BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau disebut juga Coronary Artery Disease (CAD) merupakan suatu kondisi adanya penyumbatan pada pembuluh arteri koroner jantung (pembuluh darah yang memberikan suplai darah dan oksigen ke otot jantung) yang disebabkan oleh penumpukan plak lemak atau pengerasan yang berujung pada proses peradangan di dinding pembuluh arteri koroner jantung. Proses ini menyebabkan penyempitan pada pembuluh arteri koroner sehingga otot jantung tidak mendapatkan suplai darah maupun oksigen yang dibutuhkan. Jika proses penyempitan ini terus berlangsung, pembuluh arteri koroner akan tersumbat total sehingga terjadi suatu kondisi yang dinamakan serangan jantung (Ikhsan, 2023).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 menyebutkan bahwa PJK merupakan penyebab utama kematian di dunia. Sekitar 17,9 juta orang meninggal akibat PJK pada tahun 2019. Angka ini merepresentasikan 32% dari seluruh kematian di dunia. Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia, angka kejadian penyakit kardiovaskular terus menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, yang setidaknya melibatkan 15 dari 1000 orang. Di Indonesia, PJK merupakan penyebab utama dari seluruh kematian, yaitu sebesar 26,4%, yang mana empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kanker (6%). Sehingga dengan kata lain, satu dari empat orang yang meninggal di Indonesia disebabkan oleh PJK (Ikhsan, 2023).
Dua jenis tindakan yang sering digunakan untuk mengobati penyakit jantung coroner yaitu coronary artery bypass graft (CABG) dan percutaneous coronary intervention (PCI). Baik CABG maupun PCI bertujuan untuk mengembalikan aliran darah (revaskularisasi) melalui arteri coroner yang tersumbat sehingga menjadi lancer kembali. Tidak semua kasus PJK dapat dilakukan tindakan PCI. Pada banyak kasus, tindakan bedah merupakan tindakan terbaik dalam tatalaksana PJK. Lokasi presentasi sumbatan, jumlah coroner yang mengalami sumbatanserta banyak factor lainnya merupakan hal yang berpengaruh dalam menentukan tindakan terbaik pada tatalaksana PJK.
Intervensi bedah pada kasus PJK adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). CABG adalah operasi mayor yang dilakukan untuk memperbaiki arteri yang tersumbat dan menyempit dengan memotong dan mengganti arteri coroner yang tersumbat tersebut dari pembuluh sehat yang disebut "graft" yang diambil dari kaki, lengan, atau dada (Pahlawi & Sativani, 2021). CABG memberikan manfaat yang besar bagi pasien, namun juga berisiko menimbulkan komplikasi yang berat sehingga penanganan kondisi pasien paska operasi sangat penting.
Perawatan pasien pasca bedah jantung pada umumnya dilakukan di Intensive Care Unit (ICU). Asuhan Keperawatan yang spesifik pada pasien pasca bedah jantung sangat menentukan keberhasilan pasien melewati masa- masa krisis pasca operasi.
Rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita merupakan rumah sakit jantung pusat nasional yang menjai rujukan bukan saja dari Jakarta tetapi dari seluruh pelosok di Indonesia. Jumlah kunjungan yang mecapai ribuan setiap tahunnya menjadikan Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sebagai centre of science bagi perkembangan ilmu dan skill dalam penanganan pasien dengan kasus kardiovaskular baik pada tingkat Nasional maupun Internasional. Jumlah intervensi bedah yang sangat besar dilihat dari jumlah tindakan bedah perhari yang mencapai 7-8 pasien dengan daftar tunggu tindakan yang tidak pernah sepi mendorong pihak manajemen rumah sakit terus berbenah diri. Kemajuan diagnostik dan intervensi yang didukung dengan peralatan terkini yang canggih baik bedah maupun non bedah serta sumber daya manusia yang terus diperbaruhi secara kuantitas dan kualitas menjadi andalan rumah sakit memberi pelayanan terbaik kepada pasien (Dakota et al, 2020).
Laporan hasil register di ruang Kamar Bedah Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, menunjukkan jumlah tindakan bedah Coronary Artery Bypass Graft (CABG) yang dilakukan pada tahun 2019 sebanyak 747 kasus, pada tahun 2020 terjadi penurunan menjadi sebanyak 455 kasus dikarenakan terjadinya pandemic Covid-19, dan pada tahun 2021 sebanyak 865 kausus. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan angka tindakan bedah CABG akan mengalami peningkatan tiap tahunnya (RSJPDHK, 2023).
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil kasus yaitu “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Tn. HB Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG) On Pump Di Ruang ICU Dewasa Rumah Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Pasca Operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
2. Tujuan khusus
Mampu mengetahui dan memahami konsep Dasar Teori Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG).
b. Mampu melakukan analisa data pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG).
c. Mampu melakukan diagnose keperawatan pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG).
d. Mampu melakukan intervensi keperawatan pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG).
e. Mampu melakukan implementasi pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG).
f. Mampu melakukan evaluasi pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG)
C. Manfaat
1. Bagi Perawat
Sebagai pemberi asuhan keperawatan secara komprehensif pada pasien
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai referensi tentang asuhan keperawatan pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG).
3. Bagi Penulis
Sebagai ilmu pengetahuan dan perkembangan asuhan keperawatan pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG) untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
4. Bagi Pembaca
Sumber informasi mengenai asuhan keperawatan pada pasien Pasca Bedah Coronary Arteri Bypass Graft (CABG).
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
1. Definisi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu operasi untuk memperbaiki aliran darah ke jantung, terutama pada penderita penyempitan berat koroner yang berpotensi tinggi menimbulkan serangan jantung. Bypass dilakukan pada penderita dengan penyempitan koroner yang berpotensi fatal, operasi ini direkomendasikan apabila obat- obatan maupun pelebaran dengan balon atau pemasangan stent tidak efektif dalam mengatasi gangguan koroner (Yahya, 2017).
Menurut Chulay&Burns (2016), CABG merupakan salah satu metode revaskularisasi pada pasien yang mengalami atherosklerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner atau penyumbatan yang signifikan pada Left Main Coronary Artery (LMCA).
Secara sederhana, CABG adalah operasi pembedahan yang dilakukan dengan memindahkan jalur atau aliran darah baru atau bypass terhadap pembuluh darah yang tersumbat sehingga melancarkan kembali aliran darah yang membawa oksigen untuk otot jantung yang diperdarahi pembuluh tersebut.
2. Tujuan
Tujuan CABG adalah revaskularisasi aliran arteri koroner akibat adanya penyempitan atau sumbatan ke otot jantung (Arif Muttaqin, 2016).
Menurut Chulay & Burns (2016), tujuan dari CABG yaitu : a. Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri coroner
b. Mencegah terjadinya iskemia yang luas c. Meningkatkan kualitas hidup
d. Meningkatkan toleransi aktifitas e. Memperpanjang masa hidup
Tujuan perawatan pasca bedah dalam 24 jam pertama adalah mempertahankan tekanan darah dan curah jantung yang adekuat, mengoreksi masalah dengan koagulasi dan kadar kalsium serta menstabilkan volume intravaskuler.
3. Indikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) a. Indikasi CABG tanpa gejala (angina ringan).
1) Kelas I
a) Stenosis Left Main Coronary Artery yang signifikan.
b) Left Main Equivalen, stenosis signifikan 70% dari Lef t An terio r Descen d in g (LAD) proximal dan Left Circumflex (LCX) proximal.
c) Three Vessel Desease, angka harapan hidup lebih besar dengan fungsi LVEF 50%.
b. Kelas II
a) Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease.
Akan menjadi kelas satu jika terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan noninvasif atau LVEF 50%.
b) Satu atau dua vessel desease tidak pada LAD.
c) Bila terdapat di daerah miokardium variabel yang besar berdasar kriteria risiko tinggi dari hasil pemeriksaan noninvasif akan menjadi kelas satu.
b. Indikasi CABG Untuk Angina Stabil 1. Kelas I
a) Stenosis Left Main Coronary Artery (LMCA) yang signifikan.
b) Left Main Equivalen stenosis 70% dari LAD proximal dan LCX proximal.
c) Three Vessel Desease (dengan harapan hidup lebih besar dengan
d) Two Vessel Desease dengan stenosis LAD proximal LVEF 50%
atau terdapat iskemik pada pemeriksaan noninvasif.
e) Satu atau dua Vessel Desease LAD yang signifikan tetapi terdapat daerah miokardium variabel yang besar dan termasuk kriteria cukup tinggi dari pemeriksaan noninvasive.
f) Angina refraktur terhadap pengobatan yang maksimal.
2. Kelas II
a) Stenosis LAD proximal dengan satu Vessel Deseases.
b) Satu atau dua Vessel Desease tanpa stenosis LAD proximal yang signifikan.
3. Kelas III
a) Satu atau dua Vessel Desease tanpa LAD yang signifikan.
b) Stenosis Coronary pada ambang batas (50 % - 60 % diameter pada lokasi non Left Main Artery) dan tidak terdapat iskemik pada pemeriksaan noninvasif.
c. Indikasi CABG untuk Unstable Angina / Non Q Wave MI 1. Kelas I
a) Stenosis Left Main Coronary yang signfikan.
b) Left Main Equivalen.
c) Iskemik yang mengancam dan tidak responsive terhadap terapi nonbedah yang maksimal.
2. Kelas II A
Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua Vessel Desease.
3. Kelas II B
Satu atau dua Vessel Deasease tidak pada LAD.
d. Indikasi CABG Pada Fungsi Ventrikel Kiri Yang Buruk 1. Kelas I
a) Stenosis Left Main Coronary Artery yang signfikan.
b) Left Main Equivalen, stenosis signfikan 70% dari LAD proximal dan LCX proximal.
c) Stenosis LAD proximal dengan dua atau tiga Vessel Desease.
2. Kelas II
Fungsi LV yang memburuk dengan area miokardium viable terevaskularisasi tanpa adanya perubahan atau kelainan anatomis.
3. Kelas III
Fungsi LV buruk tanpa adanya tanda dan gejala iskemik intermitten dan tanpa adanya daerah miokardium yang terrevaskularisasi.
e. Indikasi CABG Pada Aritmia Ventrikel Yang Mengancam Jiwa 1. Kelas I
a) Stenosis pada Left Main Coronary Artery.
b) Three Vessel Desease.
2. Kelas II
a) Satu atau dua Vessel Desease yang bisa dilakukan bypass.
b) Akan menjadi kelas satu bila terdapat iskemik berdasarkan pemeriksaan noninvasif atau LVEF <50%.
c) Terdapat miokardium yang besar dan termasuk kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan noninvasive menjadi kelas I D (Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease).
3. Kelas III
a) Takikardi ventrikel tanpa skore dan tanpa bukti ada iskemik.
b) Indikasi CABG pada pasca kegagalan PTCA 4. Kelas I
a) Iskemik yang mengancam (oklusi area miokard yang signifikan).
b) Hemodinamik yang tidak stabil.
5. Kelas IIA
Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem koagulasi dan tidak memiliki riwayat sternotomi.
6. Kelas IIB
Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem koagulasi dan memiliki riwayat sternotomi.
7. Kelas III
a) Tidak iskemik.
b) Revaskularisasi yang gagal oleh karena keadaan anatomi atau miokardium yang tidak viable lagi.
f. Indikasi CABG pada pasien dengan riwayat CABG 1. Kelas I
Angina refraktur terhadap pengobatan yang invasif maksimal.
2. Kelas IIA
Stenosis yang nyata pada koroner distal yang memungkinkan dilakukan bypass dengan daerah miokardium yang besar yang terancam pada pemeriksaan.
3. Kelas IIB
Iskemik pada daerah distribusi non LAD dengan graft arteri mamari interna paten ke LAD yang memperdarahi area miokardium fungsional dan tanpa usaha pengobatan medikal mentosa atau revaskularisasi perkutan yang agresif.
4. Kontraindikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) Kontraindikasi CABG antara lain :
a. Faktor usia yang sudah sangat tua > 70 tahun.
b. Sumbatan kecil di koroner bagian distal.
c. Stenosis aorta yang berat.
d. Disfungsi ventrikel kiri yang berat.
e. Pasien dengan penyakit pembuluh darah coroner kronik akibat diabetes mellitus dan EF yang sangat rendah <15%.
f. Sklerosis aorta yang berat.
g. Struktur arteri koroner yang tidak mungkin untuk disambung.
11
5. Patofisiologi Coronaray Artery Bypass Craft (CABG)
endokrin MK : Defisit volume cairan
Off pump
MK : Bersihan jalan nafas tidak efektif
Merangsang produksi slem
Intubasi dan pemasangan ETT
Pemakaian sedative dan relaksan
On pump
Bersihan jalan nafas terganggu
CABG
MK : hipotermia Pemasangan drain
MK : nyeri Trauma operasi
Sternotomi dan pemasangan graft
MK: Gangguan ventilasi spontan Ketidak
adekuatan ventilasi
MK : Gangguan komunikasi Verbal Menekan pita suara
Menarik cairan intravaskuler
hipertonis Penggunaan kardioplegik
Pemakaian mesin pintas jantung paru
Produksi darah meningkat perdarahan
MK : Resiko infeksi Port de enty mikroorganisme
Luka insisi
Reabsorbsi Na dan air
Angiotensinogen
Penurunan perfusi jaringan ginjal
Penurunan perfusi jaringan otak Cardiac output menurun
Stroke volume menurun Penurunan pengisian ventrikel
ADH meningkat
Venus return menurun
Angiotensin II
Volume intravaskuler menurun
Penurunan kesadaran Tekanan
darah rendah
vasokonstriksi
MK : Penurunan cardiac output Angiotensin I
Penurunan perfusi jaringan ACE (paru)
Glandula pituari posterior Sekresi aldosteron
renin
Korteks adrenal
Urine sedikit hati
MK :Gangguan perfusi jaringan
Akral dingin Depresi
pernapasan
Otot pernapasan tidak maksimal
MK: Gangguan pertukaran gas
7. Teknik Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Ada 2 teknik yang digunakan pada operasi CABG yaitu on pump dan off pump.
a. CABG On Pump
CABG on pump menggunakan mesin By Pass Cardiopulmonal (CPB) dan operasi dilakukan dalam keadaan henti jantung. Operasi jantung dalam keadaan henti jantung memberikan bidang operasi stabil, yang dapat memfasilitasi anastomosis. Dalam beberapa dekade terakhir, CABG tanpa CPB atau lebih dikenal dengan off pump menjadi lebih umum dilakukan dengan kemajuan dalam instrumen dan teknik bedah (Amano te al, 2018).
Gambar 2.2 Mesin Pintas Jantung Paru
Meskipun CABG dengan mesin CPB saat ini dilakukan dengan morbiditas dan mortalitas yang sangat rendah dan dapat diterima (1,9%), penggunaan bypass kardiopulmoner bukan tanpa risiko potensial yang signifikan. CABG on-pump melibatkan penggunaan kanula di aorta asenden dan atrium kanan untuk bypass kardiopulmoner serta kanula di aorta asenden dan atrium kanan untuk kardioplegia. Selama operasi CABG on-pump dilakukan, terjadi miokardium iskemik dan ditahan dengan larutan kardioplegi yang formulanya tinggi kalium, mengandung dekstrose, buffer pH, hiper osmolalitas, dan anastesi lokal. Rute pemberiannya bisa melalui root aorta (antegrade) dan melalui sinus koronarius (retrograde) serta melalui keduanya. Penjepit silang ditempatkan pada aorta asendens untuk mengisolasi jantung (Lawton, 2017).
Pemanfaatan bypass kardiopulmoner melibatkan penggunaan tubing, reservoir vena, oksigenator, pompa head roller, perangkat penghisap kardiotomi, dan filter. Mesin CPB adalah sirkulasi ekstrakorporeal nonfisiologis yang memberikan lapangan operasi yang tenang dan tanpa darah saat dilakukan operasi jantung.
Penggunaannya membutuhkan antikoagulasi sistemik, hipotermia sistemik dan efek merugikan selanjutnya pada sistem koagulasi dan paparan darah kepermukaan nonendotelial. CPB juga terkait dengan respon inflamasi sistemik, hemodilusi dan penghancuran konstituen darah, potensi embolisasi gas atau partikel, dan potensi komplikasi yang melibatkan semua sistem organ (Lawton, 2017).
b. CABG Off Pump
CABG off pump adalah teknik CABG dimana operasi dilakukan tanpa bantuan mesin CPB dan dilakukan tanpa menghentikan detak jantung pasien. Teknik CABG off pump (tanpa pintas kardiopulmoner) membutuhkan manipulasi jantung sambil mempertahankan stabilitas hemodinamik (Yanagawa and Puskas, 2016). Operasi dilakukan dengan sternotomi untuk mencapai semua area jantung. Manipulasi jantung difasilitasi oleh penggunaan alat penghisap (suction). Perangkat seperti cangkir lunak yang memungkinkan pergerakan jantung dilokalisasi pada apeks ventrikel kiri untuk memanipulasi jantung (Lawton, 2017).
Pembuluh target kemudian diimobilisasi lebih lanjut dengan menggunakan perangkat foot plate dengan beberapa pod hisap. Lengan kedua perangkat hisap dipasang di ruang hampa ke retraktor sternum dan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan. Dengan cara ini, pembuluh target diimobilisasi di ruang hampa untuk memfasilitasi anastomosis.
Cangkok bypass harus dijahit ke pembuluh target saat jantung berdetak dan paru-paruberventilasi aktif. Pasien biasanya diposisikan dalam posisi Trendelenburg untuk memfasilitasi pengembalian vena ke jantung. Komunikasi yang konstan dengan ahli anestesi sangat penting untuk keberhasilan operasi karena entannya perubahan hemodinamik selama prosedur operasi (Lawton, 2017).
Berbeda dengan CABG on-pump, tidak ada penjepit silang yang ditempatkan melintasi aorta, aorta tidak dikanulasi, atrium kanan tidak dikanulasi, tidak ada kardioplegia yang diberikan, jantung tidak berhenti, paru-paru tetap mengembang, dan tubuh tidak terkena aliran nonpulsatil dan semua komplikasi potensial dari mesin bypass kardiopulmoner (Lawton,2017).
Kriteria pasien off pump Keuntungan teknik off pump Direncanakan operasi elektif Meminimalkan efek trauma
Operasi
Hemodinamik stabil Pemulihan/mobilisasi lebih dini EF dalam batas normal, fungsi
LV utuh
Drainase darah pasca bedah Minimal
Pembuluh darah distal cukup Besar
Tersedia akses sternotomi Reoperasi
Usia tua disertai penyakit komorbid seperti penyakit arteri karotis, aterosklerosis aorta,disfungsi ginjal atau paru
Menurunkan morbiditas dirumah sakit (termasuk insiden infeksi dada, pemakaian inotropik, kejadian SVT, transfusi darah, lama rawat ICU)
Mempunyai komplikasi dengan mesin CPB
Pelepasan CKMB dan tropoin I lebih rendah, kejadian stroke lebih rendah
Tabel 2.1 Kriteria dan Keuntungan Teknik Off Pump
No Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif 1. Hemodinamik tidak stabil LV EF <35% syok
kardiogenik 2. Buruknya kualitas target
pembuluh darah termasuk pembuluh darah intra miokard, penyakit pembuluh darah yang menyebar/difusi, pembuluh darah yang mengalami klasifikasi/
Penebalan
Cardiomegali / CHF, LM kritis, recent / current MCI
Tabel 2.2 Kontraindikasi Teknik Off Pump
7. Teknik Pengambilan Pembuluh Darah
Pembuluh darah yang digunakan sebagai bypass ada 3 pembuluh darah yang sering digunakan sebagai bypass, yaitu arteri mamaria interna kiri, arteriintra thorakal kiri, arteri radialis dan vena safena magna (Smeltzer &
Bare, 2018).
Gambar 2.3 Pembuluh Darah untuk Dilakukan Grafting
a. Arteri Mammaria Interna (AMI)
Biasanya berasal dari dinding bawah arteri subklavia, melewati bagian atas pleura dan tepat lateral terhadap sternum. Penggunaan AMI dengan ujung proksimal masih dihubungkan ke arteri subklavia. AMI kiri lebih panjang dan lebih besar sehingga sering digunakan sebagai bypass arteri coroner (Shapira et al, 2019). AMI sering digunakan karena memilikikepatenan pembuluh darah yang baik. Studi menunjukkan bahwa sekitar 96% kasus CABG yang menggunakan AMI dapat bertahan lebih dari 10 tahun. AMI sering digunakan untuk bypass arteri left anterior desenden. Hal ini disebabkan karena jarak/lokasi LIMA dan LAD berdekatan serta beradapada sisi yang sama.
Gambar 2.4 Arteri Mammaria Interna (AMI) b. Arteri Radialis
Arteri ini melengkung melintasi sisi radialis tulang Carpalia di bawah tendo Musculus Abductor Pollicis Longus dan tendo Musculus Extensor Pollicis Longus dan Brevis. Arteri radialis di insisi lebih kurang 2 cm dari siku dan berakhir 1 inchi dari pergelangan tangan.
Biasanya sebelum dilakukan pemeriksaan Allen Test untuk mengetahui kepatenan arteriulnaris jika arteri radialis diambil. Pada pasien yang menggunakan arteri radialis harus mendapatkan terapi Ca Antagonis selama 6 bulan setelah operasi menjaga agar arteri radialis tetap terbuka lebar. Arteri radialis memberikan lebih banyak kemampuan revaskularisasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan vena safena.
Gambar 2.5 Arteri Radialis c. Vena Safena
Ada dua vena safena yang terdapat pada tungkai bawah yaitu vena safena magna dan parva. Namun yang sering dipakai sebagai saluran baru pada CABG adalah vena safena magna. Vena safena sering digunakan karena diameter ukurannya mendekati arteri coroner.
Gambar 2.6 Arterial and Venous of The Legs
8. Komplikasi Pasca Operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) Komplikasi bedah pasca CABG dapat mempengaruhi banyak sistem selain sistem kardiovaskular karena pasien beresiko untuk komplikasi pasca bedah yang umum, termasuk kegagalan pernafasan, stroke, infeksi saluran kemih, gagal ginjal, koagulopati, iskemia tungkai, dehiscence luka,dehiscence luka, pleura efusi dan kelainan hematologis. Penting untuk mempertimbangkan hal ini ketika mengevaluasi pasien untuk mempertahankan perbedaan luas dari penyebab potensial yang dapat menyebabkan masuknya pasien ke UGD (Montrief, Koyfman and Long, 2018). Evaluasi yang cermat terhadap sayatan bedah penting untuk mengevaluasi dehiscence dan infeksi, walaupun pemeriksaan mungkin normal pada pasien dengan infeksi sternum dalam (DSWI). Eritema, kemerahan atau indurasi yang berlebihan dapat menunjukkan adanya infeksi. Fluktuasi atau drainase penting untuk dicatat, menunjukkan adanya hematoma atau abses (Montrief, Koyfman & Long, 2018).
Gambar 2.7 Komplikasi Pasca Operasi
a. Cardiovaskular
Komplikasi jantung setelah operasi CABG dapat ditangani berdasarkan empat komponen yang mempengaruhi curah jantung meliputi preload, afterload, frekuensi denyut nadi dan kontraktilitas (Black &
Hawks, 2019).
1) Gangguan preload meliputi hipovolemia, perdarahan menetap, tamponade jantung dan kelebihan cairan.
a) Hipovolemia
Merupakan penyebab tersering terjadinya penurunan curah jantung setelah operasi jantung. Prosedur operasi menyebabkan kehilangan darah meski sudah dilakukan penggantian cairan. Namun pada saat suhu tubuh dinaikkan yang awalnya hipotermi mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dibutuhkan lebih banyak cairan untuk memenuhi rongga pembuluh darah.
b) Perdarahan pasca operasi jantung
Perdarahan pasca operasi jantung terbagi 2 yaitu medikal dan surgikal. Perdarahan medikal terjadi karena gangguan pembekuan darah akibat rusak dan pecahnya trombosit. Selain itu mekanisme pembekuan darah juga akan terganggu bila pasien dalam keadaan hipotermi. Kedua, perdarahan surgical terjadi karena factor pembedahan seperti jahitan yang bocor atau dari dinding dada akibattusukan kawat sternum. Jumlah drainase tidak boleh melebihi 3cc/kgBB/jam selama 3 jam berturut-turut.
c) Tamponade jantung
Merupakan kondisi terkumpulnya cairan dilapisan perikardium jantung yang menekan jantung dari luar sehingga menghalangi darah untuk masuk ke ventrikel. Manifestasiklinis : terjadi hipotensi arteri, bunyi jantung lemah, penurunan haluaran urine, tekanan PCWP dan CVP meningkat, takikardi, drainase berkurang, pulse paradoksus penurunan lebih dari 10 mmHg selama inspirasi, akral dingin.
d) Kelebihan cairan
Merupakan masalah yang jarang terjadi pada pasien pasca bedah jantung. Tekanan arteri pulmonal, PCWP dan CVP meningkat.
Biasanya diberikan diuretik dan kecepatan pemberian cairan intravena diperlambat.
2) Gangguan Afterload
Disebabkan oleh perubahan suhu tubuh pasien. Pada hipotermia terjadi konstriksi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan afterload. Penanganannya adalah dengan menghangatkan kembali pasien secara bertahap dan jika diperlukan dilakukan pemberian vasodilator sementara menunggu penghangatan. Sebaliknya demam atau kondisi hipertermik akan meningkatkan afterload. Penanganannya untuk menjaga normotermia tubuh atau dengan pemberian vasopressor.
a. Hipertensi terjadi akibat peningkatan afterload. Jika pasien sudah mengalami hipertensi sebelum pembedahan maka penatalaksaan terapinya disesuaikan seperti sebelum operasi.
b. Aritmia dapat mempengaruhi curah jantung. Tujuan utama penanganannya adalah mengembalikan irama jantung ke irama sinus normal dan mencapai irama stabil yang menghasilkan curah jantung yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
3) Gangguan Kontraktilitas
Gagal jantung terjadi jika jantung tidak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh. Gejala klinis yang muncul adalah terjadi penurunan tekanan arteri rata-rata, takikardi, gelisah, kesulitan bernafas, edema dan terjadi peningkatan PCWP, PA dan CVP. Infark Miokard Post Operasi (PMI) Terjadi kematian sebagian otot jantung sehingga menurunkan kontraktilitas. Pengkajian yang dilakukan harus teliti untuk membedakan dengan nyeri karena faktor pembedahan. Infark miokard harus dicurigai jika tekanan arteri rata- rata menurun dengan preload yang normal. Serial EKG dan enzim dapat membantu penegakkan diagnosa.
b. Komplikasi Paru-paru
1) Hematothorax dan Pneumothorax
Adanya insisi atau perlukaan pada thorax dan komponen- komponennya dapat menyebabkan perdarahan. Pemasangan WSD berguna untuk mengalirkan perdarahan yang terjadi sehingga dapat mencegah akumulasi darah pada rongga thorax (hematothorax).
Hematothorax harus di drain karena darah yang terakumulasi bisa menyebabkan pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya fibrous dan penghambatan ekspansi paru. Pencabutan WSD harus dihindari adanya kebocoran udara.
2) Atelektasis
Atelektasis bisa disebabkan oleh obat-obat anastesi atau fackor- faktor negatif dari pasien itu sendiri. Saat intubasi ventilator hendaknya disesuaikan dengan kondisi pasien dan adekuat untuk mencegah atelektasis terutama pada post operasi.
3) Pneumonia
Insiden pneumonia pada operasi jantung terjadi antara 29%. Pasien yang mengalami penyakit paru kronik praoperasi kolonisasi disaluran pernapasan, atau perokok mempunyai insiden angka kejadian untuk terkena pneumonia. Oleh karena itu pengkajian kesehatan secara lengkap sangat diperlukan dan dikomunikasikan juga di pasca operasi.
Pada pasca operasi penggunaan NGT, reintubasi, kedisiplinan cuci tangan, elevasi kepala sedini mungkin, frekuensi perawatan dan pembersihan mulut dansuction ETT harus diperhatikan untuk pencegahan pneumonia.
4) Emboli Paru
Insiden emboli paru 12% terutama disebabkan oleh heparinisasi selama operasi dan hemodelusi setelah operasi. Stoking kompresi dan latihan mobilisasi di bed dan ROM tiap hari mungkin diperlukan untuk mencegah emboli paru.
5) Kegagalan Weaning
Insufisiensi respirasi adalah salah satu komplikasi setelah operasi jantung. Ketergantungan ventilator yang lama menyebabkan kegagalan weaning. Intervensi keperawatan adalah weaning ventilator sesuai protokol, mobilisasi pasien sedini mungkin, pasien didorong untuk bernapas spontan, manajemen nyeri dan cemas.
c. Komplikasi Neurologis
Kebanyakan pasien mulai pulih kesadarannya dari efek anastesi dalam 1 sampai 6 jam pasca operasi. Pasien yang tidak mampu mengikuti perintah sederhana dalam 6 jam atau menunjukkan perbedaan kemampuan antara tubuh kanan dan kiri dievalusi kemungkinan stroke. Defisit neurologi yang dihasilkan dari prosedur intra operasi biasanya terjadi 24–48 jam pertama setelah operasi. Selain dari penggunaan CPB, gangguan neurologis yang terjadi setelah beberapa hari perawatan biasanya dikarenakan tidak stabilnya hemodinamik pasca operasi atau terjadi AF (Atrial Fibrilasi).
d. Ginjal : Gagal Ginjal Akut e. Ketidakseimbangan Elektrolit
a) Hipokalemi diakibatkan oleh intake yang kurang, pemberian diuretik, muntah, diare dan stress pembedahan. Perubahan EKG yang muncul adalah gelombang T yang datar atau terbalik dan adanya gelombang U. Kolaborasi pemberian kalium intravena perlu dilakukan.
b) Hiperkalemi dapat disebabkan oleh peningkatan asupan, hemolisis sel darah merah, insufisiensi ginjal, nekrosis jaringan. Gejala yang terjadi adalah konfusi mental, gelisah, mual, kelemahan, parastesia ekstremitas.
Perubahan EKG yang spesifik adalah gelombang T yang tinggi dan lancip, peningkatan amplitude, pelebaran QRS, dan QT yang memendek.
Penanganannya adalah kolaborasi pemberian natrium bikarbonat, insulin dan glukosa.
c) Hipernatremi dan Hiponatremi cukup jarang terjadi, biasanya lebih disebabkan peningkatan cairan yang masuk ke tubuh sehingga terjadi pengenceran natrium tubuh.
d) Hipokalsemi dan Hiperkalsemi. Hipokalsemi biasanya terjadi akibat alkalosis yang menurunkan jumlah Ca dalam cairan ekstrasel.
Hiperkalsemi dapat menyebabkan aritmia yang serupa dengan keracunan digitalis. Penanganan segera harus dilakukan untuk mencegah terjadinya asistole dan kematian.
f. Infeksi. Komplikasi yang sering dialami oleh pasien yang mendapatkan tindakan pembedahan. Penggunaan mesin CPB dan anastesi akan menurunkan sistem imunitas tubuh. Selain itu alat invasif yang melekat pada pasien bisa menjadi sumber infeksi. Penangan infeksi biasanya didasarkan pada protokol di setiap rumah sakit.
B. Asuhan Keperawatan Pasca Bedah 1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam melakukan asuhan keperawatan. Menurut Elvira (2020), proses pengkajian pada pasien kritis meliputi pre arrival assessment, admission and quick check, comprehensive assessment dan on going assessment.
1. Pre Arrival Assessment
Pengkajian ini dimulai ketika perawat sudah mendapatkan informasi dari unit lain bahwa akan ada pasien kritis yang akan dirawat. Pengkajian ini dilakukan sebelum pasien masuk ke ruang ICU.
Untuk pasien post operasi, unit kamar bedah akan memberikan catatan mengenai kondisi pasien selama pre dan intra operasi serta alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang akan diberikan ke pasien.
Tujuan pengkajian ini adalah agar saat pasien datang ke ruang ICU, semua peralatan kesehatan sudah tersedia dan siap digunakan.
2. Admission And Quick Check
Pengkajian dimulai saat pasien masuk dan dirawat di ICU, kemudian perawat mengobservasi secara general dan melakukan pengkajian ABCDE (airway, breathing, circulation, drugs and equipment).
3. Comprehensive Assessment
Pengkajian ini merupakan pengkajian lengkap meliputi riwayat kesehatan masa lalu, status kesehatan sekarang, bio psiko, sosio, spiritual dan pengkajian fisik. Pengkajian fisik yang dilakukan meliputi :
a) Status Kardiovaskular
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji paru (PCWP), bentuk gelombang pada tekanan darah invasif, curah jantung dan cardiac index, drainase rongga dada, fungsi pacemaker.
b) Status Respirasi
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui secara dini tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Perawat mengkaji status respirasi pasien selama bedah, ukuran endotrakeal tube, masalah yang dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat mesin jantung paru. Selanjutnya kaji gerakan dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi pernafasan/RR, volume tidal, konsentrasi oksigen, mode, PEEP), kecepatan nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, Analisa gas darah.
c) Status Neurologi
Kesadaran dipantau sejak klien mulia bangun atau masih diberikan obatsedatif. Jika klien mulai bangun maka minta klien untukmenggerakkan seluruh ekstremitas. Kaji juga tingkat responsifitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan.
Skoring Tingkat Kesadaran Pasien dengan Sedasi (Metode Riker Sedation Agitation Scale/ SAS)
Skor Item Deskripsi Kondisi
7 Agitasi/gelisah Berbahaya
Menarik selang ETT, mencoba melepas kateter, menaiki bed rail, menyerang staff, berontak ke setiap posisi
SADAR
6 Sangat gelisah Membutuhkan restrain dan mengingatkan secara lisan dengan sering, menggigit ETT
SADAR
5 Tidak tenang Cemas atau gelisah secara fisik, tenang dengan instruksi lisan
SADAR
4 Tenang dan
kooperatif
Tenang, mudah bangun dan mengikuti perintah
SADAR 3 Diberikan obat
penenang
Sulit untuk dibangkitkan tetapi terbangun oleh rangsangan lisan atau digoyangkan, mengikuti perintah sederhana namun melayan Kembali ke kondisi tidak sadar
SADAR
2 Sangat tenang (efek sedasi)
Bangkit oleh rangsangan fisik tetapi tidak ada komunikasi dan tidak mengikuti perintah, bisa bergerak secara
Spontan
TIDAK SADAR
1 Tidak bangkit (Unarousable)
Sedikit atau tidak ada respon terhadap rangsangan berbahaya, tidak berkomunikasi atau mengikuti perintah
TIDAK SADAR
Tabel 2.3 Skoring Tingkat Kesadaran Pasien dengan Sedasi (Metode Riker Sedation Agitation Scale/ SAS) d) Sistem percernaan
Observasi status cairan, asupan nutrisi
e) Status pembuluh darah perifer
Denyut nadi perifer, warna kulit, warna kuku, mukosa bibir, suhu kulit,edema, CRT.
f) Sistem perkemihan
Observasi produksi urin setiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat hemolisis dan lain-lain. Pemeriksaan ureum kreatinin harusdikerjakan jika fasilitas memungkinkan.
g) Status Cairan dan elektrolit
Haluaran semua selang drainase, parameter curah jantung dan indikasiketidak seimbangan elektrolit.
h) Nyeri
Kaji sifat, jenis, lokasi, durasi, respon terhadap analgesic.
Monitoring skala nyeri pada pasien tidak sadarkan diri (Behavior Pain Scale).
Monitoring skala nyeri pada pasien tidak sadarkan diri (Behavior Pain Scale)
Item Deskripsi Skor
Gambaran wajah
Tenang 1
Tenang Sebagian (contoh : mengkerut) 2
Tegang 3
Meringis 4
Gerakan ekstremitas atas
Tidak ada pergerakan 1
Menekuk Sebagian 2
Menekuk dengan jari-jari fleksi 3
Kaku permanen 4
Kesesuaian
dengan ventilasi (pasien dengan intubasi)
Ada Gerakan toleransi 1
Batuk tetapi toleransi terhadap Ventilasi
2
Melawan ventilator 3
Tidak dapat mengontrol ventilasi 4 Vokalisasi (pasien
dengan ekstubasi)
Berbicara dengan nada normal atau 0
Mendesah, mengerang 1
Menangis, tersedu-sedu 2
Tabel 2.4 Monitoring skala nyeri pada pasien tidak sadarkan diri (Behavior Pain Scale)
i) Status Gastro intestinal
Auskultasi bising usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi.
j) Status alat yang dipakai
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik atau tidak kondisinya meliputi, pipa endotrakeal, ventilator, monitor saturasi, kateter arteri paru, infus intravena, pacemaker, sistem drainase dan urin. Selanjutnya jika pasien sudah sadar dan mengalami perkembangan yang baik, perawat harus mengembangkan pengkajian terhadap status psikologis dan emosional pasien dan risiko akan komplikasi.
4. On Going Assessment
Pada fase ini pengkajian lebih terfokus dan lebih sering dilakukan untuk mengetahui kondisi kestabilan pasien. Pemantauan lanjutan ini dilakukan1-2 jam sekali pada pasien yang status fisiologisnya menurun dan 2-4jam sekali pada pasien yang sudah stabil. Tetapi bahkan per 15 menit saat kondisi pasien kritis. Hal ini perlu dikaji meliputi tanda vital, hemodinamik, alat-alat yang dipasang kepada pasien serta obat-obatan. Selanjutnya jika pasien sudah sadar dan mengalami perkembangan yang baik, perawat harus mengembangkan pengkajian terhadap status psikologis, emosional pasien dan resiko akan komplikasi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi antara lain :
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload, perubahan frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan
b. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan pemakaian obat sedasi dan relaksan (D.0004).
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan otot pernafasan tidak maksimal (D.0003)
d. Risiko perdarahan ditandai dengan tindakan pembedahan (D.0012).
e. Risiko infeksi ditandai dengan luka insisi dan prosedur pembedahan (D.0142).
f. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas, sekresi yang tertahan, benda asing dalam jalan nafas (D.0001)
g. Gangguan komunikasi verbal (D.00190).
h. Nyeri akut (D. 0077).
i. Hipotermi (D.0131).
j. Perfusi perifer tidak efektif (D. 0009).
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Luaran & Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
1 Penurunan curah jantung
berhubungan dengan perubahan preload, perubahan frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan
kontraktilitas,
perubahan afterload (D.0011)
Luaran Utama :
Curah Jantung (L.02008) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam, penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteriahasil :
CRT, dari tingkat 3→5 Ket : 1: Memburuk
2: Cukup Memburuk 3: Sedang
4: Cukup Membaik
5: Membaik paru dalam batas normal
Pemantauan hemodinamik invasif (I.02058) Observasi :
• Monitor frekuensi dan irama jantung
• Monitor tekanan vena central
• Monitor perfusi perifer distal pada sisi insersi setiap 4 jam
• Monitor tanda – tanda vital Terapeutik :
• Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
• Dokumentasikan hasil pemantauan Edukasi :
• Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
• Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan Pemakaian obat sedasi dan relaksan (D.0004)
Luaran Utama : ventilasi spontan(L.01007) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, mampu bernafas secara adekuat dengan kriteria hasil :
a. Volume tidal meningkat b. Tidak ada dyspnea
c. Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
d. Tidak gelisah e. PCO2 membaik f. PO2 membaik g. Tidak ada takikardi
Dukungan ventilasi (I.01002) Observasi :
 Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
 Identifikasi perubahan posisi terhadap status pernafasan
 Monitor status respirasi dan oksigenasi Terapeutik :
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Berikan posisi semi fowler / fowler
 Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan Kolaborasi :
Pemberian obat bronkodilator jika perlu 3. Gangguan pertukaran
gas berhubungan
dengan otot
pernafasan tidak maksimal (D.0003)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam diharapkan karbondioksida pada membrane alveolus-kapiler dalam batas normal
a. Tingkat kesadaran b. Dispneu
c. Bunyi nafas tambahan d. Gelisah
e. Diaphoresis Ket:
5. Meningkat 6. Cukup meningkat 7. Sedang
8. Cukup menurun 9. Menurun
Pemantauan Respirasi Observasi
 Monitor pola nafas, monitor saturasi okesigen
 Monitor frekuensi, iranma, kedalaman, dan upaya nafas
Terapeutik
 Atur interval
pemantauam respirasi sesuai konidisi pasien Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
g. PO2 Ket:
1. Memburuk
2. Cukup memburuk 3. Sedang
4. Cukup membaik 5. Membaik
Terapi Oksigen Observasi
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor tanda-tadna hipoventilasi
 Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen Terapeutik
 Bersihan secret pada mulut, hidung dan trakea jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Berikan oksigen jika perlu
3. Risiko perdarahan ditandai dengan tindakan
pembedahan (D.0012)
Luaran Utama :
Tingkat Perdarahan (L.02017)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, risikoperdarahan tidak terjadi dengan kriteria hasil: Perdarahan pasca operasi, dari tingkat 3→5
Ket :
1: Meningkat
2: Cukup Meningkat 3: Sedang
4: Cukup Menurun
Pencegahan Perdarahan (I.02067) Observasi :
• Monitor tanda dan gejala perdarahan
• Monitor nilai hematrokit atau hemoglobin sebelum dansetelah kehilangan darah
• Monitor tanda-tanda vital
• Monitor produksi drain Terapeutik :
• Pertahankan bedrest selama perdarahan
5: Menurun Edukasi :
• Hindari pengukuran suhu rektal Kolaborasi :
Pemberian produk darah jika perlu
4. Risiko infeksi ditandai dengan luka insisi dan prosedur pembedahan
(D.0142)
Luaran Utama :
Tingkat Infeksi (L.14137)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 x 24 jam, tidak ada tanda- tanda infeksi dengan kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor, fungsio laesa)
Dengan kriteria : 1: Meningkat
2: Cukup Meningkat 3: Sedang
4: Cukup Menurun 5: Menurun
Pencegahan Infeksi (I.14539) Observasi :
 Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik :
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
 Ganti balutan pada area insersi dengan teknik steril
Kolaborasi :
 Pemeriksaan laboratorium
 Kelola pemberian antibiotik
6. Gangguan
komunikasi verbal (D.00190).
Luaran Utama :
Gangguan komunikasi verbal (L.13118) Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama 1 x
24 jam, kemampuan berbicara meningkat dengan kriteria hasil :
Afasia, dengan kriteria ; - Meningkat
- Cukup meningkat - Sedang
- Cukup menurun - Menurun
Defisit bicara (I.13492) Observasi :
 Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume, dan diksi bicara.
 Monitor proses kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berkaita dengan bicara
 Monitor frustasi, marah, depresi, atau hal lain yang menggangu bicara
 Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai betuk komunikasi
Terapeutik :
 Gunakan metode komunikasi alternatif (misal:
menulis, mata berkedip, papan komunikasi dengan gambar dan huruf, isyarat tangan)
 Modifikasi lingkungan, minimalkan bantuan
 Ulangi apa yang disampaikan pasien
 Berikan dukungan psikologis
 Gunakan juru bicara bila perlu
7. Nyeri akut (D. 0077). Luaran Utama : Kontrol nyeri (L.08063) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, melaporkan nyeri terkontroldengan kriteria hasil :
1. Meningkat 2. Cukup meningkat 3. Sedang
4. Cukup menurun 5. Menurun
Manajemen Nyeri (I.08238) Observasi :
 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementeryang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetic Terapeutik :
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi :
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi raa nyeri
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu 8. Hipotermi (D.0131). Luaran utama : Termoregulasi (L.14134)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
selama 1 x 24 jam,
melaporkan termoregulasi dengan kriteria hasil :
1. Meningkat 2. Cukup meningkat 3. Sedang
4. Cukup menurun 5. Menurun
Manajeman hipotermia ( I.14507) Observasi :
 Monitor suhu tubuh
 Identifikasi penyebab hipotermia
 Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia Terapeutik :
 Sediakan lingkungan yang hangat
 Ganti pakaian atau linen yang basah
 Lakukan penghangatan pasif, eksternal dan internal
Edukasi :
 Anjurkan makan atau minum hangat
9. Perfusi perifer tidak efektif (D. 0009).
Luaran Utama : Perfusi perifer (L.02011) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, melaporkan kekuatan nadi perifer dan pengisian kapiler dengan kriteria hasil :
1. Menurun
2. Cukup menurun 3. Sedang
4. Cukup meningkat 5. Meningkat
Manajemen perawatan sirkulasi Observasi :
 Periksa sirkulasi perifer
 Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
Terapeutik :
 Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di areaketerbatasan perfusi
 Hindari pengukuran tekanan darah pada ektremitas dengan keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan turniquet pada area yang cedera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan hidrasi Edukasi :
 Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat
 Anjurkan program rehabilitasi vaskular
 Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi
 Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (rasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa).
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : Tn. HB
Umur : 64 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jl Graha II Blok A-10 Petukangan Selatan Tgl Operasi : 19 Maret 2022: 12:20 WIB
Tgl Pengkajian : 19 Maret 2022: 18.00 WIB
Dx Medis : CAD 3 VD EF 47%
Tindakan : Paska Bedah CABG On Pump (LIMA-LAD, SVG – LCX Distal, SVG – RCA Distal)
2. Pengkajian
a. Pre Assesment
Pasien dengan diagnosa CAD 3 VD, EF 47%, TAPSE 19 mm, HT, DM, usia 65 tahun BB 97 kg/ TB 179 cm, dilakukan tindakan CABG x 3 Graft on pump (LIMA – LAD, SVG – LCX distal dan SVG – RCA distal) Masalah saat intra operasi tidak ada, pernapasan menggunakan ventilasi mekanik mode VC, TV 600 ml, RR 12x/menit, I:E ratio 1:2, peep 5, Fio2 50%. Obat-obatan yang diberikan dobutamine 5 mcg/kgBB/menit, cefazoline 1 gram diberikan terakhir pemberian jam 16.45 WIB. Terpasang alat invasif kateter arteri di arteri radialis kiri, kateter CVC di vena subclavia kiri, side port direncanakan tiba di ICU sekitar jam 18.00 WIB.
b. Admission and Quick Check
Pengumpulan data Tanggal 19 Maret 2024 jam 18.00 WIB
Airway (jalan nafas) Terpasang ETT nomor 7,5 kedalaman 22 cm batas bibir kanan
Breathing (Pernafasan) On ventilator mode VC, TV 600 ml, RR 12x/menit, I:E ratio 1:2, peep 7, Fio2 50%, Saturasi oksigen 95%
Circulation 1. TD : 90/40 mmHg
2. Nadi : 105 x/menit, irama sinus takikardia 3. CVP 13 mmHg
4. Akral dingin 5. CRT <3 detik
Druge 1. Dobutamin 5 mcg/kgBB/menit
2. Cefazoline 1 gr/8 jam 3. Morfin 20 mg/kgBB/jam
4. Norephineprin 0.1 mcg/kgBB/menit
Equipment 1. Terpasang ETT nomor 7,5 dengan kedalaman 22 cm batas bibir kanan
2. Terpasang kateter arteri pada arteri radialis kiri 3. Terpasang CVC di vena subklavia kiri
4. Terpasang side port di vena jugularis interna kanan
5. Terpasang kateter urine no 16
6. Terpasang drain sub sternal ukuran 28 fr dan drain intra pleura kiri ukuran 24fr
c. Comprehensive Assesmnent 1) Keluhan Utama
Pasien pengaruh sedasi dan terpasang ETT 2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk rawat tanggal 18 Maret 2024 dan dirawat di perawatan GP 2 lantai 4 dengan diagnose CAD 3VD, EF 47% yang direncanakan untuk tindakan CABG pada tanggal 19 Maret 2024.
3) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Dada terasa tidak nyaman dirasakan, sesak dan s emakin memberat pada bulan desember 2023. Pasien berobat ke RS Sari Asih dan di nyatakan serangan jantung dan harus di PCI, kemudian pasien di rujuk dari RS Sari Asih ke RSPJNHK. Selama RSPJNHK pasien dirawat dan
di lakukan kateterisasi tgl 16 januari 2024, dari hasil kateterisasi CAD 3 VD EF 47% dan pasien harus di operasi bypass.
4) Riwayat Alergi
Klien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi 5) Faktor Resiko
Pasien memiliki riwayat merokok dari tahun 1971 hingga tahun 2021., riwayat covid tidak terkaji. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus, namun pasien seorang perokok aktif, sehari habis 1 bungkus dan suka makan sop kambing satu minggu sekali.
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit jantung pada keluarga.
7) Status Kardiovaskular
TD: 90/40 mmHg, HR 105x/menit, gambaran EKG sinus takikardia, CVP 13 mmHg, akral cukup hangat, suhu 35 derajat Celsius, CRT < 3 detik, tidak ada gallop, tidak ada murmur, terdengan S1 dan S2.
8) Status Respirasi
Auskultasi suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing, tidak ada ronchi, pergerakan dada teratur
9) Status Neurologi
Pasien masih dalam pengaruh sedasi menggunakan scoring tingkatan kesadaran pasien dengan metode Riker Sedation Agitation Scale (SAS) dengan skor 1 yaitu. Diameter pupil kanan dan kiri 2/2, reaksi cahaya ada tapi masih lemah.
10) System Perkemihan
Jumlah urine saat datang di ICU 220 ml, warna kuning jernih 11) Sistem Sensorik Nyeri
Item Deskrifsi Score
Gambaran Wajah Tenang 1
Gerakan Ektremitas Atas
Tidak Ada Pergerakan 1
Kesesuaian Dengan Ventilasi (Terintubasi)
Ada Gerakan Toleransi 1
Total 3
Tabel 3.3 Hasil pengkajian nyeri menggunakan BPS Kesimpulan :
Raut wajah tampak rileks, skala nyeri 3/12 dengan skala (BPS) 12) Sistem Percernaan
Tidak distensi maupun asites, teraba lunak, tidak ada undulasi. Bising usus normal terdengar 5 kali per menit.
13) Sistem Integumen
Tampak balutan luka di area sternum, bersih, tidak ada rembesan darah, tidak ada luka tekan. Terdapat luka tusukan CVC, site port, artery line, IV line perifer, tidak tampak perdarahan.
14) Sistem Musculoskletal
Gerakan ekstremitas belum dapat dinilai, dengan kekuatan otot:
15) Status Gastro Intestinal
Tidak ada lesi, tidak ada asites, tidak ada luka operasi, bising usus 8x/menit, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
d. On Going Assesment
a) Status Cairan dan elektrolit
Jam 19.00 20.00 21.00
Intake 320 ml 424 ml 128 ml
Output Urine 190 ml 110 ml 130 ml
Perdarahan 30 ml 10 ml 10 ml
1111 1111
1111 1111
b) Status Kardiovaskuler
Jam 19.00 20.00 21.00
TD 90/40 110/65 100/50
HR 105 108 106
CVP 13 13 12
EKG ST ST ST
Tabel 3.3 Status Kardiovaskuler c) Starus Respirasi
Jam 19.00 20.00 21.00
Mode Ventilasi Mekanik VC VC VC
RR 12 12 12
TV 600 600 600
PEEP 7/- 7/- 7/-
I : A Ratio 1:2 1:2 1:2
FiO2 50% 50% 60%
Sat. O2 95% 100% 100%
5. Pemeriksaan Penunjang a. Elektrocardiogram
Tanggal 19 M a r e t 2024 pukul 18.11 WIB di Ruang ICU Dewasa (Post Op)
Gambar 3.1 Hasil EKG Pasien Post Operasi di ICU Tanggal 19 Maret 2024 Pukul 18.11 WIB
Interpretasi :
Irama Reguler
HR 93 x/menit
Gelombang P Gelombang P selalu diikuti komplek QRS positif di LED II, negatif di AVR
QRS komplek Normal, sempit 0,06 detik PR Interval Normal, 0,16 detik
Axis Normo axis
ST segmen ST Elevasi di lead II,III,AVf Tanda Hipertropi Tidak ada
Tanda Blok Tidak ada
Kesimpulan Sinus Rhytm dengan ST elevasi di inferior
Tabel 3.4 Hasil Interpretasi EKG post op Tanggal 19 M a r e t 2024 b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Hb 11.9 g/dl 12.0 -14.7
Ht 32.6 % 41.3-52.1
HCT 36.4 % 35–45
Leukosit 27.940 Mmol/L 4000-11000
Trombosit 202 mmol/L 150-400
Na 138 mmol/L 135-153
Cl 108 mmol/L 98-109
Kalium 4.2 mEq/L 3.5-5.1
MgIon 0.59 mmol/L 0,45 -0,60
CaIon 1.23 mmol/L 1,09 -1,30
Ureum 35.6 Mg/dl 10-50
Cr 1.05 Mg/dl 0,9-1,3
CK 185 U/L <167
CKMB 24 µg/ml <24
Biltot 0.81 mg/dL 0.1-0.5
Asam Laktat 2.1 Mg/dl 3,6-8,2
Gula darah 181 Mg/dl 74-99:bukan
DM, 100-
199:Belum pasti
DM, >200:DM
PH 7.48 MmHg 7,35– 7,45
PCO2 26.6 MmHg 35.0– 45.0
PO2 62 Mmhg 80.0- 100.0
HCO3 20.1 mmol/L 22–26
BE -2,2 mmol/L (-2)–(+3)
SBC 28.9 mmol/L
SatO2 98 % 95–98
Tabel 3.5 Hasil Laboratorium Tanggal 19 Maret 2024 c. Pemeriksaan Ekhokardiografi
Tanggal 19-03-2024 di ICU RS Jantung Pusat Harapan Kita, Hasil Echokardiografi : 1) Poor echo window
2) Kontraktilitas LV cukup EF 45-50%
3) Kontraktilitas RV turun, TAPSE 12 mm 4) IVC masih bisa diisi
5) Katup dalam batas normal 6) Efusi perikard kesan tidak ada
d. Pemeriksaan Rontgen Tanggal 19-03-2024
Gambar 3.2 Hasil pemeriksaan rontgen thoraks tanggal 19 Maret 2024 Pukul 21.34 WIB
Interpretasi hasil pemeriksaan rontgen thoraks, yaitu : 1) Foto thorak AP (inspirasi baik)
2) Tampak ETT dgn tip +/- 2 cm diatas karina 3) Tampak cvc melalui vena subclavia kiri di ics 4
4) Tampak drain substernal dan intrapleural tip setinggi TH VI sisi kiri 5) Terpasang 3 buah sternotomy wire di TH V, TH VII, TH IX
6) CTR 55% bentuk jantung normal.
7) Tampak infiltrasi kedua parenkrim paru 8) Diafragma licin, sudut costophrenicus lancip 9) Tulang tulang dan Jaringan lunak disekitar baik
10) Kesan : Kardiomegali + pnemonia
B. Analisa Data
No Hari/Tanggal/
Jam
Data Etiologi Masalah
1 19-03-2024
18.00 WIB Data Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji, masih dalam pengaruh sedasi (SAS 1)
Data Objektif:
a. Kesadaran SAS 1
b. Wheezing tidak ada, rnchi tidak ada
c. Terpasang ventilator dengan modus VC, PEEP 7, RR 12, VT 600, PS 12, FiO2 50% saturasi 95%
d. X-ray tampak infiltrasi di kedua parenkim paru (kesan pneumonia)
e. Nilai AGD pH 7.48, PCO2 26.6, PO2 62, HCO3 20.1, BE -2.2
Ketidakseimban gan perfusi ventilasi
Gangguan pertukaran gas
2 19-03-2024 18.00 WIB
Data Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji, masih dalam pengaruh sedasi (SAS 1)
Data Objektif:
a. Post op CABG X3, on pump hari 0 b. Kesadaran SAS 1
c. Suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing, tidak ada ronchi d. Mode ventilasi mekanik VC TV 600, RR 12 x/menit, PEEP 7,
FiO2 50% saturasi 95%
e. Nilai AGD pH 7.48, PCO2 26.6, PO2 62, HCO3 20.1, BE -2.2 f. Terpasang drip morphine 20 mcg/kgBB/Jam
Kelemahan otot-otot pernafasan
Gangguan ventilasi spontan
3 19-03-2024 18.00 WIB
Data Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji, masih dalam pengaruh sedasi (SAS 1)
Data Objektif:
a. Pasien post operasi CABG X3, on pump hari 0
b. TTV TD: 90/40 mmHg, nadi 105 x/menit, EKG ST, dingin suhu 35C, pulsasi arteri radialis teraba cukup kuat, CRT <3 detik c. Produksi urine 1 jam pertama post op 1,5 cc/kgBB/jam
d. Pasien mendapat terapi support norephineprin 0.1
Perubahan preload dan kontraktilitas
Resiko penurunan curah jantung
mcq/kgBB/menit, dan dobutamin 5 mcq/kgBB/menit
e. Echo: Kontraktilitas LV cukup 45-50%, kontraktilitas RV turun TAPSE 12 mm, IVC masih dapat diisi, efusi pericard tidak ada f. X-ray: CTR 55%
4 19-03-2024
18.00 WIB Data Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji, masih dalam pengaruh sedasi (SAS 1)
Data Objektif:
a. Tampak dressing luka post op dimedian sternum, dressing luka tampak bersih, tidak tampak rembesan darah
b. Tampak luka operasi pada tungkai kanan dan kiri tibialis anterior tempat pengambilan SVG, luka dibalut elastis bandage, dressing luka tampak bersih, tidak ada tanda-tanda perdarahan c. Nilai laboraturium hemoglobin 11.9 g/dL, Ht, 32.6%, TC
202.000 mmol/L
d. Klien terpasang WSD di substrenal ukuran 28 fr dan drain intra pleura kiri 24 fr, produksi drain 1 jam pertama post op 30 cc
Tindakan pembedahan
Resiko perdarahan
5 19-03-2024 18.00 WIB
Data Subjektif: Pasien tidak dapat dikaji, masih dalam pengaruh sedasi (SAS 1)
Data Objektif:
a. Tampak dressing luka post op dimedian sternum, dressing luka tampak bersih, tidak tampak rembesan darah
b. Tampak luka operasi pada tungkai kanan dan kiri tibialis anterior tempat pengambilan SVG, luka dibalut elastis bandage, dressing luka tampak bersih, tidak ada tanda-tanda perdarahan c. Pasien terpasang: endotracheal, CVP di vena subklavia sinistra,
arteri line di arteri radialis dextra, kateter urine dan nasogastric tube
d. Leukosit 27.940 e. Suhu 35C
f. Pasien mendapat terapi cefazolin 3x1 gr IV
Resiko efek prosedur
invasif
Resiko infeksi
C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi
2. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan ditandai dengan Pemakaian obat sedasi dan relaksan.
3. Resiko penurunan curah jantung dibuktikan dengan perubahan preload dan kontraktilitas.
4. Resiko perdarahan dibuktikan dengan tindakan pembedahan.
5. Resiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil (SLKI) Perencanaan (SIKI)
1 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi (D.0003)
Luaran Utama : ventilasi spontan (L.01007) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 x 24 jam, mampu bernafas secara adekuat dengan kriteria hasil :
1. Volume tidal meningkat 2. Tidak ada dyspnea
3. Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
4. Tidak gelisah 5. PCO2 membaik 6. PO2 membaik 7. Tidak ada takikardi
Dukungan ventilasi (I.01002) Observasi :
1. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas 2. Identifikasi perubahan posisi terhadap
status pernafasan
3. Monitor status respirasi dan oksigenasi
Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas 2. Berikan posisi semi fowler / fowler 3. Berikan oksigenasi sesuai
kebutuhan Kolaborasi :
Pemberian obat bronkodilator jika perlu
2 Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan ditandai dengan Pemakaian obat sedasi dan relaksan (D.0004)
Luaran Utama : Ventilasi spontan (L.01007)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 x 24 jam, mampu bernafas secara adekuat dengan kriteria hasil :
1. Volume tidal meningkat 2. Respirasi rate meningkat 3. Pasien Tidak gelisah 4. Nilai PCO2 membaik 5. Tidak ada takikardi
Pemantauan respirasi (I.01014) Observasi :
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
2. Monitor pola napas dan bunyi nafas 3. Monitor adanya sumbatan jalan napas 4. Monitor saturasi oksigen
5. Monitor sumbatan jalan nafas
6. Monitor selang ETT, terutama setelah mengubah posisi
7. Monitor nilai AGD Terapeutik :
1. Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien.
2. Dokumentasikan hasilpemantauan 3. Berikan posisi semi fowler/ fowler
3 Risiko penurunan curah jantung dibuktikan dengan perubahan preload dan kontraktilitas (D.0011)
Luaran utama C u r a h j a n t u n g (L.02008)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, penurunan curah jantung tidak terjadi lagi dengan kriteria hasil : Meningkatnya kekuatan nadi perifer
1. Meningkatnya stroke volume index (SVI)
2. Tidak bradikardi 3. Tidak takikardi 4. Tidak edema
5. Tidak ada suara murmur jantung 6. Tekanan darah baik
Perawatan jantung (I.02075) Observasi :
1. Monitor tekanan darah, denyut nadi 2. Monitor intake dan output cairan 3. Monitor EKG 12 sadapan
4. Monitor aritmia (kelainan dan frekuensi) 5. Monitor nilai laboratorium jantung (mis,
elektrolit, enzim jantung, BNP, NTpro-BNP) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
4 Risiko perdarahan dibuktikan dengan tindakan pembedahan (D.0012)
Luaran Utama : Tingkat Perdarahan (L.02017)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 6 jam, risiko perdarahan tidak terjadi dengan kriteria hasil :
1. Menurunnya perdarahan pasca operasi 2. Membaiknya hemoglobin
3. Membaiknya hematokrit 4. Membaiknya tekanan darah
Pencegahan Perdarahan (I.02067) Observasi :
1. Monitor tanda dan gejala perdarahan
2. Monitor nilai hematrokit atau hemoglobin sebelum dan setelah kehilangan darah
3. Monitor tanda-tanda vital ortostatik Terapeutik :
1. Pertahankan bed rest selama perdarahan Kolaborasi :
1. Pemberian produk darah, jika perlu
2. Pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
5 Resiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif (D.0142)
Luaran Utama : Tingkat Infeksi (L.14137) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2 x 24 jam, tidak ada tanda-tanda infeksi dengan kriteria hasil :
1. Tidak demam 2. Tidak kemerahan 3. Tidak nyeri 4. Tidak bengkak
5. Kadar sel darah putih membaik
Pencegahan Infeksi (I.14539) Observasi :
Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik :
Cuci tangan 6 langkah dan 5 momen 2.
Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian antibiotic profilaksis
D. Implementasi dan Evaluasi Tanggal 19 Maret 2024
No Tgl/Jam Diagnosa Keperawatan
Implementasi Evaluasi
1. 19-03-2024 Jam 16.00- 21.00<