• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA: DALAM TRANSAKSI SECARA ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

N/A
N/A
HazzaR .12

Academic year: 2023

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA: DALAM TRANSAKSI SECARA ELEKTRONIK (E-COMMERCE)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA

DALAM TRANSAKSI SECARA ELEKTRONIK (E-COMMERCE)1 Candra Irawan2

A. Pendahuluan

Sekarang dunia memasuki era baru, yaitu era serba cepat, mobile, massal, lintas batas (borderless world) dan digital. Jika Alfin Tofler membagi dunia dalam 3 era, yaitu era pertanian, era industri dan era informasi, maka Dimitri Mahayana berpendapat telah terjadi 3 kali revolusi komunikasi dalam sejarah umat manusia, yaitu (1) ditemukannya bahasa pertama di dunia, (2) ditemukannya tulisan, (3) ditemukannya mesin cetak yang memungkinkan distribusi pengetahuan secara cepat dan mankljssal, dan sekarang tengah berlangsung revolusi keempat cyberspace.3 Dalam bidang ekonomi Don Tapscott menyebutnya dengan istilah ekonomi abad networked intelligence. Menurut Tapscott4 dunia telah mengalami sepuluh perubahan atau revolusi teknologi, yaitu dari analog ke digital, dari semikonduktor tradisional ke teknologi mikroprosesor, dari host ke komputasi client/server, dari garden path bandwidth ke information highway, dari sarana akses lamban menjadi sarana informasi, dari data, teks, suara dan citra yang terpisah ke multi media, dari sistem tertutup ke terbuka, dari jaringan yang dungu ke cerdik, dari keterampilan ke komputasi obyek, dan dari GUI (grafical user interface) ke MUI (Multimedia user interface).

Kemajuan IPTEK berdampak sangat signifikan bagi perkembangan peradaban manusia. Teknologi membuat kehidupan berdenyut semakin cepat dan mudah. Kemajuan teknologi informasi semakin memudahkan orang mengetahui berbagai peristiwa yang

1Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Cyber Law BKS-PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Hukum Tanggal 22 Mei 2003 di Universitas Jambi.

2Staf Pengajar FH Universitas Bengkulu

3Dimitri Mahayana, 1999. Menjemput Masa Depan, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal-86.

4Don Tapscott, 1998. Digital Economy Promise and Peril In the Age of Networked Intelligence (Edisi Indonesia), Jakarta, Abdi Tandur, hal-113.

(2)

terjadi dibelahan dunia lain hanya dalam hitungan detik. Komunikasi tidak lagi satu arah tetapi multiarah dan tanpa terhambat oleh jarak dan kondisi geografis. Sarana teknologi yang digunakan dapat berupa radio, televisi, telegram, faksimle, telepon/handphone, dan jaringan komputer yang terkoneksi (internet). Maka sangat tepat jika Kenichi Ohmae mengatakan dunia tanpa batas (borderless world) dan tidak ubahnya seperti sebuah desa kecil saja.

Dunia bisnis semakin berkembang dengan munculnya jaringan komputer yang terkoneksi (internet). Kegiatan bisnis yang semula bersifat langsung (face to face, direct selling) sekarang dapat dilakukan secara elektronik dengan menggunakan internet dan media elektronik lainnya. Keuntungan yang didapatkan pada transaksi elektronik diantaranya penghematan waktu, meniadakan halangan transportasi dan lebih murah ketimbang harus bertemu secara langsung.

B. Beberapa Problema Hukum Transaksi Elektronik (E-Commerce)

Terlepas dari berbagai keuntungan yang bisa diperoleh melalui internet, ternyata juga mengandung beberapa permasalahan hukum yang cukup substansial, seperti permasalahan yurisdiksi, individualisasi kontrak elektronik, alat bukti dan pembuktian dalam penyelesaian sengketa, perlindungan konsumen, persoalan Hak Kekayaan Intelektual, pajak, dan cybercrime.

Perkembangan internet niscaya mempunyai implikasi hukum yang multidimensional dan memiliki karakteristik yang khas dunia maya, baik hukum privat maupun hukum publik, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Perkembangan internet sangat potensial membawa problem-problem baru yang perlu diantisipasi baik bagi hukum internasional maupun hukum nasional termasuk di Indonesia, karena hukum

(3)

yang ada saat ini tercipta dan diciptakan untuk dunia nyata (real world). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah apakah hukum yang berlaku di dunia nyata juga berlaku di dunia maya?5 Pertanyaan ini memiliki 2 jawaban yang saling bertolak belakang.

Pendapat pertama menganggap hukum dunia nyata tidak berlaku di dunia maya, pendapat kedua menganggap hukum di dunia nyata juga berlaku di dunia maya. Penulis lebih sependapat dengan pendapat yang kedua, sebab meski transaksi dilakukan di dunia nyata namun pelakunya adalah manusia nyata atau badan hukum yang hidup di dunia nyata. Internet hanya sebagai media transaksi sementara akibat hukumnya dirasakan dan dialami oleh manusia di dunia nyata. Memang karakteristik transaksi elektronik berbeda dengan transaksi konvensional, yang dibutuhkan adalah modifikasi dan adaptasi hukum dunia nyata kepada dunia maya (internet). Mengenai hal ini Sutan Remy Sjahdeini6 mengatakan, perbuatan-perbuatan hukum yang terjadi melalui dunia maya adalah sesungguhnya interaksi antara sesama manusia dari dunia nyata dan apabila terjadi pelanggaran hak atas perbuatan hukum melalui dunia maya itu adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia dari dunia nyata, maka hukum yang berlaku dan harus diterapkan adalah hukum dari dunia nyata.

1. Yurisdiksi (jurisdiction)

Konsep yurisdiksi tradisional yang dikenal dalam sistem hukum selama ini seperti tempat terjadinya transaksi, dasar hukum pembuatan kontrak, domisili para pihak menjadi tidak relevan lagi dengan digunakannya internet sebagai sarana bertransaksi.

5Nandang Sutrisni, 2001. Cyberlaw: Problem dan Prospek Pengaturan Aktivitas Internet, Yogyakarta, Jurnal Hukum UII No. 16 Vol 8 Maret 2003, hal-31.

6Sutan Remy Sjahdeini, 2001. E- Commerce Dalam Perspektif Hukum, Jakarta, Jurnal Keadilan Vol. 1 No. 3, September 2001, hal-17.

(4)

Transaksi bisnis melalui internet tidak ditentukan secara tegas di mana tempat terjadinya transaksi, di negara mana atau kotanya. Tempat transaksi merupakan hal penting untuk menentukan yurisdiksi pengadilan yang berwenang, hukum yang digunakan (choice of law, aplicable law), hakim yang mengadili dan pembuktian.

Kebanyakan transaksi dilakukan oleh pihak yang berada pada yurisdiksi hukum negara yang berbeda, sementara dalam term of condition pada saat kesepakatan secara online dibuat, tidak secara tegas dan jelas menunjuk/memuat klausul choise of law.7 Pada konteks ini kaedah-kaedah Hukum Internasional dan Hukum Perdata Internasional harus dikedepankan.

2. Individualisasi Kontrak Elektronik

Bentuk-bentuk transaksi elektronik yang berkembang dalam dunia internet mencakup: 8

1. Kontrak dibuat melalui komunikasi e-mail. Penawaran dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui e-mail atau dikombinasikan dengan komunikasi elektronik lainnya, dokumen tertulis, faksimile dan lain-lain.

2. Kontrak yang dibuat melalui websites dan jasa online lain, yaitu suatu website yang menawarkan suatu penjualan barang/jasa dan konsumen menerima penawaran dengan mengisi dan transmisi formulir yang terpampang dilayar monitor.

7Nindyo Pramono, 2001. Revolusi Dunia Bisnis Indonesia Melalui E-Commerce dan E-Business:

Bagaimana Solusi Hukumnya?, Yogyakarta, Jurnal Hukum UII No. 16 Vol 8 Maret 2001, hal-4.

8Dikutif dari Mieke Komar Kantaatmadja, et.al., 2002. Cyberlaw: Suatu Pengantar, Jakarta, Elips, hal-2. Bandingkan dengan Santiago Cvanilas dan A. Martines Nadal dalam Ridwan Khairandy, 2001. Pembaruan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Elektronik Commerce, Yogyakarta, Jurnal Hukum UII No. 16 Vol 8 Maret 2001, hal-49-50, kontrak online dalam e-commerce banyak variasi, yaitu kontrak melalui chatting dan video conference, kontrak melalui e-mail dan kontrak melalui web (situs).

(5)

3. Direct online transfer dari informasi dan jasa. Website digunakan sebagai medium of communication dan sekaligus sebagai medium of exchange.

4. Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), yaitu suatu pertukaran informasi bisnis secara elektronik.

5. Kontrak dalam internet dapat bersifat perjanjian lisensi.

Meskipun kontrak dibuat secara elektronik, namun asas-asas perjanjian umum tetap berlaku. Asas umum dalam setiap kontrak seperti asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas etikad baik (pasal 1338 ayat (3), 1339 KUH Perdata), asas perjanjian mengikat seperti undang-undang bagi para pihak (pasal 1338 KUH Perdata). KUH Perdata pasal 1320 menentukan syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak, kecakapan membuat perjanjian, adanya suatu obyek tertentu dan suatu sebab atau kausa yang halal. Sepanjang suatu kontrak dibuat tanpa adanya paksaan kekhilafan dan penipuan (pasal 1321, 1322, 1323, 1324, 1325 KUH Perdata) dan memenuhi unsur-unsur perjanjian maka dinyatakan sah, meskipun dilakukan secara elektronik.

Oleh karena kontrak dibuat secara elektronik dan para pihak tidak bertemu secara langsung, maka yang menjadi persoalan adalah sulitnya mengindivualisasikan kontrak tersebut seperti kapan kesepakatan terjadi, apakah kontrak tersebut dapat dinyatakan sebagai suatu kontrak tertulis, bagaimana tatacara complain dan hukum apa yang digunakan jika terjadi persengketaan antara para pihak. Terhadap penentuan kapan terjadinya kesepakatan, subekti berpendapat apabila pernyataan

(6)

yang dikeluarkan oleh salah satu pihak diterima oleh pihak lainnya.9 Mayoritas negara mengatur hal ini dengan bersandar pada beberapa teori:10

1. Pada saat disampaikannya persetujuan (consent) oleh pihak penerima penawaran (expedition teheory).

2. Pada saat dikirimnya penerimaan tersebut oleh pihak penerima penawaran (acceptors acceptance atau transmission theory).

3. Pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak yang menawarkan (offeror) (reception theory).

4. Pada saat pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan (acceptance) (information theory).

3. Alat bukti dan Pembuktian

Pasal 164 HIR, 284 Rbg, dan pasal 1866 BW, mengatur alat-alat bukti dalam hukum acara perdata adalah alat bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.11 Surat sebagai alat bukti tertulis terbagi menjadi 2, yaitu akta (akta otentik dan akta bawah tangan) dan bukan akta. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu, hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 1869 KUH

9Subekti, 1990. Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa Cetakan Ke-12, hal-26.

10Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit, hal-6.

11Sudikno Mertokusumo, 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hal- 116.

(7)

Perdata.12 Akta yang memiliki kekuatan pembukti sempurna adalah akta otenti, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya (notaris) sebagai bukti yang cukup bagi kedua pihak dan ahli warisnya.13 Alat bukti surat yang dimaksud di atas adalah berupa surat/dokumen yang tertera pada kertas (paper based document), sementara itu transaksi elektronik (internet) tidak menggunakan kertas melainkan data yang bersifat elektronik (digital document).

Apakah dapat diyakinkan bahwa data yang bersifat elektronik tersebut adalah benar sebagaimana aslinya atau telah diubah atau direkayasa oleh salah satu pihak atau pihak ketiga. Memang dalam transaksi elektronik dikenal suatu cara untuk mengamankan data/dokumen elektronik yaitu dengan mencantumkan tanda tangan elektronik (digital signature) dan cryptography. Pertanyaannya apakah hukum Indonesia mengakui data elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sah?. Solusi dari pertanyaan di atas The United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) dalam Model Law on E-Commerce, artikel 5 menyatakan “information shall no be denied legal effect, validity or enforciability solely on the grounds that is not contained in the form of a data message”. Bahwa sebuah informasi, dampak hukum yang ditumbulkan, validitas, tidak

dapat ditolak hanya karena hal tersebut tertuang dalam bentuk data message.

Berkenaan dengan hal ini, RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik pada pasal 3 menyatakan „ setiap orang tidak boleh menolak keberadaan daru suatu informasi elektronik hanya karena berbentuk elektronik”. Berikutnya pada pasal 6 dinyatakan, “setiap

orang yang akan menggunakan haknya harus memastikan bahwa informasi elektronik yang ada padanya memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilekatkan tanda tangan elektronik, b.

12Ibid

13Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1995. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju, Cetakan ke-VII, halaman 65.

(8)

berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya”. Undang-undang Indonesia

sebenarnya telah mengakui keberadaan dokumen elektronik sebagaimana di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan pasal 1, menyatakan “dokumen perusahaan adalah data, catatan, atau keterangan yang dibuat

dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca atau didengar”. Meskipun undang-undang ini tidak

mengatur masalah pembuktian, namun apa yang dinyatakan tersebut memberi peluang untuk diakuinya data elektronik sebagai dokumen perusahaan dan dengan demikian dapat juga dijadikan alat bukti bila diperlukan. Namun demikian sepenuhnya menjadi tanggung jawab hakim untuk menemukan hukum (judge made law), karena hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena alasan belum ada aturan yang mengaturnya.

4. Perlindungan Konsumen

Pelaku usaha banyak memanfaatkan internet sebagai sarana promosi/penawaran produk barang/jasa kepada konsumen. Konsumen sebenarnya memiliki resiko yang cukup tinggi dalam transaksi elektronik. Dari aspek pembuatan kontrak, umumnya kontrak elektronik berbentuk standard contract yang isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak pelaku usaha. Tentu saja kepentingan pelaku usaha yang lebih terlindungi karena ia yang membuatnya, sementara konsumen tidak bisa bernegosiasi karena sifat kontraknya adalah take it or live it. Bentuk kerugian yang dialami konsumen misalnya pengiriman barang yang dipesan terlambat, barang yang dikirim rusak/cacat, barang yang dikirim tidak sesuai dengan pesanan atau iklan yang ditawarkan. Meskipun

(9)

telah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun oritentasinya masih terbatas pada transaksi konvensional.

5. Hak Kekayaan Intelektual

Aspek HKI yang marak diperdebatkanm selama ini di dunia internet adalah maslah domein name dan trade mark. Pihak yang tidak memiliki keterkaitan apapun dengan suatu merek/label ternyata telah mendaftarkan merek/label tersebut sebagai domein name-nya di internet. Contoh kasus yang dapat diangkat, antara lain kasus Mustika Ratu, di mana Tjandra Sugiono mendaftarkan Mustika Ratu sebagai domain name perusahaannya di Network Solution. Padahal Tjandra tidak memiliki keterkaitan apapun dengan nama tersebut dan diketahui oleh umum bahwa nama itu adalah merek dagang dari perusahaan Mustika Ratu. Setelah melalui proses panjang akhirnya tanggal 25 September 2000 Tjandra melepas domein name tersebut dan terhitung sejak tanggal 5 Oktober 2000 dipegang oleh pihak Mustika Ratu.14

Domein name diberikan kepada organisasi, perusahaan atau individu yang dikelola antara lain InterNIC (the Internet Network Information Center) berdasarkan kontrak dengan the National Science Foundation melalui Netwok Solutions, Inc (NSI), berdasarkan prinsip first come firs served.15 Prinsip demikian membuka peluang pihak yang tidak berhak mendaftarkan domein name yang merupakan merek dagang dari milik orang lain, karena interNIC tidak melakukan penelitian sebelum menerima domein name yang diajukan. Domein name akan ditangguhkan pendaftarannya apabila ada keberatan dari pihak tertentu.

14Mukhlis Ifransah dalam Hukumonline.com, 11 September 2001.

15Atip Latifulhayat, 2001. Hukum Siber, Urgensi dan Permasalahannya, Jakarta, Jurnal Keadilan Vol. 1 No. 3 September 2001, hal-11.

(10)

Model Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik (E-Commerce)

Bisnis modern dengan menggunakan sarana elektronik (internet) yang bersifat lintas batas negara, massal dan serba cepat sangat rentan terhadap timbulnya persengketaan antara para pihak yang berkepentingan. Namun tentu saja, para pihak tidak mengharapkan terjadinya persengketaan. Apabila persengketaan tersebut terjadi, maka harus diupayakan penyelesaian secara cepat dan tepat agar tidak mengganggu aktivitas bisnis para pihak itu sendiri. Ada dua pilihan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa bisnis termasuk sengketa dalam transaksi elektronik, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan non litigasi (Alternative Dispute Resolution-ADR). Hal penting yang harus dicatat, apapun cara yang dipilih haruslah memenuhi prinsip cepat, efektif, efisien dan memiliki kepastian hukum.

Litigasi

Dalam menyelesaikan sengketa fungsi pengadilan telah banyak mendapatkan kritik dari masyarakat pencari keadilan. Secara umum kritik tersebut adalah pengadilan sangat lambat dan mahal, hakim berpengetahun generalis, publisitas dan putusan pengadilan menempatkan posisi para pihak sebagai the winner dan the losser tidak win-win solution.16

Dalam kaitannya dengan sengketa elektronik persoalan yang menghadang adalah mengenai formalitas yang harus dipenuhi, limitasi alat bukti di mana bukti elektronik belum tentu diakui sebagai alat bukti yang sah oleh hakim, yurisdiksi, dan hukum yang

16M. Yahya Harahap, 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal-153-158.

(11)

digunakan dalam hal sengketa melibatkan pihak-pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda.

Non Litigasi (Alternative Dispute Resolution-ADR)

Dewasa ini penyelesaian sengketa sudah mulai beralih dari penyelesaian melalui proses litigasi ke non litigasi, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Australia yang hampir 90% sengketa diselesaikan secara non litigasi terutama dikalangan usahawan, demikian juga di Indonesia, walaupun frekuensinya masih sangat rendah.17

Beberapa pertimbangan yang membuat banyak kalangan memilih ADR antara lain adalah ketidakpuasan terhadap pengadilan, non publisitas, bersifat pribadi, pertimbangan biaya dan waktu, adanya keinginan penyelesaian sengketa win-win solution, arbiter/mediator ahli dibidangnya dan adanya kebebasan para pihak memilih cara yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan model penyelesaian sengketa yang dapat dipilih, yaitu konsultasi, negosiasi, konsiliasi, mediasi, pendapat ahli dan arbitrase. Namun sangat disayangkan undang-undang tersebut lebih banyak mengatur mengenai arbitrase, sementara ADR lainnya hanya disinggung sekilas tanpa ada penjelasan yang memadai.

Negosiasi

Negosiasi adalah proses tawar menawar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk menemukan alternatif pemecahan masalah secara damai. Negosiasi

17Joni Emerzon, 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Jakarta, Gramedia, hal-2.

(12)

dilakukan tanpa melibatkan pihak lain. Negosiasi menjadi pilihan yang ditempuh apabila antara para pihak masih memiliki kepercayaan dan keyakinan bahwa sengketa masih dapat diselesaikan secara cepat. Artinya para pihak harus memiliki kemauan dan etikad baik untuk tidak memperpanjang persengketaan.

Jika negosiasi menghasilkan kesepakatan, selanjutnya dituangkan dalam bentuk tertulis dan mengikat para pihak untuk melaksanakannya. Kesepakatan yang dihasilkan dari negosiasi berlaku layaknya seperti sebuah perjanjian bagi para pihak. Menurut Gunawan Widjaya, negosiasi memiliki kesamaan dengan ketentuan pasal 1851 KUH Perdata tentang perdamaian, yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkanm menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung ataupun mencegah timbulnya perkara, dimana persetujuan perdamaian tersebut wajib dibuat secara tertulis.18

Prinsip yang harus dipegang oleh para pihak agar negosiasi berjalan dengan baik, antara lain:

1. Para pihak harus saling terbuka mengenai substansi masalah yang disengketakan.

2. Para pihak sama-sama memiliki harapan penyelesaian sengketa secara cepat dan damai.

3. Para pihak tidak menganggap bahwa pihaknya yang paling benar dan harus selalu diuntungkan dalam penyelesaian sengketa.

4. Para pihak yang maju dalam negosisasi (negosiator) adalah orang yang memiliki kekuasaan/kewenangan mengambil keputusan.

18Gunawan Widjaya, 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Rajawali Pers, hal-87.

(13)

Mediasi

Mediasi (mediation) adalah proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (mediator). Keterlibatan pihak ketiga yang netral (mediator) berasal dari inisiatif para pihak yang bersengketa. Para pihak bebas menentukan siapa yang dianggap tepat untuk dilibatkan dalam penyelesaian sengketa. Biasanya yang dipilih sebagai mediator adalah orang yang diketahui memiliki keahlian sesuai dengan substansi pokok masalah yang disengketakan, dijamin netralitasnya dan berpengalaman menyelesaikan sengketa.

Seorang mediator dalam proses mediasi berperan sebagai fasilitator dan katalisator yang mempertemukan kepentingan kedua belah pihak. Oleh karena itu mediator dituntut untuk dapat membuka komunikasi efektif antara para pihak, mengkondisikan pertemuan, memberikan pendapat, memfokuskan pokok masalah agar tidak meluas, dan mampu mendorong para pihak untuk dapat mengambil keputusan yang saling menguntungkan. Namun demikian mediator sama sekali tidak memiliki kewenangan sebagai orang yang memutuskan suatu kesepakatan yang harus diambil, karena hasil dari mediasi sepenuhnya diserahkan kepada para pihak untuk memutuskannya dan mediator sebagai orang yang mengesahkan kesepakatan tersebut.

Proses mediasi terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap kesepakatan penunjukan mediator oleh para pihak.

2. Tahap mediator membentuk forum mediasi.

3. Tahap mengumpulkan dan membagi data/informasi.

4. Tahap para pihak melakukan negosiasi pemecahan masalah.

5. Tahap mediator mengajukan proposal alternatif pemecahan masalah.

6. Tahap negosiasi alternatif pemecahan yang dipilih para pihak.

(14)

7. Tahap pengambilan keputusan, yang dirumuskan dalam sebuah akta kesepakatan yang biasa disebut akta kompromi.

Penyelesaian melalui negosiasi dan mediasi jika didasarkan pada etikad baik dan kepentingan bersama cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa. Namun kelemahannya, kadang kala hasil kesepakatan yang telah dibuat dan disetujui bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, dan pihak lainnya tidak dapat memaksakan pelaksanaan isi kesepakatan. Tidak ada aturan atau mekanisme hukum yang mengatur tatacara eksekusi kesepakatan tersebut. Pihak yang merasa dirugikan hanya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan, dan itu artinya proses harus dimulai dari awal lagi. Dengan demikian proses negosiasi dan mediasi yang telah dilakukan menjadi sia-sia.

Arbitrase

Dasar hukum arbitrase antara lain UU Nomor 14 TAHUN 1970 TENTANG Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman (PENJELASAN PASAL 3 AYAT (1), UU Nmor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Indonesia Atas Konvensi ICSID-CONVENTION ON THE SETTLEMENT OF INVESMENT DISPUTE BETWEEN STATE AND NATIONAL OF OTHER STATE), Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia, PERMA Nomoe 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Eksekusi Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia, dan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat tertulis oleh para pihak yang bersenketa (UU Nomor 30 Tahun 1999, pasal 1 angka 1). Dengan berdasarkan klausul perjanjian arbitrare maka lembaga arbitrase berwenang menyelesaikan sengketa tersebut dan menghapus

(15)

kewenangan pengadilan. Pengadilan wajib menolak suatu perkara yang diajukan, apabila perkara tersebut terikat dalam klausul atau perjanjian arbitrase (UU Nonor 30 Tahun 1999, pasal 3). Undang-undang mengenal 2 bentuk klausula arbitrase, yaitu:

1. Kesepakatan penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga arbitrase sebelum sengketa terjadi. Biasanya termuat dalam perjanjian pokok atau dibuat dalam perjanjian tersendiri, yang disebut pactum de compromittendo.

2. Kesepakatan penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga arbitrase setelah sengketa terjadi. Kesepakatan tersebut harus dalam bentuk tertulis, bilamana dianggap perlu dapat dibuat dihadapan notaris, disebut dengan akta kompromis.

Jika dilihat dari karakteristik transaksi elektronik yang umumnya bersifat lintas negara (internasional), lembaga arbitrase lebih tepat karena juga memiliki sifat internasional dalam menyelesaikan sengketa. Arbitrase memiliki sifat internasional, apabila: para pihak yang bersengketa memiliki kebangsaan yang berbeda yang terbukti dan dinyatakan dengan tegas, tempat penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada diluar domisili para pihak (sesuai kesepakatan bersama), obyek arbitrase terletak di luar wilayah negara dimana para pihak memiliki usahanya dan para pihak sepakat bahwa obyeknya memiliki keterkaitan dengan satu negara atau lebih.19 Di Indonesia sudah ada 2 lembaga arbitrase, yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan BAMUI (Badan Arbitrase Muammalat Indonesia).

Kelemahan pada negosiasi dan mediasi dapat diatasi oleh arbitrase, karena lebih menjamin kepastian hukum bagi para pihak, sesuai dengan ketentuan dan prinsip

19Priyatna Abdurrasyid, 2002. Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Suatu Tinjauan, Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002, hal-11.

(16)

arbitrase, yaitu efisien, non preseden, penyelesaian secara tertutup, arbiter kredibel dan profesional, dan putusannya bersifat final dan binding serta berkekuatan eksekutrorial.

Bahkan pada perkembangannya model ADR yang berbasis kertas, mulai diperluas pada transaksi online, yang sangat hemat waktu dan biaya yang disebut dengan istilah ADR online.20

20Budi Agus Riswandi, 2001. Aspek Perlindungan Hukum Nasabah Dalam Sistem Pembayaran Internet, Yogyakarta, Jurnal Hukum UII No. 16 Vol 8-2001.

Referensi

Dokumen terkait

The declaration of MUDRA was a jolt for not just micro finance institutions and self-assistance groups yet additionally for small entrepreneurs and business people with not excessively

Persyaratan integritas meliputi: 1 memiliki akhlak dan moral yang baik, antara lain ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena