• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Yang Kontradiktif : Antara Retorika dan Implementasi

N/A
N/A
Eurydice Ng

Academic year: 2024

Membagikan "Politik Yang Kontradiktif : Antara Retorika dan Implementasi "

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Yang Kontradiktif : Antara Retorika dan Implementasi Nama Penulis : Eurydice Angelyn Valerie Ng

Pendahuluan

Dalam perjalanan kisah politik, panggung demokrasi menghadirkan pertunjukan spektakuler di mana ideologi dan keinginan berbenturan. Para pemimpin berlomba-lomba menarik perhatian dengan janji-janji indah, mencitrakan diri sebagai agen perubahan positif.

Namun, di belakang layar, politik seringkali melibatkan permainan kotor, intrik, dan strategi taktis untuk mencapai tujuan. Seringkali, kepentingan pribadi dan kelompok mempengaruhi keputusan politik, mengaburkan garis antara retorika idealis dan praktik politik yang kompleks.

Pemilih menjadi saksi ketidaksesuaian antara kata-kata manis di atas panggung dan realitas yang rumit di dunia nyata. Dalam arena demokrasi, panggung tidak hanya menjadi tempat pertarungan gagasan, menawarkan visi yang menggiurkan tentang masa depan, tetapi juga medan pertempuran untuk ambisi dan kekuasaan pribadi.

Isi

Fenomena ketidaksesuaian antara retorika dan realitas implementasi kebijakan telah menjadi ciri khas dalam dinamika politik modern. Sebagaimana diungkapkan oleh Neil Postman, seorang pedagog dan kritikus media, politik telah menjadi bagian dari bisnis media, di mana penampilan luar, citra, dan sensasi lebih diutamakan daripada substansi dan kinerja nyata. Dalam ruang digital politik, politik bukanlah lagi sebuah panggung etis, tetapi panggung hiburan.

Politisi lebih suka tampil di media dan membuat sensasi berita, lebih suka retorika daripada karya, lebih suka doyan fashion ketimbang vision, tebar janji daripada tebar kinerja dan lebih suka tebar pesona daripada tebar aksi. Di tengah pesona janji-janji kampanye, fenomena ini mencuat melalui evaluasi kinerja Anies Baswedan, gubernur kota metropolitan Jakarta periode

(2)

2017-2022. Dua janji kampanye yang kuantitatif-membuka 200 ribu lapangan kerja baru dan menghentikan reklamasi Teluk Jakarta-menjadi poin sentral evaluasi. Sebab fakta empiris menunjukkan kinerja yang tidak sejalan.

Dalam mengukur keberhasilan seorang pemimpin, khususnya dalam sektor ekonomi, jumlah lapangan pekerjaan menjadi indikator kritis. Namun, janji Anies untuk membuka lapangan pekerjaan baru tidak hanya gagal direalisasikan, tetapi angka pengangguran justru meningkat tajam dan signifikan, mencapai 8%. Selain itu, angka kemiskinan di tahun 2022 juga cenderung meningkat menjadi 4,69%. Dengan pendapatan APBD Jakarta yang mencapai Rp. 77 triliun di 2022, perputaran uang nasional mencapai 70%, dan statusnya sebagai ibukota, Anies dianggap gagal memanfaatkan potensi tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.

Selain permasalahan ekonomi, ketidaksesuaian terlihat dalam aspek ketidaksetaraan sosial. Data koefisien Gini menunjukkan peningkatan dari 0,39 menjadi 0,42, mencerminkan ketidaksetaraan yang semakin memburuk. Meskipun Anies pada awalnya berjanji untuk membatalkan reklamasi di Teluk Jakarta, tindakannya malah memberikan izin reklamasi tambahan kepada PT Pembangunan Jaya untuk memperluas kawasan Ancol. Keputusan ini mengecewakan dan menunjukkan ketidaksesuaian antara komitmen lingkungan dan tindakan nyata.

Kontradiksi dalam ideologi politik menambah kompleksitas, dengan calon pemimpin seringkali melakukan “kompromi” demi mencapai tujuan pragmatis. Dalam konteks ideologi Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia, terlihat adanya ancaman serius akibat politik identitas yang tercemar oleh kepentingan pribadi dalam konteks pemilihan umum. Praktik politik identitas berbasis agama, seperti yang terlihat pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017,

(3)

mencakup penolakan terhadap demokrasi, perlawanan terhadap nilai-nilai Pancasila, menyuarakan kewajiban memilih pemilih islam, dan bahkan mengilhami semangat gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang ingin mengubah sistem pemerintahan menjadi berbasis khilafah. Gerakan islam konservatif yang mendukung Anies dapat berimplikasi pada melemahnya nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara dan mengancam sistem demokrasi bangsa Indonesia di masa mendatang.

Dalam penelitian jurnal yang dilakukan oleh Dony Arung Triantoro mengenai praktik politik identitas di ranah daring, khususnya di media sosial, akun media sosial Anies-Sandi secara massal melakukan penggiringan opini publik terkait politik identitas, terutama dalam isu

“seagama”. Ini terbukti melalui serangkaian video sosialisasi yang diunggah oleh Anies-Sandi selama masa kampanye di platform Facebook dan Instagram mereka. Pernyataan Anies Baswedan yang mencakup unsur praktik politik identitas nampak dari penggunaan identitas keagamaan seperti “dekat dengan allah”, “seiman”, dan “berpeci”. Bahasa politik yang digunakan Anies dalam video kampanyenya memuat frasa-frasa yang mencerminkan atribut- atribut agama yang dianutnya. Hasil survei yang dilaksanakan oleh Media Survei Nasional (Median, 2017), menunjukkan bahwa pada putaran kedua Pilkada 2017 praktik politik identitas ini berhasil meraih dukungan bagi suara pasangan Anies-Sandi, mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan pasangan Ahok-Djarot. Narasi "seagama" berhasil mencapai 27,1% dari publik yang memilih Anies-Sandi di putaran kedua. Calon pemimpin yang seharusnya menjadi pembela dan pelindung nilai-nilai tersebut justru terjebak dalam kompromi pragmatis untuk mendapatkan dukungan suara, bahkan dengan merelakan ideologi dasar negara tercemar oleh politik identitas. Hal ini mengundang pertanyaan tentang integritas dan konsistensi pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi yang dijanjikan kepada masyarakat.

(4)

Ketidaksesuaian antara retorika dan tindakan turut berdampak pada Ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat. Menurut Survei Political Statistics (Polstat), mayoritas masyarakat DKI merasa tidak puas dengan penanganan Anies terhadap masalah macet dan banjir. Sebanyak 74,3% responden mengakui ketidakpuasan mereka terhadap kinerja Anies. Bahkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2021 menunjukkan indeks kebahagiaan Jakarta berada di bawah angka nasional, mencapai 70,68 lebih rendah dibandingkan tahun 2017.

Fenomena ketidakpuasan ini juga tak jarang melahirkan golongan putih sebagai simbol konstituen yang mengekspresikan ketidaksesuaian program kampanye dengan implementasinya di akar rumput. Masyarakat telah mengidentikkan politik dengan kotor, penipuan, pembohongan, sebuah permainan bebas dan fatamorgana. Fenomena tingginya golput dan kecenderungan peningkatannya menunjukkan apatisme yang meluas terhadap proses pemilihan pemimpin Indonesia. Hal ini disebabkan oleh berulang kali kecewa dalam pemilu maupun pilkada di berbagai daerah. Pergantian pemimpin ternyata tidak membawa perubahan atau perbaikan yang diharapkan, bahkan tidak lebih dari sekedar rutinitas lima tahunan belaka. Dalam konteks pilkada, di beberapa daerah jumlah suara golput justru lebih besar daripada suara kemenangan pasangan calon. Seperti pada pilgub 2017, dimana menurut Masykurudin, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), jumlah warga yang memilih masuk golput lebih besar daripada pemilih Agus-Sylvi, pasangan nomor urut satu. Jumlah golput menyentuh angka 24,3 persen atau setara dengan 1,7 juta pemilih dua kali lipat perolehan suara paslon satu yang berjumlah 930 ribu.

Penutup

Pemilihan pemimpin adalah momen penting dalam membentuk masa depan bangsa, dan kita sebagai pemilih memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa mereka yang dipilih

(5)

adalah mereka yang dapat membawa perubahan positif, memiliki integritas, dan telah membuktikan kemampuan dan pencapaian mereka secara nyata. Realisme harus mendahului retorika yang memikat, dan catatan kinerja yang baik harus menjadi pedoman utama. Jangan memberi kesempatan memimpin kepada individu yang tidak mampu mengevaluasi dan berkembang dari kegagalan-kegagalan sebelumnya. Dengan mengedepankan evaluasi yang kritis dan realistis, kita dapat membentuk pemerintahan yang efektif dan berdaya, memastikan arah bangsa yang sesuai dengan harapan, dan menjaga kesejahteraan bersama.

Daftar Pustaka

Triantoro, D.A. 2019. Praktik Politik Identitas dalam Akun Media Sosial Anies-Sandi. Jurnal

Ilmu Komunikasi, 16(1), 19-40. Diakses 29 Januari 2024,

https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/download/1495/1376/5098

Maruf, Muhammad. 2023. CNBC Indonesia. Diakses pada 29 Januari 2024 pukul 21.37 dari https://www.cnbcindonesia.com/opini/20230518032854-14-438359/catatan-kritis-untuk-anies- no-action-talk-only.

Amelia, Zara. 2017. Tempo.CO. Diakses pada 30 Januari 2024 pukul 22.24 dari https://pilkada.tempo.co/read/850773/pilkada-dki-jppr-mudah-gaet-golput-ketimbang-pemilih- agus.

Referensi

Dokumen terkait

Masalah pokok pada penelitian ini adalah pengaruh Gus Dur mengenai penguatan ideologi pancasila, menata hubungan agama dan politik serta orientasi dan praktek politik pada PKB,

Adanya perpecahan pilihan politik di komunitas Towani Tolong dilator- belakangi adanya keinginan atau kepentingan-kepentingan pribadi yang bisa menguntungkan

Pengertian partai politik dapat pula mengggambarkan basis sosiologis suatu partai yaitu ideologi dan kepentingan yang diarahkan pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan,

Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan, penyelenggaraan politik dalam negeri dan kehidupan demokrasi, pemeliharaan ketahanan

Sesuai dengan kepentingan Nasional, politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak pada salah satu blok ideologi

Politik hukum Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan nasional.. Pancasila adalah

Dagradasi peran partai-partai politik dikemukan oleh Tiddle(1992:94) sebagai berikut : (1) partai- partai lebih berorientasi ideologi Pancasila daripada program-program yang

Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik Suatu organisasi atau biasa dikenal sebagai partai politik bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia