspected atau lebih, peringkat 2 jika tingkat

keparahan moderat dan dokumentasi suspected atau lebih, peringkat 3 jika tingkat

keparahan minor dan dokumentasi suspected atau lebih, peringkat 4 jika tingkat

keparahan mayor atau moderat dan dokumentasi possible, peringkat 5 jika tingkat

keparahan minor atau tidak berarti dan dokumentasi possible atau unlikely (Tatro,

(48)

Onset didefinisikan kecepatan efek klinis yang dapat timbul dari suatu

interaksi. Onset dibedakan menjadi dua yaitu cepat dan tertunda. Dikategorikan onset

cepat jika efek klinis yang muncul dalam 24 jam setelah pemberian dan dibutuhkan

tindakan segera untuk mengatasi efek yang timbul sedangkan onset tertunda adalah

efek klinis dari interaksi obat yang timbul dalam beberapa hari atau beberapa minggu

setelah pemberian dan tidak diperlukan tindakan segera untuk mengatasi efek yang

timbul (Tatro, 2001).

Tingkat keparahan terdiri dari mayor, moderat, dan minor. Keparahan

interaksi tergolong mayor jika efek yang terjadi membahayakan jiwa pasien atau

dapat menyebabkan kerusakan permanen. Keparahan interaksi tergolong moderat

jika efek yang terjadi dapat menyebabkan perburukan status kesehatan pasien

sehingga mungkin dibutuhkan rawat inap di rumah sakit, perawatan yang lebih lama

atau terapi tambahan. Keparahan interaksi minor jika efek yang timbul biasanya

ringan atau mungkin tidak timbul dan tidak mempengaruhi outcome terapi dan tidak

dibutuhkan terpai tambahan (Tatro, 2001).

Dokumentasi diartikan sebagai tingkat kepercayaan bahwa suatu interaksi

dapat menyebabkan perubahan respon klinis. Dokumentasi berdasarkan literatur

primer dan juga berdasarkan interaksi yang pernah terjadi. Dokumentasi dibagi

menjadi lima yaitu established, probable, suspected, possible, dan unlikely.

Dikategorikan established jika terbukti terjadi pada suatu penelitian yang terkontrol

baik. Dikategorikan probable jika efek dari interaksi sangat mungkin terjadi tetapi

belum terbukti secara klinis. Dikategorikan suspected jika efek dari interaksi

(49)

Dikategorikan possible jika efek dari interaksi mungkin terjadi tetapi data yang ada

sangat terbatas. Dikategorikan unlikely jika terjadinya efek dari interaksi diragukan

dan tidak ada data bukti klinis yang baik tentang perubahan efek klinis (Tatro, 2001).

Mekanisme interaksi secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

1. interaksi farmasetik atau inkompatibilitas

Interaksi ini terjadi jika antara dua obat yang diberikan bersamaan tersebut

terjadi inkompatibilitas atau terjadi reaksi langsung, yang umumnya di luar tubuh

dan berakibat berubahnya atau hilangnya efek farmakologik obat yang diberikan.

Sebagai contoh, gentamisin mengalami inaktivasi bila dicampur dengan karbenisilin

(Anonim, 2000).

2. interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah peristiwa suatu obat merubah laju atau

jumlah dari absorpsi, distribusi, atau eliminasi (metabolisme dan eksresi) dari obat

yang lain (Tatro, 2001). Interaksi dalam proses absorpsi misalnya terjadi pada

absorpsi tetrasiklin yang berkurang bila diberikan bersamaan dengan logam berat

(kalsium, besi, magnesium atau aluminium) karena terjadi ikatan langsung antara

molekul tetrasiklin dengan logam-logam tersebut sehingga tidak dapat terabsorpsi

(Anonim, 2000).

Interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat-obat dengan ikatan

protein yang lebih kuat menggusur obat-obat lain dengan ikatan protein yang lebih

lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Akibatnya kadar obat bebas yang

tergusur ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala konsekuensinya, terutama

(50)

Interaksi dalam proses metabolisme terjadi kalau metabolisme suatu obat

dipacu atau dihambat oleh obat lain (Anonim, 2000).

Interaksi dalam proses eksresi terjadi jika eksresi suatu obat (melalui ginjal)

dipengaruhi oleh obat lain (Anonim, 2000).

3. interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai

khasiat atau efek samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh

kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada

sistem fisiologik yang sama. Sebagai contoh adalah meningkatnya efek toksik

glikosida jantung pada keadaan hipokalemia (Anonim, 2000).

E. Keterangan Empiris

Penelitian dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien pre-eklampsia, jenis dan

golongan obat antihipertensi, jumlah obat antihipertensi yang diberikan secara

tunggal maupun kombinasi pada pasien pre-eklampsia, cara pemberian obat

antihipertensi, lama perawatan, dan potensial interaksi antara obat antihipertensi

dengan obat antihipertensi lain yang diberikan kepada pasien pre-eklampsia di

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang profil peresepan obat antihipertensi pada pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta termasuk

jenis penelitian observasional dengan rancangan deskriptif non analitis. Data yang

digunakan dalam penelitian adalah data retrospektif dengan melakukan penelusuran

dokumen terdahulu, yaitu pada lembar catatan medis pasien pre-eklampsia selama

tahun 2005.

B. Definisi Operasional

1. Profil peresepan meliputi jenis dan golongan obat antihipertensi, jumlah

penggunaan obat antihipertensi secara tunggal maupun kombinasi, cara

pemberian obat antihipertensi, lama perawatan, dan potensial interaksi antara

obat antihipertensi dengan obat anti hipertensi lainnya yang digunakan oleh

setiap pasien.

2. Pasien pre-eklampsia adalah pasien yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005 dengan diagnosis pre-eklampsia

ringan dan pre-eklampsia berat.

3. Umur pasien adalah data usia pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005.

4. Jenis obat adalah nama generik dari obat antihipertensi yang diberikan pada

pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005, misalnya nifedipin, metildopa.

(52)

5. Golongan obat adalah kelompok obat antihipertensi berdasarkan mekanisme

kerja yang diberikan kepada pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005,

misalnya kelompok diuretik, penghambat ß, antagonis Ca, vasodilator,

antihipertensi yang bekerja sentral.

6. Jumlah obat antihipertensi adalah jumlah jenis obat antihipertensi yang diberikan

secara tunggal maupun kombinasi pada pasien pre-eklampsia.

7. Cara pemberian adalah cara pemberian obat antihipertensi kepada pasien,

misalnya per oral, sublingual, injeksi.

8. Lama perawatan adalah jumlah hari dari mulai pasien masuk hingga

diperbolehkan pulang bagi pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005

9. Potensial interaksi obat adalah kemampuan suatu obat untuk mempengaruhi obat

lain yang diberikan dalam waktu yang bersamaan dan dapat menyebabkan efek

yang menguntungkan maupun merugikan antar obat antihipertensi yang dikaji

secara teoritis dengan mengacu kepada Drug Interaction Facts, Tatro (2001) dan

Informatorium Obat Nasional Indonesia, Depkes (2000).

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi catatan

medik (medical record) pasien pre-eklampsia selama tahun 2005 di Instalasi Rawat

Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai profil peresepan obat antihipertensi pada pasien

(53)

sub bagian rekam medik Rumah Sakit Panti Rapih Jalan Cik Ditiro no 36

Yogyakarta, data yang diambil selama tahun 2005.

E. Tata Cara Pengumpulan Data

Penelitian mengenai profil peresepan obat antihipertensi pada pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ini

dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:

1. pengambilan data

Tahap pengambilan data diawali dengan penelusuran jumlah pasien yang

menderita penyakit pre-eklampsia selama tahun 2005, didapatkan data total

pasien pre-eklampsia selama tahun 2005 sebanyak 40 pasien, kemudian

dilakukan pencatatan data rekam medik dari 40 pasien tersebut yang meliputi : a)

nomer register pasien, b) nama pasien, c) usia pasien, d) usia kehamilan, e)

diagnosis pasien, f) kehamilan yang keberapa, g) macam persalinan h) nama obat

yang digunakan pasien, i) cara penggunaan obat, j) tekanan darah pasien sebelum

dan sesudah perawatan, k) data laboratorium pasien, l) tanggal masuk dan tanggal

keluar pasien pre-eklampsia.

2. penyelesaian data

Penyelesaian data meliputi proses pencatatan data yaitu mencatat data pasien

yang ada di lembar rekam medis ke dalam catatan khusus dan disajikan dalam

bentuk tabel, selanjutnya dikaji secara deskriptif menggunakan buku-buku

standar dan literatur yang ada seperti Informatorium Obat Nasional Indonesia

Gambar

Tabel
Gambar
Tabel I. Obat Antihipertensi yang Dapat Digunakan pada Pre-eklampsia
Tabel II. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil (Rey
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di selatan Semarang terdapat sesar naik ( thrust fault ). Sesar ini dipotong oleh sesar mendatar yang berarah barat laut- tenggara atau timur laut - barat daya, diantaranya sesar

Hal inilah yang melatarbelakangi Penulis untuk melakukan Penulisan Hukum dengan judul “ Pelaksanaan Kewenangan atas Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio bagi

Pada lahan sawah tadah hujan dengan pola tanam padi gogorancah - padi walik jerami , perbaikan cara budi daya dengan (1) penggunaan varietas intro- duksi Situ Patenggang untuk

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, untuk variabel dependent berat badan bayi lahir penulis melakukan observasi dan pengukuran langsung menggunakan lembar

Pembuatan permen soba dengan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii merupakan penelitian utama dengan perlakuan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii 30%, 40%

[r]

Philips, TBK Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya dengan Analisis Profil Multivariate , sedangkan pada penelitian ini membahas tentang kepuasan kerja

Terjemahkan setiap kalimat berikut menjadi formula logika predikat dalam 3 (tiga) cara yang berbeda, yaitu dengan menentukan masing-masing domain yang sesuai menggunakan 1 buah