• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAGAM TEORI FENOMENOLOGI

N/A
N/A
Azizah

Academic year: 2024

Membagikan "RAGAM TEORI FENOMENOLOGI "

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

RAGAM TEORI FENOMENOLOGI

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi Dosen Pengampu: Dr. Dadan Anugrah, M.Si

Pemakalah:

Azizah Fadhilah Adhani NIM: 2230100033

PASCASARJANA

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI & PENYIARAN ISLAM (KPI) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG 2023 M/1445 H

(2)

A. Edmund Husserl

Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859-1938), atau kerap dikenal dengan nama Edmund Husserl atau Husserl saja, merupakan seorang filsuf Jerman yang lahir di Prostějov (Prossnitz - Austrit), Moravia, Ceko, pada 8 April 1859. Besar dan berkembang di Jerman, filsuf ini ahli pada bidang sains, matematika dan filsafat di Universitas Leipzig, Berlin dan Wina. Selain itu, ia juga mengajar di Universitas Göttingen dan Freiburg . Husserl meninggal pada tanggal 26 April 1938 di Freiburg, Jerman, di usianya yang menginjak 79 tahun. Sampai saat ini, Husserl dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.

Kata fenomenologi terdiri dari dua kata bentukan, yakni fenomenon dan logos.

Kata fenomenon memiliki arti yang serupa dengan kata fantasi, fantom, fosfor, foto yang memiliki arti sinar atau cahaya. Jika dibentuk menjadi kata kerja, akar kata itu berarti: nampak, terlihat karena cahaya, bersinar. Fenomenon, dengan demikian, dapat diartikan sesuatu yang nampak, yang terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia, fenomenon dapat diartikan sebagai gejala. Jika disimpulkan, fenomenologi memiliki arti uraian atau pembahasan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampakkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala.

Husserl mengartikan secara sederhana. Ia mengenalkan istilah fenomenologi sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to the things themselves).

Menurutnya, formulasi fenomenologi merupakan sebuah studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek di luar dirinya. Studi ini membutuhkan refleksi tentang isi pikiran dengan mengesampingkan segalanya. Husserl menyebut tipe refleksi ini “reduksi fenomenologis.” Karena pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil, maka Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologis tidak mengganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan,” yaitu mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan.

Tugas fenomenologi menurut Husserl yakni menjalin karakter kaitan manusia dengan realitasnya. Bagi Husserl fenomenologi adalah realitas yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomena Husserl justru juga memiliki tujuan mencari yang esensial adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa diikuti dengan prasangka. Husserl juga menjelaskan bahwa kita harus menghilangkan semua keyakinan yang ada pada diri kita dari tindakan kita semua.

Selain itu, Husserl dalam hal ini juga mengajukan metode opeche. Kata opeche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda keputusan” atau mengosongkan

(3)

diri dari keyakinan tertentu, bisa juga berarti tanda kurung terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampil tanpa memberikan putusan benar atau salahnya terlebih dahulu.

Menurut Jean Paul Sartre, metode fenomenologi Husserl diterapkan pada usaha memahami makna eksistensi manusia yang selalu disadari sebagai keterkaitan dengan kehadiran orang lain. Dalam hubungan ini, ia juga menyatakan betapa kehadiran orang lain menjadi pembatas terhadap kebebasan pribadi, karena kehadiran orang lain itu ikut menberi struktur pada dunia-hidup yang menjadi hunian sebagai eksistensi pribadi. Bagi Sartre, berbagi dunia dengan orang lain menjadi penghambat bagi aktualisasi diri sebagai objek.

Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl termasuk cukup sulit dipelajari dan dipahami seutuhnya, apalagi dalam bentuk sajian yang ringkas. Tetapi, melalui Husserl lah, istilah fenomenologi menjadi populer karena banyak digunakan bukan saja dalam lingkungan filsafat, dan juga dalam disiplin ilmu lainnya. Selain dalam lingkup filsafat, fenomenologi juga turut berhasil menembus ranah psikologi sebagai disiplin ilmu yang sejak awal bergelut tentang gejala-gejala kesadaran, bahkan setelah fenomenologi sebagai metode bertemu dengan eksistensialisme sebagai filsafat tentang manusia, sehingga lebih mudah dipahami betapa dampaknya terhadap psikologi sebagai disiplin ilmu yang ditujukan pada usaha memahami perilaku manusia.

B. Alfred Schutz

Pada teori fenomenologi, proses bagaimana manusia membangun dunianya dijelaskan oleh Alfred Schutz melalui proses pemaknaan. Proses pemaknaan itu berawal dari arus pengalaman (stream of experience) yang berkesinambungan yang diterima oleh panca indera. Arus utama dari pengalaman inderawi ini sebenarnya tidak punya arti, mereka hanya ada begitu saja dan objeklah yang bermakna, mereka memiliki kegunaan-kegunaan, namanama, bagian-bagian yang berbeda dan mereka memberi tanda tertentu. Pengidentifikasian yang didasarkan oleh dunia pengalaman inderawi yang bermakna ini terjadi pada kesadaran individu secara terpisah dan kemudian secara kolektif, terjadi di dalam interaksi kesadaran-kesadaran. Kesadaran bertindak (acts) atas data yang ditangkap inderawi kemudian menciptakan sebuah makna yang terkandung di dalamnya. Kesadaran bertindak, mengidentifikasikannya melalui suatu proses dengan cara menghubungkan data dengan latar belakangnya.

Alfred Schutz juga menyebut fenomenologi melalui konsep motif, dan dibedakan menjadi dua pemaknaan dalam konsep motif. Pertama, in order to motive, kedua, motif because of motive. In order to motive merupakan motif yang dijadikan pijakan oleh seorang untuk melakukan sesuatu dengan tujuan mendapatkan sebuah

(4)

pencapain hasil, sedangkan because of motive merupakan motif yang melihat ke belakang.

Kemudian, Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada bentuk subjektivitas yang disebut intersubjektivitas. Konsep ini menunjukkan kepada dimensi kesadaran umum dan kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi.

Intersubjektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing kemudian diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi. Konsep intersubjektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling menginterprestasikan tindakannya masing- masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya kerja sama di hampir semua organisasi sosial.

Pada teori fenomenologi Alfred Schutz ada dua yang hal yang perlu diperhatikan yaitu Aspek Pengetahuan dan Tindakan. Esensi dari pengetahuan dalam kehidupan sosial menurut Alfred Schutz adalah Akal untuk menjadi sebuah alat kontrol dari kesadaran manusia dalam kehidupan kesehariannya. Karena akal merupakan sesuatu sensorik yang murni dengan melibatkan, penglihatan, pendengaran, perabaan dan sejenisnya yang selalu dijembatani dan disertai dengan pemikiran dan aktivitas kesadaran.

Unsur-unsur pengetahuan yang terkandung dalam fenomenologi Alfred Schutz merupakan dunia keseharian. Dunia keseharian sendiri adalah hal yang paling fondasional dalam kehidupan manusia. Dunia keseharian lah yang mengukir setiap kehidupan manusia. Konsep tentang sebuah tatanan adalah merupakan sebuah orde yang paling pertama dan orde ini sangat berperan penting dalam membentuk orde- orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren (Berger&Luckamn, 1990: 28). Tindakan sosial yang terjadi setiap hari adalah proses dimana terbentuk berbagai makna (Cambell, 1990 : 89). Ada dua fase pembentukan tindakan sosial.

C. Peter L Berger

Peter L Berger merupakan seorang sosiolog dari New School for Social Reserach, New York. Mendengar Peter L. Berger tentu saja familiar dengan teori konstruksi sosial (social construction), dan bangunan teoritik yang dikemukakannya.

Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas.

Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya.Yang mana manusia memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas

(5)

kontrol struktur dan pranata sosialnya. Manusia sebagai individu merespons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, atau berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 2009:13). Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis.

Konstruksi sosial memiliki beberapa kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa memberikan mekanisme konkret, dimana budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, konstruksi sosial dapat mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal, hal ini tidak mengasumsikan keseragaman. Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu. Konstruksi sosial adalah sebuah pernyataan keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut pandang (a viewpoint) bahwa kandungan dari kesadaran, dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan masyarakat.

D. Max Scheler

Max Scheler lahir pada 22 Agustus 1874 di Munchen, Jerman, dan dikenal atas jasanya yang memperluaskan kajian Fenomenologi dan mengatakan bahwa fenomenologinya berfokus pada refleksi sistematis dengan studi struktur kesadaran dan fenomena yang tampak pada pikiran. Karena pada dasarnya, akal budi manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan terobosan dengan menengahi batas-batas pengalaman sehari-hari.

Metode fenomenologi tentang "hakikat" oleh Scheler diterapkan pada bidang teori pengenalan, etika, filsafat kebudayaan, keagamaan dan bidang nilai. Secara skematis, pandangan Scheler mengenai fenomenologi dibedakan ke dalam tiga bagian, yakni:

1. Penghayatan (erleben), atau pengalaman intuitif yang langsung menuju ke “yang diberikan”. Setiap manusia menghadapi sesuatu dengan aktif, bukan dalam bentuk penghayatan yang pasif.

2. Perhatian kepada “apanya” (washiet, whatness, esensi), dengan tidak memperhatikan segi eksistensi dari sesuatu.

3. Perhatian kepada hubungan satu sama lain (wesenszusammenhang) antar esensi.

Hubungan pada fenomenologi Scheler apriori (diberikan) dalam institusi, sehingga terlepas dari fenomenologi menurut pendapat seorang Max Scheler adalah sikap pengamatan spritual (bukan hanya refleksi) yang membuat orang dapat melihat

(6)

dan mengalami sesuatu realitas dari fakta-fakta jenis khusus yang akan tetap tersembunyi tanpa sikap tersebut. Hal ini terlebih disebabkan Fenomenologi yang merupakan sikap serta prosedur pengamatan terhadap fakta-fakta baru yang tengah dihadapi sebelum adanya proses pemikiran secara logis untuk menghasilkan kesimpulan.

E. Max Weber

Pada konsep fenomenologi Weber terletak pada makna (sin), yang membedakan tindakan manusia dari oerilaku kreatif. Konsep ini membuka analisis terhadap pemahaman interpretative dalam sosiologi. Pemikiran Weber inilah yang membuat orang Alfred Schutz memperdalam tulisan-tulisan Husserl.

Fenomenologi yang menekankan keunikan spirit manusia, membutuhkan metode khusus untuk dapat dipahami secara otentik, khususnya dalam rangka memahami makna tindakan manusia. Weber mengemukakan metode verstehen yang megarah pada suatu tindakan bermotif demi tujuan yang hendak dicapai atau in order motive, sebagai salah satu metode untuk memahami motif dan makna dibalik tindakan manusia. Dengan begitu, tindakan individu dilihat sebagai tindakan subjektif yang merujuk pada suatu motif tujuan, yang sebelumnya mengalami proses intersubjektif berupa hubungan interaksi face to face antar person yang bersifat unik. Tindakan rasional yang demikian ini adalah tindakan yang bertujuan atas dasar rasionalitas nilai yang berlaku (afektual), atau tindakan yang terkait dengan kemampuan intelektual dan emosi, serta berdasarkan pemahaman makna subjektif dari perilaku itu sendiri.

Weber meyakini bahwa empati, simpati, intuisi, dan intensionalitas merupakam hal yang esensial untuk dipahami. Ia kemudian mengembangkan teknik intuitif yang melibatkan bentuk identifikasi terhadap aktor, dengan partisipasi simpatis terhadap emosi mereka. Sebagaimana diamini oleh Schutz, dunia sosial bagi Weber adalah dunia arti yang intersubjektif, dan dunia tempat terjadinya interaksi makna dan simbol di antara manusia. Tugas fenomenologilah untuk melampaui pandangan aktor, sehingga drama permainan hidup aktor tersebut dapat dipahami dengan baik.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep penelitian menggunakan konsep identitas dan jurnalis kemudian teori yang digunakan adalah teori identitas sosial yaitu, identitas sosial suatu kelompok individu dibentuk

Persamaannya, teori tindakan sosial, interaksionisme simbolik maupun fenomenologi memiliki dasar ide, yakni (a) manusia adalah “aktor yang kreatif dari realitas

Berdasarkan kajian teori ekonomi politik media, ideologi media, konstruksi realitas sosial, dan realitas media, Fokus penelitian ini, ingin mengetahui bagaimana

Burhan Bungin dalam buku “Konstruksi Sosial Media Massa: Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistis (2000)”, mengungkapkan bahwa teori konstruksi sosial atas

Alasannya menggunakan paradigm Konstruktivisme pada penelitian ini karena paradigma Konstrutivisme ini dapat melihat bagaimana realitas sosial dari Strategi

Ilmu sosial kritis berakar pada teori kritis, sehingga fokus pada subjektif, tindakan pemberdayaan sukarela individu anggota masyarakat di membawa tentang individu, dan

Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam

Teori-teori ini pada dasarnya mneganalilis peran dan pengaruh dari struktur sosial terhadap individu dalam masyarakat, seperti : pranata-pranata sosial, nama sosial, kelas sosial,