2. Kebutuhan Air Tanaman
Original material by
Maria Kalista Hadia Sabu
Fakultas Teknik – Jurusan Teknik Sipil UNIKA SANTU PAULUS RUTENG
Irigasi dan
Bangunan Air
Landasan Hukum Pengelolaan IRIGASI
2
Dasar Hukum Pengelolaan Irigasi di Indonesia
3
UU No. 7 thn 2004 ttg Sumber Daya Air
PP No. 20 thn 2006 ttg Irigasi
1. Permen PU No. 30 tahun 2007 tentang Pedoman Pengembangan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif.
2. Permen PU No. 31 tahun 2007 tentang Pedoman Mengenai Komisi Irigasi
3. Permen PU No 32 tahun 2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
4. Permen PU No. 33 tahun 2007 tentang Pedoman Pemberdayaan
P3A/GP3A/IP3A.
5. Permen PU No. 16 tahun 2011 tentang Pedoman OP Jaringan Irigasi Tambak 6. Permen PU No. 17 tahun 2011 tentang
Pedoman Penetapan Garis Sempadan Jaringan Irigasi berikut lampirannya.
Standar Teknik Perencanaan
Kriteria Perencanaan (KP) Irigasi
*) UU No. 7/2004 dibatalkan oleh MK pd thn 2015, sehingga UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali sebagai acuan sementara hingga terbitnya UU yg baru (UU No. 17 tahun 2019 ttg Sumber Daya Air)
Penjabaran Umum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air mengatur berbagai hal mengenai pengelolaan sumberdaya air yang antara lain mengenai pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi. Ketentuan tersebut memerlukan penjabaran lebih lanjut dengan peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 41.
Penjabaran Pasal 41 adalah PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi.
Peraturan pemerintah ini memuat berbagai ketentuan mengenai irigasi secara terperinci dan komprehensif berdasarkan
pertimbangan dan pemikiran lebih rinci dapat dilihat di penjelasan PP tersebut.
4
PP No. 20 Tahun 2006
Struktur PP No. 20 Tahun 2006 sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi
Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab
Bab V Partisipasi Masyarakat Petani Dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi
Bab VI Pemberdayaan
5
PP No. 20 Tahun 2006
Struktur PP No. 20 Tahun 2006 sebagai berikut:
Bab VII Pengelolaan Air Irigasi
Bagian Kesatu Pengakuan atas Hak Ulayat
Bagian Kedua Hak Guna Air untuk Irigasi
Bagian Ketiga Penyediaan Air Irigasi
Bagian Keempat Pengaturan Air Irigasi
Bagian Kelima Drainase
Bagian Keenam Penggunaan Air Irigasi Langsung dari Sumber Air
Bab VIII Pengembangan Jaringan Irigasi
Bagian Kesatu Pembangunan Jaringan Irigasi
Bagian Kedua Peningkatan Jaringan Irigasi
Bab IX Pengelolaan Jaringan Irigasi
Bagian Kesatu Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi
Bagian Kedua Rehabilitasi Jaringan Irigasi
6
PP No. 20 Tahun 2006
Struktur PP No. 20 Tahun 2006 sebagai berikut:
Bab X Pengelolaan Aset Irigasi
Bab XI Pembiayaan
Bab XII Alih Fungsi Lahan Beririgasi
Bab X Pengelolaan Aset Irigasi
Bagian XIII Koordinasi Pengelolaan Sistem Irigasi
Bab XIV Pengawasan
Bab XV Ketentuan Peralihan
Bab XVI Penutup
7
PP No. 20 Tahun 2006
Bab I Ketentuan Umum
Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak.
Sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia.
Penyediaan air irigasi adalah penentuan volume air per satuan waktu yang dialokasikan dari suatu sumber air untuk suatu daerah irigasi yang
didasarkan waktu, jumlah, dan mutu sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang pertanian dan keperluan lainnya.
Pengaturan air irigasi adalah kegiatan yang meliputi kelembagaan, pemberian, dan penggunaan air irigasi.
8
PP No. 20 Tahun 2006
Bab I Ketentuan Umum
Pembagian air irigasi adalah kegiatan membagi air di bangunan bagi dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder.
Pemberian air irigasi adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier.
Penggunaan air irigasi adalah kegiatan memanfaatkan air dari petak tersier untuk mengairi lahan pertanian pada saat diperlukan.
Pembuangan air irigasi, selanjutnya disebut drainase, adalah pengaliran kelebihan air yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu.
Daerah irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi
9
PP No. 20 Tahun 2006
Bab I Ketentuan Umum
Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi.
Jaringan irigasi primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagisadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya.
Jaringan irigasi sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya.
10
PP No. 20 Tahun 2006
Bab I Ketentuan Umum
Jaringan irigasi tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan pelengkapnya.
Hak guna air
untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air dari sumber air untuk
kepentingan pertanian.
Hak guna pakai air
untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan memakai air dari sumber air untuk kepentingan pertanian.
Hak guna usaha air
untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air dari sumber air untuk kepentingan
pengusahaan pertanian.
11
PP No. 20 Tahun 2006
Bab I Ketentuan Umum
Komisi irigasi kabupaten/kota
adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah kabupaten/kota, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada kabupaten/kota.
Pembangunan jaringan irigasi adalah seluruh kegiatan
penyediaan jaringan irigasi di wilayah tertentu yang belum ada jaringan irigasinya.
Pengelolaan jaringan irigasi
adalah kegiatan yang meliputi
operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi.
12
PP No. 20 Tahun 2006
Bab I Ketentuan Umum
Operasi jaringan irigasi
adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membukamenutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air,
melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.
Pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya.
Rehabilitasi jaringan irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula.
13
PP No. 20 Tahun 2006
Bab II Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian.
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan
secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan dengan pendayagunaan sumber daya air yang didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah secara terpadu dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan
pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi di bagian hulu, tengah, dan hilir secara selaras.
14
PP No. 20 Tahun 2006
Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Untuk mewujudkan tertib pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun pemerintah dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi.
Kelembagaan pengelolaan irigasi meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan komisi irigasi.
Petani wajib membentuk P3A secara demokratis pada setiap daerah layanan/petak tersier atau desa.
P3A dapat membentuk Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) pada daerah layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.
GP3A dapat membentuk Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A) pada daerah layanan/blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi.
15
PP No. 20 Tahun 2006
Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Komisi Irigasi
dibentuk untuk mewujudkan keterpaduan pengelolaan sistem irigasi pada setiap provinsi dan
kabupaten/kota.
Dalam sistem irigasi lintas provinsi, dapat dibentuk komisi irigasi antarprovinsi
Dalam sistem irigasi yang multiguna, dapat diselenggarakan forum koordinasi daerah irigasi.
Komisi irigasi kabupaten/kota dibentuk oleh bupati/walikota
Keanggotaan komisi irigasi terdiri dari
Wakil pemerintah kabupaten/kota dan
Wakil nonpemerintah yang meliputi wakil perkumpulan petani
pemakai air dan/atau wakil kelompok pengguna jaringan
irigasi dengan prinsip keanggotaan proporsional dan keterwakilan.
16
PP No. 20 Tahun 2006
Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Komisi irigasi kabupaten/kota membantu bupati/walikota dengan tugas:
merumuskan kebijakan untuk mempertahankan dan
meningkatkan kondisi dan fungsi irigasi;
merumuskan pola dan rencana tata tanam pada daerah irigasi
dalam kabupaten/kota;
merumuskan rencana tahunan penyediaan air irigasi;
merumuskan rencana tahunan pembagian dan pemberian air
irigasi bagi pertanian dan keperluan lainnya;
merekomendasikan prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi;
dan
memberikan pertimbangan mengenai izin alih fungsi lahan
beririgasi.
17
Bab III Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
18
PP No. 20 Tahun 2006
Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab
Wewenang dan Tanggung Jawab
Pemerintahantara lain:
menetapkan kebijakan nasional pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi;
menetapkan status daerah irigasi yang sudah dibangun;
melaksanakan pengembangan sistem irigasi primer dan
sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional;
melaksanakan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan
daerah irigasi strategis nasional;
19
PP No. 20 Tahun 2006
Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab
Wewenang dan Tanggung Jawab
Pemerintah Provinsiantara lain:
menetapkan kebijakan provinsi dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional dengan mempertimbangkan kepentingan provinsi
sekitarnya;
melaksanakan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota;
melaksanakan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota;
20
PP No. 20 Tahun 2006
Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab
Wewenang dan Tanggung Jawab
Pemerintah Kabupaten/Kota a.l.:
menetapkan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi berdasarkan kebijakan
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi nasional dan provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
melaksanakan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota;
melaksanakan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha;
21
PP No. 20 Tahun 2006
Bab IV Wewenang dan Tanggung Jawab
Hak dan Tanggung Jawab
Masyarakat Petaniantara lain:
melaksanakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier;
memberikan persetujuan pembangunan, pemanfaatan,
pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi tersier berdasarkan
pendekatan partisipatif.
22
PP No. 20 Tahun 2006
Bab VII Pengelolaan Air Irigasi
Hak guna air untuk irigasi berupa hak guna pakai air untuk irigasi dan hak guna usaha air untuk irigasi.
Hak guna pakai air untuk irigasi diberikan untuk pertanian rakyat.
Hak guna usaha air untuk irigasi diberikan untuk keperluan pengusahaan di bidang pertanian.
23
24
Tantangan Dalam Pengelolaan Irigasi
26
Tantangan dalam irigasi
Kuantitas SDA
(Jumlah)
Kualitas SDA
(Mutu)
Pemanfaatan & Pengelolaan
(Waktu & Ruang)
WAktu RUaNG JumlAh MUtu
Tantangan dalam irigasi
28
Penyediaan Air secara Tepat dan Cukup
Tantangan dalam irigasi
29
Pencemaran sumber air
Tantangan dalam irigasi
Efisiensi Jaringan Irigasi
Tantangan: Menigkatkan efisiensi dengan mengurangi kehilangan air di dalam jaringan irigasi.
Kehilangan air (efisiensi) di jaringan irigasi:
12,5-20 % di petak tersier, antara bangunan sadap tersier dan
sawah,
5 -10 % di saluran sekunder,
5 -10 % di saluran utama,
30
Tantangan Dalam irigasi
Pengembangan Tananam Pangan
31
Indonesia adalah negara agraris,
namun masih harus mengimpor bahan pangan pokok dari negara lain.
Contohnya: kedelai, buah-buahan, beras.
Pengembangan tanaman pangan merupakan tantangan bagi Indonesia, agar negeri ini memiliki kedaulatan pangan.
Irigasi mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan
tanaman pangan tsb.
Budi Mixed Farming mengembangkan tanaman kedelai lokal di Grobogan, Jawa Tengah. Pembuatan sumur resapan di lahan pertanian
dimaksudkan untuk menambah
cadangan air dan kelembaban tanah.
Tantangan Dalam irigasi
Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di Kawasan Kering Indonesia
32
Dosen di Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, ini menaruh perhatian besar pada persoalan kekeringan yang kerap terjadi di kawasan terpencil Pulau Sabu dan Raijua, NTT.
Disertasinya, Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada Pulau Kecil di Kawasan Kering Indonesia, dalam sidang promosi doktor di Unpar ditujukan untuk membantu mengatasi kekeringan yang menjadi momok bagi warga Sabu dan Raijua.
Ia mengembangkan konsep pemanfaatan model pengelolaan air hujan untuk pertanian yang terintegrasi dengan sistem prasarana, operasional dan pemeliharaan, kelembagaan, serta pemberdayaan masyarakat dengan sistem informasi manajemen terpadu. Dia meyakini, hanya dengan integrasi ini kekeringan di pulau kecil itu bisa diatasi secara teknis.
Modernisasi Irigasi
Kenaikan jumlah penduduk selalu diikuti dengan peningkatan kebutuhan pangan, yang pada akhirnya mengarah pada kebutuhan lahan
pertanian/perkebunan dan air. Di sisi lain keteersediaan air juga berkurang akibat kerusakan lingkungan, dan terjadi persaingan dengan kebutuhan lain (air minum, energi, dan industri).
Teknologi irigasi hemat air menjadi suatu pilihan, ditambah dengan penerapan manajemen irigasi berbasis kebutuhan.
Modernisasi irigasi bukan hanya pada pengembangan teknologi, tetapi juga sbg upaya mewujudkan sistem pengelolaan irigasi partisipatif yang
berorientasi pada pemenuhan tingkat layanan irigasi secara efektif, efisien, dan berkelanjutan dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan air melalui peningkatan keandalan penyediaan air, prasarana, pengelolaan irigasi, institusi pengelola, dan sumber daya manusia (Kementerian PU, 2011).
33
Tahapan dan Fase
Pertumbuhan Tanaman (Padi)
34
TAHAPAN Budidaya Padi
35
a. Pembibitan
Sebelum padi ditanam, tanaman padi harus disemaikan lebih dahulu.
Pesemaian harus disiapkan dan dikerjakan dengan baik, supaya diperoleh bibit yang baik, sehingga pertumbuhannya akan baik pula.
Memilih tempat pesemaian
Tanahnya harus subur, banyak mengandung humus, dan gembur.
Tanahnya terbuka, tak terlindung oleh pepohonan, sehingga sinar matahari dapat diterima dan dipergunakan sepenuhnya.
Dekat dengan sumber air terutama untuk pesemaian basah, karena banyak membutuhkan air. Sedangkan untuk pesemaian kering, agar mudah mendapatkan air untuk menyirami apabila pesemaian itu
mengalami kekeringan.
Apabila areal yang akan ditanami cukup luas sebaiknya tempat pembuatan pesemaian tak terkumpul menjadi satu tempat tetapi dibuat memencar. Hal itu untuk menghemat biaya atau tenaga pengangkutannya.
36
A. Pembibitan
Mengerjakan tanah untuk pesemaian
Tanah pesemaian harus mulai dikerjakan kurang lebih 50 hari sebelum penanaman. Karena adanya dua jenis padi, yaitu padi basah dan padi kering, maka tanah pesemaian juga dapat dibedakan atas pesemaian basah dan pesemaian kering.
Pesemaian basah
Dalam membuat pesemaian basah harus dipilih tanah sawah yang betul-betul subur. Rumput-rumput dan jerami yang masih tertinggal harus dibersihkan lebih dulu. Kemudian sawah digenangi air agar tanah menjadi lunak, rumput-rumputan yang akan tumbuh
menjadi mati, dan bermacam-macam serangga yang dapat merusak bibit mati pula.
Selanjutnya, apabila tanah sudah cukup lunak lalu dibajak/digaru dua kali agar tanah menjadi halus. Pada saat itu juga sekaligus dibuat petakan-petakan dan memperbaiki pematang.
Sebagai ukuran dasar luas pesemaian yang harus dibuat kurang lebih 1/20 dari areal sawah yang akan ditanami.
37
A. Pembibitan
Mengerjakan tanah untuk pesemaian
Pesemaian kering
Prinsip pembuatan pesemaian kering sama dengan pesemaian basah. Rumput-rumput dan sisa-sisa jerami yang ada harus
dibersihkan terlebih dahulu. Tanah dibolak-balik dengan bajak dan digaru, atau bisa juga memakai cangkul, yang terpenting tanah menjadi gembur.
Setelah tanah menjadi halus, diratakan dan dibuat bedengan- bedengan. Adapun ukuran bedengan sebagai berikut : Tinggi 20 cm, lebar 120 cm, panjang 500-600 cm.
Antara bedengan yang satu dengan yang lain diberi jarak 30 cm sebagai selokan yang dapat digunakan untuk memudahkan : penaburan biji, pengairan, pemupukan, penyemprotan hama, penyiangan, dan pencabutan bibit.
38
A. Pembibitan
Penaburan Bibit
Untuk memilih biji-biji yang bernas, biji harus direndam dalam air. Biji-biji yang bernas akan tenggelam sedangkan biji-biji yang hampa akan terapung.
Maksud perendaman selain memilih biji yang bernas, juga agar biji cepat berkecambah. Lama perendaman cukup 24 jam, kemudian biji diambil dari rendaman lalu diperam, dibungkus memakai daun pisang dan
karung. Pemeraman dibiarkan selama 8 jam.
Apabila biji sudah berkecambah dengan panjang 1 mm, maka biji
disebar di tempat pesemaian. Diusahakan agar penyebaran biji merata, tidak terlalu rapat dan tidak terlalu jarang.
Apabila penyebarannya terlalu rapat akan mengakibatkan benih yang tumbuh kecil-kecil dan lemah, tetapi penyebaran yang terlalu jarang biasanya menyebabkan tumbuh benih tidak merata
39
A. Pembibitan
Pemeliharaan Pesemaian
Pada pesemaian basah, begitu biji ditaburkan terus digenangi air selama 24 jam, baru dikeringkan.
Genangan air dimaksudkan agar biji yang disebar tidak berkelompok- kelompok sehingga dapat merata. Adapun pengeringan setelah
penggenangan selama 24 jam itu dimaksudkan agar biji tidak membusuk dan mempercepat pertumbuhan.
Pada pesemaian kering, pengairan dilakukan dengan air rembesan. Air dimasukkan dalam selokan antara bedengan-bedengan sehingga
bedengan akan terus-menerus mendapatkan air dan benih akan tumbuh tanpa mengalami kekeringan.
Apabila benih sudah cukup besar, penggenangan dilakukan dengan melihat keadaan. Pada bedengan pesemaian bila banyak ditumbuhi rumput, perlu digenangi air. Apabila pada pesemaian tidak ditumbuhi rumput, maka penggenangan air hanya kalau diperlukan saja.
40
Pembibitan Padi
41
B. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk penanaman padi harus sudah disiapkan sejak dua bulan sebelum penanaman. Pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan dua macam cara yaitu dengan cara tradisional dan cara modern.
Pengolahan tanah sawah dengan cara tradisional, yaitu pengolahan tanah sawah dengan alat-alat sederhana seperti sabit, cangkul, bajak dan garu yang semuanya dilakukan oleh manusia atau dibantu oleh binatang misalnya, kerbau dan sapi.
Pengolahan tanah sawah dengan cara modern yaitu pengolahaan tanah sawah yang dilakukan dengan mesin, contohnya dengan traktor dan alat-alat pengolahan tanah yang dioperasikan manusia.
42
B. Pengolahan Tanah
Tahapan pengolahan tanah adalah:
1) Pembersihan
Sebelum tanah sawah dicangkul, harus dibersihkan lebih dahulu dari jerami-jerami atau rumput-rumput yang ada. Dikumpulkan di satu tempat atau dijadikan kompos. Sebaiknya jangan dibakar, sebab
pembakaran jerami itu akan menghilangkan zat nitrogen yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman.
2) Pencangkulan
Sawah yang akan dicangkul harus digenangi air terlebih dahulu agar tanah menjadi lunak dan rumput-rumputnya cepat membusuk.
Pekerjaan pencangkulan ini dilanjutkan pula dengan perbaikan pematang-pematang yang bocor.
43
B. Pengolahan Tanah
3) Pembajakan
Sebelum pembajakan, sawah harus digenangi air lebih dahulu.
Pembajakan dimulai dari tepi atau dari tengah petakan sawah yang dalamnya antara 12-20 cm.
Tujuan pembajakan adalah mematikan dan membenamkan rumput, dan membenamkan bahan-bahan organis seperti : pupuk hijau, pupuk kandang, dan kompos sehingga bercampur dengan tanah. Selesai pembajakan sawah digenangi air lagi selama 5-7 hari untuk mempercepat pembusukan sisa-sisa tanaman dan
melunakkan bongkahan-bongkahan tanah.
44
B. Pengolahan Tanah
4) Penggaruan
Pada waktu sawah akan digaru genangan air dikurangi,
sehingga cukup hanya untuk membasahi bongkahan-bongkahan tanah saja. Penggaruan dilakukan berulang-ulang sehingga sisa- sisa rumput terbenam dan mengurangi perembesan air ke bawah.
Setelah penggaruan pertama selesai, sawah digenangi air lagi selama 7-10 hari, selang beberapa hari diadakan pembajakan
yang kedua. Tujuannya yaitu: meratakan tanah, meratakan pupuk dasar yang dibenamkan, dan pelumpuran agar menjadi lebih
sempurna.
45
Pembajakan Sawah Tradisional
46
Pembajakan Sawah Tradisional
47
Pembajakan Sawah Dengan Traktor
48
Penggaruan Tradisional
49
C. Penanaman
Pekerjaan penanaman didahului dengan pekerjaan pencabutan bibit di pesemaian. Bibit yang akan dicabut adalah bibit yang sudah berumur 25-40 hari (tergantung jenisnya), berdaun 5-7 helai. 2 atau 3 hari sebelum
pencabutan, tanah digenangi air agar tanah menjadi lunak dan memudahkan pencabutan.
Bibit yang telah dicabut lalu diikat dalam satu ikatan besar untuk memudahkan pengangkutan. Bibit yang sudah dicabut harus segera ditanam, jangan
sampai bermalam.
Penanaman padi yang baik harus menggunakan larikan ke kanan dan ke kiri dengan jarak 20 x 20 cm, hal ini untuk memudahkan pemeliharaan, baik
penyiangan atau pemupukan dan memungkinkan setiap tanaman
memperoleh sinar matahari yang cukup dan zat-zat makanan secara merata.
Dengan berjalan mundur tangan kiri memegang bibit, tangan kanan
menanam. Tiap lubang 2 atau 3 batang bibit, dalamnya kira-kira 3 atau 4 cm.
Usahakan penanaman tegak lurus jangan sampai miring.
50
Pengangkutan Bibit
51
Penanaman Padi
52
Penanaman Padi Dengan Mesin Tanam
53
D. Pemeliharaan
Pengairan
Air yang dipergunakan untuk pengairan padi di sawah sebaiknya adalah air yang berasal dari sungai, sebab air sungai banyak mengandung lumpur dan kotoran- kotoran yang sangat berguna untuk menambah kesuburan tanah dan tanaman.
Air yang dimasukkan ke petakan-petakan sawah adalah air yang berasal dari saluran sekunder atau tersier.
Pada waktu mengairi tanaman padi di sawah, dalamnya air harus diperhatikan dan disesuaikan dengan umur tanaman tersebut. Kedalaman air hendaknya diatur dengan cara sebagai berikut:
Tanaman yang berumur 0-8 hari dalamnya air cukup 5 cm.
Tanaman yang berumur 8-45 hari dalamnya air dapat ditambah hingga 10-20 cm.
Tanaman padi yang sudah membentuk bulir dan mulai menguning dalamnya air dapat ditambah hingga 25 cm, setelah itu dikurangi sedikit demi sedikit.
Sepuluh hari sebelum panen, sawah dikeringkan sama sekali. Agar padi dapat masak bersama-sama.
54
D. Pemeliharaan
Penyiangan dan Penyulaman
Setelah penanaman, apabila tanaman padi ada yang mati harus segera diganti (disulam). Tanaman sulam itu dapat menyamai yang lain, apabila penggantian bibit baru jangan sampai lewat 10 hari sesudah tanam.
Selain penyulaman yang perlu dilakukan adalah penyiangan agar rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman padi tidak
bertumbuh banyak dan mengambil zat-zat makanan yang dibutuhkan tanaman padi. Penyiangan dilakukan dua kali yang pertama setelah padi berumur 3 minggu dan yang kedua setelah padi berumur 6
minggu.
55
Fase Pertumbuhan Padi
Fase-fase pertumbuhan tanaman padi berikut disajikan berdasarkan informasi/data dan karakteristik IR64, varietas unggul berdaya hasil tinggi, semidwarf (tinggi sedang), namun secara umum berlaku juga untuk varietas lainnya.
Secara garis besar, fase pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi 2 (dua) bagian yakni fase vegetatif dan fase generatif, namun ada yang membagi lagi fase generatifnya menjadi fase reproduktif dan
pematangan.
Di daerah tropis, fase reproduktif berlangsung lebih kurang 35 hari , sedangkan fase pematangannya sekitar 30 hari. Perbedaan umur
tanaman ditentukan oleh perbedaan panjang fase vegetatif. Sebagai contoh, IR64 yang matang dalam 120 hari mempunyai fase vegetatif 55 hari, sedangkan varietas yang matang dalam 150 hari fase
vegetatifnya 85 hari.
56
Perhitungan
Kebutuhan Air Tanaman
57
Kebutuhan Air Irigasi
Gross Field Requirement (GFR)
Kebutuhan total air di sawah yang
ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
1) Penyiapan lahan
adalah masa pengolahan tanah dengan tujuan menyediakan suatu kondisi tanah dengan
kelembaban maksimum.
2) Kebutuhan pada saat transplantasi (penggunaan konsumtif)
adalah masa pertumbuhan dari mulai tahap awal
pertumbuhan sampai tahap akhir pertumbuhan/panen
3) Perkolasi dan rembesan (P)4) Pergantian lapisan air (WLR)
58
Kebutuhan Air Irigasi
Net Field Requirement (NFR)
Kebutuhan bersih air di sawah; yaitu jumlah air irigasi yg dibutuhkan tanaman dgn memperhitungkan curah hujan efektif
Kebutuhan air di sawah dinyatakan dalammm/hari atau l/s/ha.
59
Kebutuhan
air tanaman Curah hujan efektif Kebutuhan
air di sawah
KEBUTUHAN AIR IRIGASI
Irrigation Requirement (IR, DR)
kebutuhan pengambilan; yaitu jumlah air irigasi yg dibutuhkan untuk mengairi seluruh areal jaringan irigasi dgn memperhitungkan kehilangan air di sepanjang Saluran Primer, Sekunder dan Tersier
Efisiensi di saluran adl tingkat efisiensi yang dapat dicapai di saluran
karena adanya kehilangan air akibat rembesan atau bocoran sepanjang saluran tersebut.
Keterangan :
DR : Kebutuhan air irigasi di bangunan pengambilan [m3/s]
NFR : Kebutuhan bersih air irigasi di sawah [m3/s]
e : Efisiensi di saluran
8,64 : Konversi dari [mm/hari] ke [l/s/ha]
60
64 ,
8
Efisiensi
DR NFR
KEBUTUHAN AIR IRIGASI
Irrigation Requirement (IR, DR)
Kehilangan air di saluran dibedakan menjadi:
Saluran tersier : 15% - 22,5% ditetapkan 20%, efisiensi = 80%
Saluran sekunder : 7,5% - 12,5% ditetapkan 10%, efisiensi = 90%
Saluran primer : 7,5% - 12,5% ditetapkan 10%, efisiensi = 90%
Besarnya Efisiensi:
Efisiensi di saluran tersier : 80% = 0,80
Efisiensi di saluran sekunder : 80% × 90% = 72% = 0,72
Efisiensi di saluran primer : 80% × 90% × 90% = 64,8% = 0,65
61
Kebutuhan Air Irigasi Penyiapan Lahan
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya akan
menentukan kebutuhan air irigasi maksimum pada suatu proyek irigasi. Umumnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan dapat ditentukan berdasarkan kedalaman serta porositas tanah di sawah.
Faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah:
Evapotranspirasi tanaman acuan.
Besarnya Perkolasi.
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan penyiapan lahan (30 hari atau 45 hari),
Jumlah air yang diperlukan untuk penjenuhan ditambah 50 mm.
Kondisi sosial budaya di daerah penanaman akan mempengaruhi lamanya waktu untuk penyiapan lahan. Penyiapan lahan di seluruh petak tersier dapat diasumsikan selama 1,5 bulan (45 hari). Apabila menggunakan bantuan mesin, waktu penyiapan lahan dapat
diambil satu bulan (30 hari).
62
Kebutuhan Air Irigasi Penyiapan Lahan
Perhitungan kebutuhan air irigasi untuk penyiapan lahan dapat menggunakan metode yang dikembangkan oleh
van de Goordan
Zijlstra(1968). Metode tersebut didasarkan pada laju air konstan dalam l/s selama periode penyiapan lahan yang dirumuskan sebagai:
Kebutuhan air pengganti evaporasi dan perkolasi (K), dirumuskan:
63
M = E0 + P
S T k M
1
kk
e M e LP
LP = Land Preparation, kebutuhan air penyiapan lahan [mm/hari]
M = kebutuhan air untuk mengganti air yg hilang akibat evaporasi & perkolasi
T = jangka waktu penyiapan lahan (30 atau 45 hari) S = Kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dgn
lapisan air 50 mm
E0 = evaporasi selama penyiapan lahan = 1,1 × ET0 ET0 = evapotranspirasi tanaman acuan
Nilai pangkat k, dirumuskan:
Kebutuhan Air Irigasi Penyiapan Lahan
Kebutuhan air penjenuhan (S), dirumuskan:
PWR dirumuskan:
Kebutuhan bersih air irigasi untuk penyiapan lahan:
64
S = PWR + 50 mm
FI d Pd
N S
PWR S
a
b
10000
PWR = Paddy Water Requirement, Kebutuhan air untuk penyiapan lahan [mm]
Sa = derajat kejenuhan tanah setelah penyiapan lahan (100%) Sb = derajat kejenuhan tanah sebelum penyiapan lahan (0–75%) N = porositas tanah [%]
d = asumsi kedalaman tanah setelah penyiapan lahan [mm]
Pd = kedalaman genangan setelah penyiapan lahan (50 mm) FI = kehilangan air di sawah dalam 1 hari (5 mm/hari)
%) 80 (
R
eLP
NFR
Kebutuhan Air Irigasi Penyiapan Lahan
65
Tabel 2.1. Kebutuhan Air Irigasi Selama Penyiapan Lahan
T ( Hari ) M
[mm/hari] 150 200 250 300 350 150 200 250 300 350
3,00 6,65 8,28 9,92 11,57 13,23 5,06 6,11 7,19 8,28 9,37
3,25 6,80 8,42 10,06 11,71 13,37 5,22 6,27 7,34 8,42 9,52
3,50 6,95 8,57 10,21 11,85 13,50 5,38 6,42 7,49 8,57 9,66
3,75 7,11 8,72 10,35 11,99 13,64 5,55 6,58 7,64 8,72 9,80
4,00 7,26 8,87 10,49 12,13 13,78 5,72 6,74 7,79 8,87 9,95
4,25 7,42 9,02 10,64 12,28 13,92 5,90 6,90 7,95 9,02 10,10
4,50 7,58 9,17 10,78 12,42 14,06 6,07 7,07 8,11 9,17 10,24
4,75 7,75 9,32 10,93 12,56 14,20 6,25 7,23 8,26 9,32 10,39
5,00 7,91 9,48 11,08 12,71 14,34 6,44 7,40 8,43 9,48 10,54
5,25 8,08 9,63 11,23 12,85 14,49 6,62 7,57 8,59 9,63 10,70
5,50 8,24 9,79 11,38 13,00 14,63 6,81 7,75 8,75 9,79 10,85
5,75 8,41 9,95 11,54 13,15 14,78 7,00 7,92 8,92 9,95 11,00
6,00 8,59 10,11 11,69 13,30 14,92 7,19 8,10 9,09 10,11 11,16
6,25 8,76 10,27 11,85 13,45 15,07 7,38 8,28 9,25 10,27 11,32
6,50 8,94 10,44 12,00 13,60 15,22 7,58 8,46 9,43 10,44 11,48
6,75 9,11 10,60 12,16 13,75 15,37 7,78 8,64 9,60 10,60 11,63
7,00 9,29 10,77 12,32 13,91 15,51 7,98 8,83 9,77 10,77 11,80
7,25 9,47 10,94 12,48 14,06 15,66 8,18 9,01 9,95 10,94 11,96
7,50 9,65 11,11 12,64 14,21 15,82 8,38 9,20 10,12 11,11 12,12
7,75 9,84 11,28 12,80 14,37 15,97 8,59 9,39 10,30 11,28 12,29
8,00 10,02 11,45 12,96 14,53 16,12 8,80 9,58 10,48 11,45 12,45
8,25 10,21 11,62 13,13 14,69 16,27 9,01 9,78 10,67 11,62 12,62 8,50 10,40 11,80 13,29 14,84 16,43 9,22 9,97 10,85 11,80 12,79 8,75 10,59 11,97 13,46 15,01 16,58 9,43 10,17 11,03 11,97 12,96 9,00 10,78 12,15 13,63 15,17 16,74 9,65 10,37 11,22 12,15 13,13 9,25 10,98 12,33 13,80 15,33 16,90 9,87 10,57 11,41 12,33 13,30 9,50 11,17 12,51 13,97 15,49 17,05 10,08 10,77 11,60 12,51 13,47 9,75 11,37 12,69 14,14 15,65 17,21 10,30 10,97 11,79 12,69 13,65 10,00 11,57 12,87 14,31 15,82 17,37 10,52 11,18 11,98 12,87 13,82
45 30
S [mm] S [mm]
Kebutuhan Air Irigasi Penyiapan Lahan
Untuk tanah bertekstur berat tanpa retak-retak, kebutuhan air untuk penyiapan lahan diambil 200 mm (termasuk untuk penjenuhan dan pengolahan tanah).
Pada permulaan transplantasi, tidak akan ada lapisan air yang tersisa di sawah.
Setelah transplantasi selesai, lapisan air di sawah akan ditambah 50 mm, sehingga secara keseluruhan lapisan air yang diperlukan adalah 250 mm.
Bila lahan telah dibiarkan bera (tanah yang dibiarkan tidak ditanami agar kembali kesuburannya) dalam jangka waktu lama (≥ 2,5 bulan), maka lapisan air yang diperlukan untuk penyiapan lahan diambil 300 mm, termasuk 50 mm untuk penggenangan setelah transplantasi.
Untuk tanah-tanah dengan laju perkolasi yang lebih tinggi, harga kebutuhan air untuk penyiapan lahan bisa diambil lebih tinggi.
66
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
Penggunaan konsumtif dibedakan berdasarkan jenis tanaman, yaitu:
Tanaman yg banyak memerlukan air (misal: Padi)
Tanaman yg tidak banyak memerlukan air (misal: Palawija)
Kebutuhan air PADI ditentukan oleh:
Perkolasi (P)
Penggantian Lapisan Air (WLR)
Evapotranspirasi (ETc)
Curah Hujan Efektif (Reff80%)
Kebutuhan air PALAWIJA ditentukan oleh:
Evapotranspirasi (ETc)
Curah Hujan Efektif (Reff 50%)
67
NFR = P + WLR + ETc – Reff
NFR = ETc – Reff
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
I. PERKOLASI / REMBESAN (P)
Laju perkolasi sangat bergantung pada sifat-sifat tanah cara penentuan terbaik adalah dengan pengukuran di lapangan.
Pada tanah lempung berat dengan karakteristik pengolahan
(puddling) yang baik, laju perkolasi dapat mencapai 1–3 mm/hari.
Pada tanah-tanah yang lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi.
Nilai perkolasi utk berbagai tekstur tanah dapat dilihat pd Tabel 2.4.
68
Tabel 2.4 Nilai Perkolasi Untuk Berbagai Tekstur Tanah Kedalaman Perkolasi
[mm/hari]
1). Clay 1,0 - 1,5
2). Silty Clay 1,5 - 2,0
3). Clay Loam, Silty Clay Loam 2,0 - 2,5
4). Mudy Clay Loam 2,5 - 3,0
5). Sandy Loam 3,0 - 5,0
Sumber : Dirjen Pengairan, Pedoman Umum OP Jaringan Irigasi Tekstur Tanah
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
II. PENGGANTIAN LAPISAN AIR (WLR)
Penggantian lapisan air dilakukan sebagai berikut:
Setelah pemupukan, usahakanlah untuk menjadwalkan dan mengganti lapisan air menurut kebutuhan,
Jika tidak ada penjadwalan semacam ini, lakukanlah penggantian sebanyak dua kali, masing-masing 50 mm selama ½ bulan (= 3,3 mm/hari) pada waktu sebulan dan dua bulan setelah transplantasi.
69
MODEL PERHITUNGAN PENGGANTIAN LAPISAN AIR
Penggantian Lapisan Air Untuk Pengolahan lahan 30 Hari
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
WLR 1 3,3 3,3 3,3 3,3
WLR 2 3,3 3,3 3,3 3,3
WLR 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7
Penggantian Lapisan Air Untuk Pengolahan lahan 45 Hari
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
WLR 1 3,3 3,3 3,3 3,3
WLR 2 3,3 3,3 3,3 3,3
WLR 3 3,3 3,3 3,3 3,3
WLR 1,1 1,1 2,2 1,1 1,1 1,1 1,1 2,2 1,1 1,1
Jul Agt Sep Ok
Jul Agt Sep Ok
Nop Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun
Nop Des Jan Feb Mrt Apr Mei Jun
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
70
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Kebutuhan air irigasi untuk tanaman (penggunaan konsumtif) digambarkan sebagai laju evapotranspirasi yg dinyatakan dalam mm/hari atau mm/satuan waktu lainnya.
Evapotranspirasi dipengaruhi oleh meteorologi, jenis tanaman, fase pertumbuhan tanaman, posisi lintang dan elevasi daerah irigasi
Secara umum, dirumuskan sebagai berikut:
Evapotranspirasi tanaman acuan adalah evapotranspirasi yang dijadikan acuan, yaitu rerumputan pendek.
Keterangan:
ETc : Evapotranspirasi tanaman [mm/hari]
ET0 : Evapotranspirasi tanaman acuan [mm/hari]
kc : koefisien tanaman
ET
0k
ET
c
c
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
71
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Evapotranspirasi acuan dapat dihitung dengan rumus-rumus teoritis-empiris. Di Indonesia dianjurkan untuk menggunakan rumus Penman yang sudah dimodifikasi.
Di Indonesia terdapat 2 metode rumus Penman yang dimodifikasi:
Metode Nedeco/Prosida yang dapat dilihat pada terbitan Dirjen Pengairan, Bina Program, PSA 010, 1985
Metode FAO, lebih umum dipakai dan dijelaskan dalam terbitan FAO, Crop Water Requirement, 1975
Apabila evaporasi diukur pada stasiun klimatologi, maka
biasanya digunakan Pan Kelas A. Harga-harga E
pandikonversi dalam angka-angka ET
0dengan menerapkan faktor pan K
pantara 0,65 sampai 0,85, bergantung pada kecepatan angin, kelembaban relatif serta elevasi.
pan
p
E
K
ET
0
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Harga-harga ET
0dari Rumus Penman merujuk pada tanaman acuan rerumputan pendek dengan nilai albedo = 0,25.
Koefisien-koefisien tanaman yang dipakai untuk perhitungan ET
charus mengacu pada ET
0ini dengan albedo = 0,25.
Penggunaan konsumtif dihitung secara tengah-bulanan, demikian pula harga-harga evapotranspirasi acuan.
72
Albedo merupakan sebuah besaran yang menggambarkan perbandingan antara sinar matahari yang tiba di permukaan bumi dan yang dipantulkan kembali ke angkasa dengan terjadi perubahan panjang gelombang (outgoing longwave radiation).
Perbedaan panjang gelombang antara yang datang dan yang dipantulkan dapat dikaitkan dengan seberapa besar energi matahari yang diserap oleh permukaan bumi.
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Koefisien Tanaman k
c Nilai koef. tanaman (kc) bervariasi sesuai jenis tanaman dan masa pertumbuhannya
73
0 2 4 6 8 10 12 14
0 50 100 150
Koef. Tanaman, Kc
Waktu (hari)
Tahap1 Awal Tahap2 Pertumbuhan Tahap3 Pematanganan Tahap4 Akhir, siappanen
Awal Pemanfaatan
air
Akhir
pemanfaatan air
Kebutuhan air maksimum
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Koefisien Tanaman k
cNilai koefisien tanaman untuk padi dapat dilihat pada Tabel 2.2, sedangkan untuk Palawija dapat dilihat pada Tabel 2.3.
74
Tabel 2.2. Nilai Koefisien Tanaman Padi kc
Varietas Biasa Varietas Unggul Varietas Biasa Varietas Unggul
0,5 1,20 1,20 1,10 1,10
1,0 1,20 1,27 1,10 1,10
1,5 1,32 1,33 1,10 1,05
2,0 1,40 1,30 1,10 1,05
2,5 1,35 1,30 1,10 0,95
3,0 1,24 0,00 1,05 0,00
3,5 1,12 0,95
4,0 0,00 0,00
Sumber : Dirjen Pengairan, Bina Program PSA 010, 1985 Catatan:
Varietas padi biasa adalah varietas padi dengan masa tumbuhnya lama Varietas unggul adalah varietas padi dengan waktu tumbuhnya pendek Selama setengah bulan terakhir permberian air irigasi ke sawah dihentikan.
FAO Nedeco/Prosida
Bulan
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Koefisien Tanaman kc
75
Tabel 2.3. Koefisien Tanaman Palawija kc (Digunakan untuk ET0 FAO)
Masa Tumbuh
[hari] 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kedelai 85 0,50 0,75 1,00 1,00 0,82 0,45
Jagung 80 0,50 0,59 0,96 1,05 1,02 0,95
Kacang Tanah 130 0,50 0,51 0,66 0,85 0,95 0,95 0,95 0,55 0,45
Bawang 70 0,50 0,51 0,69 0,90 0,95
Buncis 75 0,50 0,64 0,89 0,95 0,88
Sumber : FAO Guideline for Crop Water Requirements (1977) Catatan:
Bila digunakan dengan ET0 Prosida, Koefisien Tanaman di atas dikalikan dengan koefisien 1,15 Periode Setengah Bulanan Ke : Tanaman
Padi unggul memerlukan waktu 3 bulan + ½ bulan LP
Padi biasa memerlukan waktu 4 bulan + ½ bulan LP
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Penman Modifikasi
Metode Penman merupakan metode yg menggunakan parameter iklim paling lengkap
Data yg diperlukan:
Data temperatur udara bulanan (Ta)
Data kelembaban udara bulanan (h)
Data penyinaran matahari (Z)
Data kecepatan angin bulanan (U)
Data lokasi terhadap posisi lintang (LS/LU)
Data elevasi / ketinggian lokasi (Y)
Radiasi (Ra)
76
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Penman Modifikasi
77
W Rn w f u ea ed
c
PET 1
H H
B
EaB
ET0 i o 1
Dimana: ET0 = Evapotranspirasi potensial (mm/hari)
B = perbandingan energi evaporasi dgn energi budget
Hi = faktor radiasi datang (mm/hari) Ho = faktor radiasi keluar (mm/hari) Ea = faktor aerodinamik (mm/hari)
c × W B
Rn (Hi – Ho) (1 – w) (1 – B) f(u) (ea – ed) Ea
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Penman Modifikasi
1. Faktor Radiasi Datang (Hi)
2. Faktor Radiasi Keluar (Ho)
78
Hi = Ra (1 – r) (a1 + a2 Z)
Ra = radiasi gelombang pendek tergantung lokasi r = koefisien reflaksi, utk tumbuhan 0,15 < r < 0,25
Z = n/N = perbandingan penyinaran matahari sesungguhnya dgn penyinaran maksimum.
Ho = STa4 (a3 – a4 ed0,5) (a5 + a6 Z)
STa = radiasi gelombang panjang
ed = tekanan uap udara jenuh yg sebenarnya = h·ea Z = penyinaran matahari rata-rata
h = kelembaban udara relatif
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Penman Modifikasi
3. Faktor Aerodinamik (Ea)4. Perbandingan energi evaporasi dan energi budget (B)
79
G D B D
D = sudut tekanan uap jenuh pd suhu Ta G = konstanta physometric = 0,66 P
P = tekanan atmosfer rata-rata = 1013 – 0,115 Y Y = elevasi titik tinjau
Ea = a7 (ea – ed) (a8 + a9 U2) U2 = kecepatan angin rata2 pada ketinggian 2 m di atas permukaan tanah (km/jam)
Tinggi pengukuran 0,5 1 1,5 2 3 4 5 6
Faktor koreksi 1,35 1,15 1,06 1,00 0,93 0,88 0,85 0,83
Kebutuhan Air Irigasi Penggunaan Konsumtif
III. EVAPOTRANSPIRASI (ETc)
Penman Modifikasi
Konstanta Penman
Koefisien Reflaksi/Pantulan (r)
80
a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 a8 a9
0.24 0.41 0.56 0.08 0.28 0.55 0.2 0.5 – 1.0 0.0063
New Snow 0.80 – 0.90
Old Snow 0.60 – 0.80
Melting Snow 0.40 – 0.60
Ice 0.40 – 0.50
Water 0.05 – 0.15
Fores