• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dari adanya PPN

N/A
N/A
Putsekk

Academic year: 2023

Membagikan "Pengertian dari adanya PPN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

A. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

1. Pengertian PPN

 PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah suatu pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang atau jasa. Pungutan PPN adalah terjadi karena adanya pertambahan nilai. Pungutan tersebut dibebankan pengusaha yang sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dikutip dari laman www.kemenkeu.go.id, PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.1

 Sederhananya, ketika konsumen melakukan transaksi jual beli barang atau jasa, maka akan dipungut beberapa rupiah atas transaksi tersebut. Karena barang atau jasa yang dibeli dianggap memiliki pertambahan nilai dalam peredarannya dari penjual ke konsumen. Jadi yang membayar PPN adalah konsumen akhir. Sementara yang memungut, menyetor, dan melaporkan PPN adalah penjual atau pedagang.

 PPN yang dipungut oleh penjual bukan masuk ke dalam kantong pribadi, melainkan akan disetorkan kepada negara. Pengusaha yang menyetorkan PPN adalah pengusaha yang sudah masuk dalam kategori PKP.

2. Dasar Hukum PPN

Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang- Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. Saat ini Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 11 persen mulai 1 April 2022 semenjak diundangkan UU No. 7 Tahun 2021. Selanjutnya, tarif PPN sebesar 12 persen rencananya bakal diberlakukan paling lambat mulai 1 1 Ayza, Bustamar. (2017). Hukum Pajak Indonesia. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri

(2)

Januari 2025. Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. 2

3. Subjek PPN

 Subjek pajak dari Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang telah diubah dengan UU. No. 18 Tahun 2000 adalah Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya:

 Menghasilkan barang, pengusahanya disebut pabrikan/produsen

 Mengimpor barang, pengusahanya disebut eksportir,

 Melakukan usaha perdagangan, pengusahanya disebut pedagang, dan

 Melakukan usaha jasa, pengusahanya disebut Pengusaha Jasa

 Pengusaha menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 18 Tahun 2000 wajib melaporkan usahanya kepada pejabat pajak di tempat pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat kedudukan usaha itu, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak usaha dimulai untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengertian sejak usaha dilakukan adalah sejak saat pendirian atau sejak diperolehnya izin usaha atau sejak usahanya nyata-nyata dimulai. Yang dimaksud dengan saat pendirian untuk badan usaha ialah tanggal akta pendirian yang dibuat dihadapan Notaris

 Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah dikukuhkan dan sudah mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. Tidak semua pengusaha dapat dikenakan pajak pertambahan nilai atau menjadi subjek pajak menurut UU No. 18 Tahun 2000. Bagi pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan berpedoman pada nilai peredaran bruto atau jumlah karyawan atau 2 Masyitah, Emi. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PPN DAN

(3)

modal yang digunakannya, tidak dianggap sebagai pengusaha kena pajak.3

 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 648/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 ditetapkan bahwa termasuk Pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dengan jumlah nilai peredaran bruto tidak lebih dari Rp 240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah) setahun; atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) selama satu tahun.

 Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha kecil dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan di atas tidak berlaku apabila pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), diwajibkan untuk memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.4

 Pengusaha Kena Pajak (PKP) bertanggung jawab atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang pada saat setiap kali terjadi penyerahan barang kena pajak oleh mereka. Kewajiban yang dibebankan terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah membuat FAKTUR PAJAK sewaktu terjadi transaksi atau pada saat penyerahan Barang Kena Pajak. Faktur pajak ini dibuat dalam rangkap 4 (empat).

Faktur pajak ini digunakan untuk memu- ngut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan berfungsi untuk mengkreditkan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Faktur pajak ini harus memuat:

3 Arafat, Yaser; Sulaiman; Akim, Inggit; Fathurrahman. (2021). Buku Ajar Hukum Pajak.

Batu: Literasi Nusantara

4 Mawarni, Rika; Sari, Tantri Kartika; Anggiyasari, Yunita Duwi. (2021). ANALISIS VARIABEL PENGARUH PENERIMAAN PPN DAN PPnBM. Jurnal Mahasiswa Akuntansi Unita, Vol. 1, no.2, Tahun 2021

(4)

 Jumlah pajak yang harus dipungut jika pengusaha tersebut menjual barang atas jasa kepada pihak lain;

 Nama, alamat, nomor pokok wajib pajak, nama barang/jasa kena pajak yang diserahkan dan harga jual/harga penggantian.

 Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar atau dipenuhi oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada waktu pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau impor Barang Kena Pajak (BKP). Pembeli atau Importir wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan menerima bukti pemungutan pajak pada saat menerima penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Pajak yang dibayar ini bagi pengusaha pajak yang bersangkutan dinamakan Pajak Masukan.

 Tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan. Pajak masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk:

 Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

 Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan hubungan usaha;

 Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor

 Perolehan BKP atau JKP yang pungutan pajaknya berupa faktur pajak sederhana;

 Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

 Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

 Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak (BKP). Pengusaha Kena Pajak yang menye rahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak Wajib memung ut Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak ini dinamakan Pajak

(5)

Keluaran.5 Yang dimaksud dengan pembeli menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah orang atau badan yang mene rima penyerahan Barang Kena Pajak, jadi lebih luas dari penger- tian yang bersifat umum6

5. Objek PPN

 Ketentuan pasal 4 UU No. 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) menentukan bahwa objek PPN7 adalah:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Penyerahan barang yang dikena kan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

 barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak (BKP);

 barang yang tidak berwujud yang diserahkan merupa- kan barang kena pajak tidak berwujud;

 penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean, dan;

 penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

b. Impor Barang Kena Pajak (BKP) yang dilakukan oleh siapapun;

c. Penyerahan Jasa Pajak (JKP) di dalam daerah pabean;

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabeandi dalam daerah pabean;

f. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

5 Mokoagow, Selviani; Nangoy, Grace; Warongan, Jessy. (2021). Jurnal Riset Akuntansi dan Auditing

“GOODWILL”, 12 (2), 2021

6 Amachi, Tubagus Chairul; Irma; Darra, Amin. (2019). Hukum Pajak.

Tangerang Selatan; Universitas Terbuka

7 Riftiasari, Dinar. (2019). Pengaruh Restitusi Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Penjaringan. Jurnal Moneter, Volume 6 No. 1 April 2019

(6)

 Ketentuan pasal 1A Undang-undang No. 17 Tahun 2000 yang merupakan perubahan ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983, menegaskan bahwa yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

 penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian:

 pengalihan Barang Kena Pajak karena perjanjian-sewa beli dan perjanjian leasing;

 penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang.

 pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;

 persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih ter- sisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ke- tentuan dapat dikreditkan;

 penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya;

 penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.

 Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

 Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

 Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang.

 Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya di mana Pengusaha Kena Pajak (BKP) memperoleh izin pe- musatan tempat pajak terutang.

6. Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

(7)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 144 Tahun 2000 ditetapkan jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN. Kelompok barang yang tidak dikenakan PPN adalah:8

1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya,

2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,

3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.

4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Kelompok jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah:

a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis meliputi:

b. Jasa di bidang pelayanan sosial

c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko

d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha e. Jasa keagamaan

f. Jasa di bidang pendidikan, meliputi: pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan;

g. Jasa di bidang kesenian;

h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;

i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air j. Jasa di bidang tenaga kerja

k. Jasa di bidang perhotelan 9

7. Cara Menghitung PPN

Rumus penghitungan PPN adalah DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk/Jasa) Sebagai contoh:

 A membeli makan di restoran. Restoran tersebut memasukan PPN kepada setiap pelanggan yang melakukan transaksi. Jika harga 8 Sinambela, Tongam. (2019). Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah Dan Jumlah Pengusaha Kena Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Jurnal Ekuvalensi Vol.5 No.1 April 2019

9 Farouq, M. (2018). Hukum Pajak di Indonesia: Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan. Jakarta: Kencana

(8)

makanan yang dibeli A adalah Rp 100.000, maka tarif PPN yang ditanggung adalah Rp 10.000. PPN = 11 persen x Rp 100.000 = Rp 11.000

 Membeli bahan baku dari fabrikan Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Tarif pajak adalah 11%. Pajak Masukan yang dibayar melalui fabrikan tersebut: 11% x Rp 100.000.000,- = Rp 11.000.000,-.

Penjualan hasil produksi Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah).

Pajak keluaran yang harus dipungut: 11% x 120.000.000, = Rp 13.200.000,-

PPN yang harus dibayar ke kas negara= Rp 13.200.000-Rp 11.000.000

= Rp 2.200.000,. Apabila pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada pajak keluarannya, maka selisih merupakan kelebihan yang dapat diminta kembali sebagai restitusi atau dikompensasikan pada masa pajak berikutnya.

Dapus

Ayza, Bustamar. (2017). Hukum Pajak Indonesia. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri

Arafat, Yaser; Sulaiman; Akim, Inggit; Fathurrahman. (2021). Buku Ajar Hukum Pajak. Batu: Literasi Nusantara

Amachi, Tubagus Chairul; Irma; Darra, Amin. (2019). Hukum Pajak.

Tangerang Selatan; Universitas Terbuka

Farouq, M. (2018). Hukum Pajak di Indonesia: Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan. Jakarta: Kencana

Masyitah, Emi. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PPN DAN PPnBM. Accumulated Journal, Vol. 1 No. 2 July 2019 Mawarni, Rika; Sari, Tantri Kartika; Anggiyasari, Yunita Duwi. (2021). ANALISIS

VARIABEL PENGARUH PENERIMAAN PPN DAN PPnBM. Jurnal Mahasiswa Akuntansi Unita, Vol. 1, no.2, Tahun 2021

Sinambela, Tongam. (2019). Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah Dan Jumlah Pengusaha Kena Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Jurnal Ekuvalensi Vol.5 No.1 April 2019

(9)

Riftiasari, Dinar. (2019). Pengaruh Restitusi Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Penjaringan. Jurnal Moneter, Volume 6 No. 1 April 2019

Mokoagow, Selviani; Nangoy, Grace; Warongan, Jessy. (2021). Jurnal Riset Akuntansi dan Auditing “GOODWILL”, 12 (2), 2021

Referensi

Dokumen terkait

Pajak Masukan bagi pengusaha Kena pajak Apabila dalam suatu M'asa pajak, pengusaha Kena pajak belum berproduksi atau belum melakukan penyenahan B.arang !(ena Pajak dan

Kesesuaian Lahan Ekowisata Mangrove Di Desa Arakan Kabupaten Minahasa Selatan Sulawesi Utara", JURNAL PESISIR DAN LAUT TROPIS,