• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING TERHADAP PEMBINAAN MORAL SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PERANAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING TERHADAP PEMBINAAN MORAL SISWA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING TERHADAP PEMBINAAN MORAL SISWA

THE ROLE OF TEACHERS COUNSELING TOWARD MORAL DEVELOPMENT OF STUDENTS

Oleh:

Ardiman Universitas Halu Oleo

Email: ardimandhyman@yahoo.com Kata Kunci:

Bimbingan dan Konseling, Moral

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan guru bimbingan dan konseling terhadap pembinaan moral siswa SMP Negeri 1 Wawonii Barat.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Teknik data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil analisis deskriptif kualitatif menunjukan guru bimbingan dan konseling perperan dalam membina moral siswa sebagai berikut: guru bimbingan dan konseling berperan sebagai konselor sekolah yang mana guru bimbingan dan konseling selalu memanggil siswa yang mengalami masalah di ruangan guru bimbingan dan konseling untuk dilakukan konseling kepada siswa, sebagai konsultan guru bimbingan dan konseling selalu berkordinasi kepada kepala sekolah, wali kelas, guru bimbingan dan konseling berperan sebagai agen prevensi primer yang mana dalam hasil wawancara guru bimbingan dan konseling selalu memberikan informasi-informasi yang dianggap penting dan sesuai dengan kebutuhan siswa, guru bimbingan dan konseling berperan sebagai pembimbing yang selalu memberikan bimbingan kepada siswa.

Keywords:

Guidance and Counseling, Moral

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the role of teacher guidance and counseling towards the moral development of students of SMP Negeri Wawonii Barat. This research is descriptive qualitative research. The technique used was included the data reduction, data presentation, interview, and documentation. The presentation of the data that were obtained in the study was taken from the quotes of the interviews that were used to maintain the authenticity of the data. Based on the findings of a qualitative descriptive analysis showed the teacher guidance and counseling play a role to build the moral Students as follows: teacher guidance and counseling play a role as a students’ counselor, where the teachers always Call the Students who have problems in the teacher's Guidance and counseling room to be given the process of the counseling, as a teacher consultant Guidance And counseling, the teacher Always discuss with the principal, Class guardian, teacher guidance and counseling play a role as primary prevention agent who interviews the prblem that found, the Guidance and counseling always give the information which the information should be regarded as Important and under the needs of Students which the content of the material is usually taken, teacher guidance and counseling play a role as supervisor who always

(2)

Pendahuluan

Moral merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari tujuan pendidikan dan menjadi perhatian orang di mana saja baik pada masyarakat modern maupun masyarakat tradisional. Miskawaih (2009:

3) menjelaskan bahwa moral adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pertimbangan. Ahmad (2003: 2) menjelaskan pendidikan moral merupakan prioritas utama karena memang tujuan pendidikan itu adalah untuk memuliakan kemanusian manusia dan menjadikannya manusia yang memiliki kepribadian utuh. Selain itu, dalam pendidikan tidak hanya memrioritaskan kemampuan kognitif (intelektual), namun juga afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan).

Mengingat pentingnya pendidikan moral yang telah ada dalam setiap jenjang pendidikan, maka tentu akan ada sebuah proses yang tak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Sehingga dalam praktek pelaksanaan sering kali manusia dijadikan sebagai alat ukur untuk menjadi pelaku langsung dari perkembangan moral dalam pendidikan. Pentingnya pendidikan moral di setiap jenjang pendidikan sangat didukung dalam kurikulum:

1. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

3. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memerhatikan: (a) peningkatan iman dan takwa, (b) peningkatan akhlak mulia (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional: (f) tuntutan dunia kerja (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (h) agama (i) dinamika perkembangan global dan (j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pada dasarnya pendidikan moral yang dilakukan oleh guru hanya berlangsung selama 10 menit sebagai pengantar pelajaran ataupun di akhir jam pelajaran, alasan tersebut sangat mendasari terjadinya komunikasi verbal antara guru dengan siswa terkait dengan aktivitas keseharian siswa.

Kemudian seorang guru bimbingan dan konseling memiliki waktu yang terbatas untuk melakukan konseling pada siswa yang mengalami permasalahan dikarenakan adanya jam tanggungan pelajaran kosong yang diisinya.

Guru bimbingan dan konseling memiliki peran dalam upaya memberikan pembinaan moral pada siswa. Pembinaan guru bimbingan dan konseling dalam proses pendewasaan peserta didik, guna mendukung perkembangan hidup siswa, baik dari sisi pribadi, sosial, agama dan karir yang diberikannya agar kelak siswa tersebut dapat menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang menjunjung tinggi nilai moral. Guru bimbingan dan konseling harus memiliki konsistensi dalam memberikan pembinaan moral, tetapi disisi lain guru pembimbing harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan guru mata pelajaran dalam rangka mengontrol perilaku siswa.

Berdasarkan hasil wawancara pada guru bimbingan dan konseling di SMP Negeri 1 Wawonii Barat diketahui bahwa telah sering terjadi permasalahan perilaku yang dilakukan oleh siswa yang dalam cacatan sekolah dianggap siswa tersebut mengalami kemerosotan moral, di antaranya perilaku yang sering dilakukan yaitu suka mengganggu teman, merokok, minum-minuman keras, tidak menghargai guru, bolos, bahkan sampai mencoba melawan guru, tindakan buruk yang dilakukan siswa tersebut kebanyakan ditemukan pada kelas VIII C. Sardiman (2001: 142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan bimbingan dan konseling, yaitu:

1. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.

2. Organisator, guru sebagai pengelolah kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.

(3)

3. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar–mengajar.

4. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita–citakan.

5. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar–mengajar.

6. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.

7. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar–mengajar.

8. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.

9. Evaluator, guru memunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.

Nurihsan (2016: 74) menjelaskan peran guru bimbingan dan konseling sebagai penyesuaian interaksional kepada siswa yaitu dengan memerhatikan hal–hal sebagai berikut:

1. Perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan maju, serta mampu mengarahkan dirinya untuk mandiri.

2. Sikap positif dan wajar terhadap siswa.

3. Pemahaman siswa secara empati.

4. Perlakuan siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan.

5. Penghargaan terhadap siswa sebagai individu.

6. Penampilan diri secara ikhlas di depan siswa.

Peran yang dimaksud dalam konsep di atas adalah tindakan atau partisipasi dari guru bimbingan dan konseling dalam memberikan informasi, bimbingan, arahan, serta acuan mengenai program peranan guru bimbingan dan konseling dalam membina moral siswa agar menjadi insan yang dapat mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri, sehingga siswa tersebut mampu merencanakan masa depan yang lebih baik.

Surya (2013: 24) menjelaskan tentang peranan guru bimbingan dan konseling di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembejaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family education).

Sementara di masyarakat, guru sebagai pembina masyarakat (sosicial developer), penemu masyarakat (social innovator), dan agen masyarakat (social agent). Nurihsan (2007: 43) menjelaskan unsur-unsur utama yang terdapat di dalam tugas pokok guru bimbingan dan konseling meliputi:

1. Bidang-bidang bimbingan.

2. Jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling.

3. Jenis-jenis kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.

4. Tahapan pelaksanaan program bimbingan dan konseling.

5. Jumlah siswa yang menjadi tanggung jawab guru pembimbing memperoleh pelayanan (minimal 150 orang siswa).

Setiap guru bimbingan dan konseling berkewajiban dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sekurang-kurangnya 150 orang siswa.

Siswa yang berada dalam tanggung jawab guru bimbingan dan konseling itu disebut siswa asuh bagi guru bimbingan dan konseling yang bersangkutan. Tugas pokok guru bimbingan dan konseling perlu dijabarkan terlebih dahulu disusun dalam bentuk satuan-satuan kegiatan yang nantinya akan merupakan wujud nyata pelayanan langsung bimbingan dan konseling terhadap siswa asuhnya.

Selanjutnya program yang telah direncanakan dilaksanakan melalui:

1. Persiapan pelaksanaan

(4)

c. Persiapan personil.

d. Persiapan keterampilan menerapkan/menggunakan metode teknik khusus, media dan alat.

e. Persiapan administrasi.

2. Pelaksanaan kegiatan, sesuai dengan rencana

a. Penerapan metode, teknik khusus, media dan alat.

b. Penyampaian bahan, pemanfaatan sumber bahan.

c. Pengaktifan narasumber.

d. Efisiensi waktu.

e. Administrasi pelaksanaan.

Nurihsan (2006: 43) menjelaskan berdaskan visi dan misi bimbingan serta kebutuhan siswa, maka tujuan umum bimbingan adalah:

1. Memahami, menerima, mengarahkan, dan mengembangkan minat, bakat serta kemampuan siswa seoptimal mungkin.

2. Menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, keluarga, sekolah, dan masyarakat.

3. Merencanakan kehidupan masa depan siswa yang sesuai dengan tuntutan dunia pada saat ini ataupun masa yang akan datang.

Secara khusus, layanan bimbingan dan konseling bertujuan membantu para siswa mencapai tugas-tugas perkembangannya, yaitu:

1. Mengembangkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mengembangkan hubungan sosial yang mantap dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita, yaitu mampu bekerja sama dalam kelompok, menerima teman dari lawan jenis yang berbeda, dan tidak memaksakan kehendak kelompok.

3. Memahami nilai–nilai dan etika bermasyarakat, yaitu sopan santun dalam bergaul, jujur dalam bertindak, dan menghargai perasaan orang lain.

Berdasarkan konsep yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa guru bimbingan dan konseling adalah orang yang memunyai tugas dan tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik. Guru bimbingan dan konseling berbeda dengan guru-guru lainnya perbedaan ini terlihat dari pembelajaran yang diberikan dan juga tanggung jawab pengajarannya. Jika guru bidang studi atau guru mata pelajaran bertanggung jawab terhadap mata pelajaran yang diajarkannya, maka guru bimbingan dan konseling jauh lebih luas dari tenaga pendidik lainnya.

Wardati (2011: 50) menjelaskan bahwa tugas dan tanggung jawab guru bimbingan dan konseling yaitu sebagai direktur pembelajaran, guru hendaknya menumbuhkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar. Untuk itu guru bimbingan dan konseling harus mampu:

1. Mengenal dan memahami setiap siswa baik sebagai individu maupun kelompok.

2. Memberikan berbagai informasi yang di perlukan dalam proses pembelajaran.

3. Memberikan kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan karateristik pribadinya.

4. Membantu setiap siswa dalam mengatasi masalah–masalah yang dihadapinya.

5. Menilai keberhasilan siswa.

Bertens (2004: 3), menjelaskan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Suseno (2002: 3) menjelaskan bahwa moralitas merupakan sistem nilai terhadap bagaimana kita harus hidup secara baik, sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama dan kebudayaan tertentu terhadap bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

(5)

Mulyasa (2007: 43) menjelaskan pembinaan kesiswaan adalah segala kegiatan yang meliputi perencanaan, pengawasan, penilaian, dan pemberian bantuan kepada siswa sebagai insan pribadi, insan pendidikan, insan pembangunan agar siswa tumbuh dan berkembang sebagai manusia seutuhnya dengan tujuan pendidikan nasional berdasarkan pancasila. Zakiah (2007: 13), menjelaskan bahwa pembinaan moral dapat dilakukan dengan cara:

1. Menjadikan Sekolah sebagai lapangan sosial bagi siswa di mana pertumbuhan mental, moral, sosial dan segala aspek kepribadian berjalan dengan baik.

2. Pendidikan agama harus dilaksanakan secara intensif baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

3. Ciptakanlah lingkungan (baik guru, pegawai, buku, peraturan dan peralatan) yang dapat membawa siswa kepada pembinaan mental yang sehat, moral yang tinggi serta pengembangan bakat.

4. Pelajaran–pelajaran di sekolah haruslah mengindahkan peraturan-peraturan moral dan nilai–nilai agama baik dalam teori maupun prakteknya sehingga dapat memelihara moral dan kesehatan mental anak didik.

5. Para guru hendaknya membimbing pergaulan siswa.

6. Sekolah harus dapat memberikan bimbingan dalam pengisian waktu luang, dengan menggerakkan mereka pada aktivitas yang menyenangkan, akan tetapi tidak merusak dan berlawanan dengan ajaran agama.

7. Mengadakan biro penyuluhan bagi siswa yang membutuhkan.

Barnard (Moekijat, 1992: 45) berpendapat bahwa moral adalah ketentuan-ketentuan pribadi yang bisa bersifat umum dan stabil dalam individu yang mencegah, mengawasi atau mengubah keinginan khusus yang langsung tetapi juga tidak stabil dan untuk mendorong mereka yang memiliki kecenderungan-kecenderungan yang stabil itu. Pembinaan moral itu sendiri adalah sebuah proses tindakan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada individu yang bersifat edukasi untuk memperoleh sebuah keadaan di mana individu tersebut mengalami proses perubahan yang lebih baik.

Dari uraian beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan para generasi muda khusunya para siswa. Sebelum siswa dapat berfikir secara logis dan memahami hal–hal yang abstrak serta belum sanggup menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, maka contoh-contoh latihan dan pembiasaan dalam pribadi siswa harus ditanamkan sedini mungkin agar kelak dapat menjadi manusia yang memiliki moral yang baik.

Mangunhardjana, (2003: 14) menjelaskan bahwa dalam melakukan pembinaan tidak terlepas dari program pembinaan. Program pembinaan adalah prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan acara-acara pembinaan yang akan dilaksanakan. Program pembinaan menyangkut sasaran, isi, dan metode yaitu:

1. Sasaran program, yaitu sasaran objektif dari program pembinaan yang terkadang tidak jelas arah dan tujuannya serta tidak dirumuskan secara tegas dan jelas. Hal ini dapat disebabkan pembina tidak tahu kepentingan perumusan sasaran program pembinaan sehingga dia tidak membuat pembina terlalu percaya diri yakin diri sehingga dia tidak merasa perlu untuk membuatnya.

Penyelenggara tidak mampu membedakan antara isi dan sasaran program pembinaan, program pembinaan sudah biasa dijalankan dari tahun ketahun sehingga sudah memiliki tujuan tersendiri dan tidak lagi mempersoalkan siapa yang menjadi sasarannya. Perumusan sasaran program pembinaan yang jelas dan tegas akan memudahkan memberikan arah dan tujuan pembinaan yang jelas. Selain itu dengan tujuan sasaran program pembinaan yang jelas mempermudah dalam menilai berhasil atau tidaknya suatu program pembinaan dilaksanakan.

2. Isi program, isi materi program pembinaan berhubungan dengan sasarannya sehingga dalam melakukan perencanaan mengenai isi program pembinaan harus memerhatikan hal–hal seperti isi yang harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan para peserta, pembinaan dan berhubungan dengan pengetahuan serta pengalaman mereka. Isi tidak harus selalu bersifat teoritis

(6)

pandangan dan pengalaman para peserta dapat dipraktekkan dalam hidup nyata, isi harus disesuaikan dengan daya tangkap para peserta.

Kohlberg (2001: 6) mengemukakan teori perkembangan moral berdasarkan teori Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Sejalan dengan perkembangan moral, Kohlberg menjelaskan bahwa perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan individu, sehingga seharusnya bila perkembangan kecerdasan telah mencapai kematangan, maka perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangan. Tahap-tahap perkembangan moral terdiri dari 3 tingkat, yang masing- masing tingkat terdapat 2 tahap, yaitu:

1. Tingkat pra konvensional (moralitas pra-konvensional)  perilaku anak tunduk pada kendali eksternal: tahap 1: orientasi pada kepatuhan dan hukuman  anak melakukan sesuatu agar memperoleh hadiah (reward) dan tidak mendapat hukuman (punishment). Tahap 2: Relativistik Hedonisme  anak tidak lagi secara mutlak tergantung aturan yang ada. Mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relatif, dan anak lebih berorientasi pada prinsip kesenangan.

2. Tingkat konvensional (moralitas konvensional)  fokusnya terletak pada kebutuhan sosial (konformitas). Tahap1: orientasi mengenai anak yang baik  anak memperlihatkan perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain.Tahap 2: mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas  menyadari kewajiban untuk melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma, artinya untuk dapat hidup secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan yang telah disepakati bersama dan melaksanakannya.

3. Tingkat post-konvensional (moralitas post-konvensional) individu mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang benar secara inheren. Tahap 1: orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan sosialnya  pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan sosialnya, artinya bila seseorang melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan tuntutan norma sosial, maka ia berharap akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat. Tahap 2: prinsip universal  pada tahap ini ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat subjektif. Artinya:

dalam hubungan antara seseorang dengan masyarakat ada unsur–unsur subjektif yang menilai apakah suatu perilaku itu baik atau tidak baik. Di sini dibutuhkan unsur etik/norma etik yang sifatnya universal sebagai sumber untuk menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas.

Zuchdi (2010: 43), menjelaskan Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, perilaku yang baik, jujur, penyayang dan dapat dinyatakan dengan istilah bermoral.

Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami nilai–

nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai–nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen, yaitu pengetahuan terhadap moralitas, pembinaan moral, perasaan kasihan dan memerhatikan kepentingan orang lain, serta tendensi moral.

Dari penjelasan di atas maka tentunya sangat jelas pentingnya melaksanakan pembinaan moral di Sekolah dan pendidikan moral adalah suatu upaya dalam rangka membantu siswa untuk menanamkan nilai–nilai moral atau sopan santun, norma–norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari–hari sehingga terbentuk individu yang otonom, yang memahami nilai–nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak secara konsisten. Pendidikan moral biasanya diberikan dalam lingkungan keluarga yang diajarkan dari orang tua sampai anggota keluarga lainnya. Frankena (2002:

3) menjelaskan, tugas pendidikan moral adalah menyampaikan dan mempertahankan moral sosial, meningkatkan moralitas manusia, menjadi agen pengembang yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir moral secara maksimal. Lebih khusus menegaskan bahwa tujuan pendidikan moral adalah terbentuknya kejujuran dan kebebasan mental spiritual.

Berdasarkan konsep di atas mengenai tugas pendidikan moral dapat disimpulkan siswa diharapkan mampu menjalankan moral yang baik di lingkungan formal, informal dan nonformal dengan menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadi contoh bagi orang banyak sehingga siswa tersebut dapat mengoptimalkan dirinya.

(7)

Syamsuddin (2003:11) menjelaskan bahwa tugas guru bimbingan dan konseling terhadap pembinaan moral siswa adalah:

1. Konservator (pemeliharaan) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan.

2. Inovator (pengembangan) sistem ilmu pengetahuan.

3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik.

4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran siswa.

5. Organisatoris (penyelenggara) terciptanya proses pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral siswa (kepada sasaran siswa, serta Tuhan yang menciptakannya).

Buchori (2007: 12) menjelaskan tujuan pembinaan moral siswa di sekolah adalah membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara efektif dan akhirnya pengalaman nilai secara nyata. Tujuan pembinaan moral pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi prilaku, tradisi, kebiasaan seharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

Wardati & Jauhar (2011: 44) menjelaskan untuk mengembangkan moral siswa di sekolah yaitu dengan menjalankan salah-satu bidang bimbingan yakni bidang bimbingan pribadi. Terdapat beberapa bidang pribadi dalam bimbingan dan konseling, yakni:

1. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangannya untuk kegiatan–kegiatan yang kreatif dan produktif, baik kehidupan sehari–hari maupun untuk peranannya di masa depan.

3. Pemantapan pemahaman tentang bakat dan minat pribadi dan penyaluran dan pengembangannya melalui kegiatan–kegiatan yang kreatif dan produktif .

4. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha–usaha penanggulangannya.

5. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan.

6. Pengembangan kemampuan mengarahkan diri sesuai keputusan yang telah diambilnya.

7. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat, baik secara rohaniah maupun jasmaniah.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Wawonii Barat yang beralamat di Kelurahan Langara Laut, Kecamatan Wawonii Barat, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif untuk menggambarkan peranan guru bimbingan dan konseling terhadap pembinaan moral siswa kelas VIII c SMP Negeri 1 Wawonii Barat tahun pelajaran 2015/2016.

Teknik pengumpulan data dilakukan pada saat penelitian mengunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Wawancara yang dilakukan bersifat terstruktur dengan menggunakan panduan wawancara yang berisi butiran-butiran pertanyaan untuk diajukan kepada informan, hal ini untuk memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian data dan informasi (Ghony dan Almanshur, 2016: 176). Sedangkan teknik dokumentasi yaitu informasi yang disimpan atau didokumentasikan sebagai bahan dokumenter yang berupa surat-surat, buku harian, laporan, pidato dan sebagainya (Bungin, 2013: 154). Teknik dokumentasi ini penulis gunakan untuk mendapatkan gambaran umum sekolah, letak geografis dan sejarah berdirinya SMA Negeri 1 Kulisusu Utara.

Miles dan Huberman (Afrizal, 2016: 174) berpendapat, analisis data kualitatif adalah proses mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu data yang dikumpulkanakan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data hasil wawancara dan dokumentasi dipaparkan secara deskriptif selanjutnya diklasifikasi kemudian

(8)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Upaya guru bimbingan dan konseling terhadap pembinaan moral siswa di SMP Negeri 1 Wawonii Barat terhadap siswa kelas VIII c yang mengalami kemerosotan moral dengan memberikan teguran dalam bentuk nasehat serta dorongan yang sangat memotivasi peserta didik tesebut. Jika tidak berhasil dengan teguran atau dengan cara memberikan dorongan berupa memotivasi maka dapat dipanggil ke ruangan bimbingan dan konseling diwawancarai secara pribadi untuk mengetahui penyebab dari permasalahan yang dialami oleh peserta didik. Guru bimbingan dan konseling juga berkolaborasi dengan kepala sekolah, wali kelas dan guru mata pelajaran.

1. Guru bimbingan dan konseling sebagai konselor

Peran guru bimbingan dan konseling di SMP Negeri 1 Wawonii Barat sudah sangat baik, konselor sekolah memunyai peranan sentral yang berhubungan langsung secara pribadi dengan klien.

Sutirna (2013: 21-24) menjelaskan bahwa fungsi bimbingan dan konseling bersifat perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berpikir yang sehat, rasional, dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.

Konseling merupakan salah satu upaya untuk membantu mengatasi konflik, hambatan, dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan konseli, sekaligus sebagai upaya peningkatan kesehatan mental tujuan konseling secara umum adalah untuk membantu konseli mencapai perkembangan secara optimal dalam batas-batas potensinya. Dalam konseling, konseli merupakan individu yang perlu mendapat perhatian sehubungan dengan masalah yang dihadapinya.

2. Guru bimbingan dan konseling sebagai konsultan

Dalam berkonsultasi wali kelas dan guru mata pelajaran di SMP Negeri 1 Wawonii Barat hanya terfokus pada peranan guru bimbingan dan konseling terhadap pembinaan moral siswa. Sutirna, (2013: 21-24) menjelaskan fungsi bimbingan dan konseling bersifat memfasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli. Sutirna (2013: 69) menyatakan bahwa satu hal yang perlu dilakukan konselor adalah memahami klien/peserta didik/konseli secara mendalam beserta aspek kepribadiannya melalui berbagai assesmen dan menyajikan informasi yang akurat tentang potensi diri dan lingkungan serta peluang yang tersedia. Layanan konsultasi merupakan layanan yang memungkinkan peserta didik atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi atau masalah peserta didik. Pengertian konsultasi dalam program bimbingan dan konseling adalah sebagai sesuatu proses pemberian bantuan teknis untuk konselor, orang tua, administrator dan lainnya dalam mengidentifikasi dan memperbaiki masalah yang membatasi efektifitas peserta didik atau sekolah.

3. Guru bimbingan dan konseling sebagai agen prevensi primer

Dalam pencegahan masalah di SMP Negeri 1 Wawonii Barat sudah dapat teratasi, tetapi untuk di luar masih perlu peningkatan. Kerjasama dengan polisi, Satpol PP dan masyarakat perlu lebih dieratkan. Karena tidak mungkin guru bimbingan dan konseling atau personil sekolah memantau terus kegiatan di luar sekolah atau pada saat pulang sekolah. Mencegah bukan berarti melarang peserta didik melakukan sesuatu. Tetapi menjauhkan peserta didik melakukan hal negatif.

Sutirna, (2013: 21-24) menjelaskan bahwa fungsi bimbingan dan konseling bersifat pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dan fungsi- fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Guru BK dapat memberikan bimbingan kepada peserta didik. Peranan yang ditekankan di sini adalah sebagai agen untuk mencegah perkembangan yang salah dan atau mengulang kembali kesulitan.

4. Guru bimbingan dan konseling sebagai pembimbing

Dalam melaksanakan proses bimbingan di SMP Negeri 1 Wawonii Barat guru bimbingan dan konseling sebagai tugas pokoknya memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami

(9)

permasalahan moral. Jauhar (2011: 113) menjelaskan bahwa ada 4 jenis layanan dalam kegiatan bimbingan:

a. Layanan dasar bimbingan, yaitu bantuan yang dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas yang dilakukan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk mengembangkan potensinya secara maksimal.

b. Layanan responsif, yaitu layanan yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera. Bersifat kuratif dengan menggunakan strategi–strategi bimbingan.

c. Proses pelayanan dalam menjawab kebutuhan siswa diantara, bidang pribadi, bidang sosial, bidang belajar, bidang karir.

d. Layanan perencanaan individual, yaitu layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu individu membuat dan melaksanakan rencana–rencana pendidikan, karir dan sosial pribadinya.

5. Guru bimbingan dan konseling sebagai motivator

Sebagai guru bimbingan dan konseling di SMP Negeri 1 Wawonii Barat selalu memberikan motivasi kepada seluruh siswa. Abu (2011: 54) menjelaskan dalam memberikan motivasi kepada siswa yang mengalami permasalah belajar dan yang tidak mengalami permasalahan belajar, tetapi dalam pemberian motivasi guru bimbingan dan konseling harus lebih mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti:

a. Hasil belajarnya rendah, di bawah rata–rata.

b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukannya.

c. Menunjukkan sikap yang kurang wajar.

d. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini antara lain: 1) Peran guru bimbingan dan konseling di sekolah sebagai, konselor, konsultan, sebagai pembimbing, agen prevensi. 2) Melalui guru bimbingan dan konseling peserta didik di SMP Negeri 1 Wawonii Barat lebih baik dari sebelumnya, di mana guru bimbingan dan konseling berperan dalam memberikan bantuan kepada siswa, dan 3) Untuk meningkatkan efikasi diri peserta didik guru bimbingan dan konseling melakukan kolaborasi dengan seluruh personil sekolah.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang peneliti berikan sebgai berikut:

1. Bagi kepala sekolah diharapkan dapat mendukung pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah.

2. Bagi guru bimbingan dan konseling diharapkan dapat lebih memerhatikan keadaan peserta didik tidak hanya peserta didik yang bermasalah.

3. Bagi guru mata pelajaran diharapkan lebih meningkatkan kolaborasi dengan guru bimbingan dan konseling ketika menemui peserta didik yang mengalami hambatan dalam proses pembelajaran 4. Bagi peserta didik yang merasa mengalami permasalahan untuk tidak ragu menemui guru

bimbingan dan konseling untuk berkonsultasi mengenai permasalahan yang dihadapi.

5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan bisa lebih memerhatikan hubungan kolaborasi antar semua personil sekolah dengan guru bimbingan dan konseling dalam rangka mengembangkan potensi diri peserta didik di sekolah.

Daftar Pustaka

Afrizal. (2016). Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya MendukungPenggunaanPenelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Bertens. (2004). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(10)

Baruth & Robinson. (2011). Peran dan Fungsi Bimbingan dan Konseling. Jakarta Selatan: PT.

Indeks.

Bimo. (2004). Pengertian Bimbingan dan Konseling. Jakarta. Prestasi Pustaka Buchori. (2007). Moral. Jakarta. Mutiara

Bungin, Burhan. (2013). Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Jakarta: Penerbit Kencana.

Frankena. (2002). Pentingya Pendidikan Moral di Sekolah. Jakarta. Prestasi

Ghony & Fauzan Almanshur. (2016). Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Penerbit AR-Ruz Media.

Jauhar & Sulistryarini. (2014). Dasar –Dasar Konseling. Jakarta: Pustakaraya.

Jauhar & Wardati. (2011). Implementasi Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Kohlberg, Lawrance. (2001). Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Bandung: Mutiara.

Latifah, Eva. (2012). Pengantar Psikologi Pendidikan. Yogyakarta. Pedagogia.

Mangunharjana. (2003). Mengembangkan Kreativitas. Yogyakarta: Kansius

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muchson. (2000). Dasar-Dasar Pendidikan Moral (Diktat Perkuliahan). Yogyakarta:FIS-UNY.

Mulyasa. (2007). Bentuk–Bentuk Pembinaan Moral. Jakarta: Mutiara

Nurihsan, Ahmad. (2016). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Nurihsan, Ahmad. (2006). Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Refika Aditama Bandung:

Mutiara.

Suseno, Magnis Franz. (2002). Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: PT. Grasindo.

Syamsuddin. (2003). Peranan Guru Pembimbing Di Sekolah. Jakarta.Rineka Cipta..

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Terhadap Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).

Wardati & Jauhar. (2011). Implementasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustaka

Willis, Sofyan. (2014). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung:Penerbit Alfabeta.

Zakiah. (2007). Pentingnya Menanamkan Pendidikan Moral. Jakarta. Mutiara Zuchdi, Darmiyati. (2010). Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksaira.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ PROFIL KUALITAS PRIBADI GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN MODEL CAVANAGH (Studi Deskriptif Terhadap Guru

Peranan komunikasi antarpribadi guru Bimbingan Konseling (BK) terhadap ketaatan siswa kelas VIII SMPN 19 Bandar Lampung, terlihat dari upaya guru bimbingan dan konseling

a. Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling. Merancanakan program bimbingan dan konseling. Melaksanakan segenap program satuan layanan bimbingan dan

ABSTRAK TINGKAT KESIAPAN MENJALANI PROFESI MENJADI GURU BIMBINGAN DAN KONSELING Studi Deskriptif pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014

Demi tercapainya tujuan program, maka guru bimbingan dan konseling perlu melakukan evalua- si program bimbingan dan konseling. Pada pelak- sanaan evaluasi program

Demi tercapainya tujuan program, maka guru bimbingan dan konseling perlu melakukan evalua- si program bimbingan dan konseling. Pada pelak- sanaan evaluasi program

Peran secara umum adalah kehadiran di dalam menentukan suatu proses keberlangsungan.13 Jadi, peranan guru bimbingan konseling sangat penting untuk membina akhlak siswa di sekolah

Pembuktian Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada pengaruh bimbingan dan konseling terhadap perkembangan moral siswa di sma negeri 1 tanete rilau.” Untuk menguji