PRAKTIK JUAL BELI ONLINE MENGGUNAKAN SISTEM CASH ON DELIVERY (COD) DITINJAU DARI PERSPEKTIF AKAD ISTISHNA
DALAM EKONOMI SYARIAH
(Studi Pelanggan Perusahaan Jasa Expres J&T Di Kota Bima) Eka Uswatun Hasanah1*, Nasaruddin2, Rafiuddin3
Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima, Indonesia1,2,3 Corresponding Author: Eka Uswatun Hasanah [email protected]
ABSTRAK
Jual beli online ialah teknik yang baru dalam dunia perdagangan pada kehidupan masyarakat di era moderen. Jual beli online juga dianggap praktis sebab pemasarannya secara online memanfaatkan internet sebagai sumber informasi yang potensial guna mempermudah sistem kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Praktik Jual Beli Online Menggunakan Sistem Cash On Delivery (COD). Untuk mengetahui Praktik Jual Beli Online Menggunakan Sistem Cash On Delivery (COD) Ditinjau Dari Perspektif Akad Istishna Dalam Ekonomi Syariah.
Metode penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif deskriptif berupa mengumpulkan data-data terhadap subjek yang akan diteliti. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Praktik jual beli online banyak digemari oleh banyak orang sebab prosesnya yang mudah dan mempermudah konsumen dalam berbelanja, hal ini disebabkan karena terdapatnya sistem pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Praktik ini digemari juga sebab banyaknya keuntungan yang didapatkan pembeli seperti harga barang yang lebih murah dari pasar swalayan biasa, diberikannya voucher berbelanja oleh e-commerce, serta biaya ongkos kirim relative terjangkau sehingga menarik minat pembeli dalam melakukan praktik jual beli secara online. Praktik jual beli online perspektif akad istisna yang pertama, yaitu pembeli memesan barang dengan mencari barang sesuai dengan kriteria yang diinginan kepada penjual dan yang bertanggung jawab membayar barang yang telah dipesan. Penjual dan pembeli melakukan kesepakatan tertentu serta penjual menginformasikan deskripsi barang yang hendak diperjual belikan. penjual bertanggung jawab menginformasikan harga barang yang diperjual belikan, serta pembeli juga berhak melakukan pengembalian barang apabila terdapat kecacatan barang yang diterima setelah melakukan prosedur yang telah ditetapkan.
Kata Kunci : Jual Beli, Online, Cash On Delivery, Istishna How to Cite :Eka Uswatun Hasanah1*, Nasaruddin2, Rafiuddin3 DOI : https://doi.org/10.52266/jesa.v6i2
Journal Homepage: https://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/jesa/index This is an open access article under the CC BY SA license
:https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/
PENDAHULUAN
epanjang sejarah manusia, jual beli akan terjadi di belah bumi manapun. Hal itu dapat dipahami sebab manusia senantiasa ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, khusunya di bidang materi. Manusia termasuk makhluk yang serba ingin memiliki, semua yang dilihat serta dimiliki oleh orang lain mau
s
dimilikinya. Akan tetapi dalam realitasnya, nyatanya tidak semua bisa dimiliki dengan berbuat sendiri. Terdapat pula barang yang dapat dimiliki setelah barter, ataupun setelah dipinta, boleh juga orang lain dengan kerelaanya membagikan. Tetapi tidak sedikit juga untuk memiliki dengan cara memaksa orang lain. Dengan cara memaksa untuk mempunyai tentu akan melahirkan keresahan dalam kehidupan. Di sini perlu ketentuan dalam mempunyai sesuatu yang di idamkan, karenanya Islam mengendalikan kehidupan sosial (Muamalah) manusia, supaya satu dengan yang lain terjalin keharmonisan, termasuk di dalamnya cara memiliki, yakni jual beli. Pada awal mulanya jual beli dilakukan dengan barter, bersamaan dengan pertumbuhan peradaban serta kebudayaan manusia, jual beli juga turut berubah. Manusia berupaya menciptakan alat yang disepakati serta legal digunakan untuk jual beli (Apipudin, 2018).
Muamalah merupakan tukar menukar benda, jasa maupun suatu yang memberi manfaat dengan tata metode yang ditetapkan. Termasuk dalam muamalah adalah jual beli. Jual beli merupakan wujud dasar dari aktivitas ekonomi manusia serta merupakan kegiatan yang sangat disarankan dalam ajaran Islam. Apalagi, Rasulullah SAW sendiri juga sudah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki yakni melalui pintu berdagang (al- hadits). Hal ini menunjukan bahwa lewat jalur perdagangan (jual beli) inilah, pintu- pintu rezeki hendak bisa dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli ialah suatu yang diperbolehkan. Dalam Qur’an Surat Al Baqarah ayat 275, Allah menegaskan bahwa:
َّلَحَ أَو ٱ ه َّللّ
ٱ َعبيَلۡب َمَّرَحَو اٰوَبِّ رلٱ ٢٧٥
Terjemahan: Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. (Qs. Al-Baqarah:
275)
Hal yang menarik dari ayat tersebut yakni terdapatnya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli, dengan catatan sepanjang dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam (Fitria, 2017). Di Era Milenial seperti saat ini, perkembangan jaman semakin modern, teknologi semakin canggih serta terus tumbuh.
Disaat ini seluruh wujud kegiatan manusia yang biasa dikerjakan secara manual, telah mampu dikerjakan hanya dengan sentuhan-sentuhan panel saja, termasuk aktivitas jual beli. Aktivitas perniagaan atau pun jual beli telah dilakukan semenjak jaman dahulu. Di era Rasulullah SAW, aktivitas jual beli dilakukan dengan berjumpa langsung antara penjual serta pembeli di sesuatu tempat semacam pasar. Tetapi saat ini, aktivitas jual beli telah bisa dilakukan dengan metode yang lebih gampang, dapat dilakukan dimana serta kapan pun selama 24 jam dengan memakai sistem online dari Smartphone atau pun gadget yang telah terkoneksi dengan internet.
Transaksi barang serta jasa lewat media online ini tercantum jenis muamalah dibidang perdagangan ataupun bisnis, menggambarkan sesuatu aktifitas yang dilakukan oleh seorang dengan orang lain ataupun dengan sebagian orang guna memenuhi kebutuhan masing- masing. Adapun yang dimaksud dengan fiqh muamalah secara terminologi didefinisikan sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam perkara jual beli, utang piutang, kerjasama dagang, perserikatan, perkongsian (Pekerti
& Herwiyanti, 2018).
Jual beli online ialah teknik yang baru dalam dunia perdagangan pada kehidupan masyarakat di era moderen. Jual beli online juga dianggap praktis sebab pemasarannya secara online memanfaatkan internet sebagai sumber informasi yang potensial guna mempermudah sistem kehidupan. Masyarakat lebih hemat dalam mengeluarkan waktu serta tenaga dengan bertransaksi tanpa perlu berjumpa langsung sehingga jual beli dapat dilakukan kapanpun serta dimanapun. Oleh karna itu jual beli online sangat popular di era sekarang (Muhajirin, 2020).
Dalam dunia jual beli online ini terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu pelaku usaha atau penjual (merchant) yang menawarkan produk yang dijual melalui internet dan konsumen atau pembeli, yang menerima penawaran dari penjual dan berkeinginan untuk melakukan transaksi terhadap produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha atau penjual (merchant) (Saputra, 2019). Pada transaksi jual beli online ini Tidak hanya pelaku usaha dan konsumen yang melakukan transaksi jual beli tersebut, akan tetapi terdapat pihak ketiga yaitu kurir atau pihak jasa pengangkut barang yang akan mengantarkan barang tersebut, Tidak jarang juga terdapat beberapa konsumen yang langsung ke tempat untuk mengambil barang tanpa perlu diantarkan.
Proses jual beli yang serba muda dan didukung oleh sistem pembayaran yang praktis sangat membantu konsumen tanpa mengeluarkan anggaran lebih banyak, karena langsung diantar pada tempat pembeli. Salah satu metode pembayaran yang digunakan dalam transaksi jual beli online ini ialah metode pembayaran Cash On Delivery (COD). Sistem pembayaran COD lumayan memberikan keuntungan untuk pembeli, dimana pembeli bisa mengecek kembali barang yang dipesannya ketika sudah datang. Dalam sistem pembayaran COD, apabila barang yang dipesan oleh pembeli tidak sesuai dengan apa yang disepakati lebih dahulu dengan penjual, maka kurir tidak harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut dikarenakan perihal tersebut bukan merupakan kewajiban kurir, maksudnya kurir hanya melaksanakan kewajibannya berdasarkan apa yang sudah dikuasakan kepadanya (Putri, 2021).
Namun yang terjadi sekarang jual beli online diluar dari rukun jual beli itu sendiri, jual beli online dalam Islam ada kepuasan dan kerelaan kedua belah pihak, baik penjual maupun pembeli, dalam transaksi jual beli online ada perjanjian antara penjual dan pembeli, jika barang yang di pesan tidak sesuai dengan pesanan maka pihak pembeli boleh mengembalikan barang tersebut. Tetapi dalam hal ini proses jual beli online yang terjadi tidak memenuhi syarat/rukun jual beli, pembeli memesan barang secara online, dimana yang terlihat di gambar (HP) itu sesuai keinginan si pembeli, seperti ukuran, warna, dan bentuk dari barang tersebut. Dalam hal ini setelah barang sudah dipesan dan telah diterima oleh si pembeli ternyata barang tidak sesuai dengan yang ada di gambar (HP) tersebut, beberapa penjual tidak menerima pengembalian barang tersebut dikarenakan barang sudah dianggap menjadi pemilik dari pembeli. Secara hukum jual beli tersebut termakasud jual beli Gharar (tidak jelas) barang, meski secara fisik barang tersebut ada, namun ketidak jelasannya dari ukuran, warna, dari barang tersebut.
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Jual Beli
Secara bahasa, jual beli berarti penukaran secara mutlak. Secara terminologi, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Definisi di atas dapat dipahami bahwa inti dari jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang atau benda yang memiliki nilai, secara sukarela di antara kedua belah pihak, salah satu pihak menerima benda dan pihak lainnya menerima uang sebagai kompensasi barang, sesuai dengan perjanjian dan ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Islam mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep riba (Salim, 2017).
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal albai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-syira (beli). Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Jual beli atau bisnis menurut Bahasa berarti, menukarkan sesuatu dengan sesuatu (Shobirin, 2016).
Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah menerangkan jual beli secara etimologi bahwa jual beli menurut pengertian lughawiyah adalah saling menukar (pertukaran) (Faroh Hasan, 2018). Sedangkan menurut istilah, jual beli dalam padangan Sayyid Sabiq dalam buku fikih sunnah yang dimaksud dengan jual beli (bai) secara syariat adalah pertukaran harta dengan harta dengan saling meridhoi, atau pemindahan kepemilikan dengan penukaran dalam bentuk yang diinzinkan (Sabiq, 2018).
2. Dasar Hukum Jual Beli
a. Al-Qur’an
Dasar hukum jual beli dalam Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 275:
ٱ َنيِّلََّّ
َنوهلهكب
أَي اٰوَبِّ رلٱ
هموهقَي اَمَك َّ
لَِّإ َنوهموهقَي لََ ٱ
يِّلََّّ
هه هطَّبَخَتَي ٱ هنٰ َطبي َّشل َنِّم ِّ سَمبلٱ اَمَّنِّإ آوهلاَق بمههَّنَأِّب َكِّلَٰذ ٱ
هعبيَلۡب هلبثِّم اٰوَبِّ رلٱ
َّلَحَ أَو ٱ ه َّللّ
ٱ َعبيَب
لۡ
َمَّرَحَو اٰوَبِّ رلٱ ههَءٓاَج نَمَف ِّهِّ بَّر نِّ م ٞةَظِّعبوَمۥ
ۦ َفٱ ٰ َهَتن ههَلَف ۥ هههربمَ
أَو َفَلَس اَم ٓۥ
َ لَِّإ هَِّّللّٱ هبٰ َح بصَ
أ َكِّئََٰٓل وهأَف َدَعَ بنَمَو
ِّراَّلنٱ َنوه ِّلِٰ َخ اَهيِّف بمهه ٢٧٥
Terjemahan: “orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaiton lantaran (tekanan) penyakit gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari tuhannya, laalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya” (Q.S.Al. Baqarah:275).
Berdasarkan dari ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwasannya Allah SWT telah menghalalkan jual beli yang baik dan benar dan mengharamkan jual beli yang mengandung riba.
Allah mengharamkan kepada umat Islam memakan harta sesama dengan jalan batil, misalnya dengan cara mencuri, korupsi, menipu, merampok,
memeras, dan dengan jalan lain yang tidak dibenarkan Allah, kecuali dengan jalan perniagaan atau jual beli dengan didasari atas dasar suka sama suka dan saling menguntungkan. Nabi SAW bersabda dalam hadis yang diriwayat kan oleh imam Bazzar yang berarti:
Dari Rif‟ah Ibn Rafi sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya “usaha apa yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur)” (H.R. Al-Al-Bazzardan disahihkan oleh al-Hakim).
b. Ijma Ulama
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan pembeli atau dengan alat tukar menukar yaitu dengan uang ataupun yang lainnya.
Adapun dasar Ijma’ tentang kebolehan Ijma’ adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut:
“Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam tentang kebolehan jual beli dan hikmah jual beli adalah kebutuhan manusia tergantung pada sesuatu yang ada ditangan pemiliknya terkadang tidak begitu saja memberikan kepada orang lain” (al-Asqalani, t.th:287).
3. Rukun dan Syarat Jual Beli dalam Islam
Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan. Menurut istilah, rukun diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu sendiri, bukan karena tegaknya.
Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku) berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati).
Adapun syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad Khudlari Bek, ialah sesuatu yang ketidak adaannya mengharuskan (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri. Dalam syari’ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi (Susiawati, 2017).
Jumhur ulama membagi rukun jual beli menjadi empat:
a. Orang yang berakad b. Sighat
c. Ada barang yang dibeli
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
4. Prinsip-prinsip Jual Beli Dalam Islam
Adapun prinsip-prinsip jual beli dalam Islam antara lain, sebagai berikut:
a. Prinsip Ketuhanan (Tauhid)
Prinsip ini menuntut kesadaran bahwa semua adalah milik Allah dan semua aktivitas diawasi oleh Allah. Selain itu, transaksi jual beli tidak semata dilakukan dalam rangka mencari keuntungan dunia. Tetapi lebih dari itu bahwa keuntungan dalam kegiatan jual beli adalah bekal dalam menyongsong kehidupan di akhirat nanti. Implementasi prinsip ketuhanan adalah terwujudnya seorang pengusaha Muslim yang menghindari segala bentuk eksploitasi, serta menghindari transaksi yang mengandung unsur riba.
Kaidah ini didukung oleh banyak dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunah, diantaranya adalah firman Allah SWT:
َوهه ٱ يِّ َّ
ِّفِ اَّم مهكَل َقَلَخ لَّ
ٱ ِّضرَۡ ب
لۡ
َّمهث اٗعيِّ َجَ
ٱ َٰٓىَوَتبس
َلَِّإ ٱ ِّءٓاَم َّسل ٞميِّلَع ٍء ب َشَ ِّ لهكِّب َوههَو ٖۚ تَٰوَٰمَس َعببَس َّنههٰىَّوَسَف ٢٩
29. Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu
b. Prinsip Kerelaan (saling rela/ Ridhaiyyah).
Dalam praktik jual beli, prinsip saling rela ditandai dengan adanya akad ijab dan qabul yang dilakukan tanpa paksaan serta bebas dari berbagai intimidasi, penipuan, dan penyamaran. Secara lebih teknis, implementasi prinsip ini adalah masing-masing pihak berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan benar agar tidak terjadi asymmetric information, yaitu suatu kondisi di mana salah satu pihak tidak memiliki informasi yang lengkap dan baik dari pada pihak yang lain. Keberadaan informasi yang lengkap dan benar itu menjadi faktor penting untuk menjadi pertimbangan dalam transaksi.
Informasi-informasi yang dimaksud setidaknya meliputi; kualitas, kuantitas, harga, serta waktu penyerahan. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi maka akan terjadi tadlis atau penipuan.
c. Prinsip Kemanfaatan atau Kemaslahatan.
Kegiatan jual beli harus bisa memberikan kemanfaatan bagi pihak-pihak yang bertransaksi. Kemanfaatan tersebut dapat berupa manfaat yang diperoleh dari objek atau barang yang diperjualbelikan, maupun manfaat dari hasil kegiatan jual beli yang dilakukan. Yakni, objek atau barang yang ditransaksikan harus memberikan manfaat bagi kemanusiaan, bukan justru membawa dampak kerusakan.
d. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan dalam transaksi jual beli dapat dilakukan dengan sikap tidak saling mezalimi. Penjual harus mampu bersikap adil kepada seluruh pembeli, demikian halnya sebaliknya. Selain itu, termasuk juga bagian dari prinsip keadilan adalah menetapkan harga secara wajar, serta tidak melakukan praktik monopoli (Ulum, 2020).
e. Prinsip Kejelasan status
Setiap akad dalam kehidupan masyarakat pasti memiliki fungsi dan konsekuensi yang berbeda-beda. Fungsi masing-masing akad tersebut merupakan tujuan dari setiap orang yang menjalankannya. Misalnya akad pernikahan berfungsi menghalalkan hubungan antara dua anak Adam yang berlainan jenis, serta memperjelas status anak keturunan yang mereka lahirkan.
Dengan demikian, setiap orang yang menjalin akad pernikahan, dapat dipastikan menghendaki terwujudnya tujuan ini. Begitu pula halnya dengan akad jual beli, berfungsi memindahkan kepemilikan barang yang menjadi obyek akad jual beli. Barang berpindah kepemilikan dari penjual kepada pembeli dan uang berpindah kepemilikan dari pembeli kepada penjual.
f. Prinsip Kejujuran
Syariat Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk berbuat jujur dalam segala keadaan, walaupun secara lahir kejujuran tersebut dapat merugikan diri sendiri.
g. Prinsip Kebebasan
Yaitu prinsip untuk menentukan suatu tindakan atau suatu keputusan sepanjang tidak bertentangan dengan kerangka syariat Islam. Pelaksanaan prinsip kebebasan dalam kegiatan jual beli adalah adanya hak dan kesempatan untuk memilih atau yang lazim disebut dengan istilah khiyar. Dalam konteks jual beli, khiyar adalah suatu keadaan yang menyebabkan ‘aqid (orang yang berakad) memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya. Salah satu tujuan khiyar adalah untuk menjamin agar akad yang dilaksanakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh antara para pihak yang berakad.
h. Prinsip Akhlak/ Etika
Prinsip ini merupakan bentuk dari pengamalan sifat-sifat utama nabi dan rasul dalam seluruh kegiatan ekonomi, yaitu sidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas/ berilmu).
Akhlak adalah urat nadi kehidupan Islami, termasuk dalam kehidupan ekonomi. Seorang Muslim tidak dibenarkan untuk bebas melakukan apa saja yang diinginkannya atau apa saja yang menguntungkannya dalam kegiatan usaha dan mengembangkan hartanya Secara umum prinsip akhlak atau etika dalam transaksi mencakup segala perilaku yang baik dan tidak merugikan siapapun, seperti bersikap jujur, tidak bersumpah palsu, tidak melakukan perjudian, serta dapat dipercaya (Ulum, 2020).
5. Pengertian Jual Beli Online
Jual beli online adalah suatu kegiatan dimana penjual dan pembelinya tidak harus bertemu untuk melakukan negosiasi dan transaksi secara langsung.
Kemudian yang digunakan oleh penjual dan pembeli untuk berkomunikasi secara online seperti melalui chatdalam handphone, komputer, telepon, sms dan
sebagainya. Dalam transaksi jual beli online, penjual dan pembeli membutuhkan pihak ketiga untuk melakukan penyerahan barang yang dilakukan oleh pedagang dan penyerahan uang yang dilakukan oleh pembeli (Safira, 2020).
Dalam Pengertian Lain juga Jual beli online adalah jual beli yang terjadi dimedia elektronik, yang mana transaksi jual beli tidak mengharuskan penjual dan pembeli bertemu secara langsung atau saling menatap muka secara langsung, dengan menentukan ciri-ciri dan jenis barang (Faroh Hasan, 2018). Sedangkan menurut Alimin mendefinisikan jual beli online sebagai satu set dinamis teknologi, aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan dan informasi yang dilakukan secara elektronik (Abduroman et al., 2020).
6. Jual Beli Online Dalam Perspektif Hukum Islam
Pengertian dari jual beli menurut sumber hukum Islam sebagai berikut:
a. Al- Qur’an
Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 275:
ُ هاللّٰ َّلَحَا َو وٰب ِّ رلا َم َّرَح َو َعۡيَبۡلا Terjemahan: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
b. Hadits
Arinya:”Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan”
c. Pandangan Ulama
Menurut pendapat Ahmad Zahro: Jual beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah, kecuali jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuan, dan sejenisnya, maka secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, yaitu haram (Fitria, 2017).
7. Definisi cash on delivery (COD)
Cash On Delivery (COD) merupakan sistem pembayaran dalam belanja online dimana pembeli dapat membayar barang yang dipesannya secara tunai ketika barang tersebut tiba di tujuan (Putri, 2021).
Cash On Delivery (COD) adalah pendekatan pembayaran di mana pelanggan memilih untuk membayar produk yang dibeli setelah dikirimkan. Oleh karena itu, pelanggan harus membayar produk hanya setelah menerimanya di depan pintu.
Saat memilih Cash On Delivery (COD), pelanggan dapat melakukan pembelian tanpa menggunakan pembayaran elektronik melainkan dengan uang tunai. Penjual mengeluarkan faktur dengan konsinyasi dan kemudian perusahaan logistik terlibat untuk pengiriman produk dan pengumpulan pembayaran. Oleh karena itu, pendekatan ini memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada pelanggan (Salsabila, 2023).
8. Bentuk Sistem Cash On Delivery (COD)
Sistem COD memiliki dua shuwar (bentuk). Dua bentuk transaksi yang tidak murni online karena tetap face to face antara penjual dan pembeli atau wakil-muwakkil untuk penyerahan barang sekaligus harganya secara langsung.
a. Setelah deal soal barang dan harga via internet, penjual mengantar sendiri barangnya ke tempat pembeli, lalu pembayaran dan serah terima barang terjadi di tempat pembeli.
b. Setelah deal soal barang dan harga via internet, penjual menggunakan jasa ekspedisi untuk melakukan COD, sehingga pembeli menerima barang dan membayar kepada petugas jasa ekspedisi tersebut. Ini termasuk at taukil fil ba’i (menggunakan sistem perwakilan dalam jual-beli) dan ini diperbolehkan (Ilma Ahmad, 2021).
9. Pengertian akad Istishna
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Istishna’ adalah transaksi Bai’istishna’
merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang (Syafi’i Antonio, 2001).
10. Rukun & Syarat Istishna'
Jual beli haruslah terlebih dulu terpenuhi rukun-rukunnya supaya jual beli tersebut bisa dianggap sebagai jual beli yang sah. Ada beberapa poin dalam rukun istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi, yaitu:
a. Mustasni’ (pemesan), yaitu salah satu pelaku akad dari pihak yang memesan barang yang dibutuhkan. Pembeli diisyaratkan sudah akil baligh dan tidak sedang dalam keadaan gila;
b. Shani' (penjual) yaitu pelaku akad dari pihak yang menerima pesanan. Penjual dapat menyerahkan barang saat sebelum waktu yang dijanjikan tanpa mengurangi kualitas serta kuantitas barang. Penjual memiliki kewajiban menyerahkan barang sesuai pada waktu yang disepakati. Penjual tidak bisa menuntut mengenai biaya tambahan ataupun bonus apapun untuk pengiriman yang dipercepat.
c. Mashnu’ (objek/barang yang dipesan), yaitu barang atau jasa yang spesifikasi dan harga telah disepakasi para pelaku akad.
d. sighat (ijab dan kabul). Ijab adalah perkataan dari pihak pemesan dan qabul adalah perkataan yang menjadi jawaban dari pihak yang membuat pesanan untuk menyatakan kesanggupan dan persetujuan atas hak dan kewajibannya.
11. Pembiayaan Istishna
Adapun sistem pembiayaan pada istishna sebagai berikut:
a. Istishna adalah skim jual beli yang dikecualikan, pada harga yang disetujui, ketika pembeli menempatkan order untuk diproduksi, atau melakukan sesuatu yang harus diserahkan pada waktu yang akan datang.
b. Komoditas harus diketahui dan spesifik sampai tidak ada ketidakjelasan mengenai spesifikasinya, termasuk jenis, kualitas, dan kuantitas.
c. Harga barang yang akan diproduksi harus sudah dipatok dalam angka absolut dan tidak kabur. Harga yang disepakati dapat dibayar lupsum atau dicicil sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
d. Jika barang yang diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, pembeli tidak dapat menolak untuk menerima barang tersebut, kecuali jika jelas-jelas ada cacat pada barang tersebut. Namun demikian, perjanjian dapat mengatur bahwa jika penyerahan tidak dilakukan dalam jangka waktu yang telah disepakati, maka pembeli dapat menolak untuk menerima barang (Ascarya, 2017).
METODE PENELITIAN
Dalam riset ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Sebab informasi serta data yang peneliti kumpulkan lebih banyak bersifat keterangan- keterangan ataupun uraian yang berbentuk kata- kata bukan berupa angka. Sementara itu Bogdan serta Taylor dalam bukunya Ahmad Usman mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif selaku prosedur penelitian yang menghasilkan informasi deskriptis berupa kata- kata tertulis ataupun lisan dari orang- orang serta prilaku yang bisa di lihat (Usman, 2008).
Penelitian ini mengandalkan sumber data primer serta sekunder. Data Primer ialah data yang di peroleh secara langsung dari tempat penelitian melalui pihak responden secara langsung baik orang ataupun kelompok pada pelanggan JNT yang melangsungkan Transaksi jual beli online menggunakan metode pembayaran Cash On Delivery di Kota Bima. Sedangkan Data sekunder dalam riset ini data yang didapatkan dari database pelanggan pengiriman JNT yang melakukan transaksi jual beli online di Kota Bima. Observasi, Wawancara serta dokumensi, digunakan untuk metode mengumpulkan informasi dalam penelitian ini. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan oleh periset dalam menganalisis informasi dalam penelitian ini ialah reduksi data/ merangkum data yang diperlukan serta data mana yang tidak diperlukan, penyajian data setelah informasi dirangkum maka langkah berikutnya yaitu menyajikan data bisa berupa bentuk penjelasan singkat yang bersifat naratif serta yang terakhir merupakan pengambilan kesimpulan dari data yang sudah dikumpulkan untuk menjawab rumusan permasalahan yang sudah dijelaskan sejak awal yang didukung dengan data yang valid serta tidak berubah- ubah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Praktik Jual Beli Online Menggunakan Sistem Cash On Delivery (COD)
Jual beli online ialah sesuatu kegiatan dimana penjual dan pembelinya tidak mesti berjumpa untuk melakukan negosiasi dan transaksi secara langsung.
Kemudian yang digunakan oleh penjual serta pembeli untuk berinteraksi secara online seperti melalui chat dalam smartphone, komputer, telepon, sms dan sebagainya. Dalam transaksi jual beli online, penjual dan pembeli membutuhkan pihak ketiga guna melakukan penyerahan barang yang dilakukan oleh penjual dan penyerahan uang yang dilakukan oleh pembeli (Safira, 2020).
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih sunnah menerangkan jual beli secara etimologi bahwa jual beli menurut penafsiran lughawiyah ialah saling menukar (pertukaran) (Faroh Hasan, 2018). Sedangkan menurut istilah, jual beli dalam padangan Sayyid Sabiq dalam buku fikih sunnah yang dimaksud dengan jual beli (bai) secara syariat merupakan pertukaran harta dengan harta dengan saling meridhoi, ataupun pemindahan kepemilikan dengan penukaran dalam bentuk yang diinzinkan (Sabiq, 2018).
Menurut pendapat Ahmad Zahro: Jual beli melalui online (internet) itu diperbolehkan, serta sah, kecuali jika secara kasuistis berlangsung penyimpangan, manipulasi, penipuan, serta sejenisnya, sehingga secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, adalah haram (Fitria, 2017).
Praktik jual beli online banyak digemari oleh banyak orang karena prosesnya yang gampang dan memudahkan konsumen dalam berbelanja, perihal ini disebabkan karena adanya sistem pembayaran yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Praktik ini digemari pula karena banyaknya keuntungan yang didapatkan pembeli seperti harga barang yang lebih murah dari pasar swalayan biasa, diberikannya voucher berbelanja oleh e- commerce, dan biaya ongkos kirim relative terjangkau sehingga menarik hasrat pembeli dalam melakukan praktik jual beli secara online.
Masyarakat dalam melaksanakan kegiatan jual beli online lebih mudah memilih dan juga membeli berbagai macam produk yang terunggah di situs jual beli online. Berbagai macam produk tersedia mulai dari produk kecantikan, aksesoris, kebutuhan rumah tangga, elektronik, otomotif, baju, peralatan olahraga, peralatan pertanian, makanan dan juga minuman, hingga peralatan bayi yang telah dipaparkan dengan deskripsi produk tersebut oleh para penjual. Jual beli online dapat dilakukan oleh berbagai usia, mulai dari anak muda hingga orang dewasa.
Jual beli online bisa dilakukan dengan mudah selama 24 jam secara sistem online dari smartphone ataupun gadget yang telah tersambung jaringan internet dan terakses dengan media sosial maupun platform jual beli online, bahkan dalam konteks yang lebih luas media sosial menjadi semacam gerakan yang sanggup mendorong masyarakat dalam aktivitas sosial (kedermawanan) tertentu (Ambawani
& Mukarromah, 2020).
Dalam Jual beli online konsumen melakukan pemesanan barang lewat aplikasi e- commerce yang biasa konsumen pakai setelah itu melihat halaman pencaharian untuk melihat beberapa barang yang hendak dipesan oleh konsumen setelah itu konsumen memilah barang yang hendak dibeli setelah itu konsumen memilih transaksi pembayaran sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen.
Dalam transaksi jual beli online ini terdapat beberapa prosedur pembayaran salah satunya memakai metode pembayaran Cash on delivery (COD). Cash On Delivery (COD) merupakan pendekatan pembayaran di mana pelanggan memilih untuk membayar produk yang dibeli setelah dikirimkan. Oleh karna itu, pelanggan wajib membayar produk hanya setelah menerimanya di depan pintu. Disaat memilih Cash On Delivery (COD), pelanggan bisa melakukan pembelian tanpa
menggunakan pembayaran elektronik melainkan dengan uang tunai. Penjual mengeluarkan faktur dengan konsinyasi dan sesudah itu industri logistik ikut serta untuk pengiriman produk serta pengumpulan pembayaran. Oleh sebab itu, pendekatan ini memberikan rasa nyaman serta kepercayaan kepada pelanggan (Salsabila, 2023).
Tujuan dari sistem pembayaran COD adalah untuk memudahkan pembeli dalam melakukan pembayaran tanpa harus memiliki rekening di bank atau kartu kredit, dan apabila tidak berlokasi dekat dengan sebagian gerai yang bekerja sama dengan industri E- Commerce tersebut seperti Alfamart Dan Indomaret (Rokfa et al., 2022). Berdasarkan penuturan dari narasumber juga kemudahan pengunaan sistem pembayaran secara COD dalam belanja online banyak dipilih diakibatkan karena memberikan keuntungan dimana pada saat barang dalam pejalanan pembeli dapat menyisihkan uang yang akan dibayarkan dan juga pelanggan dapat memastikan barang yang dipesan sesuai dengan yang dipesan oleh pembeli.
Jadi, pada dasarnya jual beli online menggunakan sistem COD ialah aktivitas ekonomi yang dianggap lebih terjamin serta terpercaya karena bisa memungkinkan calon pembeli memperoleh informasi terkait barang yang mau dibeli secara jelas dan menggunakan sistem pembayaran COD yang mempermudah pembeli dalam membayar barang yang dipesan pada aplikasi e- commerce.
B. Praktik jual jual beli online dengan sistem COD ditinjau dari perspektif akad istishna
Akad istishna merupakan salah satu bentuk muamalah yang sering diaplikasikan oleh masyarakat umum. Istishna ialah akad ghairu musamma yang banyak dipraktekkan oleh Masyarakat. Dalam realitasnya, akad istishna menjadi solusi yang sangat relevan untuk menuntaskan pemasalahan ekonomi. Banyak diantara Masyarakat yang menginginkan maupun membutuhkan sesuatu barang, akan tetapi sebagian orang merasa kesulitan dikarenakan tidak adanya modal yang cukup untuk mendapatkannya (Ade Mulyana, 2020).
Menurut Muhammad Syafi’ i Antonio, Istishna’ merupakan transaksi Bai’
istishna’ ialah kontrak penjualan antara pembeli serta pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat benda menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang kemudian berusaha melalui orang lain untuk membuat ataupun membeli barang menurut spesifikasi yang sudah disepakati serta menjualnya kepada pembeli akhir (Syafi’i Antonio, 2001).
Dari sebagian uraian tentang akad Istishna diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad istishna ialah terdapatnya keterlibatan antara seorang produsen dengan seorang pemesan untuk mengerjakan sesuatu yakni pemesan membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen.
Jual beli online dalam perspektif akad istishna ini ialah jual beli dalam sistem pesanan, dimana pelanggan memesan barang terlebih dahulu kepada penjual/
pembuat sesudah barang itu jadi baru diserahkan kepada pemesan dan pemesan menyerahkan uang kepada penjual/ pembuat. Berdasarkan syarat harga akad
Istishna harga mesti jelas, harga jual tidak boleh berubah sepanjang masa perjanjian antara pembeli dan penjual, harga jual yakni harga yang disepakati bersama pembeli dan penjual. Sementara itu ketentuan tentang pembayaran di dalam akad istishna’
antara lain alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang barang maupun manfaat, pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan, dan pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Praktik jual beli online perspektif akad istisna dalam penelitian ini bisa dilihat dengan beberapa hal:
1. Pembeli
Yakni orang yang memesan barang dengan mencari barang sesuai dengan kriteria yang diinginan kepada penjual serta yang bertanggung jawab membayar barang yang sudah dipesan.
Beberapa toko jual beli online pada aplikasi e-commerce tidak mencantumkan opsi barang yang hendak dibeli oleh pembeli sehingga pembeli memberikan catatan khusus untuk penjual terkait barang yang hendak dipesan, semacam catatan tentang warna, ukuran, serta wujud barang yang hendak dipesan.
Sehingga permintaan khusus pembeli termasuk kepada akad istishna ialah akad dalam jual beli yang mewajibkan penjual memenuhi permintaan pesanan pembeli sesuai dengan karakteristik serta kriteria yang sudah disepakati (Kalimah & Muzdalifah, 2023).
2. Shani (Penjual)
Dalam kontrak ini shani’ menerima pesanan dari mustashni' untuk membuat barang yang diinginkan (Nur et al., 2023). jadi, para konsumen memesan barang pada penjual sesuai dengan keinginan mereka pada aplikasi online shop. Dalam hal ini tidak ada perjanjian khusus antara penjual dan pembeli. Perkara ini disebakan karena dalam melaksanakan jual beli online menggunakan sistem COD penjual berperan penting dalam menginformasikan barang dengan detail pada halaman deskripsi barang berupa warna, ukuran, jumlah barang, serta penjual juga menginformasikan kapan barang akan tiba pada konsumen.
3. Objek/barang
Barang yang dijual pada halaman toko juga harus mencantumkan spesifikasi barang dengan harga barang yang sudah ditentukan oleh penjual.
Disisi lain terdapat ketidaksesuaian terhadap barang yang datang, maka dari itu objek/barang harus benar-benar dijelaskan secara detail agar tidak terjadinya penipuan (Gharar) atau hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam jual beli istishna sering kita jumpai adanya pembatalan atas pesanan sehingga merugikan salah satu pihak. Masalah adanya wanprestasi maupun mengarah ke pembatalan akad jual beli Istishna diperbolehkan, terkhusus disebabkan oleh hal-hal yang dibenarkan oleh syara’ seperti terdapat cacat pada
objek akad atau tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad (Kalimah &
Muzdalifah, 2023).
Dalam transaksi jual beli online pada aplikasi e-commerce terdapat kebijakan pengembalian barang, yang disebabkan oleh berbagai hal seperti warna yang tidak sesuai, ukuran barang yang dibeli tidak pas atau berbagai kesalahan pengiriman barang oleh penjual yang memicu pengembalian barang oleh pembeli.
Kebijakan pengembalian barang dalam jual beli online masuk pada tinjauan fikih muamalah khiyar aib, ialah hak pilih dari kedua belah pihak yang melakukan akad, apabila terdapat suatu kecacatan terhadap benda yang ditransaksikan dan cacat itu tidak diberitahukan kepada pemiliknya pada saat akad berlangsung. Jika pembeli rela dan merasa puas dengan kecacatan yang ada pada barang, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerima barang yang telah dibelinya tersebut. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal.
Konsekuensinya, bagi penjual harus menerima pengembalian barang tersebut jika kecacatannya murni dari pihak penjual dan bukan karena kelalaian atau kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan lainnya (Reski et al., 2023).
Terdapat beberapa prosedur yang dilakukan dalam pengembalian barang dari aplikasi e-commerce dengan metode pembayaran secara COD yaitu konsumen diwajibkan untuk melakukan pengambilan video gambar (unboxing) barang yang dibeli sebagai upaya agar dapat mengembalikan barang apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan pesanan konsumen. Pembeli dapat mengajukan pengembalian barang yang telah dibeli dan pengembalian dana apabila telah melakukan prosedur yang telah ditetapkan. Pengembalian dana diberikan oleh penjual melalui metode pembayaran sesuai kesepakatan yang telah dilakukan oleh penjual dan pembeli seperti metode pembayaran via transfer akun bank.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengembalian barang dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dan telah disepakati oleh penjual dan pembeli, sehingga dalam prespektif akad istisna pengembalian barang dapat dilakukan apabila terdapat kecacatan barang yang diterima oleh pembeli oleh karena itu pembeli dapat menerima pengembalian dana dari penjual.
SIMPULAN
1. Praktik jual beli online menggunakan sistem Cash On Delivery (COD)
Ialah jual beli yang dilakukan secara online tanpa harus bertatap muka serta dapat dilakukan dimana saja menggunakan handphone, Jual beli online merupakan kegiatan ekonomi yang dianggap lebih aman dan terpercaya karena dapat memungkinkan calon pembeli mendapatkan informasi terkait barang yang ingin dibeli secara jelas. Penggunaan sistem COD pada jual beli online juga memudahkan pelanggan tanpa harus memiliki rekening yaitu dengan melakukan pembayaran ditempat.
2. Praktik jual beli online dengan sistem Cash On Delivery (COD) ditinjau dari perspektif akad istisna
Dalam penelitian ini Praktik jual beli online perspektif akad istisna yang pertama, yaitu pembeli memesan barang dengan mencari barang sesuai dengan kriteria yang diinginan kepada penjual dan yang bertanggung jawab membayar barang yang telah dipesan. Kedua yaitu penjual, dimana penjual dan pembeli melakukan kesepakatan tertentu serta penjual menginformasikan deskripsi barang yang hendak diperjual belikan secara rinci pada kolom deskripsi. Ketiga ialah objek/barang, dimana penjual bertanggung jawab menginformasikan harga barang yang diperjual belikan, serta pembeli juga berhak melakukan pengembalian barang apabila terdapat kecacatan barang yang diterima setelah melakukan prosedur yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abduroman, D., Putra, H. M., & Nurdin, I. (2020). TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP JUAL BELI ONLINE. Ecopreneur : Jurnal Program Studi Ekonomi Syariah, 1(2), Article 2.
Ade Mulyana, S. B. (2020). IMPLEMENTASI AKAD ISTISHNA TERHADAP JUAL BELI FURNITURE (Studi di Bantenese Furniture Kramatwatu Kab. Serang).
MUAMALATUNAJurnal Hukum Ekonomi Syariah, 12(2), 101.
Ambawani, T., & Mukarromah, S. (2020). Praktik Jual Beli Online dengan Sistem Pre- order pada Online Shop dalam Tinjauan Hukum Islam. Alhamra Jurnal Studi Islam, 1(1), 35. https://doi.org/10.30595/ajsi.v1i1.9115
Al Fajar, M. R., & Juraidah, J. (2021). Analisis Peran Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Syariah Kasabua Ade dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Anggota. J- ESA (Jurnal Ekonomi Syariah), 4(1), 27-38.
Apipudin, A. (2018). KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM (Analisis Pemikiran Abdu al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘Ala alMadahib al-Arba’ah).
Islaminomics: Journal of Islamic Economics, Business and Finance, 5(2).
https://doi.org/10.47903/ji.v5i2.33
Ascarya, A. (2017). AKAD & PRODUK Bank Syariah. Rajawali Pers.
Faroh Hasan, A. (2018). FIQIH MUAMALAH dari klasik hingga kontemporer (Teori dan Praktik). UIN-Maliki Press.
Fitria, T. N. (2017). BISNIS JUAL BELI ONLINE (ONLINE SHOP) DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM NEGARA. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 3(01), Article 01.
https://doi.org/10.29040/jiei.v3i01.99
Ilma Ahmad, Z. (2021). Metode Pembayaran Cash On Delivery (COD) Melalui Jasa Ekspedisi Pt. Pos Indonesia Jember Dalam Analisis Fatwa Dsn Mui Nomor 113/Dsn- Mui/Ix/2017 Tentang Akad Wakalah Bi Al-Ujrah [Skripsi]. Institut Agama Islam Negeri Jember.
Ismail, I. (2021). Analisis Peran Pengusaha dalam Mengurangi Pengangguran Terbuka Perspektif Ekonomi Islam di Kota Bima (Studi Kasus HIPMI dan TDA Kota Bima). J-ESA (Jurnal Ekonomi Syariah), 4(1), 11-26.
Kalimah, S., & Muzdalifah, Q. (2023). Penyelesaian Pembatalan Akad Istishna’ Pada Jual Beli Bibit Hortikultura di Desa Pranggang Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah: Completion of Istiṣnā’
Cancellation on Selling and Buying Horticulture Seeds in Pranggang Village, Plosoclaten District, Kediri Regency Perspective Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. El-Qist: Journal of Islamic Economics and Business (JIEB), 12(2), 158–175.
https://doi.org/10.15642/elqist.2022.12.2.158-175
Muhajirin, K. (2020). Jual Beli Online Dalam Perspektif Akad Istishna’ Menurut Pemikiran Imam Abu Hanifah (Studi User Aplikasi Go-Food Di Makassar) [Skripsi].
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR.
Nur, M., Rosmawati, & Adiningrat, A. A. (2023). Penerapan Akad Istishna’ Pada Pengadaan Rumah Properti Syariah Pt. Syahada Muslim Group. Jurnal Ilmiah Manajemen Emor (Ekonomi Manajemen Orientasi Riset), 6(2), Article 2.
https://doi.org/10.32529/jim.v6i2.1996
Pekerti, R. D., & Herwiyanti, E. (2018). Transaksi Jual Beli Online dalam Perspektif Syariah Madzhab Asy-Syafi’i. Jurnal Ekonomi, Bisnis, Dan Akuntansi, 20(2).
Putri, R. N. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Kurir dalam Sistem Cash on Delivery Belanja Online. 4(2).
Rafiuddin, R., Nurmaesyarah, N., & Husniah, D. (2023). Analisis Strategis Menciptakan Nilai, Kepuasan Dan Loyalitas Pelanggan Pada Produk Utamart Kec.
Langgudu. J-ESA (Jurnal Ekonomi Syariah), 6(1), 11-20.
Reski, R., Febriadi, S. R., & Yusup, A. (2023). Tinjauan Fikih Muamalah terhadap Praktik Pengembalian Barang dalam Sistem Jual Beli Online di Platform Lazada. Seri Konferensi Bandung: Hukum Ekonomi Syariah, 3(1).
https://doi.org/10.29313/bcssel.v3i1.5326
Rokfa, A. A., Tanda, A. R. P., Anugraheni, A. D., & Kristanti, W. A. (2022).
PENYELESAIAN SENGKETA SISTEM PEMBAYARAN CASH ON DELIVERY (COD) PADA MEDIA E-COMMERCE. Jurnal Bina Mulia Hukum, 6(2), Article 2.
https://doi.org/10.23920/jbmh.v6i2.533
Sabiq, S. (2018). FIKIH SUNNAH 5. Republika Penerbit.
Safira, D. (2020). BISNIS JUAL BELI ONLINE DALAM PERSPEKTIF ISLAM. 5(1).
Salim, M. (2017). Jual Beli Secara Online Menurut Pandangan Hukum Islam. Al Daulah:
Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 6(2), 371–386.
Salsabila, S. (2023). Prospek Pelarangan Cash On Delivery (COD) Sebagai Sistem Pembayaran Dalam Perdagangan Secara Elektronik. JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan
Pendidikan), 7(2), Article 2.
https://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JISIP/article/view/4577
Saputra, S. L. (2019). Status Kekuatan Hukum Terhadap Perjanjian Dalam Jual Beli Online Yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur. Jurnal Wawasan Yuridika, 3(2), 199–216.
Shobirin, S. (2016). JUAL BELI DALAM PANDANGAN ISLAM. BISNIS : Jurnal Bisnis Dan Manajemen Islam, 3(2), Article 2. https://doi.org/10.21043/bisnis.v3i2.1494 Susiawati, W. (2017). JUAL BELI DAN DALAM KONTEKS KEKINIAN. 8.
Syafi’i Antonio, M. (2001). BANK SYARIAH Dari Teori Ke Praktik. GEMA INSANI.
Ulum, M. (2020). Prinsip-prinsip jual beli online dalam Islam dan penerapannya pada E- commerce Islam di Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi Dan Bisnis, 17(01).
Usman, A. (2008). Mari Belajar Meneliti. GENTA PRESS.