• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat kandidiasis oral

N/A
N/A
Alwi Abdullah

Academic year: 2025

Membagikan "Referat kandidiasis oral"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Referat

THALASSEMIA NON DEPENDEN TRANSFUSION

Oleh:

Desi Ana Anggraini 04084822528130

Pembimbing:

dr. Muhamad Ayus Astoni Sp.PD K-GEH, FINASIM

BAGIAN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

(2)

2025

HALAMAN PENGESAHAN Referat

Thalassemia non dependent transfusion

Oleh:

Desi Ana Anggraini 04084822528130

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 21 April – 13 Juli 2025.

Palembang, 17 Juni 2025

dr. Muhamad Ayus Astoni Sp.PD K-GEH, FINASIM

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Oral Kandidiasi”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada dr. Muhamad Ayus Astoni Sp.PD K-GEH, FINASIM sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran dalam pembuatan referat ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan berkat-Nya kepada pembimbing penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada pembaca.

Palembang, 15 Juni 2025

Desi Ana Anggraini

3

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... 4

BAB I PENDAHULUAN...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...7

1. Definisi... 7

2. Etiologi... 7

3. Epidemiologi... 8

4. Patofisiologi... 8

5. Histopatologi... 9

6. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis...9

6.1. Kandidiasis Pseudomembranosa Akut...9

6.2. Kandidiasis Hiperplastik... 10

6.3. Kandidiasis Atropik Akut...10

6.4. Kandidiasis Atropik Kronis (Stomatitis Denture)...10

6.5. Glositis Romboid Median...11

6.6. Angular Cheilitis...11

6.7. Eritema Gingiva Linear...12

7. Diagnosis...12

8. Klasifikasi... 14

9. Tatalaksana... 27

10. Prognosis... 30

11. SNPPDI... 30

BAB III KESIMPULAN...32

DAFTAR PUSTAKA...33

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

Kelompok kelainan yang disebut sebagai talasemia merupakan salah satu penyakit monogenik paling umum di seluruh dunia. Secara historis, talasemia banyak ditemukan di wilayah Mediterania, Afrika Utara, dan Asia Selatan, namun kini juga dijumpai di berbagai wilayah lain akibat pergerakan migrasi ke daerah dengan prevalensi yang lebih rendah. Talasemia disebabkan oleh ketidakseimbangan turunan antara rantai hemoglobin α dan β, yang memicu eritropoiesis yang tidak efektif.1

Talasemia non-transfusi-dependen (NTDT) adalah sekelompok kelainan talasemia yang mencakup pasien yang tidak memerlukan transfusi darah secara rutin untuk bertahan hidup. Pasien-pasien ini biasanya memiliki penyakit Hemoglobin H atau ekspresi gen β yang berkurang (homozygous β atau compound⁺ heterozygous β /β ), serta varian lainnya yang pada akhirnya tetap menimbulkan⁺ ⁰ ketidakseimbangan α/β. Meski tidak tergantung pada transfusi, pasien NTDT tetap dapat membutuhkan terapi transfusi sel darah merah (RBC) secara insidental atau lebih sering dalam kondisi tertentu seperti infeksi berat, kehamilan, periode pertumbuhan cepat, atau operasi. 1

Selama bertahun-tahun, banyak studi individual menunjukkan variasi yang jelas dalam komplikasi yang ditemukan antara pasien talasemia yang bergantung pada transfusi (TDT) dan yang tidak (NTDT). Perbedaan penanganan—seperti transfusi yang terbatas, penggunaan kelasi zat besi yang terbatas, serta frekuensi splenektomi yang lebih tinggi—merupakan faktor penyebab perbedaan dalam profil multimorbiditas antara TDT dan NTDT. Studi landmark OPTIMAL CARE adalah salah satu studi pertama yang mengonfirmasi tingginya prevalensi morbiditas unik pada pasien dengan β-thalassemia intermedia (TI) dibandingkan dengan β-thalassemia mayor (TM).1 Sejak itu, kebutuhan untuk mempertimbangkan pasien NTDT sebagai populasi tersendiri terutama dalam hal

5

(6)

pedoman skrining komplikasi dan penanganannya telah diakui. Ulasan ini menjelaskan secara rinci mengenai NTDT

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Talasemia non-transfusi-dependen (NTDT) adalah sekelompok kelainan talasemia yang mencakup pasien yang tidak memerlukan transfusi darah secara rutin untuk bertahan hidup. Pasien-pasien ini biasanya memiliki penyakit Hemoglobin H atau ekspresi gen β yang berkurang (homozygous β atau compound⁺ heterozygous β /β ), serta varian lainnya yang pada akhirnya tetap menimbulkan⁺ ⁰ ketidakseimbangan α/β. Meski tidak tergantung pada transfusi, pasien NTDT tetap dapat membutuhkan terapi transfusi sel darah merah (RBC) secara insidental atau lebih sering dalam kondisi tertentu seperti infeksi berat, kehamilan, periode pertumbuhan cepat, atau operasi. 1

Tabel 1. Varian β-Talasemia yang dapat bermanifestasi sebagai Non-Transfusion Dependent Thalassemia (NTDT)

Homozygosity for mild forms of β+ thalassemia Compound heterozygosity for β+/β0 thalassemia

Compound heterozygosity for β-thalassemia and another β chain variant (e.g., β-thal/hemoglobin HbE)

Coinheritance of homozygous β-thalassemia and hereditary persistence of fetal Hemoglobin [HPFH])

Coinheritance of homozygous β+ thalassemia with α-thalassemia (e.g., β+/β+ with −α/−α, −−/αα, −α/αα, or −−/−α)

Coinheritance of heterozygous β-thalassemia and triplicated or quadruplicated α genes (eg, αα/ααα or αα/ααα)

(8)

Dominant forms of β-thalassemia 2. Epidemiologi

Kelainan hemoglobin yang diturunkan terutama terdapat di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah yang terletak di sabuk tropis yang membentang dari Afrika sub-Sahara, melalui wilayah Mediterania dan Timur Tengah, hingga Asia Selatan dan Asia Tenggara. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya frekuensi pernikahan sedarah (konsanguinitas) di wilayah-wilayah tersebut serta adanya ketahanan alami para pembawa sifat (carrier) terhadap bentuk malaria berat di daerah yang pernah atau masih menjadi endemik penyakit tersebut.

Peningkatan standar kesehatan masyarakat di wilayah-wilayah ini juga telah membantu meningkatkan angka harapan hidup pasien yang terdampak. Selain itu, migrasi yang terus berlangsung telah memperluas penyebaran penyakit ini ke kota- kota besar multietnis di Eropa dan Amerika Utara.2

3. Patofisiologi

Tanpa terapi transfusi, beragam mekanisme patofisiologis yang muncul akibat eritropoiesis yang tidak efektif dan hemolisis perifer pada pasien NTDT menyebabkan berbagai komplikasi klinis (Gambar 2). Dalam survei cross-sectional, komplikasi ini sering tercatat dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang menjalani terapi transfusi (Gambar 3). Bagian ini menjelaskan proses patologis utama dan komplikasi klinis terkait pada NTDT.

Pada NTDT, eritropoiesis menjadi tidak efektif karena ketidakseimbangan produksi rantai α-globin dan β-globin. Tetramer globin yang tidak stabil mengendap, mengalami oksidasi menjadi methemoglobin dan hemichromes, sehingga heme terlepas dari globin. Besi bebas yang dilepaskan saat disintegrasi heme pada sel eritroid talasemia akhirnya memicu terbentuknya radikal bebas oksigen, yang menyebabkan oksidasi protein membran, kerusakan struktur membran, serta munculnya antigen senesensi sel darah merah seperti fosfatidilserin, yang memicu kematian sel prematur baik di sumsum tulang (eritropoiesis tidak efektif) maupun di sirkulasi perifer (hemolisis).1

(9)

Gambar 1. Mekanisme patofisiologis dan komplikasi klinis pada Non-Transfusion Dependent Thalassemias (NTDT)1

Dalam kondisi eritropoiesis tidak efektif, prekursor eritroid berkembang biak dalam jumlah besar, tetapi sebagian besar gagal matang. Oleh karena itu, kondisi ini ditandai oleh ekspansi eritron, diferensiasi terbatas, dan kematian prematur prekursor eritroid. Perluasan eritron di sumsum tulang berkaitan dengan osteoporosis dan deformitas tulang, serta memicu homing dan proliferasi prekursor eritroid di limpa dan hati (eritropoiesis ekstrameduler), menyebabkan hepatosplenomegali. Fakta bahwa proses ini juga melibatkan jalur signaling JAK2/STAT5 menunjukkan peningkatan aktivitas kontrol eritropoiesis untuk meningkatkan produksi sel eritroid.3,4

9

(10)

Eritropoiesis yang tidak efektif pada pasien NTDT juga memicu ekspansi jaringan hematopoietik di luar hati dan limpa, yang biasanya muncul sebagai massa yang disebut pseudotumor hematopoietik ekstrameduler (ditemukan pada sekitar 20% pasien NTDT, dibandingkan <1% pada pasien bergantung transfusi). Hampir semua jaringan tubuh dapat terlibat, termasuk kelenjar getah bening, timus, jantung, payudara, prostat, ligamentum besar, ginjal, kelenjar adrenal, pleura, jaringan retroperitoneal, kulit, saraf perifer dan kranial, serta kanal tulang belakang.

Khususnya, keterlibatan paraspinal (11–15% kasus) mendapat perhatian karena dampak klinis berat akibat kompresi medula spinalis.3

Morbidity pada pasien NTDT berbanding lurus dengan tingkat keparahan eritropoiesis tidak efektif dan hemolisis perifer, karena kedua kondisi ini menjadi pemicu utama patofisiologi lanjutan seperti kelebihan zat besi dan hiperkoagulabilitas.3

(11)

Gambar 2. Perbedaan profil komplikasi klinis umum antara thalassemia yang tidak bergantung transfusi (non-transfusion-dependent thalassemias/NTDT) dibandingkan dengan pasien β-thalassemia mayor yang menerima transfusi secara teratur. Gambar tersebut mengilustrasikan komplikasi-komplikasi yang sering diamati dengan prevalensi lebih tinggi pada salah satu kelompok dibandingkan kelompok lainnya berdasarkan studi dan kondisi klinis yang tersedia, meskipun semua komplikasi yang disebutkan dapat terjadi pada kedua kondisi tersebut dengan tingkat yang bervariasi.1

Disregulasi homeostasis besi & kelebihan zat besi klinis

Pada NTDT, eritropoiesis yang tidak efektif menjadi mekanisme utama yang menyebabkan penurunan kadar hepcidin yang tidak semestinya dan peningkatan penyerapan besi di usus. Berbagai regulator hepcidin diusulkan—seperti growth differentiation factor-15 (GDF-15), tokogenesis gastrulasi (TWISTED), faktor

11

(12)

transkripsi hipoksia, dan TMPRSS6—masih dalam penelitian, dan GDF-15 ternyata tidak mutlak diperlukan dalam menjaga homeostasis besi sistemik.1

Penekanan hepcidin ini menyebabkan peningkatan penyerapan besi dari usus dan pelepasan besi dari sistem retikuloendotelial, sehingga makrofag kehilangan besi, kadar ferritin serum tetap relatif rendah, tetapi terjadi akumulasi besi di hepatosit serta munculnya zat besi bebas dalam sirkulasi (Fe plasma labile, non- transferrin bound iron). Hal ini dapat merusak organ target. Sebaliknya, pasien yang rutin transfusi biasanya memiliki kadar hepcidin normal, dan besi lebih banyak tersimpan di sistem retikuloendotelial, membuat kadar ferritin tubuh tinggi.5

Pada pasien NTDT, akumulasi besi dari penyerapan usus berlangsung lebih lambat daripada siderosis transfusional—sekitar 3–4 mg/hari atau hingga 1.000 mg/tahun. Salah satu studi menunjukkan peningkatan konsentrasi besi hati rata-rata 0,38 ± 0,49 mg Fe/g berat kering per tahun. Karena sifatnya kumulatif, banyak pasien akhirnya mencapai ambang konsentrasi besi hati yang berada dalam batas klinis signifikan.5

Bukti menunjukkan bahwa peningkatan ferritin serum seiring waktu berkorelasi dengan progresi fibro sis hati pada pasien thalassemia intermedia, dan beberapa laporan menyinggung kaitan antara kelebihan zat besi dengan karsinoma hepatoseluler. Menariknya, meski terjadi kelebihan besi hati, siderosis jantung dan penyakit jantung tidak menjadi masalah besar pada pasien NTDT.1,5

Dalam studi cross-sectional terhadap 168 pasien thalassemia intermedia, kadar besi hati yang lebih tinggi (melalui MRI) secara signifikan meningkatkan risiko trombosis, hipertensi pulmonal, hipotiroidisme, hipogonadisme, dan osteoporosis. Kadar ≥5 mg Fe/g dikaitkan dengan peningkatan morbiditas.

Kelebihan zat besi juga berhubungan dengan disfungsi tubular ginjal, yang ditunjukkan oleh adanya proteinuria.1,5

Hiperkoagulabilitas dan Penyakit Vaskular

Kondisi hiperkoagulabilitas telah diidentifikasi pada anak-anak dan orang dewasa dengan talasemia dan tetap menjadi bidang penelitian aktif, khususnya pada

(13)

trombotik selanjutnya, terutama pada pasien yang telah menjalani splenektomi (pengangkatan limpa) dan yang tidak bergantung pada transfusi, sehingga menjadikan patofisiologi ini sangat relevan bagi pasien NTDT. Beberapa faktor lain juga telah diidentifikasi, dan sering kali kombinasi dari faktor-faktor ini yang menyebabkan kondisi hiperkoagulabilitas yang berujung pada trombosis klinis.1,6

Gambar 3. faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keadaan hiperkoagulabilitas dan kejadian trombotik pada Non-Transfusion Dependent Thalassemias (NTDT)1

Secara klinis, prevalensi kejadian trombotik pada pasien dengan β-talasemia intermedia dapat mencapai hingga 20%, dibandingkan dengan kurang dari 1% pada pasien dengan β-talasemia mayor. Kejadian ini sebagian besar bersifat trombosis vena dan terutama terjadi pada pasien yang telah menjalani splenektomi (22,5%

dibandingkan dengan 3,5% pada pasien tanpa splenektomi; P<0,001). Faktor risiko lain untuk kejadian trombotik termasuk usia yang semakin lanjut, kadar hemoglobin total kurang dari 9 g/dL, riwayat kejadian trombotik atau vaskular lainnya, jumlah trombosit yang tinggi (>500×10 /L), dan jumlah sel darah merah nukleus yang⁹ tinggi (>300×10⁶/L), sementara faktor risiko konvensional lainnya sering tidak ditemukan pada pasien seperti ini.1

Prevalensi stroke terbuka (overt stroke) pada pasien β-talasemia intermedia dengan riwayat trombosis berkisar antara 5% hingga 9%. Namun, prevalensi iskemia serebral diam-diam (silent cerebral ischemia) yang jauh lebih tinggi (hingga 60%) telah terdokumentasi secara konsisten, terutama pada orang dewasa yang telah menjalani splenektomi dan memiliki jumlah trombosit yang tinggi. Lesi-

13

(14)

lesi ini biasanya berukuran kecil (<0,5 cm), multipel, dan melibatkan lobus frontal serta parietal.1

Studi terbaru juga menunjukkan prevalensi tinggi penyakit pembuluh darah otak besar (dengan angiografi resonansi magnetik/MRA) dan penurunan fungsi neuron (dengan PET-CT) terutama di lobus temporal dan parietal pada kelompok pasien serupa. Ditemukan pula hubungan yang signifikan antara munculnya kelainan ini dengan indeks kelebihan zat besi yang meningkat. Pada populasi umum dan pada pasien dengan penyakit sel sabit (sickle cell disease), kelainan serebrovaskular diam seperti ini berkaitan dengan peningkatan risiko stroke terbuka dan penurunan kognitif, yang semakin menekankan pentingnya temuan ini. 1

Komplikasi vaskular lain dari NTDT (terutama β-talasemia intermedia dan hemoglobin E/β-talasemia) yang ditemukan terjadi dengan frekuensi relatif tinggi dibandingkan dengan pasien β-talasemia mayor adalah hipertensi pulmonal.

Namun, diagnosis hipertensi pulmonal pada sebagian besar studi yang tersedia dilakukan dengan ekokardiografi, bukan dengan kateterisasi jantung, yang dapat meningkatkan kemungkinan hasil positif palsu. 1

Anemia kronis dan hipoksia, kelebihan zat besi, splenektomi, hiperkoagulabilitas, dan penyakit mikrotrombotik pada sirkulasi paru semuanya telah dikaitkan dalam patofisiologi hipertensi pulmonal pada NTDT. Baru-baru ini, penurunan ketersediaan arginin dan deplesi oksida nitrat (nitric oxide) akibat hemolisis juga dikaitkan dengan hipertensi pulmonal pada pasien talasemia. 1

Meskipun hipertensi pulmonal pada pasien NTDT tidak berkaitan dengan siderosis miokard (penumpukan zat besi di jantung) maupun disfungsi ventrikel kiri, kondisi ini merupakan penyebab utama gagal jantung kanan. 1

Risiko ulkus kaki pada pasien NTDT meningkat seiring bertambahnya usia.

Kulit di ekstremitas pasien lanjut usia bisa menjadi tipis akibat penurunan oksigenasi jaringan, yang membuat jaringan subkutan menjadi rapuh dan meningkatkan risiko ulserasi setelah trauma ringan. Faktor risiko untuk perkembangan ulkus kaki meliputi: 1

(15)

3) Hiperkoagulabilitas,

4) Kadar hemoglobin fetal (HbF) yang rendah, dan 5) Kelebihan zat besi.

Kelebihan zat besi lokal juga diduga menjadi faktor yang memperparah dan memperpanjang lesi, terutama ketika heme dari sel darah merah yang terdegradasi terakumulasi secara lokal dan memberikan warna kehitaman pada luka. 1

4. Manifestasi klinis

Pembedaan yang akurat antara TDT (thalassemia dependent transfusion) dan NTDT (non-transfusion dependent thalassemia) sangat penting untuk menyusun rencana penatalaksanaan yang tepat bagi setiap pasien, meskipun dapat menjadi sulit saat pertama kali pasien datang.7

Tabel 1. Kriteria klinis membedakan TDT dengan NTDT7

Clinical Criteria TDT More Likely NTDT More Likely

Age at presentation ≤2 years >2 years

Degree of anemia at presentation Severe Mild to severe Clinical anemia affecting daily

living

Yes No

Splenomegaly at presentation Severe Mild to severe

Jaundice No Mild

Skeletal deformities Yes Negative to mild

Growth retardation Moderate to Severe Negative to moderate Transfusion requirements Lifelong, dependence for

survival

None, occasional, or frequent but temporary

Hb levels 6–7 gm/dL 8–10 gm/dL

Nucleated RBCs Numerous Negative to few

Reticulocytes >10% <10%

15

(16)

Diagnosis NTDT biasanya ditegakkan pada usia yang lebih tua dibandingkan TDT. Karakteristik klinis pasien NTDT berhubungan dengan tingkat keparahan anemia kronis; semakin rendah kadar hemoglobin, semakin besar kemungkinan muncul deformitas skeletal, hambatan pertumbuhan, dan splenomegali progresif.

Pasien NTDT dapat mengalami krisis hemolitik selama infeksi atau demam tinggi, yang dapat menyebabkan salah diagnosis sebagai TDT dan dimulainya program transfusi rutin. Beberapa pasien NTDT mungkin tidak menunjukkan gejala hingga usia dewasa. Mereka dapat terdiagnosis secara tidak sengaja saat pemeriksaan rutin, datang dengan gejala anemia ringan hingga sedang, atau mengalami komplikasi sekunder akibat kelebihan zat besi, hiperkoagulabilitas, atau anemia kronis. 7

Diagnosis NTDT yang ditegakkan dapat mencegah pemberian transfusi yang tidak perlu serta komplikasi terkait transfusi, dan dapat mendorong dimulainya program pemantauan dan skrining untuk mencegah komplikasi di masa mendatang serta meningkatkan kualitas hidup. Diagnosis NTDT dapat didefinisikan berdasarkan genotipe; namun demikian, diagnosis ini pada dasarnya bersifat klinis.

Gambar 4 menunjukkan algoritma diagnosis dari pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis fenotipe NTDT. 7

(17)

Gambar 4. Algoritma diagnosis untuk diagnosis laboratorium NTDT. CBC: hitung darah lengkap; Hb: hemoglobin; HPLC: kromatografi cair kinerja tinggi; MCH: hemoglobin korpuskular rata-rata; MCV: volume korpuskular rata-rata; NTDT: thalassemia non- transfusi; SF: feritin serum.

5. Skrining dan Tes Laboratorium

Secara Pendekatan untuk skrining NTDT (thalassemia non-transfusi- dependen) bergantung pada frekuensi mutasi spesifik di suatu wilayah, sumber daya yang tersedia, isu budaya dan agama, serta usia populasi yang menjadi target.

Kesadaran dan edukasi publik, pengawasan masyarakat dan skrining populasi, skrining keluarga besar anak pertama, skrining pranikah dan konseling genetik, diagnosis prenatal, serta perencanaan keluarga adalah beberapa strategi yang umumnya diterapkan dalam program skrining.2

Strategi ini sebaiknya menjadi bagian dari program umum untuk mendidik dan menyaring populasi berisiko terhadap kelainan thalassemia serta meningkatkan kualitas hidup dan penatalaksanaan pasien yang terdampak. Meskipun terjadi

17

(18)

migrasi ke negara-negara maju yang lebih kaya, strategi skrining dan pencegahan tetap perlu diterapkan di negara asal.2

Di daerah dengan insidensi thalassemia yang tinggi, disarankan dilakukan skrining universal pada neonatus untuk gangguan thalassemia alfa dan beta.

Kemajuan dalam elektroforesis kapiler dan pengujian molekuler meningkatkan spesifisitas dan ketersediaan diagnosis bagi individu di luar periode neonatal.

Meskipun biaya pemeriksaan spesifik telah menurun, hal ini masih belum dapat diterapkan secara universal. 2

Kemajuan algoritma yang memanfaatkan indeks sel darah merah, kadar hemoglobin, dan jumlah retikulosit telah menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk deteksi mutasi thalassemia alfa dan beta. Formula diskriminatif ini memiliki efikasi diagnostik yang sangat baik dan sangat ekonomis. 2

Pendekatan skrining awal terbaik adalah dengan menggabungkan temuan dari riwayat dan pemeriksaan fisik dengan analisis sel darah merah (volume korpuskular rata-rata rendah, kadar hemoglobin korpuskular rata-rata rendah, dan lebar distribusi sel darah merah normal), diikuti oleh elektroforesis hemoglobin atau kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) untuk mengonfirmasi diagnosis, serta analisis DNA untuk memastikan genotipe. Kadar komponen hemoglobin minor, yaitu hemoglobin A2, hampir selalu meningkat pada pembawa sifat beta- thalassemia. 2

6. Tatalaksana

Morbidity klinis yang diamati pada pasien dengan NTDT dapat melibatkan beberapa organ dan sistem organ. Tanpa pengobatan yang tepat, kejadian morbiditas ini meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu, multiplikasi morbiditas pada pasien NTDT memiliki dampak langsung terhadap kualitas hidup pasien. Hal ini menekankan pentingnya penanganan dan pencegahan yang tepat waktu pada populasi pasien ini. Saat ini belum ada pedoman yang tersedia untuk penanganan pasien dengan NTDT; namun, data terbaru dari studi terkini dan opini ahli biasanya membantu menyusun kerangka manajemen untuk kelompok pasien

(19)

6.1. Splenektomi

Splenektomi pada pasien NTDT dapat meningkatkan kadar hemoglobin total sebesar 1–2 g/dL dan menghindari terapi transfusi darah. Namun, mengingat banyaknya kejadian merugikan yang terkait dengan splenektomi, prosedur ini disarankan hanya dilakukan pada kasus:3

1) Anemia yang memburuk menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan saat terapi transfusi tidak memungkinkan atau terapi kelasi besi tidak tersedia; 3

2) Hipersplenisme yang menyebabkan anemia memburuk, leukopenia, atau trombositopenia dan menyebabkan infeksi bakteri berulang atau perdarahan;

3) Splenomegali disertai gejala seperti nyeri di kuadran kiri atas perut, cepat kenyang, atau splenomegali masif (dimensi terbesar >20 cm) dengan kekhawatiran terhadap kemungkinan ruptur limpa.

Seperti dijelaskan sebelumnya, kelainan pada trombosit dan sel darah merah patologis diyakini sebagai faktor kunci yang menyebabkan keadaan hiperkoagulabel pada pasien NTDT. Kelainan ini menjadi lebih menonjol setelah splenektomi, mengingat peran menguntungkan limpa dalam membersihkan trombosit dan eritrosit prokoagulan ini. Hal ini menempatkan kelompok pasien ini pada risiko lebih tinggi terhadap kejadian trombotik dan vaskular. Misalnya, sekitar 80% eritrosit patologis dibersihkan secara ekstravaskular oleh makrofag, yang sebagian besar terdapat di limpa. Beberapa studi klinis pada pasien β-thalassemia intermedia menegaskan bahwa pasien NTDT yang telah menjalani splenektomi memiliki risiko lebih tinggi terhadap tromboemboli vena (sekitar 5 kali lipat), hipertensi pulmonal (sekitar 4 kali lipat), ulkus tungkai (sekitar 4 kali lipat), dan infark serebral senyap dibandingkan pasien yang tidak menjalani splenektomi.

Waktu median terjadinya trombosis setelah splenektomi adalah sekitar delapan tahun. Keterlambatan ini menunjukkan bahwa trombosis pada pasien NTDT pasca- splenektomi bukanlah komplikasi akut, melainkan manifestasi dari proses kronis yang mendasari, yang semakin menekankan perlunya terapi jangka panjang untuk pencegahan. 3

19

(20)

Limpa juga diduga menjadi tempat penyimpanan zat besi berlebih dan mungkin memiliki efek penyaringan terhadap spesies besi bebas seperti non- transferrin bound iron, yang dapat menjelaskan kadar tinggi spesies besi bebas ini pada pasien NTDT yang telah menjalani splenektomi dan pengamatan bahwa pasien yang displenektomi memiliki tingkat morbiditas organ terkait besi lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak displenektomi. 3

Splenektomi juga menempatkan pasien NTDT dari segala usia pada risiko morbiditas dan mortalitas akibat infeksi. Infeksi ini dapat memiliki perjalanan penyakit yang cepat dan fatal seperti meningitis dan sepsis. Vaksinasi yang tepat dan profilaksis antibiotik adalah langkah penting dalam mencegah infeksi berat pasca-splenektomi. 3

6.2. Terapi Transfusi

Pasien NTDT mungkin masih memerlukan transfusi darah sesekali saat infeksi, kehamilan, pembedahan, atau kondisi lain dengan kemungkinan kehilangan darah akut. Mereka juga mungkin memerlukan transfusi lebih sering, meskipun bersifat sementara, pada kasus pertumbuhan atau perkembangan yang buruk selama masa kanak-kanak, atau untuk penanganan komplikasi spesifik pada masa dewasa, di mana manfaat terapi transfusi telah terbukti. Studi observasional terus menunjukkan bahwa pasien NTDT yang menerima transfusi mengalami lebih sedikit ulkus tungkai, kejadian trombotik, hipertensi pulmonal, dan infark otak senyap dibandingkan pasien yang tidak pernah ditransfusi. Penanganan yang berhasil terhadap pseudotumor ekstramedular akibat kompensasi hematopoiesis juga telah dilaporkan menggunakan terapi transfusi, dengan atau tanpa radiasi atau pembedahan, terutama pada kasus yang paling melemahkan dengan keterlibatan paraspinal. 3

Sangat penting untuk menilai pasien secara hati-hati selama beberapa bulan pertama setelah diagnosis ditegakkan dan tidak terlalu cepat memulai suatu bentuk terapi, khususnya terapi transfusi. Banyak pasien NTDT yang sebenarnya tidak memerlukan transfusi reguler, tetapi akhirnya menjalani terapi yang tidak perlu,

(21)

akut, komitmen langsung terhadap program transfusi tidak disarankan. Sebaiknya evaluasi pasien dalam keadaan non-darurat dari kondisi dasar tanpa transfusi: yaitu, hentikan transfusi dan amati dengan saksama. Faktanya, beberapa anak dengan NTDT, khususnya dengan hemoglobin E/β-thalassemia, memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan kadar hemoglobin rendah. Sebaliknya, kesejahteraan pasien, terutama dalam hal aktivitas, pertumbuhan, perkembangan, dan munculnya perubahan kerangka atau komplikasi penyakit lain secara dini, merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan. 3

Kekhawatiran utama dari terapi transfusi adalah risiko kelebihan zat besi, terutama pada pasien NTDT yang sudah mengalami akumulasi zat besi yang cukup besar akibat peningkatan penyerapan usus. Risiko alosensitisasi juga harus dipertimbangkan pada pasien yang baru pertama kali transfusi atau minim transfusi, usia lanjut saat transfusi pertama, dan pasien yang displenektomi. Risiko alosensitisasi adalah 1–1,6% setelah transfusi satu kantong darah. Hal ini sangat penting selama kehamilan, di mana darah dengan fenotipe yang sesuai atau alternatif transfusi perlu dipertimbangkan. 3

6.3. Terapi Kelasi Besi

Langkah-langkah yang sama untuk menilai kelebihan zat besi pada pasien dengan β-thalassemia mayor yang bergantung transfusi dapat digunakan pada pasien NTDT. Bila tersedia, pengukuran konsentrasi zat besi hati menggunakan metode non-invasif (MRI R2 atau R2*) sangat dianjurkan. Mengingat laju penumpukan zat besi yang lambat pada NTDT, tidak perlu dilakukan penilaian konsentrasi zat besi hati sebelum pasien mencapai usia sepuluh tahun, terutama karena prevalensi morbiditas terkait zat besi yang rendah pada pasien di bawah usia tersebut. Pemeriksaan ini dapat dilakukan setiap satu atau bahkan dua tahun;

namun, pemantauan lebih sering mungkin diperlukan untuk menyesuaikan terapi pada pasien yang memenuhi syarat untuk kelasi besi. 3

Di negara dengan sumber daya terbatas, di mana pengukuran zat besi hati tidak tersedia, pengukuran kadar feritin serum setiap tiga bulan disarankan. Namun, kadar feritin harus ditafsirkan dengan hati-hati. Walaupun ada korelasi positif antara kadar feritin serum dan konsentrasi zat besi hati pada pasien NTDT, rasio antara

21

(22)

kadar feritin dan konsentrasi zat besi hati lebih rendah dibandingkan dengan pasien β-thalassemia mayor. Oleh karena itu, pengukuran kadar feritin tunggal dapat meremehkan kelebihan zat besi dan menunda terapi pada pasien NTDT bila ditafsirkan dengan cara yang sama seperti pasien β-thalassemia mayor. 3

Meskipun bukti saat ini menunjukkan bahwa pasien NTDT lebih kecil kemungkinannya mengalami siderosis jantung, pemeriksaan MRI T2* jantung tetap dapat dipertimbangkan pada pasien usia lanjut dengan beban zat besi yang tinggi.

Data mengenai penggunaan indikator kelebihan zat besi lain seperti saturasi transferin atau non-transferrin bound iron pada pasien NTDT masih terbatas; oleh karena itu, belum ada rekomendasi yang dapat dibuat mengenai penggunaannya dalam praktik klinis saat ini. 3

Terapi kelasi besi diindikasikan pada pasien NTDT usia ≥10 tahun (atau ≥15 tahun pada penyakit hemoglobin H yang bersifat deleisional) dengan konsentrasi zat besi hati ≥5 mg Fe/g berat kering (atau kadar feritin serum ≥800 ng/mL bila pengukuran zat besi hati tidak tersedia), karena ambang ini mengindikasikan peningkatan risiko morbiditas terkait zat besi. Deferasiroks adalah satu-satunya agen kelasi besi yang telah dievaluasi dalam uji klinis acak pada pasien NTDT. Obat ini menunjukkan efektivitas dalam menurunkan konsentrasi zat besi hati pada pasien NTDT usia ≥10 tahun dengan konsentrasi zat besi hati ≥5 mg Fe/g berat kering pada dosis awal 5–10 mg/kg/hari. Obat ini baru-baru ini mendapat persetujuan dari FDA dan EMA untuk digunakan pada NTDT. Keamanannya dapat diterima hingga nilai konsentrasi zat besi hati 3 mg Fe/g berat kering (kadar feritin serum 300 ng/mL). 3

Laporan mengenai efektivitas dan keamanan kelator besi lain (seperti deferoksamin dan deferipron) dalam menurunkan beban zat besi pada pasien NTDT terbatas pada laporan kasus dan seri kasus kecil, meskipun manfaatnya telah diamati dan patut dipertimbangkan, terutama di negara dengan sumber daya terbatas. Efek menguntungkan terapi kelasi dalam mengurangi risiko morbiditas klinis pada pasien NTDT disarankan oleh studi observasional, namun studi jangka

(23)

6.4. Induksi Hemoglobin Fetal

Seperti telah dibahas, peningkatan produksi γ-globin, yang mirip dengan β- globin dan berikatan dengan rantai α-globin untuk membentuk hemoglobin fetal (HbF), dapat memperbaiki ketidakseimbangan rantai α/β-globin dan meningkatkan eritropoiesis yang efektif. Hal ini sebagian menjelaskan fenotipe yang lebih ringan pada beberapa pasien β-thalassemia intermedia dan hemoglobin E/β-thalassemia dibandingkan dengan β-thalassemia mayor yang bergantung transfusi. Studi klinis terkini telah memperkuat bukti kuantitatif bahwa peningkatan produksi hemoglobin fetal dapat memperbaiki perjalanan klinis berbagai pasien NTDT. 3

Upaya awal untuk menginduksi hemoglobin fetal melalui inhibisi metilasi DNA menggunakan 5-azacytidine menunjukkan hasil menggembirakan, namun kemudian dibatasi karena kekhawatiran terhadap keamanannya. Pendekatan ini baru-baru ini dievaluasi kembali menggunakan agen demetilasi yang lebih aman, yaitu decitabine. Sebuah studi pendahuluan pada lima pasien β-thalassemia intermedia menunjukkan bahwa decitabine subkutan dengan dosis 0,2 mg/kg dua kali per minggu selama 12 minggu dapat meningkatkan kadar hemoglobin total rata-rata sebesar 1 g/dL. Perubahan menguntungkan pada indeks eritrosit juga diamati, dan disarankan dilakukan studi lebih besar. 3

Setelah diidentifikasi sebagai agen penginduksi HbF yang poten, hidroksiurea menjadi salah satu agen terapi utama untuk pasien dengan penyakit sel sabit. Dalam studi yang melibatkan pasien NTDT, peningkatan kadar hemoglobin total rata-rata sekitar 1,5 g/dL, meskipun hasilnya sangat bervariasi. Peningkatan ini tetap penting karena, misalnya, perbedaan antara pasien hemoglobin E/β-thalassemia berat dan ringan hanya sekitar 1–2 g/dL. Perbaikan anemia biasanya diikuti dengan peningkatan toleransi aktivitas, nafsu makan, dan rasa kesejahteraan umum. Efek menguntungkan pada beberapa morbiditas seperti hipertensi pulmonal, ulkus tungkai, dan pseudotumor hematopoietik ekstramedular juga telah diamati. Namun, bukti yang tersedia tentang hidroksiurea berasal dari uji coba non-acak berskala kecil atau studi kohort retrospektif, sehingga sulit untuk menentukan prediktor respons maupun dosis dan durasi optimal terapi. Uji klinis acak dengan hidroksiurea pada pasien NTDT sangat dibutuhkan, terutama karena efek

23

(24)

hidroksiurea tampaknya melampaui induksi hemoglobin fetal dan dapat memperbaiki keadaan hiperkoagulabel penyakit ini melalui pengaruhnya terhadap eksternalisasi fosfatidilserin pada eritrosit. 3

Respons yang menguntungkan terhadap induktor HbF dari turunan asam butirat (short-chain fatty acid) juga telah didokumentasikan dalam studi kecil yang melibatkan pasien NTDT, meskipun efeknya kurang menonjol pada terapi jangka panjang. 3

Penggunaan eritropoietin rekombinan manusia atau agen perangsang eritropoiesis baru seperti darbepoetin alfa pada pasien NTDT juga dikaitkan dengan peningkatan kadar hemoglobin total. Ketika agen ini dikombinasikan dengan induktor hemoglobin fetal pada pasien NTDT, efek aditif terhadap peningkatan hemoglobin total diamati, meskipun umumnya pada dosis tinggi. Namun, sejauh ini, pilihan pengobatan ini masih bersifat investigasional dan sebaiknya dilakukan dalam uji coba yang terkontrol secara ketat. 3

7. Prognosis

Dalam sebuah studi global besar terbaru yang melibatkan 2.033 pasien NTDT (sebagian besar dari Italia), angka kematian kasar tercatat sebesar 5,6% selama waktu tindak lanjut median selama 33,9 tahun (usia median saat kematian adalah 46,3 tahun). Estimasi kelangsungan hidup kumulatif pada usia 18, 50, 65, 75, dan 85 tahun masing-masing adalah 99,4%, 93,4%, 81,8%, 66,2%, dan 25,4% — lebih rendah jika dibandingkan dengan populasi normal di Italia.2

Penyakit kardiovaskular, yang sebagian besar tidak berhubungan dengan kelebihan zat besi, merupakan penyebab utama kematian dini (36,3%, pada usia median 34,2 tahun), sedangkan penyakit hati merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang lebih tua (20,4%, pada usia median 55,4 tahun). 2

Sebuah studi terbaru terhadap pasien hemoglobin E/β-thalassemia di Sri Lanka juga menunjukkan harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan yang dilaporkan di negara-negara dengan sumber daya tinggi untuk pasien β-

(25)

8. SNPPDI

Gambar 5. SNPPDI8

Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

3A. Bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang dan memberikan usulan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat.

Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dalam konteks penilaian kemampuan.8

25

(26)

BAB III

KESIMPULAN

(27)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sleiman J, Tarhini A, Bou-Fakhredin R, Saliba AN, Cappellini MD, Taher AT.

Non-Transfusion-Dependent Thalassemia: An Update on Complications and Management. Int J Mol Sci. 2018 Jan 8;19(1):182.

2. Taher A, Musallam K, Cappellini MD. Guidelines for the management of non-transfusion-dependent β-Thalassaemia. 3rd edition. Nicosia, Cyprus:

Thalassaemia International Federation; 2023. 1 p.

3. Rivella S. The role of ineffective erythropoiesis in non-transfusion-dependent thalassemia. Blood Reviews. 2012 Apr;26:S12–5.

4. Melchiori L, Gardenghi S, Rivella S. -Thalassemia: HiJAKing Ineffective Erythropoiesis and Iron Overload. Advances in Hematology. 2010;2010:1–7.

5. Musallam KM, Cappellini MD, Wood JC, Taher AT. Iron overload in non- transfusion-dependent thalassemia: a clinical perspective. Blood Reviews.

2012 Apr;26:S16–9.

6. Cappellini MD, Musallam KM, Poggiali E, Taher AT. Hypercoagulability in non-transfusion-dependent thalassemia. Blood Reviews. 2012 Apr;26:S20–3.

7. Shash H. Non-Transfusion-Dependent Thalassemia: A Panoramic Review.

Medicina. 2022 Oct 21;58(10):1496.

8. Konsil Kedokteran Indonesia. (2019). Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia (SNPPDI). Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia

Gambar

Gambar 1. Mekanisme patofisiologis dan komplikasi klinis pada Non-Transfusion Dependent Thalassemias (NTDT) 1
Gambar   2.   Perbedaan   profil   komplikasi   klinis   umum   antara   thalassemia   yang   tidak bergantung   transfusi   (non-transfusion-dependent   thalassemias/NTDT)   dibandingkan dengan   pasien   β-thalassemia   mayor   yang   menerima   transfus
Gambar 3.   faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keadaan hiperkoagulabilitas dan kejadian trombotik pada Non-Transfusion Dependent Thalassemias (NTDT) 1
Tabel 1. Kriteria klinis membedakan TDT dengan NTDT 7
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi kematian yang cukup tinggi di seluruh

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pengukuran antropometri dan body mass index (BMI) lebih rendah pada anak yang terinfeksi Blastocystis hominis dibandingkan dengan

Berdasarkan hasil analisis viskositas yang disajikan pada Gambar 1, dapat diketahui bahwa pati alami memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Prevalensi kekuatan otot kurang, pada murid perempuan dengan prosentase lemak tubuh lebih dan body mass index lebih, cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok normal

Hasil penelitian ini diperoleh lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran oleh Depkes, yaitu prevalensi katarak pada kelompok

Kejadian psoriasis sama pada laki-laki dan perempuan, namun beberapa studi menemukan prevalensi psoriasis sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa eksplan yang diberikan perlakuan colchicine menunjukkan pertumbuhan jumlah akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perlakuan

Perbedaan  kerumunan  data  domba  yang  diamati  pada  Gambar  1,  menunjukkan  bahwa  tipe  pedaging  pada  umumnya  memiliki  skor  ukuran  yang  lebih