I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris dengan perkebunan yang sangat luas. Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan perkebunan di Indonesia dan menjadi komoditas primadona karena kelapa sawit juga menjadi penyumbang perekonomian terbesar di Indonesia. Hasil olahan kelapa sawit adalah minyak kelapa sawit atau yang disebut juga CPO (Crude Palm Oil). Minyak kelapa sawit memiliki banyak manfaat dalam industri seperti industri makanan, farmasi, dan industri kosmetik. Limbah dari kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai industri mebel, aleokimia, hingga pakan ternak. Dengan mengestrak buah segar kelapa sawit tersebut dan akan menghasilkan miny ak. (Jurnal Riset Perkebunan JRP, 2020)
Berawal dari empat benih kelapa sawit yang diintroduksi pada tahun 1848, industri kelapa sawit Indonesia terus berkembang hingga menjadi penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Saat ini luasan perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 10,95 juta ha dan produksi CPO (Crude palm oil) sebesar 29,5 juta ton (Ditjenbun, 2014). Dari sisi produktivitas, tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang paling produktif dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, Dengan rerata produksi minyak antara 4-5 ton/ha pada skala komersial, tingkat produksi minyak kelapa sawit melebihi kemampuan produksi minyak dua tanaman utama penghasil minyak nabati lainnya, yakni rapeseed (2 ton/ha) dan kedelai (0.5 ton/ha) (Zimmer, 2010). Produktivitas kelapa sawit diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan penerapan best management practices, dan diharapkan dapat mencapai potensi produksi sekitar 8-10 ton CPO/ha/tahun, sebagaimana yang diperoleh dari hasil-hasil pengujian projeni.
Serangan hama O. rhinoceros dapat menurunkan produksi tandan buah segar sampai 60% pada tahun pertama dan juga mematikan tanaman muda hingga 25%
sehingga perlu dilakukan langkah pengendalian hama O. rhinoceros. Menurut PPKS (2005), pengendalian hama O. rhinoceros yang baik dapat meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman itu sendiri. Pada umumnya pengendalian hama
ini dilakukan dengan pengutipan larva dan aplikasi insektisida yang baik di lapangan. Sangat penting dilakukan pengamatan intensitas serangan hama kumbang tanduk pada pertanaman kelapa sawit untuk mengantisipasi penyebaran serangan serta dapat dilakukaan pengendalin secara tepat sesuai dengan tingkat serangan.
Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam pengendalian hama kumbang taduk (O. Rhinoceros), yaitu: Pengumpulan O. rhinoceros secara langsung dari lubang gerekan pada kelapa sawit dengan menggunakan alat kait berupa kawat.
Tindakan ini dilakukan setiap tiga bulan bila populasi 3-5 ekor/ha, tiap 2 minggu jika populasi 5-10 ekor, dan setiap minggu pada populasi O. Rhinoceros lebih dari 10 ekor. Pemerangkapan O. Rhinoceros menggunakan perangkap feromon dengan kandungan (Etil-4 metil oktanoate) yang digantugkan dengan ember plastk kapasitas 12 liter. Menggunakan kimiawi, yaitu dengan menaburkan insektisida butiran karbosulfan sebanyak 0,05-0,10 g bahan aktif/pohon setiap 1-2 mingu.
Penghancuran tempat peletakan telur dan dilanjutkan dengan pengumpulan larva untuk dibunuh apabila jumlahnya masih terbatas. Larva O. Rhinoceros pada mulsa tandan kosong kelapa sawit diareal tanaman menghasilkan dapat dikendalikan dengan jamur Metharizium anisopliae sebanyak 20 g/m2 (Prawirosukarto, et al, 2003)
Jamur M. anisopliae merupakan jamur entomopatogen yang bersifat toksik terhadap hama kumbang tanduk. Jamur M. anisopliae dapat digunakan sebagai agensia hayati yang ramah lingkungan dalam pengendalian hama. M. anisopliae merupakan jamur yang menginfeksi semua tahap perkembangan hidup kumbang badak. Spora M. anisopliae akan menembus kulit, dan didalam tubuh kumbang miseliumnya akan berkembang. Dan M. anisopliae akan berspora diluar tubuh kumbang badak. M. anisopliae efektif untuk mengontrol larva kumbang dibawah tumpukan jangkos (janjangan kosong), simpukan, tunggul, dan kayu. M. anisopliae disemprotkan menggunakan alat power spraying jika dalam bentuk cairan dan disebarkan diatas tumpukan jangkos, simpukan, tunggul, dan kayu jika dalam bentuk padatan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Jumlah larva instar III yang terinfeksi pada perlakuan jamur M. anisopliae pada dosis tertentu.
2. Jumlah mortalitas larva instar III terhadap perlakuan jamur M. anisopliae pada dosis tertentu.
3. Bagaimana Evektifitas penggunaan jamur M. anisopliae pada dosis tertentu dalam menginfeksi larva Kumbang Tanduk Instar III di PT. Mustika Sembuluh.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jumlah larva instar III yang terinfeksi pada parlakuan jamur entomopatogen M. anisopliae pada dosis tertentu.
2. Mengetahui jumlah mortalitas larva instar III terhadap perlakuan jamur entomopatogen M. anisopliae pada dosis tertentu.
3. Mengetahui tingkat Efektivitas Penggunaanjamur entomopatogen M.
anisopliae dalam menginfeksi Larva Kumbang Tanduk Instar III pada dosis tertentu.
1.4. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat perbedaan tingkat infeksi larva instar III terhadap perlakuan jamur M. anisopliae pada dosis tertentu.
2. Terdapat perbedaan tingkat mortalitas larva instar III terhadap perlakuan jamur M. anisopliae pada dosis tertentu.
3. Terdapat perbedaan efektivitas penggunaan jamur M. anisopliae pada dosis tertentu dalam menginfeksi larva Kumbang Tanduk Instar III.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian adalah sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca dan penulis. Dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam menggunakan jamur M. anisopliae sebagai jamur entomopatogen dalam mengendalikan hama Kumbang Tanduk
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit
Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut;
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Viridiplantaae Divisi : Tracheophyta Sub Divisi : Spermatophytina
Ordo : Arecales
Kelas : Magnoliopsida Genus : Elaeis Jacq
Famili : Arecaceae
Spesies : Elaeis guineensis Jacq 2.2. Morfologi Kelapa Sawit
Kelapa sawit memiliki tipe perakaran yang dangkal atau disebut juga serabut, sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan. Adapun penyebab tanaman mengalami kekeringan diantaranya transpirasi tinggi dan diikuti dengan ketersediaan air tanah yang terbatas saat musim kemarau
Batang pada kelapa sawit memiliki ciri yaitu tidak memiliki kambium dan umumnya tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah pafe muda terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia. Batang tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai struktur pendukung tajuk (daun, bunga, dan buah). Kemudian fungsi lainnya adalah sebagai sistem pembuluh yang mengangkut unsur hara dan makanan bagi tanaman. Tinggi tanaman biasanya bertambah secara optimal sekitar 35-75 cm/tahun sesuai dengan keadaan lingkungan jika mendukung.
Umur ekonomis tanaman sangat dipengaruhi oleh pertambahan tinggi batang/tahun. Semakin rendah pertambahan tinggi batang, semakin panjang umur ekonomis tanaman kelapa sawit
Daun merupakan pusat produksi energi dan bahan makanan bagi tanaman.Bentuk daun, jumlah daun dan susunannya sangat berpengaruhi terhadap
tangkap sinar mantahari. Pada daun tanaman kelapa sawit memiliki ciri yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun- daun kelapa sawit disanggah oleh pelepah yang panjangnya kurang lebih 9 meter.
Jumlah anak daun di setiap pelepah sekitar 250-300 helai sesuai dengan jenis tanaman kelapa sawit.
Tanaman kelapa sawit akan mulai berbunga pada umur sekitar 12-14 bulan.
Bunga tanaman kelapa sawit termasuk monocious yang berarti bunga jantan dan betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada tandan yang sama. Tanaman kelapa sawit dapat menyerbuk silang ataupun menyerbuk sendiri karena memiliki daun jantan dan betina. Biasanya bunganya muncul dari ketiak daun.Setiap ketiak daun hanya menghasilkan satu infloresen (bunga majemuk). Biasanya, beberapa bakal infloresen melakukan gugur pada fase-fase awal perkembangannya sehinga pada individu tanaman terlihat beberapa ketiak daun tidak menghasilkan infloresen Buah kelapa sawit termasuk buah batu dengan ciri yang terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian luar (epicarpium) disebut kulit luar, lapisan tengah (mesocarpium) atau disebut daging buah, mengandung minyak kelapa sawit yang disebut Crude Palm Oil (CPO), dan lapisan dalam (endocarpium) disebut inti, mengandung minyak inti yang disebut PKO atau Palm Kernel Oil. Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang cukup besar, yaitu mencapai 60% dari produksi minyak.Tempurung kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai arang aktif. Arang aktif dapat dibuat dengan melalui proses karbonisasi pada suhu 550oC selama kurang lebih tiga jam. Karakteristik arang aktif yang dihasilkan melalui proses tersebut memenuhi SII, kecuali kadar abu. Tingkat keaktifan arang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari daya serap iodnya sebesar 28.9%
2.3. Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros)
Kumbang tanduk (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama utama yang menyerang tanaman kelapa sawit di indonesia, khususnya di areal peremajaan kelapa sawit. O. rhinoceros menggerek pucuk atau titik tumbuh kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan rusaknya titik tumbuh sehinggga mematikan tanaman (Lukmana M dan Alamudi F, 2017). Menurut (Apriyaldi,
2015) serangan hama kumbang tanduk di PTPN V Sei Galuh dapat menurunkan produksi tandan buah segar hingga 69% pada tahun pertama. Dengan potensi kematian mencapai hingga 20% dari luas lahan. TBM 2 dan TBM 3 adalah areal dimana serangan ini terjadi, sehingga perlu dilakukan pengendalian secara intensif.
Gambar 1. Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros)
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/01/30/potret-kumbang-tanduk-ikon-museum- serangga
Kumbang tanduk merupakan hama utama pada tanaman kelapa sawit. Jika jangkos (janjangan kosong) dan tumpukan mulsa EFB tidak diaplikasikan dengan baik dan benar maka dapat meningkatkan populasi kumbang tanduk. Serangan kumbang tanduk yang berat dan sudah lama dapat menyebabkan terhambatnya proses TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) memasuki masa TM (Tanaman Menghasilkan) dan dapat meningkatkan kehilangan hasil. O. rhinoceros bertelur pada baha-bahan organic seperti di tempat sampah, daun-daunan yang telah membusuk, pupuk kendang, batang kelapa, kompos, dan lain-lain. Siklus hidup kumbang antara 4-9 bulan, namun pada umumnya 4,7 bulan. Jumlah telurnya 30- 70 butir atau lebih, dan menetas setelah lebih kurang 12 hari. Telur berwarna putih, mula-mula bentuknya jorong, kemudian berubah agak membulat. Telur yang baru diletakkan panjangnya 3 mm dan lebar 2 mm (Vandaveer, 2004).
Siklus hidup kumbang tanduk terdiri dari fase telur terjadi selama 8-12 hari.
Hal ini sesuai dengan tulisan Susanto dkk (2011) yang menyatakan bahwa telur O.
rhinoceros mempunyai telur yang berwarna putih kekuningan dengan diameter 3 mm. bentuk telur biasanya oval kemudian membengkak sekitar satu minggu setelah peletakkan dan menetas pada umur 8-12 hari.
Fase instar I terjadi selama 10-21 hari, dengan ciri-ciri ukuran larva yaitu Panjang 0,4-0,7 cm, lebar 0,2-0,4 cm, kepala 0,3-0,4 cm, warna integument larva masih bening sehingga bagian dalam larva terlihat jelas, kemudian spirakel masih sangat kecil/halus dan bentuk spirakel tidak bulat dan masih tertutupi lekukan abdomen, toraks berwarna merah kecoklatan.
Even (2018) menyatakan fase instar II terjadi selama 12-21 hari dengan ciri- ciri ukuran larva Panjang 3-6 cm, lebar 0,6-1,5 cm, kepala 0,6-0,8 cm, warna integument masih bening seperti instar I, kemudian spirakel sudah tampak sangat jelas pada sisi larva dengan bentuk bulat dan berwarna kecoklatan dan tumbuh bulu- bulu halus berwarna merah pada integument larva dan torak berwarna coklat terang.
Hal ini sesuai dengan tulisan Bedford (2013) yang menyatakan bahwa larva berukuran panjang 3–6 cm, lebar 0,6–1,5 cm, dan kepala 0,6–0,8 cm, berwarna agak kekuningan, bagian ekor agak gelap
Even (2018) menjelaskan bahwa fase instar III terjadi selama 60-165 hari atau bisa dikatakan masa usia larva secara keseluruhan adalah berkisar antara 80-200 hari. Dengan ciri-ciri ukuran larva mencapai 5-8 cm, lebar 1,5-2,0 cm, kepala 1,1- 1,3 cm, berwarna putih kekuningan, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung berbentuk setengah lingkaran seperti huruf C. kepala keras dilengkapi dengan rahang yang keras. Tengkorak coklat gelap dan spirakel.
Pupa berada di dalam tanah, berwarna coklat kekuningan berada dalam kokon yang dibuat dari baha-bahan organic di sekitar temapt hidupnya. Pupa jantan berukuran sekitar 3-5 cm, yang betina agak pendek. Masa prepupa 8-13 hari. Masa kepompong berlangsung antara 18-23 hari. Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal ditempatnya antara 5-20 hari, kemudian terbang keluar (Prawirosukarto, 2003). Stadia pupa kumbang terdiri atas dua fase, yaitu fase pertama 8-13 hari merupakan perubahan bentuk dari larva ke pupa. Fase kedua 17- 28 hari yang merupakan perubahan bentuk dari pupa menjadi imago, dan masih berdiam dalam kokon (Even, 2018).
Imago berwarna hitam, ukuran tubuh 35-45 mm, sedangkan menurut Mohan (2006), imago Oryctes rhinoceros mempunyai Panjang 30-57 mm dan lebar 14-21 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. O. rhinoceros betina mempunyai bulu tebal pada ujung abdomennya, sedangkan yang jantan tidak berbelu. O.
rhinoceros dapat terbang sampai sejauh 9 km. imago aktif pada malam hari untuk mencari makanan dan mencari pasangan untuk berkembangbiak (Prawirosukarto dkk., 2003).
Gambar 2. Siklus Hidup Kumbang Tanduk
http://herrysoenarko.blogspot.com/2014/04/kumbang-tanduk-oryctes-rhinoceros.html?m=1
Ketersediaan tempat perkembangbiakan (Breeding site) seperti tumpukan sampah organik atau serasah daun, pupuk organik, tumpukan janjangan kosong kelapa sawit, batang kayu yang telah terdekomposisi adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan populasi kumbang tanduk. (Bedford, 2013b). Dalam tulisan Even (2018) Yustina et al (2011) menjelaskan bahwa faktor lingkangan yang mempengaruhi tingakt penyebaran O. rhinoceros yaitu suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Suhu berpengaruh terhadap penyebaran larva O. rhinoceros, pada umumnya kisaran suhu yang paling efektif 15-250C. kelembaban udara dan kecepatan angin sangat mempengaruhi kehadiran kumbang O. rhinoceros pada areal perkebunan kelapa sawit. Kelembaban udara yang mendukung penyebaran populasi kumbang O. rhinoceros yaitu 70-80%. Untuk kecepatan arah angin
ditentukan dengan naungan sekitar tajuk tanaman. Semakin tinggi tajuk tanaman maka kecepatan angin lebih rendah sehingga mengundang kehadiran kumbang tanduk.
2.4. Gejala Serangan Hama Kumbang Tanduk pada Tanaman Kelapa Sawit
Gambar 3. Gejala Serangan Hama Kumbang Tanduk
(Sumber:https://pkt-group.com/sawitnotif/waspada-serangan-hama-kumbang-tanduk- oryctes-rhinoceros-pada-kelapa-sawit-anda/)
Gejala serangan kumbang tanduk pada tanaman kelapa sawit dapat dilihat adanya lubang gerekan pada pangkal pelepah hingga sampai titik tumbuhnya, pelepah terpotong tidak beraturan dengan bentuk seperti kipas pada pelepah muda yang baru terbuka, dan daun yang mengecil pada pokok yang baru pulih dari serangan berat. Serangan yang disebabkan oleh kumbang tanduk menyebabkan kerusakan pada pucuk (Spear) yang berlubang pada dasar pucuk. Secara umum, serangan yang masih baru terlihat pada serat-serat sekitar lubang akibat dimakan oleh kumbang tanduk. Kerusakan serius dapat menyebabkan pucuk menjadi busuk (Spear rot). Kerusakan serius ini menyebabkan pertumbuhan daun yang baru menjadi terhambat, dan ruasnya memendek seperti terpotong. Kumbang tanduk menyerang tanaman kelapa sawit yang ditanam dilapangan sampai umur 2,5 tahun dengan merusak titik tumbuh sehingga terjadi kerusakan pada daun muda.
Kumbang tanduk pada umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda dan dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama menhasilkan
hingga 69%, bahkan menyebabkan tanaman muda mati mencapai 25% (Siahaan dan Syahnen, 2014).
Serangan kumbang tanduk terkategori menjadi 5 yaitu, kategori A dengan kriteria tidak adanya gejala yang terlihat, kategori B dengan kriteria serangan ringan dimana hanya terdapat 1 atau 2 pelepah yang rusak dan tidak adanya serangan pada pucuk, kategori C dengan kriteria serangan menengah dimana terdapat 2 sampai 4 pelepah yang rusak diserang dan tidak adanya serangan pada pucuk, kategori D dengan kriteria serangan berat dimana lebih dari 4 pelepah yang diserang dan membuat pucuk memendek membentuk seperti kipas angin atau mati, terakhir adalah kategori E dengan kriteria mati atau tidak berkembang dimana pokok sawit yang terserang berat tanpa adanya pucuk baru sama sekali dan banyak pokok sawit pada tingkat serangan ini akan mati. Ambang batas ekonomi kumbang tanduk adalah sebesar 5 %, sehingga serangan pada kategori C, D, E sebaiknya diberikan perlakuan kimia. Kumbang tanduk menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda maupun yang sudah dewasa. Satu serangan kemungkinan bertambah serangan berikutnya. Kumbang dewasa terbang ke pucuk pada malam hari, dan mulai bergerak ke bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah bagian atas pucuk. Biasanya ketiak pelepah ketiga, keempat, kelima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling disukai. Setelah kumbang menggerek ke dalam batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun muda yang sedang berkembang.
Kerusakam pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga “V”. Bentuk guntingan ini merupakan ciri khas serangan Oryctes.
2.5. Pengendalian Hayati dengan Jamur Metarhizium anisopliae
Metarhizium anisopliae adalah jamur yang dikelompokkan ke dalam divisio Amastigomycotina. Jamur ini merupakan jamur tanah bila dalam keadaan saprofit terapi memiliki kemampuan sebagai patogen pada beberapa ordo serangga seperti Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, Hemoptera, Hemiptera, dan Isoptera sebanyak 204 isolat M. anisopliae berhasil diisolasi dari tanah. Suhu optimum pertumbuhan jamur ini adalah 250C. kisaran pH untuk pertumbuhan jamur ini
adalah antara 3,3-8,5 (Tanada dan Kaya, 1993). Hal tersebut sesaui dengan tulisan Prayogo et al (2005) yang menjelaskan bahwa M. anisopliae merupakan jamur entomopatogen yang tergolong kedalam devisi Deuteromycotina: Hyphomycetes.
Jamur M. anisopliae sudah lama digunakan sebagai agens hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga. Diantaranya ordo Lepidoptera, Hemoptera, Hemiptera, Isoptera, dan Coleoptera. M. anisopliae juga disebut sebagai green muscardine fungus. Pernyataan Tanaya dan Kaya (1993) juga sesuai dengan tulisan Dewi (2018) yang menjelaskan bahwa suhu optimum pertumbuhan jamur M.
anisopliae adalah 25oC. kisaran pH untuk pertumbuhan jamur ini adalah 3,3 – 8,5.
M. anisopliae merupakan jamur yang pertama kali digunakan untuk pengendalian hama kumbang tanduk sejak 85 tahun yang lalu, dan diikuti oleh beberapa negara yang memiliki lahan pertanaman kelapa maupun kelapa sawit termasuk Indonesia.
Menurut (Bischoff et, al, 2009 dalam Dewi, 2018), klasifikasi jamur. M.
Anisopliae adalah sebagai berikut:
Kingdom : Eumycota Filum : Ascomycota Kelas : Sardariomycetes Ordo : Hypoccreales Family : Clavicipitaceae Genus : Metarhizium
Spesies : Metarhizium anisopliae.
Jamur M. anisopliae merupakan jamur Entomopatogen yang bersifat toksik terhadap hama kumbang tanduk. Jamur M. anisopliae dapat digunakan sebagai agensia hayati yang ramah lingkungan dalam pengendalian hama. Jamur M.
anisopliae memiliki aktifitas larvisidal karena menghasilkan cyclopeptide, destruxin A, B, C, D, E dan desmethyldestruxin B. Destruxin sebagai bahan insektisida generasi baru yang berefek pada organella sel target seperti mitokondria, membran nucleus dan retikulum endoplasma. Destruxin ini menyebabkan paralisa sel dan kelainan fungsi lambung tengah, tubulus malphigi, hemocyt dan jaringan otot. (Widiyanti dan Muyadihardja, 2004).
Ciri-ciri M. anisopliae adalah memiliki miselium jamur bersekat, dengan diameter 1,98-2,97 µm. Konodiofor bersusun tegak, berlapis dan bercabang ang dipenuhi konidia. Konidia bersel satu dan membentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 × 3,96 µm. Pada awal pertumbuhan koloni jamur M. anisopliae ini berwarna putih, dan kemudian akan berubah menjadi warna hijau gelap ketika konidia matang dan dilanjutkan dengan pembentukan spora. Spora yang berwarna hijau ini yang memberi istilah green muscardin fungus pada M. anisopliae, warna hijau merupakan salah satu ciri khusus jamur ini. Secara mikroskopis juga dapat diamati bentuk konidia M. anisopliae adalah oval (Budi,2016). Hal ini diperjelas oleh Barnett dan Hunter (1972) dalam tulisan Even (2018) yang menyatakan spora M.
anisopliae bersel satu, hialin, dan berbentuk bulat silinder. Berdasarkan hasil penelitian Mulyono pada tahun 2007 dengan menginfeksikan jamur M. anisopliae kepada larva Oryctes rhinoceros dengan konsentrasi 108, terbukti mampu menyebabkan tingkat kematian sampai dengan 81,61%. Berikutnya Prayogo et al (2005) membuktikan bahwa penggunaan jamur M. anisopliae pada konsentrasi 107 dapat menyebabkan Mortalitas S. litura sampai dengan 83,33% pada hari ke- 12 setelah aplikasi.
Menurut (Mulyono, 2007) dalam tulisan Zul Khairi Syahputra (2019) jamur M.
anisopliae masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan, tetapi melalui kulit. Setelah konidia jamur masuk ke dalam tubuh serangga, jamur memperbanyak diri melalui pembentukan hifa dalam jaringan epidermis dan jaringan lainnya sampai dipenuhi miselia jamur. Perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai mati berjalan sekitar 7 hari dan setelah inang terbunuh, jaringan membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai muncul dari kutikula serangga. Infeksi cendawan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain padatan inang kesediaan spora, angin dan kelembaban.
Temperatur optimum untuk pertumbuhan jamur M. anisopliae berkisar 22-27 oC.
konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban diatas 90%, namun konidia akan bercambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%. Patogenisitas jamur M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86% (Mulyono, 2007)
jamur M. anisopliae. menginfeksi inang melalui empat tahap yaitu inokulasi, penempelan, penetrasi, dan destruksi. Tahap pertama yaitu inokulasi kontak antara propagul jamur dengan tubuh serangga. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul jamur pada integument serangga. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. jamur dalam melakukan penetrasi menembus integumen dapat membentuk tabung kecambah (appresorium). Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam haemolymph dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya.
Sehingga pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh seranggga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras (Setiawan, 2012).
M. anisopliae merupakan jamur yang menginfeksi semua tahap perkembangan hidup kumbang badak. Spora M. anisopliae akan menembus kulit, dan didalam tubuh kumbang miseliumnya akan berkembang dan M. anisopliae akan berspora diluar tubuh larva kumbang tanduk. M. anisopliae efektif untuk mengontrol larva kumbang dibawah tumpukan jangkos (janjangan kosong), simpukan, tunggul, dan kayu. M. anisopliae disemprotkan menggunakan alat spraying jika dalam bentuk cairan dan disebarkan diatas tumpukan jangkos, simpukan, tunggul, dan kayu jika dalam bentuk padatan.
Pengendalian dengan menggunakan cendawan entomopatogen ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain: selektivitas tinggi, organisme yang digunakan sudah tersedia di alam, mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, relative mudah diproduksi dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Prayogo et al., 2005; Untung, 1993).
Salah satu informasi penting yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan M.
anisopliae sebagai agen pengendalian hayati dalam skala luas adalah kompatibilitasnya dengan agen pengendalian hayati lain seperti predator, karena cendawan ini dapat menginfeksi berbagai jenis serangga baik serangga hama
maupun serangga predator. Faktor keamanan predator tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk aplikasi cendawan secara luas. Akan tetapi pada proses pengaplikasian jamur M. anisopliae terdapat kelemahan yaitu efek infeksinya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan membutuhkan tenaga ahli dalam penyediaan dan aplikasi jamur. (Even, 2018)
Gambar 4. Larva yang terinfeksi Jamur Metharizium anisopliae
(Sumber: https://p2aph.wordpress.com/2010/05/27/metode-praktis-memurnikan-metarhizium- anisopliae-dari-larva-oryctes-rhinoceros-terinfeksi/)
Pemanfaatan bioinsektisida dari jamur entomopatogen dalam skala luas perlu memperhatikan bentuk formulasi tepat yang dapat membantu dalam hal ketersediaan, perbanyakan massal, penyimpanan dan pengaplikasiannya. Formulasi yang tepat akan menghasilkan produk yang memiliki viabilitas dan infektivitas yang tetap stabil apabila diaplikasikan di lapangan. Tujuan utama dari formulasi bioinsektisida adalah untuk mempertahankan mikroorganisme sebagai bahan aktif tetap hidup, baik dalam keadaan dorman maupun aktif tumbuh, memanipulasi kondisi untuk produksi formula secara besar-besaran dan proses pengiriman, memelihara aktivitas organisme yang diintroduksi, dan menekan pertumbuhan kontaminan yang potensial.
2.6. Formulasi Jamur Metarhzium anisopliae
Konidia jamur entomopatogen yang berada dalam formulasi cair cenderung memiliki viabilitas lebih tinggi dibandingkan pada media padat sehingga virulensi dapat meningkat (Hasyim et al., 2005), tetapi menurut Soetopo (2004), penyebab utama tingginya mortalitas serangga inang adalah faktor bawaan dari strain jamur
tersebut. Bioinsektisida cair berbahan aktif M. anisopliae cukup efektif dan virulen dalam mematikan larva P xylostella. Menurut Hasyim et al. (2005) jamur entomopatogen yang tumbuh pada media cair selain menghasilkan mikotoksin juga menghasilkan konidia dengan viabilitas lebih tinggi dan lebih virulens dibandingkan yang dibiakan pada media padat. Menurut Herlindaa et al. (2008a), jamur entomopatogen B. bassiana dan M. anisopliae dapat digunakan sebagai bahan aktif bioinsektisida cair karena sangat efektif dan memiliki kemampuan yang paling tinggi dalam mematikan wereng. Keefektifan jamur entomopatogen dalam menginfeksi inang sangat dipengaruhi oleh kerapan konidia, frekuensi aplikasi, umur inang, waktu penyimpanan jamur entomopatogen (Prayogo et al., 2005), dan media biakan (Herlinda et al., 2006)
Menurut Nina (2022) Kerapatan konidia M. anisopliae formulasi cair, nyata lebih besar (10,31 x 109 /ml) dibandingkan dengan formulasi pelet alginat (8,65 x 109 /ml) dan formulasi tepung (8,65 x 109 /ml). Tinggi rendahnya kerapatan konidia tergantung pada bahan pembawa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Effendy (2010) bahwa bahan pembawa berpengaruh nyata terhadap kerapatan konidia jamur Metarhizium sp. Pada formulasi cair, tidak ditambahkan bahan- bahan pembawa seperti formulasi yang lainnya, sehingga spora dapat terlihat jelas lebih banyak dibandingkan formulasi lain yang ditambahkan bahan-bahan pembawa, yang menjadikan formulasi lebih padat dan spora yang ada tidak terlihat dengan jelas dan lebih sedikit dibandingkan formulasi cair. Hal tersebut diduga karena banyak konidia yang melekat pada bahan pembawa.
Menurut Hasyim., dkk (2005), konidia jamur entomopatogen yang berada dalam formulasi cair cenderung memiliki viabilitas lebih tinggi dibandingkan pada media padat sehingga virulensi dapat meningkat. Hal ini disebabkan karena jamur entomopatogen yang tumbuh pada media cair menghasilkan mikotoksin yang lebih banyak dibandingkan yang dibiakan pada media padat. Dengan demikian, pada kondisi formulasi cair jamur entomopatogen membunuh dengan dua lini, yaitu lini pertama karena pertumbuhan konidia jamur, sedangkan pada lini kedua adalah mikotoksin yang ada di dalam formulasi.
Media yang dipakai untuk menumbuhkan jamur entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan.
Nina (2022) menjelaskan bahwa jumlah konidia yang berkecambah dalam jangka waktu 24 jam setelah inokulasi menunjukkan hasil sangat berbeda nyata, dengan persentase hasil 83% pada formulasi pellet alginat, 84% pada formulasi tepung, dan 90% pada formulasi cair. Hal ini sesuai dengan tulisan Nuraida dan Lubis (2016) perbedaan viabilitas konidia dapat disebabkan oleh media biakan, suhu dan kelembaban.
III. BAHAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitan ini telah dilaksakan mulai dari bulan Juni 2023 sampai dengan Agustus 2023. Yang berlokasi di PT. Mustika Sembuluh, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang dipakai selama penelitian ini adalah galon mineral (15 L), polybag dengan ukuran 30×35, cangkul, parang, gancu, plastik wayang (3 kg), plastik klip, kertas, alat tulis, karung pupuk, kamera hand phone, preparate, autoklaf, hand spray, haemacytometer. Bahan yang digunakan adalah larva Oryctes rhinoceros instar III (400 ekor) yang diperoleh dari Mustika Sembuluh III, Jamur entomopatogen Metharizium anisopliae, alkohol 70%, aquades, tanah (Top soil), janjangan kosong kelapa sawit (Bahan organik dari hasil pengolahan dipabrik).
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Non Faktorial yang terdiri dari 5 perlakuan yaitu:
M0 : Tanpa perlakuan Jamur Metharizium anisopliae M1 : Perlakuan Metharizium anisopliae 60 ml/galon M2 : Perlakuan Metharizium anisopliae 80 ml/galon M3 : Perlakuan Metharizium anisopliae 100 ml/galon M4 : Perlakuan Metharizium anisopliae 120 ml/galon
Setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga jumlah keseluruhannya adalah sebanyak 20 satuan percobaan. Larva O. rhinoceros yang digunakan pada penelitian ini adalah larva instar III yang sehat sebanyak 20 ekor/satuan percobaan.
Sehingga larva yang dibutuhkan adalah sebanyak 400 ekor. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Non Faktorial.
3.4. Pelaksanaan Penelitian 3.4.1. Persiapan Plot Pengamatan
Penelitian dimulai dengan mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian. Langkah pertama adalah mempersiapkan media berupa galon lee mineral yang kemudian dipotong atasnya dan diberi lubang dibawah dan sisi galonnya. Isi isi dengan tanah dan janjangan kosong yang sudah disterilisasi dan akan diberi label sesuai sampel penelitian.
3.4.2. Media Hidup Larva
Media hidup semetara Larva O. rhinoceros sebelum penelitian dimulai adalah jangkos yang dimasukan kedalam drum berukuran besar sebanyak 8-10 kg, kemudian larva O. rhinoceros dimasukkan kedalam drum tersebut dan di diamkan selama 3-4 hari dengan tujuan agar larva dapat beradaptasi dengan media hidup yang baru. Selanjutnya persiapan media hidup larva selama penelitian berlangsung.
Media yang digunakan adalah jangkos (janjangan kosong) yang diperoleh dari PT.
Mustika Sembuluh 1 dan tanah (top soil) dari EMU. Dimulai dari proses sterilisasi tanah dan jangkos di laboratorium menggunakan autoklaf. Langkah pertama adalah dengan membungkus tanah dan jangkos dengan menggunakan platik yang tahan panas dan ditutup rapat, kemudian dimasukkan kedalam autoklaf. Sterilisasi dilakukan selama 30 menit dengan suhu 121oC, setelah selesai sterilisasi tanah dan jangkos didiamkan sampai suhunya menurun kemudian dikelurkan dari autoklaf.
Setelah suhu media tanah dan jangkos berada pada suhu ruang, selanjutnya dimasukkan kedalam galon dengan tahapan media tanah terlebih dahulu dengan ketinggian 14 cm dan selanjutnya media jangkos dengan ketinggian 7 cm sehingga total ketinggian media hidup larva selama penelitian adalah 21 cm.
Sterilisasi tanah dan janjangan kosong dilakukan terlebih dahulu sebelum memulai penelitian agar dapat dipastikan bahwa larva yang terinfeksi dan mati saat penelitian berlangsung memang disebabkan oleh jamur M. anisopliae.
3.4.3. Penyediaan Jamur Metarhizium anisopliae
Jamur M. anisopliae yang digunakan adalah produk dari EMU (Produksi sendiri) yang diaplikasikan dalam bentuk cair dengan konsentrasi 150 ml/30 L EKG. dan kerapatan konidium 400,000,000,000 (40×1010) yang diproduksi pada
tanggal produksi 24 april 2023. Diaplikasikan sebanyak 1 kali selama penelitian berlangsung dengan cara injeksi kedalam media sampel pengamatan dan diaplikasikan sebanyak 6 titik pada setiap ulangan.
3.4.4. Penyediaan Larva Serangga Uji Oryctes rhinoceros
Larva O. rhinoceros diperoleh dari PT. Mustika Sembuluh III, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Larva O. rhinoceros yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar 3 yang memiliki ukuran Panjang 5-8 cm dengan warna putih kekuningan. Larva yang digunakan adalah larva yang sehat dan aktif bergerak, yang bila terkena cahaya matahari segera masuk kedalam tanah, dan tubuh yang bersih tanpa luka.
Pencarian larva O. rhinoceros dilakukan dengan cara membongkar tumpukan jangkos dengan menggunakan cangkul. Cara mudah menemukan larva kumbang tanduk ini adalah ditumpukan janjangan kosong yang masih lembab, karena kumbang tanduk sangat menyukai tempat yang lembab. Selama proses pencarian, larva yang diperoleh dimasukkan kedalam karung yang diberi jangkos sebagai makanannya. Total larva O. rhinoceros yang didapatkan sebanyak 500 ekor dalam 1 hari. Selanjutnya diangkut dari PT. Mustika Sembuluh III menuju EMU R&D.
3.4.5. Aplikasi Metarhizium anisopliae
Semprot media terlebih dahulu agar tetap dalam kondisi lembab. Selanjutnya masukkan 20 ekor larva O. rhinoceros kedalam masing-masing galon yang sudah berisi media. Jamur yang diaplikasikan dalam bentuk formulasi cair dan diaplikasi dengan menggunakan metode injeksi dengan kedalaman 7-8 cm kedalam media dan diaplikasikan sebanyak 6 titik. Cara aplikasi yang sama dilakukan pada media lainnya dengan dosis yang sudah ditentukan. Pengaplikasian jamur dilakukan satu kali pada hari yang bersamaan, diaplikasikan pada pagi hari sekitar jam 7-8 pagi 3.4.6. Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 hari setelah aplikasi.
3.5. Parameter Pengamatan
3.5.1. Persentase Larva Terinfeksi (%)
Pengamatan larva terinfeksi yang dilakukan adalah dengan mengamati adanya perubahan perilaku. Gerakan larva yang menjadi lambat serta adanya perubahan warna kulit. Perubahan warna kulit yang disebabkan oleh jamur M.
anisopliae adalah warna kulit berubah menjadi putih kehijauan disertai timbulnya bercak coklat kehitaman disekitar kutikula. Setiap larva yang terinfeksi dihitung menggunakan rumus:
P = a
b ×100%
Keterangan:
P : Persentase larva terinfeksi a : Jumlah larva yang terinfeksi b : Jumlah larva yang diamati
3.5.2. Gejala Kematian Larva Kumbang Tanduk secara Visual
Pengamatan gejala visual kematian larva kumbang tanduk yang terinfeksi jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae dilakukan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada larva berupa perubahan bentuk, perilaku dan warna kulit larva
3.5.3. Persentase Mortalitas Larva (%)
Melakukan pengamatan larva yang mati akibat jamur M. anisopliae, dan setiap sampel yang mati harus dihitung. Kemudian datanya akan digunakan untuk menghitung persentase mortalitas larva.
P = a
b ×100%
Keterangan:
P : Persentase larva mati a : Jumlah larva yang mati b : Jumlah larva yang diamati
3.5.4. Efektivitas (Ei) Jamur Entomopatogen
Efektivitas jamur entomopatogen diperoleh dari data akhir mortalitas pada larva O. Rhinoceros yang diaplikasikan. Perhitungan efektivitas entomopatogen M.
anisopliae terhadap larva O. rhinoceros dapat dihitung dengan menggunakan rumus Schneider-Orelli (1947) dalam (Sensie, 2020)
% Efektivitas = 𝑏−𝑘
100−𝑘 × 100 Keterangan
b : Persentase larva yang mati pada perlakuan entomopatogen k : Persentase larva yang mati pada kontrol
Tabel 1. Kriteria efektivitas pengendalian
Nilai Efektivitas Kategori
Ei > 69% Sangat Baik
Ei = 50-69% Baik
Ei = 30-49% Kurang Baik
Ei < 30% Tidak Baik
3.6. Analisis Data
Data yang diperoleh dari pengamatan akan dianalisis menggunakan analisis ragam (Uji F) pada taraf α = 5 %. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila terdapat pengaruh perlakuan yang berbeda nyata maka analisis akan dilanjutkan dengan Duncan pada taraf α = 5 % dan 1 % untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gejala Kematian Larva Kumbang Tanduk secara Visual
Dari hasil penelitian yang dilakukan, setelah aplikasi jamur entomopatogen M.
anisopliae pada larva O. rhinoceros yang terinfeksi jamur tersebut mengalami perubahan bentuk fisik
Larva Sehat larva terinfeksi dengan tubuh mengeras
Tubuh larva mulai diselimuti jamur Jamur mengalami mumifikasi Gambar 5. Perubahan visual larva terinfeksi
(Sumber: Dok. Pribadi, 2023)
Setelah dilakukan pengamatan selama 4 minggu terhadap gejala visual mortalitas larva O. rhinoceros yang diinfeksi oleh jamur M. anisopliae, terlihat
d c
b a
bahwa pada pengamatan pertama (7 HSA) larva sudah mengalami infeksi yang ditandai dengan gejala fisik seperti tubuh larva yang mengeras, bagian posterior (belakang) mengempis, terdapat bercak-bercak coklat kehitaman pada kutikulanya Hal ini sesuai dengan laporan Moslim et al. (2007) bahwa larva yang terinfeksi M.
anisopliae dicirikan ketika ada perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Tubuh larva menggulung membentuk seperti huruf C sama seperti yang ada pada gambar 5 (b). Hal ini sesuai dengan literatur Irawati et al (2018) yang menyatakan bahwa Serangga yang diserang oleh jamur akan timbul bercak-bercak yang dapat dilihat pada bagian abdomen bagian bawah tubuh, didekat kepala dan ekor. Bercak hitam kecoklatan tersebut merupakan tanda melanisasi pada serangga yang menunjukkan bahwa terjadi proses infeksi terhadap serangga. Proses pengerasan ini terjadi karena jaringan dan cairan tubuh larva O.
rhinoceros diserap oleh konidia jamur sampai habis. Pada pengamatan kedua (14 Hsa) larva sudah mengalami mortalitas yang ditandai dengan gejala dimana tubuh larva agak keras dan diselimuti jamur berwarna putih sama seperti yang ada pada gambar 5 (c), dan selanjutnya tubuh larva akan diselimuti oleh miselium-miselium jamur yang tebal berwarna hijau gelap sama seperti yang ada pada gambar 5 (d).
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prayogo (2005), yang menyatakan bahwa semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pada pengamatan ketiga (21 Hsa) dan pengamatan keempat (28 Hsa) jumlah larva yang terinfeksi oleh jamur M. anisopliae meningkat.
Meiatmoko (2018) menjelaskan bahwa gejala awal larva yang terinfeksi jamu M. anisopliae terdapat bintik-bintik cokelat kehitaman pada bagian kutikula dan sparikel. Setelah empat hari pengaplikasian gejala tersebut akan meluas hingga menembus ke saluran pencernaan, sehingga larva tersebut kehilangan nafsu makan.
Setelah fase tersebut larva akan segera mengalami kematian yang disebabkan oleh sudah tidak berfungsinya saluran pencernaan. Gerakan larva mulai tidak aktif lagi lalu menjadi kaku dan kulitnya menjadi kusam. Larva mula-mula terinfeksi dan ketika fase lanjut, tubuh larva akan mengeras serta diselimuti hifa berwarna putih, dan akan berubah warna menjadi hijau yang artinya spora jamur sudah dewasa.
4.2. Persentase Larva Terinfeksi
Gambar 6. Diagram persentase larva terinfeksi (Sumber: Dok. Pribadi)
Berdasarkan penelitian dan pengamatan yang dilakukan selama 4 minggu, diperoleh data yang menjelaskan bahwa infeksi larva tertinggi terdapat pada perlakuan M1 (M.anisopliae 60 ml) dengan persentase sebesar 27,50% dan yang paling rendah terdapat pada perlakuan kontrol dengan persentase 0%. Berdasarkan hasil uji anova yang dilakukan terdapat signifikansi sehingga perlu dilakukan uji lebih lanjut. Hasil uji Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa pada perlakuan M1 dan M2 menunjukkan adanya perbedaan nyata dengan perlakuan kontrol.
Sementara pada perlakuan M3, dan M4 tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap perlakuan lainnya. Hal ini menjelaskan bahwa perlakuan yang mengalami signifikansi dan berpengaruh nyata dalam menginfeksi larva O. rhinoceros adalah perlakuan M1 dan M2 dengan dosis M. anisopliae 60 ml.
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian yang telah dilakukan selama 4 minggu (7 Hsa, 14 Hsa, 21 Hsa, dan 28 Hsa) dapat dilihat bahwa gejala infeksi jamur M. anisopliae mulai terjadi pada pengamatan pertama dimana terdapat dua larva yang mengalami gejala terinfeksi jamur M. anisopliae dengan ciri-ciri tubuh terdapat bercak coklat dibagian pinggir tubuh larva dan tidak aktif bergerak. Hal ini sesuai dengan Tulisan Suryanto (2020).
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
M0 (0 ml) M1 (60 ml) M2 (80 ml) M3 (100 ml) M4 (120 ml)
Persentase Larva Terinfeksi
Rata-rata
Jamur M. anisopliae merupakan pilihan dalam mengendalikan populasi serangga hama karena mampu menyebabkan penyakit “green fungus” yang patogen terhadap sasaran serangga hama. Spora jamur yang melekat pada permukaan kutikula larva akan membentuk hifa yang memasuki jaringan internal larva melalui interaksi biokimia yang kompleks antara inang dan jamur (Even, 2018). Jamur M.
anisopliae memiliki aktifitas larvasidal karena menghasilkan cyclopeptide, destruxin A, B, C, D, E dan desmethyldestruxin B. Destruxin sebagai bahan insektisida generasi baru yang berefek pada organella sel target seperti mitokondria, membran nukleus dan retikulum endoplasma (Widiyanti dan Muyadihardja, 2004).
Sejalan dengan tulisan Prayitno (2012) yang menjelaskan bahwa jamur M.
anisopliae memiliki aktivitas larvasidal karena menghasilkan metabolit sekunder yaitu golongan alkaloid yang berefek terhadap organel sel target, dan menyebabkan paralisa sel serta kelainan fungsi lambung tengah, tubulus malphigi, hemocyt dan jaringan otot hama target.
Tabel 3. Gejala infeksi, mortalitas larva, mortalitas alami.
Bentuk Fisik Larva Gejala
a. Larva tidak aktif bergerak b. Tubuh larva mengeras
c. Bagian Posterior (mengempis) d. Tubuh larva menggulung e. Terdapat bercak hitam pada
kutikula larva
a. Larva mengalami penyusutan karena kehabisan cairan
b. Mulai timbul hifa jamur berwarna putih pada larva dan dalam beberapa hari hifa akan berubah menjadi berwarna hijau
a. Tubuh larva berubah warna menjadi kehitaman
b. Larva membusuk c. Tubuh larva lunak d. Mudah hancur
e. Aroma yang dikeluarkan sangat menyengat
Dalam penelitian ini terdapat larva yang mati karena terinfeksi jamur M.
anisopliae dan yang mati bukan karena terinfeksi jamur M. anisopliae. Larva yang mati bukan karena jamur akan mati dengan kondisi tubuh berubah warna menjadi kehitaman dan busuk lunak serta mudah hancur. Aroma yang dikeluarkan juga sangat menyengat. Sesuai dengan tulisan Suryanto (2020) yang menyatakan bahwa larva yang mati bukan karena infeksi jamur M. anisopliae akan berwarna kehitaman, membusuk dan lebih cepat hancur. Berbeda dengan larva O. rhinoceros yang mati karena terinfeksi jamur M. anisopliae yang tidak mengalami pembusukan. Tidak membusuknya disebabkan dari jamur M. anisopliae yang berhasil menginfeksi dan memperbanyak diri di dalam tubuh serangga inang/ larva O. rhinoceros. Menurut Ardiyati, et al (2015) dalam tulisan Toto Surya (2020) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah spora dalam suatu jamur, maka kemampuan berkembang jamur akan semakin baik dibandingkan dengan jamur yang memiliki jumlah spora lebih sedikit.
4.3. Persentase Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros (%)
Gambar Persentase mortalitas larva (Sumber: Dok. Pribadi)
Berdasarkan penelitian dan pengamatan yang dilakukan selama 4 minggu, diperoleh rata-rata mortalitas larva tertinggi yaitu pada perlakuan M1 dengan dosis (M. anisopliae 60 ml) dengan persentase sebesar 26,26% dan mortalitas terendah
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
M0 (0 ml) M1 (60 ml) M2 (80 ml) M3 (100 ml) M4(120 ml)
Mortalitas Larva
Rata-rata
terdapat pada perlakuan kontrol tanpa dosis dengan persentase 0%. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prayogo et al (2005) yang membuktikan bahwa penggunaan jamur M. anisopliae pada konsentrasi 107 dapat menyebabkan Mortalitas S. litura sampai dengan 83,33% pada hari ke- 12 setelah aplikasi. Berdasarkan uji anova yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat signifikasi sebesar 0,028 sehingga perlu dilakukan uji lebih lanjut dengan menggunakan uji Duncan untuk memastikan keakuratan data yang dihasilkan dari uji anova sebelumnya. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada perlakuan M1 dan M2 berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Sedangkan perlakuan M3 dan M4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan perlakuan lainnya. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang mengalami signifikasi dan berpengaruh nyata dalam menginfeksi larva O. rhinoceros adalah perlakuan M1 dengan dosis 60 ml.
Dalam penelitian ini terdapat juga larva yang mati alami atau yang disebut juga mortalitas terkoreksi. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Diantaranya adalah akibat faktor lingkungan seperti yang dijalaskan dan dapat juga terjadi akibat stress selama penelitian berlangsung baik karena terlalu lembab maupun terlalu kering, dan dapat juga disebabkan oleh terlalu sering dibongkar karena proses pengamatan yang dilakukan sehingga larva O. rhinoceros merasa terancam dan tidak nyaman.
Adapun faktor yang menyebabkan kurang maksimalnya jamur dalam menginfeksi larva adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan merupakan salah satu kendala yang sangat mempengaruhi keberhasilan penelitian ini dimana ketika media pengamatan terlalu panas dan kering dapat menghambat perkembangan dan pertumbuhan jamur M. anisopliae bahkan dapat menyebabkan matinya jamur yang sudah diaplikasikan dan dapat menimbulkan kematian terkoreksi pada larva kumbang tanduk tersebut karena larva oryctes ini sangat sensitif. Pengaruh suhu dan curah hujan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penelitian ini. Menurut Yustina et al (2011) dalam tulisan Even (2018) menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi tingkat penyebaran larva adalah suhu, kelembaban, dan kecepatan angin. Pada umumnya suhu paling efektif adalah 15-25 0C. Menurut Mulyono (2007) Temperatur suhu
optimum untuk pertumbuhan jamur M. anisopliae dapat berkembang adalah berkisar 25-27 0C, sedangkan suhu rata-rata saat penelitian berlangsung adalah 30- 32 0C. Mulai jam 08.00 pagi suhu sudah naik menjadi 28 0C dan siang hari suhu bisa mencapai 30-33 0C, dengan curah hujan yang sangat rendah. Prayogo (2005) menjelaskan bahwa jika terkena sinar matahari selama 4 jam dapat meyebabkan kehilangan viabilitas pada jamur M. anisopliae sebesar 16%, dan jika terkena sinar matahari selama 8 jam dapat menyebabkan hilangnya viabilitas jamur lebih dari 50%. Hal tersebut merupakan faktor utama dari kurang maksimalnya jamur dalam menginfeksi larva. Namun jika medianya terlalu lembab atau basah juga dapat memicu kematian pada larva karna larva tidak dapat hidup ditempat yang terlalu basah. Suhu maksimal untuk pertumbuhan jamur M. anisopliae ini adalah 25 0C
Faktor metode aplikasi juga mempengaruhi keberhasilan. Dimana jika pengaplikasian menggunakan metode spray itu akan memakan waktu dalam penyerapannya untuk sampai kebagian paling bawah media dan bahkan dapat terkendala saat jamurnya sudah habis diserap bagian atas dan dapat juga kering diserap oleh panasnya matahari bahkan dapat juga keluar dari plot pengamatan saat pengaplikasiannya sehingga jamur yang masuk kedalam media tidak maksimal sehingga jamurnya hanya sampai dibagian atas media saja. Metode injeksi merupakan alternatif yang baik digunakan karena injeksi langsung kebagian dalam media, namun jika tidak menggunakan alat injeksi juga akan mengurangi hasil dimana jamur hanya terdapat dibagian titik aplikasi saja jika pertumbuhannya tidak maksimal. Wikardi (2000) dalam Ahmad (2008) melaporkan bahwa konidia M.
anisopliae akan berkecambah pada kutikula inang ketika menginfeksi serangga, terjadi penetrasi dengan menggunakan enzim peptidase dan kitinase, lalu dengan bantuan tekanan mekanis enzim tersebut menghancurkan kutikula dengan cara lisis.
Prayogo et al (2005) melaporkan bahwa keefektifan cendawan M. anisopliae, disamping dipengaruhi oleh media tumbuh, tingkat virulensi, dan frekuensi aplikasi, juga sangat ditentukan oleh instar serangga tersebut.
4.4. Efektivitas (Ei) Jamur Entomopatogen Tabel 5. Efektivitas Jamur Entomopatogen
Kode Perlakuan Ei (%) Kategori
M0 Kontrol 0 -
M1 60 ml (M. anisopliae) 27,50% Tidak baik
M2 80 ml (M. anisopliae) 22,50% Tidak baik
M3 100 ml (M. anisopliae) 11,25% Tidak baik M4 120 ml (M. anisopliae) 13,75% Tidak baik Berdasarkan table diatas dijelaskan bahwa perlakuan dosis pada penelitian ini digolongkan kedalam kategori tidak baik karena persentasenya sangat rendah <
30%. Akan tetapi untuk perlakuan dosis yang dianjurkan berdasarkan hasil penelitian ini adalah perlakuan M1 dengan dosis 60 ml yang persentasenya 27,50
%. Kemudian ada perlakuan M2 dengan dosis 80 ml yang persentasenya 22,50 % ml. perlakuan dosis dengan persentase paling rendah adalah perlakuan M3 dengan dosis 100 ml yang persentasenya hanya 11,25 %. Persentase efektivitas pada dosis ini sangat rendah dibandingkan dengan perlakuan dosis M1 (60 ml), M2 (80 ml), dan M4 (120 ml).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa gejala infeksi pada jamur terjadi pada pengamatan pertama yaitu hari ke-7 setelah aplikasi.
Kematian larva O. rhinoceros akibat perlakuan M. anisopliae terjadi pada pengamatan ke 2 yaitu hari ke 14 setelah aplikasi, namun puncak kematian larva terjadi pada pengamatan ke 4 yaitu hari ke 28 setelah aplikasi. Kematian larva akibat jamur entomopatogen tidak seketika, dikarenakan jamur harus menumbuhkan spora dalam tubuh inangnya setelah spora dapat berkembang dalam tubuh inang terjadilah proses kematian larva. Pada data yang diperoleh dapat dilihat bahwa efektivitas perlakuan pada semua doses perlakuan M. anisopliae M1 (60 ml), M2 (80 ml), M3(100 ml), M4 (120 ml) dapat digolongkan dalam kategori tidak baik (Ei < 30%)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kematian larva ditemukan pada semua
perlakuan yang dapat dilihat pada grafik 2. Mortalitas larva O. rhinoceros oleh jamur entomopatogen M. anisopliae adanya kontak konidia pada tubuh larva.
Menurut Surtikanti et al (2009) peningkatan mortalitas terjadi akibat adanya kontak antara larva dan spora jamur. Pada saat terjadi kontak, spora membentuk tabung kecambah dan mensekresikan enzim untuk melunakkan kutikula larva sehingga spora dapat masuk ke tubuh larva. Pertumbuhan spora dalam tubuh larva menyebabkan terganggunya aktivitas organ dan berakibat pada kematian larva.
Sembel (2010) dalam tulisan Meiatmoko (2018) menjelaskan bahwa faktor lain yang mempengaruhi kecepatan infeksi adalah kelembaban areal akan berpengaruh terhadap kecepatan tumbuh spora jamur. Konidia jamur akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada kelembaban 80-90%. Selain itu pergerakan larva juga sangat berpengaruh terhadap penginfeksian larva, dimana larva yang sudah terinfeksi akan bersinggungan dengan larva yang sehat sehingga larva yang sehat tersebut akan terinfeksi oleh larva yang terinfeksi sebelumnya, sehingga semakin aktif pergerakan larva maka peluang larva untuk terinfeksi akan semakin tinggi.
Keefektifan jamur entomopatogen dalam menginfeksi larva sasaran tergantung pada kondisi yang memungkinkan bagi jamur seperti suhu dan kelembapan lingkungan yang tepat, spesies atau strain jamur dan kepekaan stadium larva sasaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Nina (2016) yang menyatakan kematian serangga sasaran oleh jamur entomopatogen sangat dipengaruhi oleh jumlah konidia yang diinokulasikan, keadaan suhu dan kelembapan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Toksin yang dihasilkan oleh jamur entomopatogen memegang peranan penting yang dapat membunuh inang dengan cara merusak struktur organik, sehingga terjadi dehidrasi dalam sel yang menyebabkan tidak terjadinya regenerasi jaringan.
Waktu aplikasi bereran penting terhadap keefektifan jamur entomopatogen.
Jamur memerlukan kelembapan yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang Prayogo et al (2005). Efektivitas juga dipengaruhi oleh waktu aplikasi, kelembapan yang tinggi diperlukan dalam proses pembentukan serangga. Jamur entomopatogen memerlukan kelembapan diatas 90% selama 6-12 jam setelah diinokulasi agar mempercepat proses penetrasi kedalam tubuh serangga (Cloyd, 2003). Pengaruh
cahaya matahari juga dapat menyebabkan kehilangan viabilitas sebesar 16% jika terkena sinar matahari selama 4 jam, viabillitas dapat berkurang melebihi 50%
apabila terkena sinar matahari selama 8 jam (Prayogo, 2005). Sebaiknya aplikasi jamur entomopatogen dilakukan pada sore hari untuk menghindari radiasi sinar ultraviolet sehingga mampu meningkatkan efektivitas jamur tersebut.
Jamur entomopatogen M. anisopliae dapat dimasukkan ke dalam jamur yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk mengendalikan hama larva O. rhinoceros karena mampu mengendalikan hama tersebut dilaboratorium sampai di atas 69% (Petra, 2021). Jamur ini tidak dapat memproduksi makanannya sendiri, oleh karena itu ia bersifat parasit terhadap serangga inangnya. Jamur M.
anisopliae merupakan jamur entomopatogen yang sering digunakan dalam Teknik pengendalian hayati. Jamur ini telah banyak dilaporkan mampu menginfeksi pada beberapa ordo serangga seperti Orthoptera, Coleoptera, Hemiptera, Lepidoptera dan Hymenoptera (Nina, 2016).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Jumlah larva terinfeksi paling tinggi terdapat pada perlakuan jamur entomopatogen M. anisopliae M1 dengan dosis 60 ml dengan persentase 27,50%
2. Jumlah mortalitas larva paling tinggi terdapat pada perlakuan jamur entomopatogen M. anisopliae M1 pada dosis 60 ml dengan persentase 26,25%
3. Tingkat Efektivitas terbaik jamur M. anisopliae terdapat pada perlakuan M1 pada dosis (60 ml) dengan rata-rata persentase 27,50%. Perlakuan dosis pada penelitian ini tergolong kedalam kategori tidak baik karena Ei < 30%.
5.2. Saran
1. Perlu pengujian dosis lebih lanjut dan penggunaan metode yang tepat dan benar dalam pengaplikasian jamur M. anisopliae ke media pengamatan.
Karena metode aplikasi juga sangat berpengaruh pada keberhasilan penelitian.
2. Perlunya menjaga Temperatur suhu dan kelemabapan media agar viabilitas spora jamur terus meningkat
DAFTAR PUSTAKA
Apriyaldi, R. 2015. Analisis Intensitas Serangan Hama Kumbang Tanduk (Oryctes Rhinoceros) Pada Kelapa Sawit Di PTPN V Sei. Galuh Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Tugas Akhir. Tidak dipublikasikan. Jurusan Budidaya Tanaman Pangan. Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh Ardiyati, T. A, Gatot, M., & Toto, H (2015). Uji patogenitas jamur entomopatogen
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin pada Jangkrik (Gryllus sp.) (Orthoptera: Gryllidae). J. HPT, 3(3), 48.
Barnett and Hunter, 1972. Illustrated Genera of Imperfecti Fungi. Burgess Publishing Company, Minnesota.
Bedford GO. 2013b. Biology and management of palm dynastid beetles: Recent advances. Annual Review of Entomology 58:353–372. DOI:
https://doi.org/10.1146/annurev-ento-120710-100547
Bintang A.S, Wibowo A, dan Harjaka T. 2015. Keragaman Genetik Metharizium anisopliae dan Virulensinya Pada Larva Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol 19 (1): 12- 18.
Budi Rezky Nurwibawanto, 2016. Kualitas Cendawan Metharizium anisopliae (Metsch) pada Berbagai Media dan Lama Penyimpanan Terhadap Tenebrio Molitor. Universitas Jember. Skripsi
Christina. L. Salaki dan Dantje Tarore. 2012. Eksplorasi Bakteri Entomopatogenik yang Berpotensi Sebagai Agensia Pengendali Hayati terhadap Hama Plutella xylostella dan Spodoptera sp. Pada Tanaman Kubis Bunga dan Broccoli. Prosiding. Kongres VII dan Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia.
Cloyd, R. 2003. The entomopathogen Verticillium lecanii. Midwest Biological Control News. University of Illions.
Dewi Gusti Widiarti, 2018. Uji Patogenisitas jamur Metharizium Sp. Isolat Lampung Selatan dan Salatiga Terhadap Larva Hama (O. rhinoceros)
di Laboratorium. Universitas Lampug.
(http://digilib.unila.ac.id/30516/3/SKR)
Dhian Chitra Ayu, F.S. 2012). Pengaruh Penambahan Tepung Jangkrik pada Medium Pertumbuhan terhadap Kemampuan Metharizium majus UICC 295 Menginfeks Larva Oryctes rhinoceros Linnaeus.
Effendy T. A. 2010. Uji Toksisitas Bioinsektisida Jamur Metharizium sp. Berbahan Pembawa Bentuk Tepung untuk Mengendalikan Nilaparvata lugens (Stal.)
Erawati. D. N. 2009. Infeksi Agens Hayati Entomopatogen Terhadap Gejala Kematian dan Perilaku Spodoptera litura F. Prosiding Seminar Nasional Peran Agroteknologi untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Perkebunan. Fakultas Pertanian Universitas Jember. 322-328.
Even Supandi Sitinjak. 2018. Uji Efektivitas Jamur Entomopatogenik Metharizium anisopliae dan Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Larva Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) pada Chipping Batang Kelapa Sawit. Universitas Medan Area.
Hasyim A, Yasir H, dan Azwana. 2005. Seleksi substrat untuk perbanyakan Beauveria bassiana (Bals.) Vuill dan infektivitasnya terhadap hama penggerek bonggol pisang, Cosmopolites sordidus Germar. J. Hort.
15(2):116-123.
Herlinda S, Utama MD, Pujiastuti Y, dan suwandi. 2006. Kerapatan dan viabilitas spora Beavuria bassiana (Bals.) Vuill akibat subkultur dan pengayaan media, serta virulensinya terhadap larva Plutella xylostella (Linn.) J.
HPT Tripika. 6(2):7—78.
Herlinda S, Mulyati SI, dan Suwandi. 2008a. Jamur entomopatogen berformulasi cair sebagai bioinsektisida untuk pengendali wereng coklat. J. Agritrop.
27(3):119-126.
Idris I., Mayerni R., Warnita W. 2020. Karakterisasi Morfologi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Kebun Binaan PPKS Kabupaten Dharmasraya. Jurnal Riset Perkebunan (JRP). Vol 1(1): 45-53.
Lukmana. M., Alamudi F. 2017. Monitoring Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Pada Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan di PT. Barito Putera Plantation. Jurnal Budidaya Tanaman Perkebunan Politeknik Hasnur. Vol 03(2): 59-63
Magfira. A, A., Himawan A. Tarmadja S. 2022. Aplikasi Jamur Beauveria Bassiana dan Metarhizium anisopliae Untuk Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros). Jurnal Agroteknologi. Vol 6 (1): 61-69.
Manurung E.M., Tobing. M.C., Lubis., Priwiratama. 2012. Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di Insektarium. Jurnal Online Agroekoteknologi. Vol 1 (1) 47-62
Meiatmoko D. Santi I.S., Kristalisasi E.N. 2018. Kajian Jamur Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Oryctes rhinoceros. Jurnal Agromast.
Vol 3(1).
Mulyono. 2007. Kajian Patogenisitas Cendawan Metarhizium anisopliae terhadap Hama Oryctes rhinoceros L. Tanaman Kelapa pada Berbagai Waktu Aplikasi. Tesis. Program Studi Magister. Universitas sebelas Maret, Surakarta.
Mulyono. (2008). Kajian patogenitas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap hama Oryctes rhinoceros L. tanaman kelapa pada berbagai waktu aplikasi. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Nasution L, dkk. 2021. Pemanfaatan Jamur Metharizium anisopliae Berasa dari Isolat Brontispa Longissima Mengendalikan Larva (Oryctes rhinoceros) Secara Invitro. Jurnal Agrica Ekstensia. Vol 15(2): 132- 141.
Perabu Jaya Sitepu. 2009. Kemampuan Larva Oryctes rhinoceros (Coleoptera:
Scarabaeidae) Menularkan Cendawan Metharizium anisopliae ke Larva Sehat di Pertanaman Kelapa Sawit. Skripsi. Universitas Sumatera Utara Petra J. S. 2021. Efektivitas Metharizium anisopliae dan Beauveria bassiana Terhadap Larva Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros Linn). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Universitas Palanga Raya. Palangka Raya.
Prawirosukarto, S.et al, 2003. Pengenalan dan Pengendalian hama dan penyakit tanaman kelapa sawit. PPKS, Medan
Prayitno A. T., 2012. Toksisitas Jamur Metarhizium anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Culex sp. Skripsi.
Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen M. anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 24 (1):19- 26p. Widiyanti N.L.P.M.,
Prayogo, Y., 2012. Efikasi Cendawan Entomopatogen Beaveria bassiana (Bals) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes) dan Metharizium anisopliae terhadap Kepik Hijau (Nezara virdula L.). Jurnal HPT Tropika 2(1): 1- 14
Sensie. 2020. Efektivitas Beauveria bassiana dengan Konsentrasi yang Berbeda Terhadap Nimfa Walang Sangit (Leptocorisa acuta) pada Tanaman Padi. Skripsi. Universitas Palangka Raya.
Siahaan, I.R.T.U dan Syahnen. 2014. Mengapa O. rhinoceros Menjadi Hama pada Tanaman Kelapa Sawit. Ditjenbun. Pertanian.go.id/…/berita-294- Diakses 10 juni 2016.
Siswanto dan I. M. Trisawa. 2018. Uji Mutu dan Keefektifan Metarhizium anisopliae Isolat Kalimantan Tengah Terhadap Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Buletin Palma. 19 (2) 79-88.
Soetopo D. 2004. Efficacy of selected Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Isolates in combination with a resistant cotton bollworm, Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae). (Disertasi). Philippines: University of The Philippines Los Banos
Tanada, Y. dan Kaya, H.K., 1993. Insect pathology. Aca-demik Press. Inc.
Publishier Sandiego New York Boston. London Sydney Tokyo Toronto. Hal 359-360.
Toto Suryanto, 2020. Uji Efektivitas Metarhizium anisopliae sebegai Pengendali Larva Oryctes rhinoceros di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Citra Widya Edukasi. 12 (2):147-147.
Widiarti, D.G. (2018). Uji Patogenitas Jamur Metarhizium sp. Isolat Lampung Selatan dan Salatiga Terhadap Larva Oryctes rhinoceros di Laboratorium DANST LARVA, 13.
Widiyanti, N.L.P Manik dan S. Muyadihardja. 2004. Uji Toksisitas Jamur Metharizium Anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti.
Media Litbang Kesehatan XIV (3): 25-30.
Vandaveer, C. 2004. What is Lethal-Male deliverysystem., http://www5e.biglobe.ne.jp/champ/Oryctesrhinoceros1.htm.com.
Diakses pada 10 Desember 2011.
Yustina., Fauziah, Y., dan Sofia, R. 2011. Struktur Populasi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) di area Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat Desa Kanantan Kabupaten Kampar Riau. Jurnal Biogenesis. 8(2):1-1.
Zul Khairi Syahputra, 2019. Uji Efektivitas Jamur Entomoparogen Dari Habitat Yang Berbeda dan Kerapatan Konidia Untuk Mengendalikan Hama Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiah Sumatera Utara. Medan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Susunan Letak Petak Penelitian
Ket: M: Dosis Metharizium U: Ulangan
M0U4 M0U2 M2U4 M1U2
M3U2 M1U3 M3U1 M0U1
M0U3 M3U4 M4U2 M2U1
M2U3
M1U1 M2U2
M4U3 M1U4 M4U4
M4U1 M3U3
Lampiran 2. Rata-Rata Jumlah Larva Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Terinfeksi Jamur Metharizium anisopliae
Hari Ulangan
Perlakuan Dosis
Sub total
Rata- rata 0 ml
(M0)
60 ml (M1)
80 ml (M2)
100 ml (M3)
120 ml (M4)
Hari Ke- 7
I 0 0 0 0 0 0 0
II 0 0 1 0 0 1 0,2
III 0 1 0 0 0 1 0,2
IV 0 0 0 0 0 0 0
Sub total 0 1 1 0 0
Rata-rata 0 0,25 0,25 0 0
Hari Ke- 14
I 0 1 3 3 0 7 1,4
II 0 1 1 0 1 3 0,6
III 0 3 2 0 0 5 1
IV 0 2 4 2 1 9 1,8
Sub total 0 7 10 5 2
Rata-rata 0 1,75 2,5 1,25 0,5
Hari Ke- 21
I 0 1 1 2 4 8 1,6
II 0 1 2 1 2 6 1,2
III 0 3 2 0 1 6 1,2
IV 0 8 2 1 1 12 2,4
Sub total 0 11 7 4 8
Rata-rata 0 2,75 1,75 1 2 1 0,25
Hari ke-28
I 0 0 0 0 1 0 0
II 0 0 0 0 0 0 0
III 0 0 0 0 0 1 0,25
IV 0 1 0 0 0
Sub total 0 1 0 0 0,25
Rata-rata 0 0,25 0 0 0,25
Sub Total
Rata-rata