• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUTUSAN PENGADILAN PADA ANAK DENGAN KASUS KEJAHATAN MENCURI ATAU KLEPTOMANIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PUTUSAN PENGADILAN PADA ANAK DENGAN KASUS KEJAHATAN MENCURI ATAU KLEPTOMANIA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

22

PUTUSAN PENGADILAN PADA ANAK DENGAN KASUS KEJAHATAN MENCURI ATAU KLEPTOMANIA

Oleh:

Afifah Aji Utami

Fakultas Hukum Universitas Selamat Sri Kendal Email: [email protected]

ABSTRAKSI

Kejahatan pencurian tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa, namun anak-anak atau orang dibawah umur juga melakukan kejahatan pencurian. Seseorang melakukan kejahatan pencurian bisa dilihat dari faktor intern, yaitu disebabkan oleh kondisi mental kepribadian seseorang atau individu yang kurang baik (negatif), sehingga cenderung melakukan kejahatan dan faktor ekstern, yaitu disebabkan oleh faktor-faktor di luar atau di sekitarnya yang menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan. Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun demikian mengingat pelaku tindak pidana masih di bawah umur maka proses penegakan hukumnya dilaksanakan secara khusus. Berbagai cara dalam mengatasi tindak pidana pencurian terhadap anak dibawah umur, dapat dilakukan dengan mengalihkan atau menempatkan ke luar pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana. Artinya tidak semua masalah perkara pidana, dalam hal ini kleptomania harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban yang disebut pendekatan restorative justice. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis putusan pengadilan pada anak dengan kasus kejahatan mencuri atau kleptomania.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi literatur dengan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Data bahan hukum yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan contoh kasus yang kemudian akan menyimpulkan hasil dari objek penelitian.

Kata Kunci : putusan pengadilan, anak, mencuri, kleptomania ABSTRACT

Theft crimes are not only committed by adults, but children or minors also commit theft crimes. Someone committing the crime of theft can be seen from internal factors, which are caused by the mental condition of a person's personality or individuals who are not good (negative), so they tend to commit crimes and external factors, which are caused by factors outside or around them that cause a person to be compelled to commit crimes.

commit crime. Children who commit crimes in the context of positive law in force in Indonesia must still be held accountable for their actions, however, considering that the perpetrators of crimes are still underage, the law enforcement process is carried out specifically. Various ways to deal with criminal acts of theft against minors can be done by diverting or placing the perpetrators of child crimes out of the criminal justice system. This means that not all criminal cases, in this case kleptomania, must be resolved through formal justice channels, and provide alternatives for settlement with a justice approach in the best interest of the child and by considering justice for the victim, which is called a restorative justice approach. This study aims to examine and analyze court decisions on children with

(2)

23

cases of theft or kleptomania. This study uses a normative juridical research method. Data collection was carried out using literature study techniques with primary, secondary and tertiary legal materials. The collected legal material data is then analyzed using qualitative methods with a statutory approach and a case sample approach which will then conclude the results of the research object.

Keywords: court decision, children, stealing, kleptomania

PENDAHULUAN

Manusia tidak akan luput dari hasrat akan pemenuhan kebutuhan sehari- hari, baik itu kebutuhan yang sifatnya tidak mendesak maupun kebutuhan yang mendesak. Dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini terkadang sebagian orang melakukan pemenuhan kebutuhannya tanpa berpikir panjang akan akibat dari apa yang akan dilakukannya. Pemenuhan hasrat akan kebutuhannya inilah yang terkadang justru membawa malapetaka dan akibat negatif baik untuk dirinya sendiri dan selain itu bisa juga merugikan lingkungan sekitarnya termasuk orang-orang sekelilingnya. Tentu saja perbuatan yang seperti ini dapat memberikan efek negatif bagi lingkungan dan masyarakat, perlu adanya pertanggungjawaban dari pelaku yang berbuat tersebut.Pertanggungjawaban si pelaku wajib melaksanakannya atas apa yang telah diperbuatnya. Karena perbuatannya tersebut merugikan dan menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat. Oleh karenanya, bentuk pertanggungjawaban yang diberikan oleh pihak berwenang bagi si penerima limpahan inilah dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”.

Indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan isi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), sehingga di dalam masyarakat hukum terus berkembang dan terus melekat guna mengatur kehidupan dalam bermasyarakat. Agar tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain atas perbuatan seseorang, hukum memberikan suatu batasan berupa aturan-aturan agar seseorang tidak sebebas-bebasnya dalam berbuat dalam pemenuhan kebutuhan serta kepentingannya. Dalam hidup bermasyarakat, tiap individu mempunyai tujuan dalam memenuhi kebutuhannya. Namun sebagai makhluk sosial tiap individu ini tidak boleh serta-merta dalam bertindak sesuai dengan keinginannya. Untuk memenuhi kebutuhan mendesak serta kepentingannya, tak jarang seseorang sampai melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut. Dalam hukum pidana berbagai macam perbuatan yang dilarang, bilamana jika dilanggar, maka akan dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan menurut hukum pidana yang berlaku. Yang paling sering kita temui ialah pencurian.Pencurian ialah suatu tindak pidana, dimana kejahatan yang terjadi pada harta benda milik orang lain dengan cara mengambil dengan maksud untuk menguasainya. Berdasarkan hukum positif, pencurian adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain, dimana dengan maksud menguasai barang itu dengan melawan hukum. Kejahatan pencurian tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa, namun anak-anak atau orang dibawah umur juga melakukan kejahatan pencurian. Seseorang melakukan kejahatan pencurian bisa dilihat dari faktor intern,

(3)

24

yaitu disebabkan oleh kondisi mental kepribadian seseorang atau individu yang kurang baik (negatif), sehingga cenderung melakukan kejahatan dan faktor ekstern, yaitu disebabkan oleh faktor-faktor di luar atau di sekitarnya yang menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan (Al Rosyid dkk, 2019:190).

Terdapat banyak kasus pencurian yang terjadi, dimana terdapat sebuah perbuatan mengambil barang orang lain secara diam-diam dimana perbuatannya ini berbeda dengan pencurian pada umumnya. Pelaku melakukan perbuatan tersebut dikarenakan adanya suatu gangguan, dan perilaku tersebut dikenal dengan sebutan kleptomania. Kleptomania tidak mengenal taraf hidup seseorang, orang yang memiliki kehidupan yang berkecukupan pun bisa mengidap kleptomania. Dimana tujuan utamanya mencuri bukan untuk memiliki dengan maksud mencukupi kebutuhannya, melainkan mencuri hanya untuk memenuhi hasrat memiliki barang tersebut. Salah satu contoh kasus yang ada ialah tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang anak berusia 10 tahun yang mencuri telepon genggam di sebuah rumah warga. Anak tersebut telah tertangkap basah oleh pemilik rumah dan anak tersebut dilaporkan ke pihak berwajib tetapi tidak dapat diusut kasus pencuriannya dan yang bersangkutan tidak dihukum melainkan dilaporkan ke orang tuanya serta berakhir damai.

Tetapi beberapa bulan atau minggu kemudian anak itu kembali mencuri uang warga dan akhirnya direhabilitasi oleh pihak berwajib. Namun demikian anak itu tidak juga jera setelah kejadian pencurian berkali-kali yang telah diperbuatnya.

Warga mulai resah dan berakhir anak itu hanya direhabilitasi. Banyak orang yang beranggapan bahwa kleptomania ini adalah bukan hal yang serius dan dari pemikiran orang-orang yang mengidap kleptomania walau melakukan pencurian dengan kata lain selalu dimaklumi karena dianggap jiwanya terganggu. Sedangkan sesuai dengan pemahaman Masyarakat luas, dimana seperti yang diketahui bahwa kleptomania ini merupakan hal yang serius. Perilaku dari pengidap kleptomania ini sangat mengganggu bagi ketentraman individu, orang - per orang atau kelompok masyarakat sehingga perlu penanganan khusus.

Dari permasalahan inilah penulis bermaksud untuk melihat status dan putusan pengadilan dalam kasus pengidap kleptomania ini, tentunya harus mengikuti aturan hukum yang berlaku. Penulis bermaksud mencari jalan keluar bagi pengidap kleptomania mengenai penyakitnya, jika pengidap kleptomania ini termasuk orang dalam gangguan jiwa berarti harus dipidana namun jika dipidanakan saja dapat menimbulkan pengulangan tindak pidananya atau yang bisa disebut dengan residive. Sehingga perlu adanya solusi lainnya sebagai pelengkapnya. Adapun penelitian terdahulu yang memiliki research gap penelitian sebagai acuan penulis untuk melakukan penelitian agar memberikan kontribusi yang berbeda bagi masyarakat luas, yaitu ;

1. Bangkit Ary Prabowo, Karyono. 2014.Gambaran Psikologis Individu Dengan Kecenderungan Kleptomania. Semarang:Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober, 163-169

2. Levani, Yelvi. Aldo Dwi Prastya, Safira Nur Ramadhani. 2019.Kleptomania:

Manivestasi Klinis dan Pilihan Terapi, Manifestasi Klinis dan Pilihan Terapi.

Magna Medika. Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan. Vol. 6 No.1 Februari . e-ISSN:2774-2318 p-ISSN:2407-0505

(4)

25

3. Maemunah, Abdul Sakban, Ratu Rahmawati. 2019.Penyelesaian Tindak Pidana Pencurian Anak Dibawah Umur Menurut Asas Restorative Justice.

CIVICUS : Pendidikan- Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan p-ISSN 2338-9680 | e-ISSN 2614-509X | Vol. 7 No. 2 September, hal. 1-9. Mataran: Universitas Muhamadiyah

4. Muhammad Windu Yudhistira.2015.Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Pengidap Penyakit Kleptomania. Yogyakarta:FH Universitas Atmajaya 5. Syarif Saddam Rivanie,; Slamet Sampurno Soewondo; Nur Azisa; Muhammad

Topan Abadi; Ismail Iskandar.2022.The Application Of Imprisonment To Kleptomaniacs: A Case Studies Of Court Decision.Makasar:Universitas Hasanuddin.SIGn Jurnal Hukum Vol. 4, Issue 1 (April – September 2022): 113- 123.e-ISSN: 2685 – 8606 || p-ISSN: 2685 – 8614

PERUMUSAN MASALAH

Sebagaimana latar belakang di atas, maka berikut rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu;“Bagaimana modus tindak pidana pencurian dan putusan pengadilan yang dilakukan oleh anak pengidap kleptomania?”.

LANDASAN TEORITIS

Komunikasi Interpersonal Orang Tua dan Anak untuk Meminimalisir Kenakalan

Dekade ini lebih dikenal sebagai generasi millennial. Orang juga mengenal generasi X, Y dan Z. Dengan segala kelebihan dan kekurangan generasi era ini, tak menutup kemungkinan juga kenakalan anak setiap tahunnya juga meningkat. Jika dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan selama ini, baik dari kualitas maupun modus perandi yang dilakukan. Orang tua dibuat cemas dan resah manakala tindakan pelanggaran yang dilakukan anak semakin tinggi secara kuantitasnya (Siregar, dkk.2017:28).

Yang cukup memprihatinkan juga adalah bahwa fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku (Sambas, 2010: 103). Kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena tersendiri. Mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi sudah menjadi subyek hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat perhatian khusus, dimuai dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Hukum acara Pidana Anak mengatur secara khusus kewajiban dan hak yang diperoleh anak. Berkaitan dengan perlindungan terhadap anak, dalam sistem hukum pidana di Indonesia, Pemerintah menunjukkan itikad baik sebagai implementasi dari peratifikasian dari beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, dengan membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Saetodjo, 2006: 17).

Di Indonesia masalah kenakalan yang dilakukan oleh para remaja sudah mencapai tingkat yang cukup meresahkan bagi masyarakat. Adapun faktor-faktor terjadinya kenakalan remaja yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal adalah faktor penyebab yang berasal dari dalam diri remaja karena pilihan, motivasi

(5)

26

atau kemauannya sendiri untuk melakukan kenakalan. Hal ini sesuai dengan pendapat Jensen dalam Sarwono (2011:79) yaitu teori Rational Choice yang menyatakan bahwa, kenakalan yang dilakukan oleh remaja terjadi karena pilihannya sendiri, ketertarikan, motivasi atau kemauannya sendiri. Faktor ekternal adalah faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja yang berasal dari luar diri anak, seperti faktor yang berasal dari lingkungan pengaruh teman sepermainan dan keharmonisan komunikasi orang-tua dan anak.

Faktor keharmonisan komunikasi orang-tua dan anak juga menjadi penyebab kenakalan remaja. Sering dituding kesibukan orang-tua menjadi biang terputusnya komunikasi antara orang-tua dan anak. Orang-tua tidak punya waktu untuk makan siang bersama, sholat berjamaah di rumah di mana ayah menjadi imam, sedangkan anggota keluarga menjadi jamaah. Di meja makan dan di tempat sholat berjamaah, banyak hal yang ditanyakan ayah atau ibu kepada anak-anaknya.

Seperti pelajaran sekolah, teman di sekolah, kesedihan dan kesenangan yang dialami anak. Dan anak akan mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pemikiran-pemikirannya tentang kebaikan keluarga, termasuk kritik terhadap orangtua mereka (Willis, 2013: 14). Kenyataannya yang sering terjadi pada saat ini adalah orang-tua pulang hamper setiap hari menjelang malam, badan capek, sampai di rumah mata sudah mengantuk dan segera beranjak tidur. Tentu orang tua tidak punya kesempatan untuk berdiskusi kepada anaknya. Lama-kelamaan anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis, mereka mengambil keputusan yang membahanyakan dirinya, Karena minimnya komunikasi interpersonal yang terjalin antara orang tua dan anaknya.

Devito (1997: 131) menyatakan komunikasi interpersonal dapat dikatakan berhasil apabila ada keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif, dan kesamaan. Keterbukaan dalam penelitian ini artinya orang-tua bersedia menerima kritikan-keritikan dan saran yang disampaikan anak. Dengan sikap bersedia menerima kritikan dan saran, berarti orang tua dapat mengakui perasaan dan pikirang yang dilontarkan oleh anak akan terjalinya komunikasi interpersonal yang efektif. Empati artinya, memberikan perhatian kepada anak dan dapat mengetahui apa yang sedang dialami anak. Sikap mendukung berperan dalam menumbuhkan motivasi anak, perasaan positif yang diberika oleh orang-tua akan mendukung citra pribadi anak dan membuat anak merasa lebih baik. Komunikasi interpersonal dalam keluarga yang terjalin antara orang tua dan anak merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan perkembangan individu, komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi yang efektif, karena komunikasi yang efektif dapat menimbulkan pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang baik dan tindakan. Demikian juga dalam lingkungan keluarga diharapkan terbina komunikasi yang efektif antara orang-tua dan anaknya, sehingga akan terjadi hubungan yang harmonis (Effendi 2002:8).

Pengertian Pencurian dan Kleptomania Konsep Mencuri

Pencurian termasuk kejahatan terhadap harta kekayaan yang unsur-unsurnya adalah mengambil barang orang lain sebagian atau menyeluruh. Pengambilan barang tersebut dengan tujuan untuk memiliki; dan perbuatan mengambil itu dilakukan secara melawan hukum (Moeljatno, 1983:89). Perlu diketahui bahwa baik Undang-

(6)

27

Undang maupun pembentuk Undang- Undang ternyata tidak pernah memberikan sesuatu penjelasan yang dimaksud dengan perbuatan mengambil. Sedangkan menurut pengertian sehari-hari, kata mengambil itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti, yakni:

1) suatu perilaku yang membuat suatu benda berada dalam penguasaannya yang nyata, atau berada di bawah kekuasaanya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksudnya tentang apa yang ia inginkan dengan benda tersebut;

2) merupakan suatu tindakan sepihak untuk membuat suatu benda berada dalam penguasaannya (Pasal 362 KUHP, dalam Lamintang, 2009:57).

Berdasarkan beberapa kasus pencurian yang terjadi, ada sebuah tindakan mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi yang berbeda dengan tindakan pencurian biasa. Tindakan tersebut terjadi karena pelakunya memiliki suatu gangguan kendali impuls; gangguan itu disebut kleptomania. Ciri penting dari kleptomania adalah kegagalan berulangkali dalam menahan impuls untuk mencuri benda-benda yang tidak diperlukan untuk pemakaian pribadi atau arti ekonomi, Chaplin dalam Kartono (2009:74) mendefinisikan kleptomania dengan suatu impuls obsesif atau kompulsi untuk mencuri.

Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu strafbaaf feit.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikenal dengan istilah delik. Menurut Moeljatno (2008:55) lebih dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan.

Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari ”perbuatan” tapi “tindak“ tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang.

Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang- undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuataan (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu (Moeljatno, 2008:54).

Unsur- unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana menurut Yudhistira (2015:9) adalah a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacbte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

(7)

28

e. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308.

Unsur-unsur Obyektif dari Suatu Tindak Pidana itu adalah:

a. Sifat melanggar hukum atau wederrecbtelijkeid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan

c. Kausalitas, yakni hubungan antar suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Tindak Pidana Pencurian dan Jenis-Jenis Pencurian a.Pengertian Pencurian

Pengertian pencurian adalah sutu tindakan mengambil barang orang lain tanpa seizin pemilik barang tersebut dengan melawan hukum dengan maksud dimiliki. Seperti yang diatur dalam Pasal 362. Dalam pencurian mempunyai beberapa unsur yaitu

1) Unsur-unsur objektif

a) Unsur perbuatan mengambil (wegnemen).

b) Unsur benda.

c) Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain.

2) Unsur-unsur subjektif a) Maksud untuk memiliki.

b) Melawan hukum.

Jenis-jenis pencurian

1) Pencurian biasa, diatur dalam Pasal 362 KUHP 2) Pencurian dengan pemberatan

3) Pencurian ringan

4) Pencurian dengan kekerasan Pengertian Kleptomania

Kleptomania (bahasa Yunani: țȜȑʌIJİȚȞ, kleptein, "mencuri", ȝĮȞȓĮ "mania") adalah penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri (Yudhistira, 2015:10). Kleptomania merupakan suatu gangguan psychis (gangguan kejiwaan) yang disebabkan oleh pengalaman dan perilaku masa kecil yang mendalam dan banyak faktor yang membuat kebiasaan itu semakin tumbuh berkembang.

Sifat dan Latar Belakang Kleptomania

Kleptomania merupakan suatu gangguan kejiwaan yang disebabkan perilaku masa kecil dan pengalaman yang mendalam dan banyak faktor lainnya. Faktor tersebut membuat menjadi kebiasaan tumbuh dalam tubuh dan berkembang atau disebut dengan gangguan kejiwaan yang bersifat epilepsi yang merupakan suatu penyakit gangguan kejiwaan yang dapat tampak nyata bahkan tidak mudah diketahui, karena timbul sewaktu-waktu

Pertanggungjawaban Pidana bagi Tindak Pidana Pencurian yang Dilakukan oleh Pengidap Penyakit Kleptomania

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

System pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas di samping asas legalitas. Pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan pelaku tindak pidana karena melakukan

(8)

29

kesalahan.Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dan telah diatur. Ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Perbandingan Kleptomania dan Tindak Pidana Pencurian Biasa

Menurut Grant (2008) dalam Bangkit dkk (2014:165), kleptomania diartikan sebagai sebuah gangguan yang menonaktifkan impuls kontrol, dicirikan oleh pencurian berulang-ulang dan tidak terkendali terhadap benda- benda yang jarang digunakan oleh orang yang menderitanya. DSM IV-TR mengklasifikasikan kleptomania kedalam Impulse-Control Disorders Not Elsewhere Classified atau gangguan pengendalian impuls yang tak terklasifikasi dimanapun. Menurut Durrand dan Barlow (2007) dalam Bangkit dkk (2014:166), gangguan pengendalian impuls, diawali dengan sebuah impuls yang tidak dapat ditolak, biasanya impuls akan sangat merugikan orang yang dikenainya. Gangguan yang termasuk didalamnya sering dimulai dengan godaaan atau keinginan yang destruktif namun sulit ditolak. Ditambahkan Durand dan Barlow,penderita sering dipersepsi oleh masyarakat memiliki masalah itu sematamata karena tidak mempunyai “kemauan”.

Kleptomania tidak bisa disamakan dengan tindak pidana pencurian biasa dalam diagnosanya. Kaplan dan Sadock dalam Bangkit (2014:168), menyebutkan perbedaan utama kleptomania dan bentuk mencuri lainnya. Pada diagnosis kleptomania, mencuri harus selalu diikuti kegagalan untuk menahan impuls dan harus merupakan tindakan yang tersendiri, dan benda-benda yang dicuri tidak boleh memiliki arti segera atau tujuan keuanganan. Pada mencuri biasa, tindakannya biasanya direncanakan, dan benda-benda yang dicuri untuk digunakan atau memiliki nilai finansial. Kleptomania muncul karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks.

Demikian pula halnya dengan beberapa bentuk perilaku abnormal yang ditunjukan oleh para penderita abnormalitas jiwa ataupun oleh orang- orang yang sedang berada dalam ketidaksadaran akibat pengaruh obat-obatan, minuman keras, situasi hipnotik, serta situasi-situasi emosional yang sangat menekan (Azwar, 2011:55). Menurut Lamintang dan Lamintang (2009:99), tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok diatur dalam pasal 362 KUHP. Definisi tindak pidana pencurian sendiri adalah mengambil suatu benda yang sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, karena bersalah melakukan pencurian. Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana pencurian yang terdapat di dalam rumusan Pasal 362 KUHP. Kaplan dan Sadock (1997) dalam Bangkit (2014:169), menjelaskan bahwa kleptomania sebagai kegagalan rekuren untuk menahan impuls untuk mencuri barang-barang yang tidak diperlukan untuk pemakaian pribadi atau yang memiliki arti ekonomi, benda-benda yang diambil sering kali dibuang, dikembalikan secara rahasia, atau disembunyikan.

(9)

30

Orang dengan kleptomania biasanya memiliki uang untuk membayar benda yang mereka curi secara impulsif. Kleptomania ditandai oleh ketegangan yang memuncak sebelum tindakan, diikuti oleh pemuasan dan peredaan ketegangan dengan atau tanpa rasa bersalah, penyesalan, atau depresi selama tindakan.

Walaupun pencurian tidak terjadi jika kemungkinan akan ditangkap, orang kleptomania tidak selalu mempertimbangkan kemungkinan pe nangkapan mereka, kendatipun penahanan yang berulang menyebabkan penderitaan dan rasa malu.

Orang kleptomania mungkin merasa bersalah dan cemas setela mencuri, tetapi mereka tidak merasa marah atau balas dendam.

Terdapat beberapa kriteria diagnostik kleptomania, di antaranya adalah:

1) kegagalan berulang dalam menolak impuls untuk mencuri benda-benda yang tidak diperlukan untuk keperluan pribadi atau untuk menilai uangnya;

2) meningkatkan rasa ketegangan segera sebelum melakukan pencurian;

3) rasa senang, puas atau lega pada saat bersamaan dengan melakukan pencurian;

4) mencuri tidak dilakukan untuk mengekspresikan kemarahan atau balas dendam dan bukan sebagai respon suatu halusinasi. Ciri penting dari kleptomania terdiri dari dorongan atau impuls yang rekuren (berulang), intrusive, dan tidak dapat ditahan untuk mencuri benda-benda yang tidak diperlukan. Pasien kleptomania mungkin juga mengalami penderitaan tentang kemungkinan atau sebenarnya mereka memahami dan tanda manifest dari depresi dan kecemasan. Pasien merasa bersalah, malu, dan terhina karena perilaku mereka.

Menurut teori diathesis-stres model terdapat tiga faktor yang menjelaskan munculnya kleptomania, yaitu faktor psikodinamika, faktor biologis, dan faktor psikososial. Faktor psikodinamika menjelaskan bahwa gejala kleptomania cenderung tampak seperti stress yang bermakna sebagai contohnya, kehilangan, perpisahan, dan akhir hubungan yang berarti. Faktor biologis menjelaskan penyakit otak dan retardasi mental telah dihubungkan dengan kleptomania, seperti mereka dihubungkan dengan gangguan pengendalian impuls lainnya. Tanda neurologis vokal, atrofi kortikal, dan pembesaran ventrikel lateral telah ditemukan pada beberapa pasien. Gangguan metabolisme monoamine, khususnya serotonin, telah didalilkan.

METODOLOGI DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis putusan pengadilan pada anak dengan kasus kejahatan mencuri atau kleptomania. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative (Rivanie, 2022:118).

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi literatur dengan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data bahan hukum yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan undang- undang dan pendekatan contoh kasus yang kemudian akan menyimpulkan hasil dari objek penelitian.

Penetapan Pelaku Pencurian yang Mengidap Kleptomania

Seorang anak pengidap penyakit kleptomania tidak selalu terlihat dari tingkah lakunya.Setiap perkara peradilan pidana tidak selalu dapat diselesaikan atau dibuktikan dengan berdasarkan pada hasil pemeriksaan secara fisik. Penyelesaian perkara tidak hanya dilakukan atau mengacu pada ilmu hukum saja, tetapi juga diperlukan ilmu-ilmu lainnya sebagai dukungan atau sebagai bantuan ilmu untuk

(10)

31

solusi pengaplikasian hukumannya seperti logika, psikologi, kriminalistik dan kriminologi. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut berperan penting dalam penemuan hukum, hal tersebut membantu mendapatkan keputusan yang tepat mengenal persoalan hukum yang dihadapi. Penyelesaian peradilan pidana terkadang juga dibutuhkan bantuan dari ahli dalam ilmu pengetahuan untuk membantu mengungkap perkara pidana (Purba, 2010:36)

Kleptomania dapat dimulai pada masa anak-anak, walaupun sebagian besar anak dan remaja yang mencuri tidak secara otomatis tergolong sebagai seorang kleptomania. Perjalanan gangguan hilang dan timbul, tetapi gangguan cenderung menjadi kronis. Angka pemulihan secara spontan belum diketahui angka signifikansinya. Gangguan dan komplikasi serius biasanya bersifat sekunder karena dalam kondisi tertangkap basah sedang melakukan proses pencurian. Pada individu pelaku kleptomania, ada keadaan jiwa tertentu sehingga ia terdorong untuk melakukan perbuatan tersebut. Apabila secara klinis bahwa seorang pelaku tindak pidana pencurian terbukti secara sah dan meyakinkan mengidap suatu kelainan jiwa seperti kleptomania dengan pemeriksaan oleh ilmuan yang berkompeten baik itu psikiater atau psikolog, maka tindakan pidana untuk pelakunya dapat batal demi hukum. Hal ini tercantum dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi; “Tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akal”.

Saat mencuri, biasanya anak melakukannya karena keterbatasan ekonomi dan kebutuhan sosial. Namun, terdapat sebuah penyakit mental dimana pengidapnya memiliki dorongan untuk mencuri, yakni kleptomania. Kleptomania merupakan suatu kondisi mental di mana seseorang tidak mampu menahan dorongan untuk mencuri atau mengambil suatu benda tanpa izin. Biasanya, benda yang diambil sebetulnya tidak dibutuhkan dan umumnya tidak bernilai tinggi.

Berdasarkan pengertian ini, kleptomania dapat digolongkan ke dalam sakit jiwa.

Dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana pada Pasal 362, telah diatur mengenai tidak pidana pencurian, yang berbunyi:

“Barang siapa mengambil sesuatu barang, baik seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”

Di dalam pasal ini, maupun pada penjelasan pasal tidak dikatakan bahwa maksud dari tindakan pencurian untuk memperkaya diri ataupun hal lainnya, tetapi hanya mengatur untuk memiliki barang yang bukan miliknya. Sebagaimana yang dinyatakan dari publikasi Tindak Pidana Pencurian Oleh Penderita Kleptomania oleh eprints.walisongo.ac.id, dalam kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh pengidap kleptomania, yang harus ditinjau terlebih dahulu adalah keadaan jiwa dari pelaku (Syaifulloh, Muhammad, 2022:2). Hal ini terdapat pada Pasal 44 KUHP, yang berbunyi:

“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”

Berdasarkan ketentuan di atas, keadaan jiwa sebagai penyebab tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan dengan bentuk yang bersifat umum.

(11)

32

Disamping itu, terdapat pula keadaan jiwa yang pelakunya tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya yang sifatnya khusus, artinya hanya berlaku untuk perbuatan tertentu saja, sedangkan untuk perbuatan yang lain pelaku tetap dapat dimintai pertanggungjawaban.

Dalam hukum pidana, anak sebagai penderita kleptomania dikategorikan sebagai orang yang tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian, ia dibebaskan dari tuntutan hukum bukan pembebasan dari hukum karena pelaku telah terbukti melakukan tindak pidana dalam yaitu pencurian. Namun dengan adanya alasan pemaaf karena pelaku tidak mampu bertanggungjawab, maka sebagai gantinya, penderita kleptomania dapat direhabilitasi pada panti rehabilitasi atau rumah sakit jiwa sebagai waktu percobaan dengan harapan penyakitnya dapat disembukan dan jika dilepas atau dikembalikan ke lingkungan sosialnya tidak menimbulkan peristiwa serupa. Atau untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan terulangnya kembali perbuatan pengidap kleptomania yang dilakukan, juga demi perbaikan dan perlindungan pelaku serta perlindungan masyarakat.

Modus Pencurian Oleh Anak Penderita Kleptomania

Kejahatan pencurian tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa, namun anak- anak atau orang dibawah umur juga melakukan kejahatan pencurian. Seseorang melakukan kejahatan pencurian bisa dilihat dari faktor intern, yaitu disebabkan oleh kondisi mental kepribadian seseorang atau individu yang kurang baik (negatif), sehingga cenderung melakukan kejahatan dan faktor ekstern, yaitu disebabkan oleh faktor-faktor di luar atau di sekitarnya yang menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan (Rosyid, dkk, 2019:196).

Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun demikian mengingat pelaku tindak pidana masih di bawah umur maka proses penegakan hukumnya dilaksanakan secara khusus (Sutedjo & Melani, 2013:46).

Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama perlindungan khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan, salah satu peraturan Perundang- Undangan yang mengatur tentang pradilan anak yaitu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah berganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, memberikan perlakuan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, baik dalam hukum acaranya maupun pradilanya. Hal ini mengikat sifat anak dan keadaan psikologinya dalam beberapa hal memerlukan perlakuan khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakan-tindakan yang pada dasarnya dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak. Pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak terkait bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan penyidik yang ditentukan oleh KUHAP, serta Undang- Undang No.11 Tahun 2012.

Restorative Justice Salah Satu Solusi Hukum Bagi Anak Pelaku Kleptomania Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang diterapkan penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana, polisi senantiasa harus memperhatikan kondisi anak

(12)

33

yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana.

Berbagai cara dalam mengatasi tindak pidana pencurian terhadap anak dibawah umur, dapat dilakukan dengan mengalihkan atau menempatkan ke luar pelaku tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana. Artinya tidak semua masalah perkara pidana, dalam hal ini kleptomania harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban yang disebut pendekatan restorative justice.

Penanganan dengan pendekatan ini juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat, juga berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum. Restorative justice diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradialan pidana anak yang didalamnya menjunjung tinggi harkat dan martabat anak. Penerapan restorative justice dikenal adanya proses mediasi, negosiasi antara pelaku tindak pidana, korban, keluarga pelaku dan keluarga korban, masyarakat dan penegak hukum.

Lebih efektif dan efesiensi bagi tindak pidana, di mana melalui proses mediasi dan negosiasi disatukan mereka (pelaku, korban, keluarga korban dan keluarga pelaku), masyarakat yang terkena dampak langsung tindak pidana tersebut, dan melibatkan pihak yang netral untuk memediasi antara pelaku dan korban sehingga mendapatkan kesepakatan Bersama Sehingga demikian pula dengan sanksi yang dijatuhkan berdasarkan kesepakatan bersama terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur dapat berupa mengembalikan barang atau kerja sosial sesuai dengan kesepakatan bersama sebagai kompensasi dari perbuatanya (Danielt, 2014:55)

Tujuan Restorative Justice/Diversi dalam Tindak Pidana Pencurian atau Kleptomania Anak

Prinsip pelaksanaan konsep diversi dalam penelitian ini yaitu memberikan kesempatan kepada seorang anak untuk memperbaiki kesalahan. Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara.

Pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama di samping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi. Kerja sosial atau pengawasan orang tua. Langkah pengalihan dibuat untuk menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya dan untuk dukunga komunitas, di samping itu pengalihan bertujuan untuk mencegah pengaruh negatif dari tindakan hukum berikutnya yang dapat menimbulkan stigmatisasi.

(13)

34

Tujuan dilakukan diversi berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pasal 6. Diversi bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan

d. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak (Jafar, 2015:89).

Restorative Justice/Diversi ini diterapkan juga dalam rangka melindungi hak-hak anak dalam sistem peradilan pidana anak. Sesuai denga napa yang disampaikan Harefa (2015:5) bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam mendapatkan perlindungan oleh undang-undang, begitu pula dengan anakanak yang dilindungi oleh konstitusi dan deklarasi hak asasi manusia.

Perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut, terdapat dalam Standar Minimum Rules-Juvenile Justice (SMR-JJ). Pasal 7 ayat 1 menegaskan bahwa jaminan-jaminan procedural mendasar dan bersifat umum (basis procedural cafeguards) yang harus dijamin dalam setiap tahap proses peradilan pidana anak.

Ada beberapa hak-hak anak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan pelaksanaannya secara bersama-sama, yaitu:

1. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.

3. Hak untuk mendapatkan pendamping dari penasehat hukum.

4. Hak untuk mendapatkan fasilitas transport serta penyuluhan dalam ikut serta memperlancar pemeriksaan.

5. Hak untuk menyampaikan pendapat

6. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya

7. Hak untuk pembinaan yang manusiawi sesuai dengan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945 dan ide permasyarakatan.

8. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya persiapan yang matang sebelum sidang dimulai.

9. Hak untuk dapat berhubungan dengan orangtua dan keluarganya.

Memperhatikan hak-hak anak yang telah diatur di berbagai peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, kiranya tidak mungkin hak-hak anak nakal akan terabaikan dalam penerapannya, tetapi dalam pelaksanaannya masih ada anak nakal yang belum bisa mendapatkan hak-haknya sebagai terdakwa anak, hal ini terlihat bahwa penahan terdakwa anak dengan terdakwa orang dewasa masih disatukan, hal ini disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana, yang dimana akan mengakibatkan terganggunya perkembangan fisik, mental dan sosial anak.

Pengembangan anak hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat, penegak hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak.

(14)

35

Kleptomania Memenuhi Kategori Persyaratan Untuk Diterapkan Restorative Justice/Diversi

Adapun beberapa kriteria tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku, sebagaimana yang disampaikan Rahayu (2015:39) yang harus diupayakan penyelesaian dengan pendekatan asas restorative justice adalah:

a. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1 (satu) tahun harus diperioritaskan untuk diterapkan diversi, tindak pidana yang diancam dengan dengan sanksi pidana diatas 1 (satu) sampai dengan 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk melakukan diversi, semua kasus pencurian harus diupayakan penerapan diversi kecuali menyebabkan atau atau timbulkan kerugian yang terkait dengan tubuh dan jiwa.

b. Memperhatikan usia pelaku, semakin mudah usia pelaku, maka urgensi penerapan asas diversi semakin diperlukan.

c. Hasil penelitian dari Polres Dompu sebagimana yang dilakukan oleh Maemudah dkk (2019:7), bila ditemukan faktor pendorong anak terlibat dalam kasus pidana adalah faktor yang ada diluar kendali anak maka urgensi penerapan asas diversi semakin diperlukan.

d. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana anak, bila akibat yang ditimbulkan bersifat kebendaan dan tidak terkait dengan tubuh dan nyawah seseorang maka urgensitas penerapan asas diversi semakin diperlukan.

e. Tingkat keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh perbuatan anak

f. Persetujuan korban/keluarga dan kesediaan pelaku/keluarga pada konsekuensi hukuman yang diterapkan

g. Dalam hal ini anak melakukan tindak pidana Bersama-sama orang dewasa maka orang dewasa harus diproses hukum sesuai dengan prosedur biasa.

Berdasarkan karakteristik restorative justice diatas maka ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat terlaksananya restorative justice, yaitu

a. Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku

b. Harus ada persetujuan dari pihak korban untuk melaksanaka penyelesaian diluar sistem peradilan pidana anak yang bersangkutan

c. Persetujuan dari kepolisisan atau dari kejaksaan sebagai institusi yang memiliki kewenangan diskresioner.

Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Asas Restorative Justice

Diversi berdasarkan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Hal ini dilakukan karena tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak serta merta mutlak kesalahan pada anak. Karena anak dianggap belum cakap untuk melakukan tindakan hukum. Hal ini merujuk pada kemampuan anak di dalam bertanggung jawab akan hak dan kewajibannya, selain itu umur anak yang masih muda dan mempunyai masa depan yang panjang serta penjara tidak akan menyelesaikan permasalahan, malah cenderung merugikan lebih banyak pihak terutama mental anak pelaku itu sendiri. Dan diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan.

(15)

36

Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pada Pasal 7 ayat 2 dijelaskan bahwa diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun.

b. Bukan merupakan pengulangan pidana. Namun terdapat sedikit perbedaan mengenai tindak pidana yang dapat dilakukan diversi dalam PERMA No. 4 tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana anak yakni pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:

“Hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan).”

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang dapat dilakukan diversi adalah tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya di bawah 7 tahun atau lebih dalam bentuk dakwaan subsidilaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan) dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya dibawah 7 tahun diantaranya ialah:

1. Penganiayaan Dalam Pasal 361 KUHP ayat (1) penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Ayat (2) jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, ia bersalah dihukum penjara selama- lamanya lima tahun. Ayat (3) jika perbuatan ini menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selamalamanya tuju tahun.

2. Pencurian Pasal 362 KUHP yakni barang siapa mengambil suatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum kerena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

3. Menghancurkan atau merusakkan barang Pasal 406 KUHP ayat 1 dikatakan bahwa barang siapa dengan sengaja melawan hak membinasakan, merusakkan membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.

4.500.000.,

Selain hal tersebut, upaya lainya berupa tindakan kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan (dalam hal ini bisa juga diaplikasikan pada pelaku kleptomania) yang dilakukan oleh pelajar, yaitu melakukan penyuluhan-penyuluhan,disetiap sekolah maupun desa-desa, melakukan kerja sama dengan berbagai komponen atau lembaga yang berkaitan,sedangakn kendala yang dihadapi kepolisian, yaitu pelaku bungkam,Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dan orang tua (Anggraini, Bidaya & Muttaqin, 2017:24).

Untuk menentukan seseorang mengidap kleptomania harus menjalani proses pemeriksaan minimal dua minggu sampai tiga minggu atau bahkan sebulan.

Oleh karena itu, disarankan agar penyidik menyediakan kesempatan atau mengambil inisiatif untuk membuktikan mental tersangka kondisi sebelum diproses ke tahap pembuktian hukum berikutnya. Sehingga tidak ada lagi tertuduh yang membuktikan statusnya sebagai kleptomaniak menggunakan surat keterangan.

Hakim juga dianjurkan untuk memutuskan dengan memberikan sanksi tindakan

(16)

37

kepada terdakwa jika terbukti memiliki kleptomania untuk menghindari terulangnya tindak pidana pencurian di masa depan.

PENUTUP Simpulan

Pelaksanaan restorative justice putusan pengadilan pada anak dengan kasus kejahatan mencuri atau kleptomania telah sesuai dengan ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak tentang pelaksanaan diversi. Dalam Penerapan Restorative justice/upaya diversi selalu dilakukan bagi setiap anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Dalam beberapa kasus upaya diversi tersebut dapat memperoleh kesepakatan oleh masing masing pihak sehingga perkara tidak dilanjutkan ke tingkat penuntutan. Penerapan Restorative justice hanya terhadap jenis tindak pidana ringan saja, dalam hal ini kleptomania masuk kategorinya, dengan proses mediasi secara musyawarah. Dan penerapan Restorative justice di beberapa kepolisisan belum efektif dikarenakan masih ada yang belum terlaksana tujuan diversi tersebut dalam penyelesaian kasus tindak pidana pencurian dan kleptomania yang dilakukan oleh anak.

Rekomendasi

Denga demikian, disarankan bahwa instansi kepolisian sebaiknya dilakukan perbaikan internal, khusus dalam membuat standar operasiaonal `prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif. Selain itu, diharapkan dari berbagai pihak juga berkolaborasi untuk antisipasi dan meminimalisir fenomena pencurian dan kleptomania yang dilakukan anak. Peran kepolisian sebagai penegak hukum untuk mencegah terhadap anak yang melakukan pencurian dan kleptomania atau tindak pidana lainnya dapat dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut:

a.Upaya Preventif (Pencegahan)

Upaya preventif adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana. Upaya ini merupakan tindakan yang dilakukan secara sistematik, terencana, terpadu dan terarah kepada tujuan untuk menciptakan suasana yang kondusif guna menekan terjadinya tindak pidana anak dengan cara sebagai berikut:

1) Melakukan sosialisasi/penyuluhan, dilakukan di sekolah-sekolah, kantor desa dan kecamatan ditunjukan kepada warga desa atau kecematan yang secara khusus adalah kepada anak dan juga kepada karang taruna yang beranggotakan para pemuda dan anak didesa atau kecamatan setempat maupun di instansi pemerintahan untuk memberi pemahaman tentang apa itu tindak pidana dan sanksi hukum yang akan dijatuhkan apabila melakukan tindak pidana.

Memberi pemahaman ini bertujuan agar anak tidak melakukan tindak pidana dan tahu akan bahaya yang ditimbulkan apabila melakukan tindak pidana.

Dengan dilakukan penyuluhan ini diharapkan masyarakat khususnya anak dapat ikut serta berpartisipasi dalam membantu tersebut serta jika ditemukan atau mengalami suatu tindak pidana oleh anak segera melaporkan kepada pihak kepolisian tentang adanya tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

2) Melakukan kerja sama dengan berbagai kompenen antara lain lembaga pembinaan khusus anak, lembaga penempatan anak sementara, lembaga

(17)

38

penyelenggaraan kesejahteraan sosial, balai permasyarakatan, dan instansi- instansi lain yang terkait.

3) Upaya pencegahan yang dilakukan kepolisisan resort Dompu seperti melakukan patroli, pengawasan oleh babinsa yang dibantu oleh masyarakat dalam hal melakukan ronda malam mencari anak-anak yang suka melakukan tindak pidana seperti pencurian.

b.Tindakan Represif

Upaya represif adalah tindakan yang dilakukan pihak kepolisian setelah tindak pidana tersebut terjadi. Upaya represif baru diterapkan apabila upaya lain sudah tidak memadai atau tidak efektif lagi untuk mengatasi suatu tindak pidana anak kemudian upaya represif yaitu upaya ini dimaksudkan untuk menindak para pelaku tindak pidana anak sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan yang melanggar hukum. Langkah awal dalam upaya mengatasi hal tersebut di atas, dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan secara rinci kepada anak-anak tentang beberapa aspek yuridis yang relevan dengan perbuatan-perbuatan nakal yang sering kali mereka lakukan.

Dengan demikian, anak-anak akan dapat memiliki pemahaman atau pengertian, penghayatan dan perilaku hukum yang sehat. Usaha untuk mencintai tingkat kesadaran hukum dikalangan anak-anak maupun remaja dapat dilakukan melalui beberapa aktivitas, akan tetapi yang paling sederhada dengan kehidupannya yakni melalui penyuluhan hukum yang nantinya akan memberikan kesadaran bagi anak. Selain aspek sedaran hukum, dan aspek lain dapat membimbing anak untuk dapat menjadi anggota masyarakat dengan perilaku positif (Zulfa, 2017:95).

Internalisasi nilai-nilai kaidah sosial dan internalisasi nilai-nilai norma agama dapat pendidikan anak memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan memiliki penghayatan serta perilaku yang sesuai dengan perintah agama, dan meninggalkan larangan agama yang dianutnya. Perspektif ini akan mampu meberikan sumbangan bagi terwujudnya kehidupan sosial serta lingkungan yang sehat secara material maupun secara moral/spiritual. Oleh karena itu upaya penanggulangan terhadap kenakalan anak haruslah dilakukan secara terpadu, salah satunya adalah dengan memaksimalkan upaya preventif. Upaya previntif yang dapat dilakukan adalah dengan memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga berikut ini:

a.Keluarga

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyain peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perilaku anak. Kedudukan dan fungsi keluarga dalam kehidupan manusia bersifat fundamental, karena hakikatnya keluarga merupakan wadah pembentuk watak dan perilaku anak. Karena itu keluarga mempunyai peranan dominan dalam pendidikan anak, ditangan orangtualah yang baik dan buruknya perilaku anak terbentuk. Pendidikan dan pembinaan akhlak merupakan hal yang penting dan sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas hidup.

Dari beberapa kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, terlihat bahwa kebanyakan anak pelaku tindak pidana adalah anak-anak yang menjalani hidup secara bebas, tanpa pengawasan dan perhatian dari orangtua, serta anak-anak yang berasal dari anak keluarga “brokenhome” hal ini tidak akan terjadi jika orang tua

(18)

39

mengadakan pelarangan jam keluar malam bagi anak-anak, mengontrol pergaulan anak, mengenal dan mencari tahu dengan siapa saja anak bergaul. Demikian juga dengan kasus penganiayaan, kasus perjudian yang dilakukan oleh anak, kasus narkotika dan pencurian juga kebanyakan dilakukan oleh anak-anak kurang yang mendapat pengawasan dan perhatian dari keluarga.

b. Masyarakat

Peran masyarakat dalam usaha pencegahan kenakalan anak adalah dalam bentuk penyelenggaran kegiatan-kegiatan yang bermanfaat yang mebutuhkan konsentrasi tinggi, misalnya pembentukan/ kegiatan organisasi-organisasi pemuda/remaja/anak sehingga pemuda lebih banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan positif dan memacu kreatifitas anak. Masyarakat juga harus menyediakan pelayanan fasilitas rekreasi yang secara mudah bisa didapat oleh para remaja/anak.

Ada beberapa Negara yang mampu mengatasi tingginya angka keahatan yang dilakukan oleh anak, dengan menjalankan program yang melibatkan masyarakat dalam membina anak-anak yang melakukan tindak pidana, seperti Negara Philipina dengan community based diversion program, dimana program ini benar-benar mengandalkan keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama dalam Pembina anak- anak pelaku tindak pidana, sehingga mereka tidak terlalu lama berada dan menjalani proses peradilan pidana, melalui peran serta masyarakat dalam institusi masyarakat yang paling kecil, seperti desa dimana ikatan dan kontrol sosial dapat dilaksanakan yang pada akhirnya akan mampu memberikan pembinaan yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga dalam sistem peradilan pidana.

c. Media Massa

Agar media massa dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi dalam upaya pencegahan kenakalan anak, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah media massa didorong agar memperkecil tingkat pornografi, penayangan obat terlarang dan kekerasan dan media massa harus menyadari tanggung jawab dan peran sosialnya yang besar, seperti kampanye penyalagunaan obat-obatan terlarang.

d. Pendidikan

Lembaga pendidikan baik formal maupun informal juga dapat berpengaruh dalam pembentukan karakter anak. Pencegahan kenakalan anak melalui pendidikan dapat dilakukan dengan cara penyelenggaraan kegiatan pendidikan yang mencakup:

1. Pengajaran dan penanaman nilai dasar dan pengembangan penghormatan terhadap identitas dan pola kebudayaan masing-masing anak.

2. Memajukan dan mengembangkan kepribadian, kecakepan dan kemampuan mental, fisik anak menuju potensi maksimalnya.

3. Melibatkan anak secara aktif dalam proses pendid

4. Mendorong anak untu menghormati perbedaan pendapat dan pandangan serta perbedaan lainnya.

5. Menghidari dari perlakuan salah dan penghukuman yang keras.

6. Pemeliharaan dan perhatian khusus terhadap anak yang menghadapi resiko sosial.

7. Membuat peraturan dan kebijakan yang adil terhadap seluruh siswa.

(19)

40

8. Sekolah memberikan bantuan khusus bagi anak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi prsarat di sekolah, untuk hadir disekolah, dan bagi anak yang terancam putus sekolah.

Dari beberapa tindak pidana/kenakalan anak yang terjadi selama ini terlihat bahwa sekolah belum menjalankan fungsinya secara maksimal. Sebaiknya sistem peradilan juga harus bekerja sama dengan orang tua, organisasi masyarakat, serta badan-badan yang terkait dengan aktivitas anak. (Sakban, dkk.2018:1). Dengan demikian bahwa pencegahan tindakan pencurian dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan dan pendampingan untuk menjelaskan secara mendetail, sehingga perilaku yang yang tidak terpuji semula tidak dapat dilakukan kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Z. Bidaya, and Z. Muttaqin, “Upaya Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Pelajar (Studi Wilayah Hukum Polres Dompu),” Civ. Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidik. Pancasila dan Kewarganegaraan, vol. 5, no. 2, pp. 22–29, 2017.

Al Rosyid, Y. Karismawan, H. R. Gumilar, A. Chabibun, and S. A.Setiawan,.2019.

Kajian Kriminologi atas Kasus Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Pencurian (Studi di Wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah, Indonesi), in Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 5, no. 2, pp. 187–208.

A. Sakban, S. Sahrul, A. Kasmawati, and H. Tahir.2018. The Role of Police to Reduce and Prevent Cyberbullying Crimes in Indonesia. in 1st International Conference on Indonesian Legal Studies (ICILS 2018)

Azwar, S. 2011. Sikap Manusia. Teori dan Pengukurannya.Edisi 2. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta:Professional Books Effendy, Onong Uchjana. 2002. Dinamika Komunikasi. PT.Remaja Rosdakarya:

Bandung

E. A. Zulfa, A. R. Akbari, and Z. I. Samad. 2017. Perkembangan Sistem Pemidanaan dan sistem Pemasyarakatan. Jakarta: Rajawali Press

Harefa, 2015.Diversi Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Jurnal Komun. Huk., vol. 1, no. 1, 2015.

K. Jafar.2015.Restorative Justice Atas Diversi Dalam Penanganan Juvenile Deliquency (Anak Berkonflik Hukum). Al-’Adl, vol. 8, no. 2, pp. 81–101, 2015

Kartono, K. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo

Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Moeljatno. 2008.Asas-asas Hukum Pidana,Jakarta:Rineka Cipta

Persada.Lamintang, P. A. F. & Lamintang, T. 2009. Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Purba, Jonlar.2010. Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama R. T. Danielt.2014. Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Anak

Pencurian Oleh Anak Di Bawah Umur. Lex Soc., vol. 2, no. 6, 2014

(20)

41

Rahayu.2015. Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak,” J.

Ilmu Huk. Jambi, vol. 6, no. 1, 2015.

Rivanie, S. S., et al. 2022. The Application of Imprisonment to Kleptomaniacs: A Case Studies of Court Decision. SIGn Jurnal Hukum, 4(1), 113-123. (April – September 2022): 113-123 e-ISSN: 2685 – 8606 || p-ISSN: 2685 – 8614 doi: https://doi.org/10.37276/sjh.v4i1.169

Siregar, Nurma Sari., Wasidi., Rita Sinthia .2017.Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal Orang Tua dan Anak Dengan Perilaku Kenakalan Remaja.

Jurnal Ilmiah Bimbingan dan Konseling: Consilia, Volume 1 Nomor 1. ISSN 2599-1221. Bengkulu: FKIP Universitas Bengkulu

Saetodjo, Wagiato. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT Refika Aditama.

Sambas, Nanda. 2010. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarwono. 2011. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Willis S. Sofian. 2013. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabet

W. Sutedjo & Melani.2013. Hukum Pidana Anak. Bandung:Refika Aditama Referensi Jurnal Ilmiah :

Bangkit Ary Prabowo, Karyono. 2014.Gambaran Psikologis Individu Dengan Kecenderungan Kleptomania. Semarang:Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober, 163-169

Levani, Yelvi. Aldo Dwi Prastya, Safira Nur Ramadhani. 2019.Kleptomania:

Manivestasi Klinis dan Pilihan Terapi, Manifestasi Klinis dan Pilihan Terapi.

Magna Medika. Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan. Vol. 6 No.1 Februari . e-ISSN:2774-2318 p-ISSN:2407-0505

Maemunah, Abdul Sakban, Ratu Rahmawati. 2019.Penyelesaian Tindak Pidana Pencurian Anak Dibawah Umur Menurut Asas Restorative Justice. CIVICUS : Pendidikan-

Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan p-ISSN 2338- 9680 | e-ISSN 2614-509X | Vol. 7 No. 2 September, hal. 1-9. Mataran:

Universitas Muhamadiyah

Muhammad Windu Yudhistira.2015.Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Pengidap Penyakit Kleptomania. Yogyakarta:FH Universitas Atmajaya Syarif Saddam Rivanie,; Slamet Sampurno Soewondo; Nur Azisa;

Muhammad Topan Abadi;

Ismail Iskandar.2022.The Application Of Imprisonment To Kleptomaniacs: A Case Studies Of Court Decision.Makasar:Universitas Hasanuddin.SIGn Jurnal Hukum

Vol. 4, Issue 1 (April – September 2022): 113-123.e-ISSN: 2685 – 8606 || p- ISSN: 2685 – 8614

Referensi Skripsi:

Jessy Fransiska Purba. 2010. Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Pencurian Yang Pelaku Mengidap Penyakit Kleptomania.Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta. Hlm. 36

(21)

42

Muhammad Windu Yudhistira.2015. Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Pengidap Penyakit Kleptomania. Yogyakarta :FE Universitas Atmajaya

Referensi Berita:

Syaifulloh, Muhammad.2022. Tertangkap Mencuri, Penderita Kleptomania dapat Dipenjara ?.Edotor:Hisyam Luthfiana. Sumber:

https://nasional.tempo.co/read/1665577/tertangkap-mencuri-penderita kleptomania-dapat-dipenjara-berikut-ulasannya#google_vignette. Diunduh:

Kamis, 20 April 2023, Pk.19.00 WIB)

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan Hukum Yang Mengatur Anak DI Bawah Umur Yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan Ketentuan yang berlaku bagi anak sebagai pelaku kejahatan kekerasan dan anak sebagai