BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Ada tiga pilar utama dalam filsafat ilmu yang selalu menjadi pedoman yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga pilar itulah manusia berupaya untuk mencari dan menggali eksistensi ilmu sedalam- dalamnya. Hakikat apa yang ingin diketahui manusia merupakan pokok bahasan dalam ontologi. Dalam hal ini manusia ingin mengetahui tentang
“ada” atau eksistensi yang dapat dicerap oleh pancaindera. Epsitemologi merupakan landasan kedua filsafat yang mengungkapkan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan atau kebenaran tersebut. Setelah memperoleh pengetahuan, manfaat apa yang dapat digunakan dari pengetahuan itu. Inilah yang kemudian membawa pemikiran kita menengok pada konsep aksiologi, yaitu, filsafat yang membahas masalah nilai kegunaan dari nilai pengetahuan.1
Terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tenatang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, makal lebih tepat dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dri segi baik dari dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma norma, sedangkan estetika berkatian dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Memperbincangkan aksiologi tentu membahas dan membedah masalah nilai. Apa sebenarnya nilai itu? Bertens menjelaskan nilai sebagai sesuatu
1 Jujun S suriasumantri, Filasafat Ilmu Sebagai Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 2007
yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Pendeknya, nilai adalah sesuatu yang baik. Lawan dari nilai adalah non-nilai atau disvalue. Ada yang mengatakan disvalue sebagai nilai negatif. Sedangkan sesuatu yang baik adalah nilai positif. Hans Jonas, seorang filsuf Jerman-Amerika, mengatakan nilai sebagai the addresse of a yes. Sesuatu yang ditujukan dengan ya. Nilai adalah sesuatu yang kita iya-kan atau yang kita aminkan. Nilai selalu memiliki konotasi yang positif.2
Ketika seorang ilmuan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik, makan nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai – nilai subjektif, seperti niali nilai dalam Masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebgainya. Bagi seorang ilmuan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana Aksiologi dalam Filsafat Ilmu dalam Sebuah Penelitian Ilmiah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami tentang Aksiologi dalam Filsafat Ilmu dalam sebuah Penelitian Ilmiah.
2 Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Aksiology
Aksiologis dalam Bahasa Inggris : Axiology dari kata Yunani axio (layak,pantas), dan logos (ilmu, studi mengenai). Didalam kamus filasafat, dikemukakan bahwa landasan aksilogis, di antara pengertiannya mencangkup : 1. Merupakan analisis nilai nilai (membatasi arti, ciri ciri, asal, tipe, kriteria
dan status epistemology dari nilai nilai itu)
2. Merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
3. Studi filosofis tentang hakikat nilai nilai.
Secara sederhana, Jujun S. Suriasumantri mengemukakan bahwa aksiologis adalah sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengtahuan yang diperoleh. 3 dasar aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan kemudahan bagi manusia dalam negendalikan kekuatan kekuatan alam. 4 Aksiologi ilmu meliputi nilai nilai (values) yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan menjelajahi berbgai Kawasan social, akwasan simbolik, ataupun fisik material.
Lebih dari itu nilai nilai juga ditujukan oleh aksiologi ilmu ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan, baik dalam melakukan penelitian maupun didalam menerapkan ilmu.
Bramel seperti yang dikutip Amsal (2009) membagi aksiologi dalam tiga bagian, yakni moral conduct, estetic expression, dan socio-political life.
Moral Conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus
3 Jujun S suriasumantri, Op.cit. hlm 59
4 Tim Dosen Filasafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu pengetahuan, liberty, Yogyakarta, 2003.
yaitu etika. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini melahirkan keindahan. Dan terakhir yang mebidani lahirnya filsafat kehidupan sosial politik.5
Askiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikirian filsafat yang dianut oleh masing masing aliran filsafat yakni : 1. Pandangan Aksilogi progresivisme
Pandangan progresivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai Bahasa, sehingga dengan adanya pergaulan dalam Masyarakat dapat menimbulkan nilai – nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan. Kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu individu.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan factor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdsan adalah factor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yg terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap ilmu karena meletakan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebesan kepada anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui Pendidikan yang otoriter. Setiap pembelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk – mkhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk memecah problem problem yang dihadapinya. Oleh karena itu sekolah ahrus mgupayakan pelestarian karkteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (Pendidikan nilai nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.6 Aliran progresivisme ini bersifat based personal dan social experience sebagai problem solving.
5 Amsal, B. Filsafat ilmu. Rajawali Pers. Jakarta, 2009
6 Sahabbudin, Filasafat Pendidikan Suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengalaman Pendidikan Bersendikan Filasafat, Program Pascasarjana IKIP, Ujung Pandang, 1997.
2. Pandangan Aksilogi Esensialisme
Pandangan esensialisme, nilai nilai berasal dari pandangan – pandangan idelisme dan realisme karena aliran esensialisme terbina dari dua padangan tersebut.7
a. Teori Nilai Menurut Idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum hukum etika adalah hukumkosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dalam menunjukan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori Nilai Menurut Realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungan.
Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa – pembawa fisiologis dan pengaruh pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idelisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep Tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu.
Walaupun idealism menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai niali atas dirinya sendiri.
7 Dwija Priyatno, Ujang Chandra. Filasafat Ilmu Sebuah Kontemplasi dalam Menjelajah Sketsa Kebenaran Ilmiah. Unsub Press. Subang. 2023
Aliran esensialisme berpandangan, bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak pada nilai nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan Sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai nilai yang diwariskan itu. Esensialisme memandang bahwa seorang pelajar memulai proses pencarian ilmu pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian baergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
3. Pandangan Aksiologi Parenalisme
Parenalisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubungan dengan itu dinilai sebgai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan social dan kurtural yang lain, sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas
“supernatural” yakni menerima universal yang abadi. 8Dengan asas seperti ini, tidak hanya ontology, dan epistemology yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi aksiologi juga. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam parenialisme, karena berdasarkan pada asas supernatural, yaitu menerima universal abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jika hakikat manusia terletak pada jiwanya dan hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan perbuatannya.
Parenalisme menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada Masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan Masyarakat dapat terpenuhi.
8 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 2021.
Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenytaan. Tujuan perolehan ilmu adalah kebahagiaan untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.
4. Pandangan Aksiologi rekonstruksionisme
Sejalan dengan pandangan parenalisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memcah maslah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan Kerjasama. Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern.
Aliran rekonstruksionisme ingin melakukan pembaharuan kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru melalui Lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui Pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan.
Cita cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksanan dalam prkatik,hanya dengan demikian dapat pulan diwujudkan satu dunia yang dengan potensi – potensi teknologi mampu meningkatkan Kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyrakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalisme, kepercayaan, dan agama.
Berdasarkan pengertian aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tenatang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia, makal lebih tepat dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma norma kesusilaan
manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dri segi baik dari dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma norma, sedangkan estetika berkatian dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif atau subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya, atau eksistensinya, makanya dan validasinya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memeprlihatkan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka , senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai dan muncul akrena adanya pandangan dalam filsafat tentang objectivisme. Objetivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada ojeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara trealitas benar benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengathuan. Seorang imuan harus bebas dalam emnntukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen – eksperimen yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuan.
Ketika seorang ilmuan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik, makan nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai – nilai subjektif, seperti niali nilai dalam Masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebgainya. Bagi seorang ilmuan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk itu, netralitas ilmu terletak pada epistemology saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata, sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuan harus mampu menilai mana yang baik
dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuan akan lebih merupakan sesorang sosok yang menakutkan.
BAB III KESIMPULAN
Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, khususnya kajian tentang nilai-nilai etika. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Di sinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan. Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan seperti nuklir dan rekayasa genetika.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal, B. Filsafat ilmu. Rajawali Pers. Jakarta, 2009 Bertens, K. Etika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2007
Dwija Priyatno, Ujang Chandra. Filasafat Ilmu Sebuah Kontemplasi dalam Menjelajah Sketsa Kebenaran Ilmiah. Unsub Press, Subang, 2023
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 2021
Jujun S suriasumantri, Filasafat Ilmu Sebagai Sebuah Pengantar Populer.
Sinar Harapan, Jakarta, 2007
Sahabbudin, Filasafat Pendidikan Suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengalaman Pendidikan Bersendikan Filasafat.
Program Pascasarjana IKIP, Ujung Pandang, 1997
Tim Dosen Filasafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu pengetahuan. Liberty, Yogyakarta, 2003