• Tidak ada hasil yang ditemukan

USULAN PERBAIKAN FASILITAS PELAYANAN PENUMPANG KERETA API DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI MAKRO PADA STASIUN Z - EPrints Repository UNTIRTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "USULAN PERBAIKAN FASILITAS PELAYANAN PENUMPANG KERETA API DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI MAKRO PADA STASIUN Z - EPrints Repository UNTIRTA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ergonomi

Pengertian ergonomi dalam Internasional Ergonomics Association dijelaskan bahwa istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu ergo (kerja) dan nomos (hukum alam) yang didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara antomi, fisiologi, psikologi, teknik, manajemen, dan desain atau perancangan. Ergonomi berkenaan dengan optimasi, efesiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyaman manusia di tempat kerja, di rumah, dan tempat umum. Di dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja, dan lingkunganya saling berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan manusiannya.

2.1.1 Pengertian Ergonomi

Ergonomi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani. Ergonomi terdiri dari dua suku kata, yaitu : “ergon” yang berarti “Kerja” dan “nomos” yang berarti “hukum” atau “aturan”. Berdasarkan kedua arti kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ergonomi adalah hokum atau aturan tentang kerja atau yang berhubungan dengan kerja.

Menurut pusat depertemen kesehatan kerja depertemen kesehatan RI, pengertian Ergonomi yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitanya dengan pekerjaan mereka. Sasaran ilmu tersebut berkaitan dengan peralatan dan tempat kerja serta lingkungannya. Menurut pusat kesehatan RI upaya ergonomi antara lain adalah penyesuain peralatan dan tempat kerja dengan dimensi tubuh manusia, agar manusia sebagai pelaksanaan tidak mengalami cepat lelah, dapat mengatur suhu ruangan kerja, pengaturan pencahayaan sesuai dengan kebutuhan kondisi dan kebutuhan manusia. Dalam dunia kerja terdapat undang- undang yang megatur tenteng ketenaga kerjaan yaitu Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang ketentuan- ketentuan pokok harga kerja merupakan subyek dan obyek

7

(3)

pembangunan. Sasaran penelitian ergonomi ialah manusia pada saat bekerja dalam lingkungan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi ialah penyesuaian tugas pekerja dengan kondisi tubuh manusia ialah menurunkan strees yang akan dihadapi. Upayanya antara lain berupa menyesuaiankan ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahayan dan kelembaban bertujuan agar sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia (Sukamdani.

2016).

Sementara itu ILO antara lain menyatakan, sebagai ilmu terapan biologi manusia dan hubungannya dengan ilmu teknik bagi pekerja dan lingkungan kerjanya agar mendapatkan kepuasan kerja yang maksimal dan peningkatan produktivitas. Ergonomi sering disebut Human Factor Engineering, menurut Nurmianto (1996) ergonomi adalah suatu ilmu yang mengatur bagaimana manusian bekerja. Ergonomi sebenarnya ergonomi berasal dari kata Yunani yaitu Ergo yang berarti kerja dan Nomos yang berate aturan atau hukum. Ergonomi mempunya berbagai batasan arti, di Indonesia disepakati bahwa ergonomi adalah ilmu serta penerapan yang berusaha menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan tujuan tercapainya produktivitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan manusia seoptimal mungkin. Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari perancangan pekerjaan- pekerjaan yang dilaksanakan oleh manusia, sistem orang dan mesin, peralatan yang dipakai manusia agar dapat dijalankan dengan cara yang paling efektif termasuk alat kerja dan pekerja (Sutalaksana 1979.).

2.1.2 Tujuan Ergonomi

Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (desaign) ataupun rancang ulang (redesaign). Hal ini dapat meliputi perangkat keras seperti perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches), platform, kursi, pegangan alat kerja (workholders), sistem pengendali (controls), alat peraga (displays), jalan/lorong (acces ways), pintu (doors), jendela (windows), dan lain-lain.

Ergonomi juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya: desain suatu sistem kerja untuk

(4)

mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat peraga (visual display unit station) (Nurmianto, 1996).

Menurut Hussen (2017) Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penerapan ilmu ergonomi. Tujuan dari penerapan ergonomi sebagai berikut :

1. Salah satu tujuan dari penerapan ergonomi yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial dan mengkoordinasi kerja secara teapat, guna meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.

3. Menciptakan keseimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomis, dan antropologis dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.

Gambar 1. Penerapan Tujuan Ergonomi (Sumber: Hussen, 2017)

Sedangkan menurut Hadiguna (2008). Tujuan ergonomi adalah menambah efektivitas penggunaan objek fisik dan fasiltas yang digunakan oleh manusia dan merawat atau menambah nilai tertentu, misalnya kesehatan, kenyamanan, dan kepuasan, pada proses penggunaan tersebut. Dan menurut Hussen (2017) menyatakan bahwa tujuan ergonomi adalah untuk meningkatkan performansi.

seluruh sistem kerja dan pada waktu yang sama mengurangi ketegangan pekerja

(5)

selama melaksanakan pekerjaan tersebut dengan cara menganalisa pekerjaan, lingkungan kerja dan interaksi manusia mesin.

2.1.3 Prinsip Ergonomi

Memahami prinsip ergonomi akan mempermudah evaluasi setiap tugas atau pekerjaan meskipun ilmu pengatahuan dalam ergonomi terus mengalami kemajuan dan teknologi yang digunakan dalam pekerjaan tersebut terus berubah. Prinsip ergonomi adalah pedoman dalam menerapkan ergonomi ditempat kerja. Menurut Elfrida (2009) dalam diktat kuliah ergonomi terdapat 11 prinsip ergonomi , yaitu sebagai berikut :

1. Bekerja dalam posisi atau tubuh normal.

2. Mengurangi beban berlebih.

3. Menempatkan peralatan agar selalu berada dalam jangkauan.

4. Bekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh.

5. Mengurangi gerakan berulang dan berlebihan.

6. Minimalisasi gerakan statis.

7. Minimalisasikan titik badan.

8. Mengcakup jarak ruang.

9. Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.

10. Melakukan gerakan, olah raga, dan peregangan saat bekerja.

11. Membuat agar display dan contoh mudah mengerti 2.2 Ergonomi Makro

Ergonomi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu ergonomi mikro dan ergonomi makro. Ergonomi mikro dapat dikatakan sebagai ergonomi dalam lingkup kecil atau ergonomi tradisional. Aktivitas menganalisis postur kerja pekerja, menaksir produktivitas, mendesain alat kerja, dan sebagainya dapat dikategorikan sebagai ergonomi mikro.

Perkembangan keilmuan saat ini melihat bahwa penilaian ergonomi tidak hanya perlu dilakukan dan dianalisis secara mikro saja, tetapi perlu untuk diimplementasikan melalui integrasi pada lingkungan yang lebih besar (organisasi Perusahaan) yang dikenal dengan ergonomi makro. Ergonomi makro lebih kepada

(6)

ergonomi secara luas yang menempatkan sistem produksu sebagai organisasi kerja (Jeronimo, 2016).

2.2.1 Pengertian Ergonomi Makro

Secara umum, Ergonomi makro merupakan suatu pendekatan ergonomi yang berbasis pada perancangan organisasi dalam suatu sistem kerja. Definisi secara konseptualnya yaitu suatu pendekatan sosioteknik dari tingkat atas ke bawah yang diterapkan pada perancangan sistem kerja secara keseluruhan pada berbagai level interaksi ergonomi mikro seperti manusia-pekerjaan, manusia-mesin, dan manusia-perangkat lunak dengan tujuan mengoptimalkan desain sistem kerja dan memastikan sistem kerja tersebut berjalan dengan harmonis. Ergonomi makro berperan dalam mendesain beberapa sosioteknikal sistem dalam kaitannya dengan manusia-organisasi dan teknologi. Ergonomi makro memiliki beberapa kajian, diantaranya dimensi struktural dan model sistem sosioteknik (Widodo dkk, 2006).

Menurut Hussen (2017) Ergonomi makro dapat dimulai pada tingkat organisasi dari atas ke bawah. Ergonomi mikro dan ergonomi makro tidak bertentangan, dalam kenyataannya keduanya saling melengkapi satu sama lain.

Perbandingan antara kedua konsep ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 Perbandingan Antara Ergonomi Mikro dan Ergonomi Makro

Karakteristik Ergonomi Mikro Ergonomi Makro

Unit Kerja Tugas, sub-bab Dvisi Kerja

Tujuan Mengoptimalkan pekerjaan Mengoptimalkan Siste Kerja

Fokus Perincian Peninjauan Secara Luas

Alat Pengukur Umumnya mengukur secara fisik, seperti luas, tenaga, luminasi, desibel, dan waktu

Umumnya, organisasional dan mengukur subjektifitas seperti jumlah orang, rentang kendali, perilaku normal

Sejarah Penelitian 24-47 Tahun 10-12 Tahun

Sejarah Aplikasi 24-47 Tahun 10-12 Tahun

Aplikasi Keahlian Anatomi, psikologis, psikologis peresepsi, teknik idnustri

Organisasi, psikologis organisasi Sumber: Hussen, 2017

(7)

Menurut Hendrick (2002) suatu pendekatan perancangan sistem kerja yang dikaitkan dengan struktur organisasi, interaksi manusia dan organisasi serta aspek motivasi dalam operatoran. Pendekatan ini dikenal dengan Macro Ergonomics.

Dalam sistem industri, pendekatan ini disebut juga dengan Organizatinal Disegn (OD) dan digunakan dalam perancangan struktur organisasi dan hubungan antara komponen struktur tersebut. Dalam paper yang berjudul “Macro Ergonomics : A Conepst Whose Time has Come”, ada 3 urutan generasi pengembangan,yaitu:

1. Generasi Pertama

Ergonomi berkaitan dengan kemampuan fisik, fisiologis, lingkungan, dan karakteristik perceptual dalam merancang dan mengaplikasikan sistem antar manusia dengan mesin. Hal ini meliputi Control, Display, Penyusunan ruang kerja dan lingkungan kerja.

2. Generasi kedua

Pada generasi kedua meningkatkan penekanan pada pengembangan dan aplikasi penggunaan sistem antara teknologi dengan pengguna.

3. Generasi ketiga

Generasi ini ditandai dengan masuknya unsur external yaitu organisasi dan sistem sosioteknik kedalam ergonomi yang menekankan perhatian pada aspek penerapan pengatahuan tentang individu dan organisasi pada perancangan, implementasi dan penggunaan teknologi baru. Generasi ketiga focus pada ergonomi makro, atau keseluruhan organisasi sistem kerja dan berkonsentrasi pada pengembangan dan aplikasi dari teknologi dihubungkan dengan organisasi.

2.3 Ergonomi Mikro

Ergonomi mikro, juga dikenal sebagai ergonomi tradisional, berfokus pada analisis dan perancangan interaksi antara individu dan elemen-elemen spesifik dari sistem kerja, seperti peralatan, alat, dan tugas-tugas yang dilakukan oleh individu.

Pendekatan ini berfokus pada optimasi keamanan, kenyamanan, dan efisiensi individu dalam melaksanakan tugas-tugas mereka (Widodo dkk, 2006).

Contoh penerapan ergonomi mikro adalah desain peralatan kerja yang ergonomis, seperti penyesuaian kursi dan meja yang sesuai dengan postur tubuh

(8)

manusia, desain antarmuka pengguna yang intuitif, dan perancangan alat yang mengurangi risiko cedera (Widodo dkk, 2006).

2.4 Transportasi

Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu obyek dari suatu tempat ke tempat lain agar lebih bermanfaat atau berguna untuk tujuan tertentu. Pengertian sistem transportasi secara operasional yaitu masalah masalah yang berhubungan dengan perpindahan barang dan atau orang dengan memakai energi yang bermanfaat bagi manusia Sedangkan pengertian transportasi kota adalah transportasi yang dilakukan di dalam suatu kota.

Transportasi umum mempunyai permasalahan yang sama dalam hal ini mengenai kebingungan penumpang menentukan rutenya. Dalam sebuah kota besar dengan jaringan transportasi yang rumit, penumpang sering tidak tahu bagaimana cara untuk mencapai tempat tujuan mereka kecuali tempat tersebut sering dikunjungi.

Selain itu, setiap penumpang mungkin ingin merencanakan rute tercepat atau yang paling ekonomis untuk tujuan mereka (Arifianto, 2012).

2.4.1 Pengertian Transportasi

Pengertian transportasi yaitu transpotasi berasal dari kata latin , yaitu transportare, dimana “trans” berarti sebarang atau sebelah lain dan “portare” berarti mengangkut atau membawa barang (sesuatu) kesebelah lain atau suatu tempat ke tempat lainnya. Transportasi ini dapat didefinisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Ahmad munawar mendefinisikan transpotasi sebagai kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari suatu tempat ke tempat lain. Untuk setiap bentuk transportasi terdapat empat unsur pokok transportasi, yaitu : jalan, kendaraan, alat angkut, tenaga penggerak dan terminal. Ahmad munawar menjelaskan dalam bukunya bahwa ada lima unsur pokok dalam sistem transportasi yaitu :

1. Orang yang membutuhkan 2. Barang yang dibutuhkan 3. Kendaraan sebagai alat angkut 4. Jalan sebagai prasarana angkut

(9)

5. Organisasi yaitu pengelola angkutan

Kelima hal diatas, yang dikemukakan oleh Ahmad munawar, sedikit berbeda dengan pendapat Rustian Kamaluddin. Menurut pendapat penulis dalam usaha memperlancar sistem transportasi sebaiknya semua elemen dimasukan dalam unsur pokok sistem transportasi yang terdiri dari :

1. Penumpang/ barang yang akan dipindahkan.

2. Kendaraan/alat angkut sebagai sarana.

3. Jalan sebagai prasarana.

4. Terminal

5. Organisasi sebagai pengelola angkutan

Pengangkutan atau pemindahan penumpang/barang dengan transportasi adalah untuk dapat mencapai tempat yang akan dituju dan menciptakan/menaikan utilitas atau kegunaan dari barang yang diangkut. Utilitas yang dapat diciptakan oleh oleh transportasi atau pengangkutan tersebut, khususnya untuk barang yang diangkut ada dua macam yaitu : (1) utilitas tempat atau place utility, dan (2) utilitas waktu atau time utility.

2.4.1.1 Transportasi Kereta Api

Kereta api merupakan salah sata alat transportasi darat yang ada di berbagai kota- kota Indonesia, Di antara alat transportasi darat lainnya kereta api ini mampu menampung jumlah yang cukup banyak yaitu sekitar 900-1100 penumpang menurut Cahyadhita, dkk, (2013). Di Indonesia kurangan lebih 13 buah stasiun besar kereta api, yang mana baru 2 stasiun kereta api yang telah memenuhi standar pelayanan minimum sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Mentri Perhubungan dan telah di buktikan oleh penelitian terdahulu oleh M. Syamsudin dengan judul Penelitian Aspek Yudiris Pembangunan Peron Tinggi di Stasiun Kereta Api Sebagai Sarana Perlindungan Hukum Konsumen.

Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api bertujuan untuk memberikan hak penumpang sebagai konsumen untuk menerima pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimum. Peneliti tertarik untuk meneliti tentang implementasi

(10)

Peraturan Menteri Perhubungan tersebut di Kereta Api Komuter Sulam karena terdapat beberapa aspek standar pelayanan minimum yang belum terlaksana secara optimal. Fakta ini ditemukan ketika peneliti menggunakan jasa Kereta Api Komuter Sulam. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan, kendalakendala, serta upaya-upaya untuk mengatasi kendala dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Perhubungan tersebut.

2.5 Macroergonomic Analysis And Design (MEAD)

Macroergonomic analysis and design (MEAD) merupakan suatu metode yang berkaitan dengan mendesain, dan mengevaluasi sistem kerja dalam organisasi sehingga menjadi efektif dan efisien (Zulfa, dkk, 2016).

2.5.1 Tahapan- Tahapan Metode Macroergonomic Analysis And Design (MEAD) Tahapan pada metode Macroergonomic Analysis and Design (MEAD) ini terbagi menjadi 10 tahap antara lain :

1. Mendefinisikan subsistem organisasi pada tahap ini, hal yang dilakukan adalah pengamatan pada sistem keseluruhan, subsistem lingkungan, dan organisasi dari sistem tersebut. Untuk menilai varian antara yang telah ditetapkan dan yang dipraktikan, diperlukan identifikasi misi, visi, prinsip, dan kriteria target yang ditetapkan dalam sistem tersebut.

2. Mendefinisikan sistem kerja dan tingkat kinerja. Menetapkan kunci kinerja yang ingin dicapai dan tingkat kinerja yang diinginkan.

3. Mendefinisikan unit operasi dan proses kerja

a. Mengidentifikasi unit-unit kerja yang ada di organisasi

b. Mengidentifikasikan proses kerja yang ada pada unit-unit tersebut dan melakukan analisa kerja untuk mengukur kemungkinan dilakukannya perbaikan-perbaikan serta mengidentifikasi jika terdapat permasalahan dalam koordinasi

4. Mengidentifikasi variansi pada tahap ini dianalisis data yang sudah diperoleh pada langkah-langkah sebelumnya untuk mengidentifikasi kelemahan, penyimpangan ataupun permasalahan lain yang dapat menyebabkan penurunan kinerja sistem kerja ataupun mengidentifikasi

(11)

halhal yang menyebabkan adanya gap antara keinginan pekerja dengan pemilik.

5. Membuat matriks variansi penyimpangan hasil analisa langkah 4 kemudian dibuat matriks variansi, untuk mengidentifikasi apakah penyimpangan yang terjadi saling mempengaruhi dengan penyimpangan yang lain.

6. Analisis peran personal Mengidentifikasi peran personel yang bertanggungjawab pada unit kerja.

7. Penentuan alokasi fungsi dan penggabungan desain Melakukan perbaikan terhadap proses kerja dengan membuat rancangan desain berdasarkan hasil variansi terbesar yang diperoleh dari kebutuhan pemilik dan para pekerja.

Hal ini bertujuan untuk meminimalkan kelemahan dan penyimpanganyang terjadi pada proses penekukan akrlik.

8. Analisis persepsi dan tanggung jawab

a. Mengidentifikasikan skill / pengetahuan yang dibutuhkan personel yang bertanggungjawab pada area terjadi penyimpangan ataupun personel yang diberi tanggungjawab untuk proses perbaikan.

b. Mengidentifikasikan persepsi personel tersebut terhadap tugas, serta apa yang sudah dikerjakannya.

c. Jika terdapat gap antara peran yang dibutuhkan dengan yang menjadi persepsi dari personel tersebut maka dapat dikurangi misalnya dengan menggunakan training dan lain-lain.

9. Merancang ulang sistem dan fasilitas kerja Membuat rancangan ulang faslititas kerja sesuai dengan keinginan dan harapan para pekerja dan pemilik perusahaan.

10. Menerapkan, mengiterasi, dan meningkatkan kinerja Tahap ini mengimplementasi perubahan proses kerja dan sistem kerja serta mengamati peningkatan kinerja yang dihasilkan.

(12)

2.6 Stasiun

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian, stasiun kereta api berfungsi sebagai tempat kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani :

a. naik turun penumpang

b. bongkar muat barang, dan/atau penumpang c. keperluan operasi kereta api

Menurut Sari (2013) Di stasiun kereta api juga dapat dilakukan kegiatan usaha penunjang angkutan kereta api dan penyediaan jasa layanan khusus dengan syarat tidak mengganggu fungsi stasiun. Jasa pelayanan khusus, sebagaimana dimaksud terdiri dari :

a. ruang tunggu penumpang b. bongkar muat barang c. pergudangan

d. parkir kendaraan e. penitipan barang 2.6.1 Kinerja Stasiun

Kinerja stasiun adalah ukuran menyeluruh dari karakteristik operasi layanan yang mempengaruhi penumpang. Kualitas dari kinerja dapat memberikan indikator baik buruknya nilai pelayanan dari fasilitas yang tersedia. Kinerja stasiun yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011 meliputi kinerja dari informasi, loket, ruang tunggu, tempat ibadah, toilet, tempat parkir, fasilitas kemudahan naik/turun penumpang, fasilitas penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas keselamatan dan keamanan. Konsep pengukuran kepuasan menurut Sari (2013) dapat dinyatakan dengan kuisioner yang didasarkan pada dimensi mutu pelayanan yang sifatnya umum, butir-butir tersebut mencerminkan setiap dimensi mutu sebagai berikut.

1. Keberadaan pelayanan (availibility of service) 2. Ketanggapan pelayanan (responsiveness of service) 3. Ketepatan pelayanan (timeliness of service)

4. Profesionalisme pelayanan (profesionalism of service)

(13)

5. Kepuasan keseluruhan dengan jasa (overall satisfaction with service) 6. Kepuasan keseluruhan dengan barang (overall satisfaction with product) Kinerja stasiun yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:

PM 9 Tahun 2011 meliputi kinerja dari:

1. informasi, mencakup visual dan audio. Indikator:

a. Diletakkan di tempat yang strategis Diletakkan di tempat yang mudah dilihat oleh jangkauan penglihatan pengguna jasa.

c. Diletakkan ditempat-tempat sesuai maksud dan tujuannya.

d. Berdasarkan jumlah pintu masuk stasiun dan areal loket penjualan tiket.

e. Jumlah pengeras suara berdasarkan luas atau jumlah ruang tunggu 2. Loket

Indikator: waktu pelayanan, max. 30 detik per penumpang dan informasi ketersediaan tempat duduk untuk kelas bisnis dan eksekutif.

3. Ruang tunggu Indikator: luasan, yaitu minimum 0.6 m2 untuk 1 (satu) orang penumpang

4. Tempat ibadah Indikator: luas ruangan, minimum untuk 4 (empat) orang perempuan dan 4 orang laki-laki.

5. Toilet Indikator: jumlah, untuk pria disediakan 6 toilet ditambah 2 toilet khusus untuk penyandang cacat, begitu pula untuk wanita.

6. Tempat parkir Indikator: luas, disesuaikan dengan lahan yang tersedia dan sirkulasi parkir yang lancar.

7. Fasilitas kemudahan naik/turun penumpang Indikator: aksesibilitas, yaitu dengan penyesuaian tinggi peron dengan tinggi lantai kereta

8. Fasilitas penyandang cacat Indikator: aksesibilitas, yaitu dengan membuat ramp dengan kemiringan maksimum 20%.

9. Fasilitas kesehatan Indikator: kelengkapan alat P3K

10. Fasilitas keselamatan dan keamanan Indikator: kelengkapan peralatan Standar Pelayanan Minimum Stasiun

2.6.2 Fungsi Stasiun

Menurut Intari (2017) Berdasarkan tipologinya, stasiun dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe stasiun diantaranya :

(14)

1. Fungsi stasiun terhadap pemakainya

a. Stasiun penumpang, berfungsi sebagai tempat menaikkan dan menurunkan penumpang dan barang, baik barang milik penumpang maupun barang ekspedisi.

Stasiun barang, berfungsi sebagai tempat bongkar muat barang dan biasanya terletak terpisah dengan stasiun penumpang.

c. Stasiun langsiran, berfungsi untuk menyusun dan mengumpulkan gerbonggerbong yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda.

2. Posisi Stasiun terhadap jaringan jalur kereta:

a. Stasiun terminal, berfungsi sebagai tempat kereta mengawali dan mengakhiri perjalanan.

b. Stasiun persilangan, berfungsi sebagai tempat penumpang dapat melanjutkan perjalanan ke tujuan lain memakai kereta lain.

c. Stasiun antara, berada di antara stasiun terminal.

d. Stasiun lintasan, berfungsi sebagai tempat perhentian kereta api untuk memberi kesempatan lewat bagi kereta lain.

3. Ukuran Stasiun

a. Stasiun kecil, menampung penumpang ± 3.000 orang/hari.

b. Stasiun sedang, menampung penumpang ± 8.000 orang/hari.

c. Stasiun besar, menampung ± 20.000 orang/hari.

4. Posisi rel terhadap permukaan tanah:

a. Rel di permukaan tanah (on ground track), dibangun pada ketinggian rel yang relatif sejajar dengan permukaan tanah.

b. Rel yang dibangun di atas permukaan tanah (elevated track).

c. Rel yang dibangun di bawah tanah (underground track).

5. Posisi bangunan stasiun terhadap rel secara vertikal :

a. Overtrack station, dibangun di atas permukaan rel, penumpang yang akan masuk kereta terlebih dahulu naik ke bangunan stasiun.

b. Underelevated track, penumpang diakumulasikan di bangunan stasiun kemudian terdistribusi ke concourse di atas bangunan stasiun.

(15)

c. At Grade, bangunan dan rel sejajar, posisi masuk ke bangunan stasiun dan ke concourse relatif sama tinggi.

6. Posisi bangunan stasiun terhadap rel secara horizontal.

7. Jangkauan pelayanan penumpang kereta:

a. Stasiun jarak dekat, melayani jarak dekat dalam kota.

Stasiun jarak menengah, melayani jarak sedang di luar kota yang menghubungkan pusat kota dengan wilayah suburban.

c. Stasiun jarak jauh, melayani jarak jauh antar kota, wilayah atau negara.

2.6.3 Kegiatan Stasiun

Menurut Intari (2017) Kegiatan di stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 33 Pasal 9 Tahun 2011 Tentang Jenis, Kelas dan Kegiatan Di Stasiun Kereta Api meliputi:

a. kegiatan pokok

b. kegiatan usaha penunjang dan c. kegiatan jasa pelayanan khusus.

2.6.4 Standar Pelayanan Minimum Stasiun

Menurut Sari (2013) Kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan di stasiun untuk pengguna dalam Guide to Station Planning and Design (2011) mencakup tiga zona, yaitu zona akses (access zone), zona fasilitas (facilities zone) dan zona peron (platform zone).

1. Zona akses Zona ini merupakan pintu masuk stasiun dari berbagai kawasan disekitarnya. Zona ini harus mudah diakses dan tersedia berbagai fasilitas yang berhubungan dengan perpindahan moda. Zona ini adalah zona yang menjadi batas untuk masuk ke area stasiun.

2. Zona fasilitas Zona ini merupakan zona dimana pengguna stasiun bisa menggunakan fasilitas dan pelayanan. Pada zona ini terdapat informasi mengenai perjalanan dan fasilitas umum yang meliputi ruang tunggu, tempat duduk, toilet, restoran, pedagang, ATM, telepon umum dan fasilitas umum lainnya. Zona ini harus mudah menuju pada peron sehingga hanya dikhususkan untuk calon penumpang dan untuk memasukinya harus diatur dengan tiket.

(16)

3. Zona Peron Zona ini adalah zona untuk melakukan akses langsung terhadap kereta, sehingga harus didisain secara aman dan terjaga.

2.7 Informasi (Display)

Display yang baik adalah display yang dapat menyampaikan pesan tertentu sesuai dengan tulisan atau gambar yang dimaksud. Kondisi display pada stasiun kerja PPKA saaat ini kurang baik, warna sinyal redup dan kurang terlihat jelas.

Display yang kurang baik menyebabkan tingkat kesulitan pengguna lebih tinggi terutama pada operator baru atau yang tidak terbiasa menggunakanya. Hal tersebut dapat berdampak terjadinya kesalahan informasi yang kemungkinan dapat menyebabkan kecelakaan atara kereta api, untuk itu perangkat display pada stasiun kerja PPKA perlu dirancang ulang dengan baik agar mempermudah penggunanya (Rismawati, 2013).

2.7.1 Perancangan Display informasi Spoor

Jumlah display yang terdapat di stasiun X adalah 1 buah pada peron 1 dan 1 buah pada peron 2

Gambar 2. Perancangan Display Informasi Spoor

(Sumber: Cahyadhit DKK, 2013)

Dari gambar 2 didapatkan bahwa jumlah display informasi spoor belum mencukupi kebutuhan penumpang mengenai informasi jalur kereta api yang berangkat. Untuk itu diperlukan penambahan jumlah display sebanyak 3 buah pada peron 1 dan 1 buah pada peron 2 (Cahyadhita, dkk, 2013).

2.8 Fasilitas Naik Turun Tangga Kereta Api

Di Indonesia, kondisi fasilitas kemudahan naik/ turun penumpang kereta api di beberapa stasiun besar belum sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 9 Tahun 2011.

(17)

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan fasilitas kemudahan naik/ turun penumpang kereta api, untuk stasiun besar, sedang, maupun kecil, tinggi lantai peron harus sama dengan tinggi lantai kereta api. Penelitian mengenai tinggi lantai peron di beberapa stasiun besar kereta api di Indonesia telah dilakukan oleh M.Syamsudin dengan judul penelitian Aspek Yudiris Pembangunan Peron Tinggi di Stasiun Kereta Api sebagai Sarana Perlindungan Hukum Konsumen. Dari 13 buah stasiun besar kereta api yang ada di Indonesia, hanya 2 buah stasiun yang memiliki tinggi peron sesuai dengan standar (Cahyadhita, dkk, 2013).

Fasilitas kemudahan naik/ turun penumpang di Stasiun X belum sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Lantai kereta api berada 44-60 cm diatas lantai peron. Pihak stasiun menyediakan tangga pembantu untuk memudahkan penumpang naik/ turun kereta api. Namun, jumlah tangga yang tersedia belum mencukupi kebutuhan dan belum adanya petugas tetap yang bertanggungjawab untuk meletakkan tanggatangga tersebut. Sehingga sering sekali penumpang tidak menggunakan tangga untuk naik/ turun dari kereta api. Hal ini menyebabkan penumpang cukup kesulitan dalam memasuki gerbong kereta api dan bahkan terjadi kecelakaan pada saat akan menaiki gerbong kereta api.

Selain itu fasilitas kemudahan naik/turun penumpang dari/ke gerbong KA juga masih dirasakan kurang, masih banyaknya pelanggan terutama anak-anak dan ibu-ibu yang merasakan kesulitan untuk menaiki atau menuruni KA, hal ini disebabkan karena kurang tepatnya peletakan tangga/bancik pada setiap pintu KA, dan kurang sigapnya dari petugas kereta api untuk memindahkan tangga/bancik tersebut. Dimana menurut Marom (2015) untuk fasilitas naik turun gerbong KA (73,31%), dan fasilitas penyandang cacat (61,49%). Keempat kinerja indikator ini sangat belum baik di dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan sesuai sesuai harapan pelanggan.

Fasilitas kemudahan naik turun penumpang pada Stasiun Besar Yogyakarta maupun Stasiun Lempuyangan sudah cukup memadai dengan peron yang ditinggikan 1 meter, disesuaikan dengan tinggi lantai kereta. Panjang peron disesuaikan dengan panjang gerbong kereta yang beroperasi dan lebar disesuaikan dengan perkiraan calon penumpang pada saat jam sibuk. Selain untuk kemudahan,

(18)

peron ini didesain untuk keamanan dan keselamatan calon penumpang. Dengan kondisi ini, 79.5% responden pada Stasiun Besar Yogyakarta dan 84.5% responden pada Stasiun Lempuyangan menyatakan cukup mudah dan nyaman untuk naik dan turun kereta (Marom 2015

(19)

Referensi

Dokumen terkait

geografis dan segmentasi demografis. Target pasar toko mebel samsuri adalah pasar sasaran jangka pendek, pasar sasaran primer dan sasaran sekunder. Dan posisi pasar toko

ANALISIS SWOT PASCA PANDEMI COVID-19 PADA UMKM MIE NYAMAN DI REMBANGAN JEMBER SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Manajemen Oleh : IPUNG