• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL BIS

N/A
N/A
Nidaaul Husna Alfajri

Academic year: 2025

Membagikan "PROPOSAL BIS"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Darul ‘Ulum Untuk Menyusun Skripsi S1

Oleh:

ELIN NURFADILLA NIM:21.23.73201.008

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DARUL ‘ULUM

JOMBANG 2025

(2)

TUA DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA GENERASI Z

Yang diajukan oleh :

ELIN NURFADILLA NIM:21.23.73201.008

Telah disetujui oleh :

Fakultas Psikologi Tanggal Persetujuan

Universitas Darul ‘Ulum Jombang Ketua Biro Skripsi

Dra. Denok Wigati, M.Si ………...

Pembimbing I

Dra. Luluk Masluchah, M.Si ….………

Pembimbing II

Lilik Dwi Hariyanto, S.Psi., M.Psi ....………

i

(3)

I. Permasalahan... 1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah...5

C. Tujuan Penelitian...7

D. Manfaat Penelitian...8

II. Tinjauan Pustaka...9

A. Perilaku Cyberbullying...9

1. Pengertian Perilaku Cyberbullying...9

2. Aspek – Aspek Perilaku Cyberbullying...11

3. Faktor yang memegaruhi Perilaku Cyberbullying...13

B. Pola Asuh Overproctetive...15

1. Pengertian Pola Asuh Overproctetive...15

2. Aspek – Aspek Pola Asuh Overproctetitive...17

C. Hubungan antara Pola Asuh Overproctetive dengan Perilaku Cyberbullying...19

III. Hipotesis...21

IV. Metode Penelitian...21

A. Subjek Penelitian...21

1. Populasi...21

2. Sampel Penelitian...22

B. Variabel Penelitian dan Pengukuranya...22

1. Perilaku Cyberbullying (Variabel Y)...22

2. Pola Asuh Overproctetive (Variabel X)...24

C. Teknik Analisis Data...25

DAFTAR PUSTAKA...27

ii

(4)

I. Permasalahan

A. Latar Belakang Masalah

Di era perkembangan digital pada saat ini, sebagai generasi Z sudah pasti tumbuh dan berkembang di tengah lingkungan yang serba menggunakan digital untuk menjalankan aktivitas dalam sehari-hari.

Perkembangan teknologi yang semakin hari semakin mudah untuk diakses membuat semua kalangan seperti remaja hingga orang tua tidak ingin tertinggal berita atau informasi dengan cepat dan mudah didapat hanya dengan sekali masuk ke dalam platform digital yang tengah ramai diperbincangkan. Semua orang bisa mengakses internet dengan muda, tidak pandang umur, bahkan terkadang anak-anak dengan usia di bawah 10 tahun sudah memiliki ponsel sendiri yang entah digunakan untuk bermain game online ataupun berselancar di sosial media. Semua orang yang sudah menggunakan ponsel pintar sangat menyambut dengan antusias apalagi sekarang di Indonesia menjelang satu abad kemerdekaan pada tahun 2045 mendatang, Indonesia bersiap mewujudkan visi Indonesia emas melalui industri 4.0 yang menyatakan bahwa revolusi industri secara fundamental dapat mengubah cara kita hidup, bekerja, dan saling berhubungan terikat satu dengan yang lain. Generasi ini lahir dan tumbuh bersama dengan teknologi yang pada akhirnya dapat menyebabkan kergantungan.

Menurut Worldometer (2020) jumlah populasi penduduk Indonesia sudah mencapai 274,86 juta penduduk per 14 Desember 2020. Jumlah ini

(5)

menjadikan Indonesia menduduki peringkat 4 dengan populasi terbanyak di dunia. Selama satu dekade terakhir, akses internet di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat drastis, hal ini ditunjukan pada tahun 2024, lebih dari 221 juta penduduk menggunakan internet yang mencangkup sekitar 79,5% dari populasi negara ini. Bedasarkan survei dari asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJII) pada tahun 2024 jumlah pengguna internet mencapai 221,56 juta orang. Semakin berkembangnya teknologi informasi, internet maupun media sosial yang dapat sangat memudahkan untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa saling menggenal satu sama lain, namun dengan seiring perkembangan tersebut dapat memunculkan berbagai permasalahan dalam bentuk kriminal, salah satunya adalah bullying namun secara online disebut dengan cyberbullying. Sebagai generasi Z yang tumbuh dan besar dengan bantuan media sosial mengakibatkan banyaknya interaksi daring yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka, generasi Z yang cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berselancar di dunia maya, mereka memiliki banyak potensi menjadi pelaku cyberbullying yang lebih ekspresif dalam menyampaikan pendapat di media sosial yang mengakibatkan terpicunya sebuah konflik hingga terbentuklah perilaku cyberbullying.

Cyberbullying adalah tindakan agresif dan disengaja yang dilakukan dari waktu ke waktu oleh kelompok atau individu dengan menggunakan alat elektronik kepada korban yang sulit untuk melindungi diri sendiri

(6)

(Smith et al., 2008: 376). Hinduja dan Patchin (2015) menjelaskan bahwa cyberbullying adalah perilaku yang disengaja dan membahayakan yang terulang terus menerus diulang dan disebabkan oleh penggunaan komputer, ponsel, atau perangkat elektronik lainnya. Contohnya termasuk meng-upload foto memalukan orang lain di media sosial, berulang kali mengirim pesan ancaman, menulis kalimat yang menyakitkan di kolom komentar media sosial, serta memakai akun palsu untuk menghina seseorang (UNICEF, 2020). Sedangkan cyberbullying menurut Willard (2007) yaitu perilaku berbahaya kepada orang lain dengan menggunakan atau mengunggah materi atau informasi berbahaya dan terlibat dalam bentuk agresi sosial lainnya melalui internet maupun teknologi digital lainnya seperti media sosial. aspek-aspek cyberbullying antara lain ada flaming, impersonation, harassment, denigration, outing & trickery, exclusion, dan cyberstalking. Menurut survei terbaru dari APJII, 49%

remaja di Indonesia pernah mengalami cyberbullying, diejek bahkan dilecehkan di media sosial. Survei ini juga menyebutkan bahwa sebanyak 31,6 korban perundungan membiarkan tindakan tersebut, 7,9% membalas dan 5,2% menghapus ejekan tersebut, sedangkan 3,6% melaporkan tindakan tersebut kepada pihak berwajib (APJII, 2020).

Generasi Z dengan karakteristiknya yang unik dan ketergantungannya pada teknologi sangat rentan terhadap cyberbullying.

Data dan statistik menunjukkan bahwa prevelensi cyberbullying di kalangan generasi Z cukup tinggi dan menjadi perhatian yang cukup

(7)

serius. Ada beberapa faktor yang memegaruhi seorang anak melakukan tindakan cyberbullying, menurut Pandie & Weisman (2016) menjelaskan faktor yang dapat memegaruhi seseorang melakukan tindakan cyberbullying, salah satu faktornya adalah prediktor keluarga. Prediktor keluarga sendiri merupakan salah satu bentuk kelekatan seorang anak dengan orang tua yang merasa insecure, menerapkan pola pendisiplinan fisik yang keras maupun pola asuh overprotective sehingga seorang anak akan memproyeksikan rasa sakit dirinya dalam bentuk konflik dengan teman sebaya atau perkelahian baik secara individual maupun kelompok melalui media sosial atau secara langsung. Pola asuh orang tua yang overprotective akan memegaruhi anak yang juga akan menyebabkan dampak kurang baik terhadap perkembangannya. Seorang anak yang terlalu mendapatkan kasih sayang berlebih membuat anak tersebut akan mengalami kesulitan dalam kesehariannya, anak akan merasa tampak lemah jika jauh dari orang tua, tidak bisa mandiri, dan menjadi penakut bahkan egois, serta kurangnya kemampuan dalam memecahkan masalah.

Sunarty (2015) berpendapat bahwa banyak orang tua dalam kehidupan sehari-hari memperlakukan anaknya seperti anak kecil meskipun sudah remaja dan dewasa, memperlakukan anak sesuai dengan keinginannya yang harus diterima oleh anak tanpa ada perlawanan, terlalu melindungi anak secara berlebihan sehingga membuat anak menjadi tidak mandiri yang disebut dengan overprotective.

(8)

Dalam penelitian ini direncanakan sampel penelitian yaitu generasi Z dengan rentang usia 16 hingga 25 tahun, yang aktif menggunakan media sosial dan platform digital lainnya. Penulis memilih subjek tersebut karena sesuai untuk diteliti, hal ini didasarkan pada karakteristik generasi Z yang sangat mudah untuk mengakses teknologi digital berupa media sosial.

Generasi ini memiliki resiko lebih besar terlibat perilaku cyberbullying, baik sebagai korban maupun pelaku, selain itu penulis ingin menambahkan sedikit pemahaman agar lebih baik tentang bagaimana pola asuh overproctetive dapat memengaruhi perilaku anak agar nantinya bisa lebih bijak dalam menggunakan media digital.

Penelitian ini terjadi karena dilatar belakangi adanya fenomena perilaku cyberbullying yang semakin marak dikalangan generasi Z, bisa dilihat semenjak perkembangan teknologi yang semakin maju, cyberbullying tidak hanya membawa dampak negatif pada korbannya akan tetapi dapat juga berpegaruh pada pelaku secara psikologis dan sosialnya.

B. Perumusan Masalah

Sebagai generasi Z yang tumbuh dalam dunia serba digital yang semunya serba terhubung kedalam penggunaan akses internet dan media sosial hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Meluas ke berbagai kelompok usia dan tidak ada pembatasan, di mana interaksi dan pertemanan juga bisa melampaui batas fisik, namun di balik kemudahan itu semua tersimpan permasalahan, salah satu yang sudah banyak diperbincangkan dan menjadi topik hangat yaitu maraknya

(9)

cyberbullying, hingga beberapa stasiun tv memampangkan iklan untuk berhenti melakukan tindakan cyberbullying.

Cyberbullying didefinisikan sebagai perilaku mengintimidasi dengan memanfaatkan media atau perangkat elektronik, perilaku yang ditunjukan untuk menyakiti, perilaku yang selalu di lakukan secara konsisten atau terlalu sering, cyberbullying selalu memiliki komponen interpersonal yang ditandani dengan ketidakseimbangan kekuatan. Sebuah survey lebih dari 70% anak muda di seluruh dunia menjadi korban pelecehan online, cyberbullying, dan pelecehan digital menurut jejak pendapat UNICEF terhadap satu juta remaja.

Menurut Rahayu (2012) pelaku cyberbullying menggunakan media sosial untuk memenuhi kebutuhannya yaitu mengintimidasi dan menindas individu lain hanya untuk kesenangan pribadi, melalui media sosial pengguna dengan mudah dapat mengomentari postingan dari pengguna yang lain, baik berisi komentar negatif maupun positif, hal tersebut dapat memudahkan siapapun mengakses atau melihat dengan cepat setelah dikirim dan sipapun bisa mengaksesnya dengan mudah khususnya bagi remaja yang tidak mau tertinggal berita.

Pola asuh sangat memegaruhi anak berfikir dan menyikapi terutama dalam hal interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika anak mengambil sikap maupun memberikan tindakan

(10)

ketika melalukan sebuah perlakuan baik dengan yang seumuran maupun lanjut usia.

Pola asuh overproctetive orang tua dapat menyebabkan anak akan mengalami kesulitan dalam kesehariannya, anak merasa lemah jika jauh dari orang tua, tidak bisa mandiri, dan menjadi penakut bahkan egois, serta kurangnya kemampuan dalam memecahkan masalah.

Sunarty (2015) berpendapat bahwa banyak orang tua dalam kehidupan sehari-hari memperlakukan anaknya seperti anak kecil meskipun sudah remaja dan dewasa, memperlakukan anak sesuai dengan keinginannya yang harus diterima oleh anak tanpa ada perlawanan, terlalu melindungi anak secara berlebihan sehingga membuat anak menjadi tidak mandiri. Dan pada saat anak mengalami pengawasan yang terlalu ketat, hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan pada perilaku anak menjadi sangat tidak terkontrol, bahkan hal tersebut tanpa orang tua sadari, anak menjadi lebih agresif dan bisa melakukan segalanya tanpa pikir panjang.

Berdasarkan penjelasan di atas, perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara pola asuh overproctetive orang tua dengan perilaku cyberbullying pada generasi Z.

C. Tujuan Penelitian

Dari uraian di atas dapat ditentukan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui adakah hubungan antara pola asuh overprotective orang tua dengan perilaku cyberbullying pada generasi Z.

(11)

D. Manfaat Penelitian

Dari penjelasan di atas dapat ditentukan manfaat penelitian adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan dalam pengembangan wawasan ilmu psikologi serta hasil penelitian ini dapat dijadikan refrensi pada penelitian selanjutnya atau memperkaya literatur terkait pola asuh orang tua dengan perilaku cyberbullying pada generasi Z.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Orang Tua

Dapat memberikan informasi tentang dampak pola asuh overproctetive terhadap resiko terjadinya cyberbullying dengan memberikan panduan tentang pola asuh yang lebih sehat dan adaptif dalam menghadapi tantangan serba digital.

b. Bagi generasi Z

Diharapkan bisa memberikan pemahaman dan meningkatkan kewaspadaan mengenai bahayanya tindakan cyberbullying, baik berupa perilaku maupun verbal ketika mengkases platform digital.

c. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta informasi dalam memahami serta menganalisis kondisi terhadap fenomena yang terjadi

(12)

berkaitan dengan hubungan antara pola asuh overproctetive dengan perilaku cyberbullying pada generasi Z.

II. Tinjauan Pustaka

A. Perilaku Cyberbullying

1. Pengertian Perilaku Cyberbullying

Cyberbullying, terutama pada kalangan generasi Z yang tumbuh di era digital berpotensi membentuk perilaku agresif dan merendahkan dilakukan secara daring melalui platfrom seperti media sosial, pesan teks atau melalui aplikasi online yang lain. Perilaku ini dapat dilakukan oleh individu yang dikenal maupun tidak oleh korban. Genarasi Z yang sangat aktif berselancar di media sosial seringkali menjadi sasaran empuk para pelaku cyberbullying, seperti tuduhan menyebarkan rumor palsu, pengiriman pesan ancaman, atau mengungkapkan informasi pribadi lainnya tanpa izin, perbedaan utama antara cyberbullying dan bullying tradisional terletak pada media yang digunakan, misalnya saja pada cyberbullying, hal ini bisa terjadi secara daring, seringkali pelaku menggunakan akun palsu (anonim) untuk menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya secara cepat dan luas, sementara bullying tradisional terjadi secara langsung di lingkungan fisik seperti sekolah, komunitas atau tempat kerja yang dimana melibatkan interaksi secara langsung. Sedangkan Willard (2007) menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan suatu tindakan kejam kepada orang lain dengan mengirim

(13)

materi berbahaya tentang seseorang atau terlibat dalam bentuk kekejaman sosial lainnya menggunakan internet ataupun teknologi digital lainnya.

Patchin dan Hinduja (2015) mendefinisikan cyberbullying sebagai perilaku yang disengaja, menyakiti dan berulang yang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya. Tindakan cyberbullying mengacu pada insiden dimana remaja menggunakan teknologi untuk mengganggu, mengancam, menghina atau melakukan perbuatan yang menimbulkan pertengkaran dengan teman sebaya. Selain itu Gámez-Guadix et al., (2016) menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan salah satu bentuk perilaku daring beresiko. Lebih lanjut Ramdhani (2016) menyebutkan bahwa dalam kehidupan sosial, perilaku mengganggu orang lain termasuk di dalamnya cyberbullying merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral kehidupan antar manusia.

Cyberbullying merupakan perilaku tidak wajar dilakukan secara daring menggunakan perangkat komputer atau elektronik lainnya, tindakan tersebut dapat berupa menganggu, mengancam, menghina serta bisa pertengkaran dengan teman sebaya. Cyberbullying merupakan salah satu perilaku beresiko yang tidak sesuai dengan nilai moral kehidupan manusia.

(14)

2. Aspek – Aspek Perilaku Cyberbullying

Menurut Willard (2007) beberapa aspek dari cyberbullying, yaitu:

a. Amarah (Flaming)

Amarah mengacu pada perlakuan frontal yang menggunakan kata- kata kasar untuk menghina seseorang dalam bentuk mengirim pesan, media sosial, bahkan grup obrolan.

b. Pelecehan (Harrasment)

Pelecehan merupakan tindak lanjut dari amarah (flaming) dimana memberikan gangguan - gangguan melalui berbagai macam jejaring sosial yang dilakukan secara terus menerus bahkan dalam jangka panjang.

c. Fitnah atau Pencemaran Nama Baik (Denigration)

Pencemaran nama baik adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan fakta dan kebenaran, serta memfitnah orang lain dengan tujuan merusak citra dan reputasi orang lain.

d. Peniruan (Impersonation)

Dapat diartikan sebagai meniru orang lain dan mengirimkan informasi atau status yang buruk bukan atas nama dirinya sendiri (pelaku).

e. Tipu daya (Outing and Trickey)

Outing dan trickey memiliki arti yang berbeda, namun memiliki arti dan tujuan yang sama. Outing adalah suatu tindakan membagikan rahasia orang lain melalui foto, video, apapun rahasianya (korban). Sedangkan

(15)

trickey adalah tindakan membujuk seseorang (korban) dengan trik untuk mendapatkan berbagai rahasia, seperti foto tersebut. oto atau informasi pribadi orang.

f. Pengucilan (Exclusion)

Pengucilan merupakan tindakan sengaja mendorong dan memojokkan seseorang ke dalam keputusasaan dalam kelompok atau grup diskusi online.

g. Penguntitan di Media Sosial (Cyberstalking)

Merupakan perilaku dimana seseorang (penjahat) menguntit atau melacak seseorang (korban) di media online untuk berulang kali mengirimkan informasi bahkan dengan ancaman atau intimidasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cyberbullying merupakan salah satu bentuk agresi yang terjadi di dunia digital hingga bisa mengakibatkan dampak serius bagi korbannya, baik secara psikologis maupun sosial. Perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya pengalaman pada bully tradisional, karakteristik kepribadian, persepsi terhadap korban, strain, hingga interaksi orang tua dalam mengawasi anak. Cyberbullying sendiri juga memiliki beberapa aspek yang dimulai dari pelecahan verbal, pencemaran nama baik, impersonasi, hingga penguntitan secara digital. Oleh karena itu, upaya pencegahan perlu melibatkan dari berbagai pihak seperti keluarga, sekolah, dan

(16)

regulasi kebijakan untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dan sehat bagi generasi penerus selanjutnya.

3. Faktor yang memegaruhi Perilaku Cyberbullying

Terdapat lima faktor penyebab Bullying menurut Kowalski (2008), yaitu:

a. Bullying tradisional, penindasan yang terjadi di dunia nyata berdampak besar bagi seseorang memiliki kecenderungan untuk melakukan bullying di dunia maya.

b. Karakteristik kepribadian, seseorang yang kepribadiannya cenderung sangat agresif, tidak memiliki empati, tidak mampu mengendalikan diri, bahkan mudah marah.

c. Persepsi terhadap korban semua persepsi manusia, seperti reaksi terhadap orang terdekat, bagaimana membuat keputusan tentang karakteristik orang lain, atau bagaimana menjelaskan mengapa seseorang melakukan hal-hal tertentu, disebut persepsi interpersonal.

Penyebab bullying adalah karena sifat atau karakteristik korban yang di-bully.

d. Strain merupakan suatu kondisi ketegangan psikis yang ditimbulkan bedasarkan interaksi negatif orang lain yang membentuk pengaruh negatif (terutama rasa murka dan frustasi) yang mengarah pada kenakalan.

(17)

e. Peran orang tua dalam mengawasi kegiatan anak berinteraksi menggunakan internet adalah faktor yg relatif berpengaruh dalam kesamaan anak buat terlibat pada aksi cyberbullying. Orang tua yang tidak mengawasi kegiatan online anak mengakibatkan anak lebih rentan terlibat aksi cyberbullying (Willard, 2005). Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat lima faktor cyberbullying menurut Kowalski (2008), yaitu bullying tradisional, karakteristik kepribadian, persepsi terhadap korban, strain, dan peran interaksi orang tua.

Selain faktor – faktor yang dijelaskan oleh Kowalski (2008), terdapat beberapa faktor lain yang digunakan untuk tambahan agar lebih relevan:

a. Pengaruh teman sebaya di media sosial, pada generasi Z sangat mudah dipengaruhi oleh teman sebaya mereka di media sosial. Tekanan untuk merasa “cocok” dan ingin “diakui” sebagai bagian dari mereka secara daring membuat mereka terlibat dalam perilaku cyberbullying.

b. Norma - norma daring yang permisif terhadap perilaku agresif, komunitas daring mungkin masih ada yang memilki norma-norma permisif terhadap perilaku agresif, seperti trolling atau flaming.

Generasi Z yang tumbuh di lingkungan seperti ini mungkin menganggap perilaku mereka adalah hal normal atau bahkan suatu yang lucu.

(18)

c. Usia juga turut andil, dalam tindakan cyberbullying apalagi ketika anak sudah memasuki usia remaja, hal ini bisa terjadi karena mereka penyumbang aktif dalam menggunakan internet.

d. Kontrol psikologis, cyberbullying pada remaja terkait dengan masalah emosi dimana gangguan emosi mewakili prediktor terkuat untuk tindakan cyberbullying, sangat dibutuhkan adanya kontrol psikologis pada remaja agar dapat mencegah tindakan cyberbullying.

B. Pola Asuh Overproctetive

1. Pengertian Pola Asuh Overproctetive

Overprotective berasal dari kata overprotective yakni over dan protection. Kata over berati lebih atau sangat, sedangkan protection berati perlindungan, pembelaan, penjagaan. Overproctetive merupakan kecendrungan dari pihak orang tua untuk melindungi anak secara berlebihan, dengan memberikan perlindungan terhadap gangguan dan bahaya fisik maupun psikologis, sampai sebegitu jauh sehingga anak tidak mencapai kebebasan atau selalu tergantung pada orang tua (Chaplin, 2000). Kebiasaan orang tua yang terlalu protektif terhadap anaknya dapat menyebabkan anak tidak mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri. Mereka umumnya tidak mampu mandiri, tidak percaya pada kemampuan sendiri, dan merasa jangkauan tindakannya terbatas.

Orang tua yang terlalu protektif dapat berdampak kurang baik bagi perkembangan anak. Anak yang mendapatkan kasih sayang yang

(19)

berlebihan, terlalu terlindungi dan terhindar dari berbagai macam kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, akan tampak lemah hati jika jauh dari orang tua, menjadi penakut, menjadi rapuh, sangat egois, tidak mampu menerima saran dan kritik serta tidak mampu menghadapi permasalahan kehidupan (Kartono, 2005). Seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Spada, Caselli, Manfredi, et al (2011) dalam jurnal yang diterbitkan oleh Cambridge University Press bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua yang overprotective akan tumbuh menjadi kecil hati, takut mengambil risiko, minder dan tidak percaya diri serta tidak memiliki inisiatif.

Mappiaer (1982) overprotective merupakan cara orang tua mendidik anak dengan terlalu melindungi, kurang memberi kesempatan kepada anak untuk mengurusi keperluan-keperluan sendiri, membuat rencana, menyusun alternatif, mengambil keputusan sendiri serta bertanggung jawab kepada keputusannya. Peran keluarga sangat penting untuk wadah anak-anak ataupun remaja yang sedang mengalami perubahan fisik dan psikis, dengan demikian orang tua berkewajiban untuk menyediakan fasilitas dan sarana kepada anak-anak mereka untuk mengenal dunia secara luas. Sebagai individu yang mengalami pertumbuhan, seorang anak yang terutama yang sedang memasuki masa remaja sangat memerlukan perhatian dan bimbingan orang tua, agar perkembangannya tersebut mengarah kepada hal yang positif.

Dengan demikian pola asuh overproctetive dapat menghambat perkembangan anak dalam kehidupan secara mandiri, oleh karena itu,

(20)

diperlukan keseimbangan dalam pola asuh agar anak tetap mendapatkan perlindungan yang cukup tanpa kehilangan kesempatan untuk tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri.

Bedasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan peneliti pola asuh overproctetive merujuk pada orang tua yang memberikan perlindungan berlebihan kepada anak, seringkali dilandasi kekahwatiran akan rasa kegagalan. Hal ini terjadi karena orang tua yang overproctetive kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengurus diri sendiri, membuat keputusan, dan bertanggung jawab atas pilihan mereka. Pola asuh overproctetive menghambat anak dalam mengesplorasi dunia secara luas, oleh karena itu diperlukan keseimbangan dalam pola asuh agar anak dapat terlindungi, dan memiliki kesempatan untuk berkembang menjadi individu mandiri dan memiliki kepercayaan diri.

2. Aspek – Aspek Pola Asuh Overproctetitive

Aspek-aspek pola asuh overprotective menurut Zabda (1981):

a. Memberikan perlindungan berlebih

Melindungi anak dengan berbagai cara agar terhindar dari berbagai kesulitan, dengan memberikan perlindugan terhadap gangguan dan bahaya fisik maupun psikologis, sampai anak tidak mecapai kebebasan.

b. Kondisi atau pengawasan yang berlebih

(21)

Segala sesuatu yang dilakukan diawasi secara ekstra, karena orang tua takut anak mereka melakukan perbuatan yang membahayakan. Orang tua selalu memantau sampai tidak ada ruang gerak bagi anak.

c. Pencegahan terhadap kemandirian

Membiarkan dan membolehkan anak mereka berbuat sekehendak hati, tidak membiasakan akan ketertiban, kepatuhan, peraturan, kebiasaan- kebiasaan baik lainnya dan orang tua cenderung mencegah anak-anaknya melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan dan sebenarnya belum tentu atau tidak membahayakan.

Menurut Yusuf (2005), aspek pola asuh overproctetive terdiri dari : a. Pengasuhan atau pendampingan terus menerus kepada anak

Orang tua yang ingin selalu menjaga dan melindungi anaknya secara daring mengakibatkan anak tidak dapat menyelesaikan masalah, atau ketika berada disuatu konflik, anak tidak mampu menggunakan akal sehat untuk menyelesaikannya.

b. Kontak berlebih pada anak

Orang tua ingin selalu dekat dengan anaknya, sehingga dapat menyebabkan anak haus validasi dan kurang empati hingga bertindak lebih agresif secara daring.

(22)

c. Mengawasi aktivitas anak secara berlebihan

Orang tua yang ingin selalu mengawasi aktivitas daring seorang anak akan mengakibatkan reaksi memberontak dengan melakukan cyberbullying sebagai bentuk pelampiasan.

d. Menyelesaikan masalah anak,

Orang tua tidak membiasakan anak untuk belajar memecahkan masalah, selalu membantu menyelesaikan masalah pribadi anak. Pola asuh overprotective memberikan dampak negatif terhadap perkembangan anak. Hal ini menunjukan orang tua kurang memberikan ruang bagi anak untuk meng-explore dan bertumbuh menjadi individu yang mandiri dan memiliki kepercayaan diri.

Dalam penelitian ini untuk mengungkap variabel pola asuh overprotective menggunakan teori yang dikemukakan oleh Zabda (1981) yang terdiri dari aspek memberikan perlindungan berlebih, kondisi atau pengawasan yang berlebih dan pencegahan terhadap kemandirian.

C. Hubungan antara Pola Asuh Overproctetive dengan Perilaku Cyberbullying

Pola asuh overproctetive sering menghambat anak untuk belajar bagaimana cara menghadapi konflik dan melakukan interaksi sosial secara mandiri, akibat yang ditimbulkan ketika anak menghadapi konflik secara daring, mereka tidak memiliki keterampilan untuk menyelesaikan masalah secara sehat dan malah menggunakan cyberbullying sebagai jalan pintas.

(23)

Pembatasan eksplorasi dan kontrol secara berlebih dapat menyebabkan anak menjadi frustasi dan merasa tertekan, perasaan yang ditimbulkan dapat memicu perilaku agresif sebagai bentuk pelampiasan emosi negatif yang dilakukan untuk memberontak terhadap otoritas orang tua. Seorang anak akan merasa dunia maya menjadi tempat yan aman untuk mengespresikan segala bentuk emosi negatif mereka secara anonim sehingga mereka dapat melampiaskan kekesalanya kapan saja. Anak yang terus dilindungi akan kurang memiliki rasa empati, hal ini akan menyebabkan anak tidak pernah merasa bersalah meskipun melakukan tindakan cyberbullying.

Hasil penelitian Dewantara (2022) menunjukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara toxic parent terhadap perilaku cyberbullying, yaitu dengan diketahui rxy = 0,585 dengan p= 0,000 (p<0,001). Bedasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa toxic parents dapat meningkatkan perilaku cyberbullying pada remaja di kota Semarang.

Hasil penelitian Judodiharjo et.al (2024) menunjukan bahwa pola asuh overproctetive berkorelasi secara positif terhadap kecemasan secara signifikan, yaitu dengan diketahui rxy = 0,207 dengan p= 0,000 (p<0,05) yakni terdapat hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh overproctetive dan kecemasan pada remaja.

Bedasarkan uraian di atas, penelitian terdahulu menunjukan bahwa pola asuh overproctetive memiliki dampak signifikan terhadap

(24)

perkembangan psikologis dan sosial bagi seorang anak, yang berpotensi secara tidak langsung berkontribusi pada perilaku cyberbullying. Pola asuh overproctetive sangat membatasi kemandirian seorang anak dalam mengesplorasi segala sesuatu yang dapat menyebabkan frustasi, kecemasan, dan kurangnya ketrampilan sosial dalam interaksinya. Akibat yang dapat ditimbulkan, anak akan cenderung mencari pelampiasan emosi negatif pada dunia maya di mana mereka dapat mengamati dan meniru perilaku agresif seperti cyberbullying. Dengan demikian, pola asuh overproctetive dapat di anggap sebagai salah satu faktor resiko yang perlu di pertimbangkan dalam meningkatkan kemungkinan anak untuk terlibat dalam perilaku cyberbullying, baik sebagai pelaku maupun korban. Oleh karena itu, penemuan tersebut menjadi dasar bagi peneliti untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana pola asuh overproctetive memegaruhi perilaku cyberbullying pada generasi Z.

III. Hipotesis

Hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah "Ada hubungan antara pola asuh overprotective orang tua dengan perilaku cyberbullying pada generasi Z."

(25)

IV. Metode Penelitian A. Subjek Penelitian

1. Populasi

Dalam penelitian kuantitatif, populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono; Suriani, 2023). Populasi dalam penelitian ini adalah generasi Z yang berada dalam rentang usia 16- 25 tahun. Jumlah keseluruhan subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini berkisar antara 50 orang, dan berdomisili di kota Jombang.

2. Sampel Penelitian

Sugiyono (Saputri, 2024) Sampel penelitian ini adalah bagian yang berasal dari jumlah serta karakteristik yang menjadi bagian dari populasi tersebut, maka dari itu jumlah sampel yang diambil untuk penelitian harus sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan dan mampu mewakili jumlah populasi dari tempat penelitian. Populasi yang menjadi sumber data dalam penelitian dengan mempertimbangkan responden yang memenuhi kriteria sampel penelitian yaitu individu pada rentan usia 16-25 sebanyak 50 orang.

B. Variabel Penelitian dan Pengukuranya

Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahu cara mengukur variabel. Adapun definisi operasional variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah:

(26)

1. Perilaku Cyberbullying (Variabel Y) A. Definisi Operasional Variabel Y

Perilaku cyberbullying dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dilakukan secara berulang melalui media digital dengan tujuan untuk menyakiti, merendahkan, atau melecehkan individu atau kelompok lain yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penghinaan daring (flaming), pelecehan (harassment), pencemaran nama baik (denigration), hingga perundungan secara sosial melalui media digital.

B. Pengembangan Alat Ukur variabel Y

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Skala cyberbullying yang disusun oleh peneliti dengan mengacu pada teori Willard (2007). Klasifikasi perilaku cyberbullying dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, seperti flaming, harassment, denigration, impersonation, outing, trickery, exclusion, dan cyberstalking, beberapa aspek tersebut dikembangkan dalam blue print sebagai berikut:

(27)

Tabel 1

Blue Print Skala Cyberbullying

No Aspek Favourable Unfavourable

1 Amarah (Flaming) 2 Pelecehan (Harrasment) 3 Fitnah/pencemaran nama baik

(Denigration)

4 Peniruan (Impersonation) 5 Tipu daya (Outing dan Trickey) 6 Pengucilan (Exclusion)

7 Penguntitan di media sosial (Cyberstalking)

C. Uji Alat Ukur

1. Uji diskriminasi item

Uji diskriminasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana setiap item dalam skala mampu membedakan individu yang memiliki tingkat tinggi dan rendah dalam variabel yang diukur.

2. Uji reliabilitas

Reliabilitas mengukur konsistensi alat ukur. Jika skala diuji berulang kali, hasilnya harus tetap stabil.

2. Pola Asuh Overproctetive (Variabel X) A. Definisi Operasional Variabel X

Pola asuh overprotective orang tua adalah pola asuh di mana orang tua menunjukkan tingkat perlindungan yang berlebihan terhadap anak mereka, dengan membatasi kemandirian anak dan berdampak pada

(28)

perkembangan sosial serta emosionalnya. Pola asuh overproctetive ini ditandai dengan kontrol ketat, pembatasan kebebasan, serta ketidakpercayaan terhadap kemampuan anak untuk mengambil keputusan sendiri.

B. Pengembangan Alat Ukur Variabel X

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala pola asuh overproctetive yang dikembangkan bedasarkan teori Zabda.

Tabel 2

Blue Print Skala pola asuh overproctetive

No Aspek Favourable Unfavourable

1 Perlindungan berlebih 2 Kontrol atau pengawasan

berlebih

3 Pencegahan terhadap kemandirian

C. Uji Alat Ukur

1. Uji diskriminasi item

Uji diskriminasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana setiap item dalam skala mampu membedakan individu yang memiliki tingkat tinggi dan rendah dalam variabel yang diukur.

2. Uji reliabilitas

Reliabilitas mengukur konsistensi alat ukur. Jika skala diuji berulang kali, hasilnya harus tetap stabil.

(29)

C. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi pearson product moment dengan bantuan program Statistical Package For Social Science (SPSS).

Tabel 3

Data pearson product moment

Subjek X Y

Keterangan:

S: Subjek

X: Pola Asuh Overproctetive Y: Cyberbullying

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Aura utama, F. I. (2022). Hubungan antara regulasi emosi dengan perilaku cyberbullying pada remaja di kota Jambi (Doctoral dissertation, Psikologi).

Chaplin, J.P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Cyberbullies: karakteristik, bentuk, dan dampaknya. (2024). Definisi

cyberbullies. Diakses dari www.asdf.id. Pada 20 Februari 2025.

Cyberbullying: apa itu dan bagaimana cara menghentikannya. (2020).

Diakses dari www.unicef.org. pada 25 Februari 2025.

Dewantara, M. W. (2022). Hubungan antara toxic parents terhadap perilaku perundungan siber (cyberbullying) pada remaja di Kota Jambi Semarang (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).

Dewi, H. A., Suryani, S., & Sriati, A. (2020). Faktor faktor yang memengaruhi cyberbullying pada remaja: A Systematic review. Journal of Nursing Care, 3(2).

Dewi, R., Azis, I., Sugiharti, A., Oscar, G., Natawidnyana, I. M. R., &

Supriantono, B. E. (2024). Analisis perspektif hukum perdata dalam menghadapi cyberbullying di era digital. Jurnal Intelek Dan Cendikiawan Nusantara, 1(2), 2053.

Haznah, S. A., & Pratama, M. (2021). Pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku cyberbullying remaja di media sosial. Nusantara:

Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(5), 1310-1318.

Indonesia peringkat ke 4 negara berpenduduk terbanyak dunia. (2020).

Diakses dari www.databoks.katadata.co.id. Pada 28 Februari 2025.

Judodihardjo, E., Satiadarma, M. P., & Soetikno, N. (2024). Peran keberfungsian keluarga sebagai moderator dalam hubungan antara pola asuh overprotective dan tingkat kecemasan pada remaja. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 17(3), 276-290.

Kemajuan industri 4.0 akan dorong Indonesia menuju sepuluh besar kekuatan ekonomi global. (2021). Presiden Republik Indonesia.

Diakses dari www.presidenri.go.id. Pada 7 Mei 2025.

Khaerunnisa, S. I., Daud, M., & Nurdin, M. N. H. (2022). Relationship between parents' overprotective behavior perception and independence of high school students in Maros. Daengku: Journal of Humanities and Social Sciences Innovation, 2(6), 750.

Kristiawan, D. D., & Soetjiningsih, C. H. (2023). Selfcontrol dan perilaku cyberbullying pada mahasiswa universitas “X” di Salatiga yang

(31)

aktif menggunakan media sosial. Jurnal Mirai Management, 2023, 8(2), 368.

Kristiawan, D. D., & Soetjiningsih, C. H. (2023). Selfcontrol dan perilaku cyberbullying pada mahasiswa universitas “X” di Salatiga yang aktif menggunakan media sosial. Jurnal Mirai Management, 8(2), 370.

Kristiawan, D. D., & Soetjiningsih, C. H. (2023). Selfcontrol dan perilaku cyberbullying pada mahasiswa universitas “X” di Salatiga yang aktif menggunakan media sosial. Jurnal Mirai Management, 8(2), 367-373.

Lestari, B. S., & Mamus, E. (2022). Sikap over protective orang tua dan kepercayaan diri remaja. INNER: Journal of Psychological Research, 2(1), 17-18.

Lima dampak negatif pola asuh orang tua protektif. (2020). Pola asuh anak. Diakses dari www.halodoc.com. Pada 20 Februari 2025.

Pandie, M. M., & Weismann, I. T. J. (2016). Pengaruh Cyberbullying di Media Sosial terhadap perilaku reaktif sebagai pelaku maupun sebagai korban cyberbullying pada siswa kristen SMP Nasional Makassar. Jurnal Jaffray, 14(1), 55kha.

Pesatnya pertumbuhan internet. (2024). Diakses dari www.smartcity.gunungkidul.gp.id. Pada 28 Februari 2025.

Polii, G. Y. (2019). Hubungan Antara Perilaku Overprotective Orang Tua Terhadap Penyesuaian Diri Remaja Di Sma N 5 Balikpapan.

Revolusi industri 4.0 dan pengaruhnya bagi industri di Indonesia. (2019).

Kementrian pertahanan. Diakses dari www.kemhan.go.id. Pada 7 Mei 2025.

Saputri, A. W. (2024). Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Konformitas Pada Gaya Berpakaian Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2021 Universitas Islam Sultan Agung. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung.

Saragih, R., Amini, A. K., & Jannah, L. (2024). Literasi Digital Berbasis Sekolah Dalam Mencegah Tindakan Cyberbullying Pada Remaja. CONTENT: Journal of Communication Studies, 2(1), 31- 38.

Shafia, Dampak dari Sikap Overproctetive Orang Tua terhadap Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan dan Sosial Humaniora. 2024, 2, 216.

Shafia, Dampak dari Sikap Overproctetive Orang Tua terhadap Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan dan Sosial Humaniora. 2024, 2, 206.

(32)

Sosial learning: belajar dari mengamati dan meniru. (2022). Learning &

development. Diakses dari www.loomedia.co.id. Pada 01 Maret 2025.

Suriani, N., Risnita., & Jailani, M. S. (2023). Konsep Populasi dan Sampling serta Pemilihan Partisipan Ditinjau dari Penelitian Ilmiah Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam. 1(2), 26.

Trilanasari, D. Pengaruh pola asuh permisif dan control diri terhadap kecendrungan perilaku cyberbullying pada siswa SMP NEGRI 23 SEMARANG.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan definisi-definisi yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah suatu tindakan atau perilaku yang disengaja yang

Definisi Operasional Dalam definisi operasional ini, peneliti mengemukakan dua variabel dalam penelitian, yakni variabel X dan variabel Y, yang dimana variabel X atau variabel bebasnya

Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel ini ada 2 yaitu X variabel bebas ,mencakup tentang menajemen sekolah dan Y variabel terikat , mencakup tentang hasil

Operasional Variabel Penelitian No Variabel Definisi 1 Niat adopsi perbankan syariah Kesiapan untuk melakukan suatu perilaku atau tindakan 2 Sikap Adanya keyakinan bahwa apa

Definisi operasional variabel adalah definisi yang berdasarkan sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati diobservasi dan memiliki batasan atau spesifikasi dari variabel-variabel

2 Definisi Operasional VARIABEL DEFINISI ALAT UKUR KRETERIA OBJEKTIF SKALA Variabel Independen Perilaku niatBI Kondisi perilaku niat mengacu pada kesiapan pengguna untuk

Adapun dalam penelitian ini variabel yang akan didefinisikan secara operasional dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

Tabel Definisi Operasional Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil Ukur Skala Perubahan perilaku pola makan Terjadi perubahan perilaku pola makan yang setelah diberikan