• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Perkawinan

N/A
N/A
Nurfadillah Atp

Academic year: 2024

Membagikan "Perjanjian Perkawinan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

HUKUM KELUARGA & PERIKATAN

“Perjanjian Perkawinan”

Dosen Pengampu : Meilan Lestari,S.H.,M.H.

OLEH :

Nurfadillah A Tamara Putri 2210483

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAMA RIAU

2022

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhana Wa Ta’ala yang telah memberikan Rahmat , Ridho, serta Hidayah-Nya sehingga kita masih diberi Kesehatan sehingga dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “Perjanjian Perkawinan”

Tak lupa pula kita kirimkan Shalawat serta Salam kepada Junjungan sekaligus suri tauladan di kehidupan kita yakni Rasulullah Shallahu ala’ihi wassalam yang telah membawa kita dari alam gelap gulita menuju alam terang benderang sampai saat ini.

Makalah ini berisikan mengenai perjanjian dalam perkawinan. Dalam makalah ini saya peroleh dari referensi seperti Website, Artikel, dan lain-lain. Jadi Apabila terjadi kekurangan atau kesalahan kata, saya sebagai Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Saya menyadari bahwa Makalah ini tentunya masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT. Senantiasa meridhai atas segala usaha kita, aamiin.

Pekanbaru, 12 Desember 2022

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 2

DAFTAR ISI... 3

BAB 1 PENDAHULUAN ... 4

1.1 Latar Belakang ... 4

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Dan Manfaat... 5

BAB II PEMBAHASAN ... 7

2.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan ... 7

2.2 Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan ... 9

2.3 Syarat Perjanjian Perkawinan... 11

2.4 Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan ... 13

2.5 Tata Cara Pembuatan Perjanjian Perkawinan ... 16

BAB III PENUTUP ... 18

3.1 Kesimpulan... 18

3.2 Saran ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita akan menimbulkan akibat lahir maupun batin antara mereka, terhadap masyarakat dan juga hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum, selama maupun sesudah perkawinan berlangsung. Di dalam perkawinan mempunyai pengertian sebagai aqad, yang menghalalkan pergaulan dan membatasi baik hak dan kewajiban.

Perjanjian perkawinan yang masih tabu dimasyarakat umum, kini justru telah menjadi trend dikalangan artis, pejabat, pengusaha, atau orang-orang yang berduit. Mereka umumnya berpandangan bahwa dengan adanya perjanjian perkawinan harta benda masing-masing pasanagan masih tetap aman dan menjadi miliknya. Bahkan mereka tidak rela jika harta bendanya bercampur dengan pasangannya.

Karena biasanya pasangan suami isteri yang bercerai akan meributkan pembagian harta gono gini. Mereka meributkan mana bagian harta mereka masing-masing. Jika ada perjanjian perkawinan, pembagian harta gono gini akan lebih mudah karena dapat dipisahkan mana yang merupakan harta gono gini dan mana yang bukan. Dengan demikian perjanjian perkawinan berfungsi sebagai pengendali masalah pada kemudian hari.

perjanjian perkawinan (prenuptial agreement). Dalam Bulgelijk Weetboek (BW) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur masalah perjanjian perkawinan, namun dalam prakteknya di masyarakat perjanjian antara suami isteri sebelum menikah masih jarang ditemui, apalagi terkait dengan memperjanjikan

(5)

harta benda masing-masing pihak, hal ini sebagian besar masyarakat masih menganggap sebagai sesuatu hal yang tabu dan kurang pantas untuk dibicarakan. Tetapi dengan semakin bertambahnya angka perceraian di Indonesia, keinginan orang untuk membuat perjanjian pra nikah juga berkembang sejalan dengan makin banyaknya orang menyadari bahwa perjanjian perkawinan adalah sebuah komitmen financial. Seringkali tidak hanya calon suami isteri saja yang bertengkar ketika ide perjanjian perkawinan ini dilontarkan, tetapi keluarga besar antara calon kedua mempelai. Karena hal ini masih dianggap materialistis, egois, dan tidak sesuai dengan adat dalam masyarakat.

Memang kalau melihat status hukumnya, perjanjian perkawinan sifat dan hukumnya tidak wajib dan juga tidak diharamkan, artinya perjanjian perkawinan itu sifat dan hukumnya mubah (boleh-boleh saja). Namun dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hubungan antara suami isteri akan terasa aman karena jika suatu saat hubungan mereka ternyata retak bahkan berujung pada perceraian, ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan dan dasar hukum.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Perjanjian Perkawinan?

2. Apa Saja Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan?

3. Apa Saja Syarat Perjanjian Perkawinan?

4. Apa Saja Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan?

5. Baagaimana Tata Cara Pembuatan Perjanjian Perkawinan?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT

1. Untuk Mengetahui Pengertian Perjanjian Perkawinan.

2. Untuk Mengetahui Apa Saja Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan.

3. Untuk Mengetahui Apa Saja Syarat Perjanjian Perkawinan.

4. Untuk Mengetahui Apa Saja Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan.

(6)

5. Untuk Mengetahui Tata Cara Pembuatan Perjanjian Perkawinan.

(7)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN PERJANJIAN PERKAWINAN

Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”

Secara teoritis perjanjian perkawinan bisa dibuat bermacam-macam mulai dari aturan yang tercantum dalam BW, maupun Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian perjanjian atau kontrak tersebut adalah sumber hukum formal, selama kontrak perjanjian tersebut adalah kontrak yang sah atau legal.

Isi yang diatur di dalam perjanjian kawin tergantung pada pihak-pihak calon suami dan calon istri, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi perjanjian kawin, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum.

Dari dampak terhadap pasangan suami istri membuat perjanjian kawin setelah perkawinan yaitu pertama, jika terjadi pemberian hibah atau testamen dari orang tua kepada

(8)

suami atau istri dengan maksud agar tidak dimasukan dalam pencampuran harta bersama selama perkawinan mereka. Kedua, melindungi perekonomian keluarga. Jika bisnis suami atau istri hancur, maka bisnis si istri atau suami tak perlu ikutan jadi korban sehingga masih ada modal untuk membiayai pendidikan anak serta menata ulang kehidupan. Ketiga, sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kerugian lebih besar. Terutama kepada pihak suami atau istri yang bekerja dalam jabatannya sebagai direktur suatu perseroan terbatas yang mempunyai utang kepada pihak bank sehingga apabila terjadi kesalahan atau kelalaian maka hanya harta pribadi suami atau harta pribadi istri dapat ditagih pelunasannya.

Pada mulanya keberadaan perjanjian kawin di Indonesia kurang begitu populer dan mendapat perhatian, karena mengadakan perjanjian kawin mengenai harta antara calon suami istri dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap menyinggung satu sama lainnya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya tidak mustahil suatu kebutuhan yang mutlak yang sekiranya perlu mendapatkan pemikiran sejak awal, sebab perkembangan bidang perkawinan menyimpang dari pola yang ditetapkan sehingga munculnya perkembangan baru akan senantiasa aktual dan kadang menimbulkan polemikyang kemudian mempengaruhi sikap pemikiran untuk menimbang secara untung dan rugi secara materi pada saat memasuki jenjang perkawinan Salah satu yang kemudian menarik perhatian kita adalah mengenai perjanjian kawin yang dibuat setelah dilangsungkan perkawinan.

Perkembangan ini dapat dilihat dari adanya kemungkinan bahwa pelaksanaan pembuatan perjanjian kawin dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan dengan dasar Penetapan Hal ini menimbulkan berbagai persoalan dalam proses pencatatan dalam akta perkawinan maupun dampaknya terhadap pihak ketiga.

(9)

2.2 DASAR HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN 1. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

2. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan sebagai berikut :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Perjanjian kawin yang dilakukan oleh calon suami istri semacam ini biasanya berisi mengenai janji tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Masing masing pihak memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan itu termasuk keuntungan dan kerugian.

3. Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(10)

3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.

4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

4. Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.”

5. Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

2) Perjanjian tersebut dalam ayat

(1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

6. Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

”Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal di indahkan pula segala ketentuan dibawah ini”.

(11)

7. Dalam pasal 29, 47 (1) Kompilasi Hukum Islam

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.”

2.3 SYARAT PERJANJIAN PERKAWINAN

Sebuah perjanjian perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang. Untuk itu perhatian terhdap aspek ini sangat penting agar kekuatan hukum dari perjanjian perkawinan itu bisa dipertanggung jawabkan.

Perjanjian perkawinan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian secara umum disamping secara khusus sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Secara umum syarat sahnya perjanjian ada dua macam yaitu:

1. Mengenai subjeknya, meliputi :

a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum.

b. Kesepakatan (consensus) yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya.

2. Mengenai objeknya

yaitu apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Untuk membuat suatu perjanjian perkawinan harus memenuhi beberapa syarat/ ketentuan sehingga tidak cacat hukum, antara lain:

a. Atas Persetujuan Bersama Mengadakan Perjanjian

(12)

Calon suami isteri yang akan membuat perjanjian perkawinan harus didasarkan persetujuan bersama, dalam arti apa yang menjadi kehendak oleh suami sama dengan apa yang dikehendaki istri. Suatu kesepakatan yang dinyatakan karena paksaan atau karena ditipu adalah tidak sah. Karena, persetujuan itu diberikan dengan cacat kehendak persetujuan yang mengandung cacat kehendak dapat dimintakan pembatalan oleh pengadilan, kehendak para pihak yang diwujudkan 36 dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian.

b. Suami Istri Cakap Membuat Perjanjian

Perjanjian perkawinan harus dibuat oleh orang yang cakap bertindak hukum, karena secara hukum ia akan memikul beban perkerjaan. Kecakapan ini diukur dari calon tersebut telah dewasa dan tidak berada dalam pengampuan. Mengenai kapan seseorang dewasa dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Selanjutnya, dalam pasal 50 Undang-undang Perkawinan, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua berada dalam kekuasaan wali. Untuk melangsungkan perkawinan pasangan yang belum mencapai umur 21 tahun perlu izin orang tua, hal ini berarti anak yang berada dibawah batas tersebut dianggap belum mampu bertindak hukum maka untuk membuat perjanjian perkawinan harus mendapat izin dari orang tua atau wali.

c. Objek Perjanjian Jelas

Maksudnya adalah mengenai isi perjanjian perkawinan. Misalnya apabila dikehendaki percampuran harta pribadi, pemisahan harta dan sebagainya. Objek

(13)

perjanjian perkawinan bisa berupa yang sudah ada ataupun barang yang akan ada dikemudian hari.

d. Tidak Bertentangan dengan Hukum, Agama dan Kesusilaan

Setiap perjanjian yang hendak dibuat oleh pasangan suami isteri isinya tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.

e. Dinyatakan Secara Tertulis dan Disahkan PPN

Syarat yang ini lebih tergolong dalam syarat administrasi meskipun perjanjian telah dibuat namun jika tidak dicatat dan disahkan PPN perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Sama halnya dengan perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama, maka pernikahannya tidak memiliki kekuatan hukum.

2.4 TUJUAN DAN MANFAAT PERJANJIAN PERKAWINAN

Adapun yang menjadi tujuan pasangan suami istri membuat perjanjian perkawinan adalah:

1. Dibuat untuk melindungi

secara hukum terhadap harta benda yang dimiliki oleh suami isteri, baik harta bawaan masing-masing pihak maupun harta bersama.

2. Sebagai pegangan yang mengatur hak dan kewajiban

masing-masing pihak tentang masa depan rumah tangga mereka, baik mengenai pendidikan anak, usaha, tempat tinngal, dan lain-lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, adat istiadat dan kesusilaan.

3. Melindungi anggota keluarga dari ancaman tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Selain dari tujuan tersebut hal penting yang menjadi tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan adalah pemisahan harta ini dilakukan supaya pihak perempuan

(14)

tidak kehilangan haknya untuk membeli properti dan atau tidak kehilangan hak propertinya.

Adapun yang menjadi manfaat perjanjian perkawinan menurut Anna Zubari salah seorang notaris manfaat dari perjanjian perkawinan adalah:

1. Melindungi kekayaan

Dengan adanya perjanjian pranikah dapat memastikan saat pasangan anda menikah dengan anda bukan dikarenakan uang.

2. Melindungi kepentingan

misalnya apabila pasangan anda melakukan poligami akan ada pengaturan untuk menjamin kehidupan semua istrinya dan harta bersama masing-masing perkawinan terpisah. Dengan perjanjian ini dapat memastikan harta bersama anda akan terlindungi tidak tercampur, perjanjian ini dapat memastikan pemisahan harta peninggalan anda baik untuk perkawinan yang pertama, kedua dan ketiga bahkan perkawinan keempat. Masing-masing isteri akan tenang dan hidup terjamin. Jauh dari pertikaiann dan perselisihan antar ahli waris.

3. Membebaskan anda dari kewajiban ikut membayar utang pasangan anda.

Harta bersama tidak hanya mencakup pengertian harta bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan jo. Pasal 121 KUHPerdata, harta bersama juga meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami isteri, baik sebelum perkawinan, setelah perkawinan, bila pasangan anda memiliki beban utang yang tinggi, anda ikut berkewajiban melunasinya. Kemudian apabila anda menikahi pasangan dengan beban utang yang signifikan, dan tidak mau bertanggung jawab atas hutangnya, maka perjanjian ini dapat membantu memastikan bahwa hal ini tidak terjadi.

4. Menjamin kepentingan usaha

(15)

Apabila memiliki usaha bisnis yang dijalankan (baik badan usaha maupun badan hukum)

pasangan berhak menikmati keuntungan bahkan dari usaha bisnis yang dapat dianggap sebagai harta bersama perkawinan yang bila terjadi perceraian kekayaan atas usaha bisnisnya harus dibagi. Termasuk soal keuntungan harta atau bertambahnya harta kekayaan berdua yang timbul dan hasil harta kekayaan masing-masing. Dengan perjanjian ini akan fleksibel mengatur bila terjadi perceraian atau perkawinan berakhir, pasangan bisa melanjutkan berbisnis aatau bermitra dan sebaliknya sesuai yang dibuat.

5. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga

Dalam pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyatakan, harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pada perjanjian pranikah dapat memastikan tidak akan hadiah atau hibah berpindah dan menjamin harta perolehan dari warisan atau hadiah keluarga tetap dalam kekuasaan anda.

6. Menjamin kondisi finansial anda setelah perkawinan putus atau berakhir

Sangat bermanfaat bagi perempuan yang tidak bekerja, dan saat vonis pengadilan menolak tuntutan nafkah dan biaya pendidikan anak yang diajukan seorang ibu yang memegang hak pengasuhan anak dan lebih memilih menetapkan jumlah biaya hidup dan biaya pendidikan berdasarkan pertimbangan keputusan hakim, dalam perjanjian pranikah bisa membicarakan soal ini dengan baik. Misalnya tanggal pengajuan perjanjian pranikah dan meminta ke hakim untuk memerintahkan suami demi menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian ini.

(16)

2.5 TATA CARA PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN

Tata cara pembuatan perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian perkawinan dilakukan atas persetujuan calon suami istri. Suatu perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan bersama dari kedua belah pihak dan tidak ada paksaan dari salah satu pihak, sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat- syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kedua belah pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.

2. Perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis. Perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam bentuk akta notaris maupun akta di bawah tangan, menurut Undang Undang Perkawinan perjanjian perkawinan tidak diwajibkan harus dibuat dengan akta notaris tetapi hanya ditentukan bahwa perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

3. Perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan. Perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam sedangkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) bagi yang bukan beragama Islam.

4. Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan batas- batas hukum, agama, kesusilaan dan ketertiban umum sebagiaman dirumuskan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang Undang Perkawinan dan hal itu sejalan dengan perumusan pengertian perjanjian perkawinan sebagimana diatur dalam Pasal 139 KUHPerdata

(17)

“...asal perjanjian perkawinan tersebut tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum yang harus diindahkan”.

5. Perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah kecuali atas persetujuan bersama suami istri dan tidak merugikan pihak ketiga. Dalam Undang-Undang Perkawinan dirumuskan bahwa, pada prinsipnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah, meskipun dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan ayat (4) ditentukan bahwa perjanjian perkawinan tersebut dapat diubah, jika ada persetujuan kedua belah pihak yakni persetujuan suami isteri dengan catatan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga, yang dikhawatirkan adanya perubahan dalam harta kekayaan suami isteri yang nantinya akan merugikan kepentingan pihak ketiga.

6. Perjanjian perkawinan dapat dicabut atas persetujuan suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pencatat Perkawinan tempat perkawinan dilangsungkan dan pendaftaran tersebut diumumkan oleh suami istri dalam surat kabar setempat dan apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

(18)

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN

Perkawinan merupakan salah satu perikatan suci yang mana perikatan tersebut dilandasi dengan ikatan lahir batin, dalam Undang-Undang Perkawinan ikatan lahir batin tersebut dilakukan oleh laki-laki dan wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang berlandaskan oleh Ketuhanan Yang Maha Esa. Terjadinya ikatan perkawinan selama masa perkawinan dapat menimbulkan harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, yang disebut harta gono gini. Dalam mempertahankan dan melindungi harta yang diperoleh pada masa perkawinan sehingga tidak menjadi harta bersama, suami istri dapat melakukan perjanjian kawin sebelum perkawinan berlangsung sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang Perkawinan agar terjadi pemisahan harta pada masa perkawinan, namun dengan adanya perjanjian kawin tidak hanya dibuat sebelum masa perkawinan tetapi juga dapat dibuat pada masa perkawinan. Sehingga akibat adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdampak merugikan bagi pihak ketiga yang telah terikat perjanjian dengan suami istri tersebut.

Dibuatnya perjanjian perkawinan di antara suami dan istri, berarti dikehendaki status atau kedudukan harta dari ketentuan undang-undang. Status harta benda perkawinan harus dilihat dari substansi perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri, sehingga status harta benda perkawinan harus dilihat secara kasuistis. Apabila terdapat perjanjian perkawinan dalam sebuah perkawinan, maka status harta benda dalam perkawinan tunduk pada perjanjian perkawinan yang dibuat, dengan memperhatikan saat pembuatan dan waktu mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

(19)

3.2 SARAN

1. Menghimbau masyarakat yang menginginkan untuk membuat perjanjian kawin pada masa perkawinan diharapkan untuk tidak memanfaatkan celah dari peraturan yang ada, yaitu menjadikan dasar itikad baik dalam pembuatan perjanjian kawin, sehingga perjanjian kawin yang dibuat tidak merugikan semua pihak yang terikat dalam perjanjian di kemudian hari.

2. Perlunya merincikan aset yang dimiliki selama perkawinan agar pembagian harta perkawinan dapat secara jelas dan yang terpenting kesepakatan para pihak, agar di kemudian hari tidak ada pihak yang dirugikan.

3. Sebaiknya para pihak yang hendak membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung mengatur waktu mulai berlakunya perjanjian perkawinan, yakni sejak perjanjian tersebut dibuat, sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku surut.

4. Sebaiknya para pihak membuat perjanjian perkawinan di hadapan notaris agar para pihak dapat mendapatkan penyuluhan hukum tentang kondisi terbaik bagi harta kekayaan mereka.

5. Sebagai pihak yang berwenang untuk mengesahkan perjanjian perkawinan, sebaiknya pegawai pencatat perkawinan dan notaris memberikan penyuluhan hukum supaya perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal perjanjian perkawinan tersebut dibuat, sehingga perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku surut. Kiranya pegawai pencatat perkawinan dan notaris juga dapat memastikan bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan, serta tidak merugikan pihak ketiga.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Yudistira Adipratama. “Perjanjian Perkawinan; dasar hukum, fungsi, materi yang diatur dan waktu pembuatan”. https://kcaselawyer.com/seputar-perjanjian-perkawinan-dasar- hukum-fungsi-materi-yang-diatur-dan-waktu-

pembuatan/#:~:text=Dalam%20Pasal%2029%20UU%20Perkawinan,disahkan%20oleh%20p egawai%20pencatat%20perkawinan. (Diakses pada 12 Desember 2022).

Herwin Sulistyowati. “Tinjauan Tentang Perjanjian Perkawinan Dalam Pandangan

Hukum Nasional Dan Budaya Masyarakat”.

https://media.neliti.com/media/publications/220779-tinjauan-tentang-perjanjian-perkawinan- d.pdf (Diakses pada 12 Desember 2022).

Indra Pratama. 2017. “Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Kitab Undang- Undang

Hukum Perdata Dan Hukum Islam”. http://repositori.uin-

alauddin.ac.id/4344/1/Indra%20Pratama.pdf (Diakses pada 121 Desember 2022).

Referensi

Dokumen terkait

Berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perubahan terhadap

Untuk sahnya sebuah perjanjian perkawinan, maka perjanjian perkawinan tersebut harus didaftarkan dan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, hal ini sesuai dengan ketentuan

mengenai waktu dibuatnya perjanjian perrkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, membuat beberapa pihak yang tidak beriktikad baik untuk menyalahi aturan-aturan dalam

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengenai perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa mulai saat perkawinan

Akibat hukum yang timbul dari pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yaitu : terhadap pihak yang membuatnya, dimana perjanjian perkawinan berlaku mengikat secara hukum

Akibat hukum yang timbul dari pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yaitu : terhadap pihak yang membuatnya, dimana perjanjian perkawinan berlaku mengikat secara hukum

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, berakibat hukum bahwa perjanjian perkawinan tidak lagi bermakna perjanjian yang dibuat sebelum atau saat berlangsungnya perkawinan,