• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DOKTER DALAM OLAH TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP) ASPEK MEDIS

N/A
N/A
Shiba Miyuki

Academic year: 2023

Membagikan "PERAN DOKTER DALAM OLAH TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP) ASPEK MEDIS"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL REFARAT PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER AGUSTUS 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PERAN DOKTER DALAM OLAH TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP) ASPEK MEDIS

OLEH

Muh. Al Mutaali Basri 111 2021 2115

PEMBIMBING

dr. Denny Mathius, M.Kes, Sp.F

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini dengan judul “PERAN DOKTER DALAM OLAH TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP) ASPEK MEDIS” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Forensik.

Selama persiapan dan penyusunan referat ini rampung, penulis mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran, dan kritik dari berbagai pihak akhirnya refarat ini dapat terselesaikan serta tak lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.

Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan refarat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan refarat ini. Saya berharap sekiranya refarat ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Makassar, Agustus 2023 Hormat Saya,

Penulis

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa : Nama : Muh. Al Mutaali Basri

NIM : 111 2021 2115

Judul : Peran Dokter Dalam Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) Aspek Medis

Telah menyelesaikan Refarat yang berjudul ” PERAN DOKTER DALAM OLAH TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP) ASPEK MEDIS”

dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Agustus 2023 Menyetujui,

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

dr. Denny Mathius, M.Kes, Sp.F Muh. Al Mutaali Basri

(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...iii

BAB I...1

PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

BAB II...2

PEMBAHASAN...2

2.1 Definisi Olah TKP...2

2.2 Pihak yang terlibat dalam olah TKP...2

2.3 Tugas dokter dalam TKP...4

2.3.1 Dokumentasi dan sketsa forensic...12

2.3.2 Identifikasi jenazah...15

2.3.4 Penentuan Status Hidup atau Mati...19

2.3.5 Penentuan Waktu Kematian Atau Post Mortem Interval...23

2.3.6 Pemeriksaan Tanda – Tanda Kekerasan / Trauma...35

2.3.7 Pengumpulan sampel biologis...37

2.3.8 Koordinasi temuan TKP dengan penyidik...7

BAB III...9

KESIMPULAN...9

DAFTAR PUSTAKA...10

(5)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Apabila telah terjadi suatu tindak pidana maka dengan segera petugas yang berwenang menangani suatu tindak pidana, berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), yaitu tempat dimana tersangka dan atau korban dan atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.

Hukum pembuktian adalah sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur mengenai macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. 1

Laboraturium Forensik Polri merupakan bagian dari struktur organisasi Polri yang mempunyai tugas ataupun fungsi selaku pembina, pelaksana kriminalistik / Forensik, sebagai ilmu yang penerapannya untuk memberikan dukungan teknis dalam penyelidikan/penyidikan tindak pidana. Hal tersebut dilakukan melalui pemeriksaan barang bukti secara laboratoris kriminalistik maupun pemeriksaan secara teknis kriminalistik di tempat kejadian perkara, sejalan dengan perkembangan arus reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi.2

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Olah TKP

Menurut Petunjuk Teknis No.Pol : JUKNIS/01/II/1982 tentang penanganan Tempat Kejadian Perkara (juknis penanganan TKP) Tempat Kejadian Perkara adalah Tempat dimana suatu tindak pidana terjadi, atau akibat yang ditimbulkannya dan tempat-tempat lain dimana barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut ditemukan.3

Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) merupakan salah satu proses penyelidikan dalam sebuah tindak pidana. Tempat kejadian perkara dapat memberikan berbagai macam informasi kepada penyidik mengenai kasus tindak pidana yang tengah ditangani. Terdapat beberapa. Tempat kejadian perkara tidak hanya mempunyai pengertian sebagai tempat dimana kejahatan itu terjadi. Menurut R. Soesilo, tempat kejadian perkara itu adalah “semua tempat kejadian peristiwa baik yang berupa kejahatan, pelanggaran, maupun kecelakaan biasa yang lazim menjadi urusan polisi”. 4

(7)

2.2 Pihak yang terlibat dalam olah TKP

Pihak penyidik dapat meminta / memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP) tersebut sesuai dengan Undang – Undang Pokok Kepolisian tahun 1961 no. 13 pasal 13 atau sesuai dengan ketentuan pasal 3 Keputusan Men Han Kam / Pangab No. Kep/B/17/VI/1974. Bila dokter menolak maka ia dapat dikenakan hukuman berdasarkan pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (K.U.H.P) Pasal 224. 5

Selain memanggil layanan dari dokter yang relevan, petugas polisi investigasi akan selalu memanggil layanan spesialis dari Petugas TKP ('SOCOs') - juga dikenal sebagai Penyelidik TKP. Penyelidik spesialis akan memperoleh foto dan/atau video dari tempat kejadian, memeriksa bukti (misalnya mencari, menganalisis, merekam, dan menyeka noda darah), dan mengumpulkan kemungkinan jejak dan bukti lainnya.6

Beberapa pengertian didalam KUHP yang perlu diketahui.5

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipir tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang – undang untuk melakukan penyelidikan.

(8)

Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.

2.3 Tugas dokter dalam TKP

Di Inggris, dokter pertama yang dipanggil untuk kematian yang mencurigakan adalah seorang dokter forensik, sering diikuti oleh ahli patologi forensik. Tugas dokter antara lain sebagai berikut:6

 Untuk memastikan bahwa telah terjadi kematian.

 Untuk memeriksa tempat kejadian dan tubuh korban ada atau tidaknya tanda cedera. (Termasuk kemungkinan cedera resusitasi) dan berikan pendapat awal apakah itu mungkin karena pembunuhan, bunuh diri, 'kecelakaan', atau penyebab alami.

Dokter biasanya akan merekam informasi tulisan tangan dan diagram yang merinci posisi tubuh, luka yang terlihat jelas, dan objek terdekat lainnya yang relevan.

 Mencatat informasi penting yang nantinya akan dikumpulkan.

Ini termasuk: menilai/mencatat suhu lingkungan dan tubuh, keberadaan dan tingkat kebiruan dan rigor mortis. Keputusan apakah tepat untuk mencatat suhu inti rektal biasanya diambil setelah berdiskusi dengan tim penyelidik — pengukuran ini dapat dihindari jika ada kecurigaan

(9)

kekerasan seksual. Alternatif non-invasif untuk mengukur suhu termasuk menggunakan rute timpani.

Sebelum datang di TKP ada beberapa hal yang harus dicatat sehubungan dengan alasan atau persyaratan yuridis, demi kepentingan kasus itu sendiri, yaitu; 5

- Siapa yang meminta / memerintahkan datang di TKP, ototritas, bagaimana permintaan / perintah itu sampai keterangan dokter, dimana TKP, dan kapan saat permintaan / perintah tersebut dikeluarkan. Dokter dapat meminta sedikit gambaran mengenai kasus yang akan diperiksa dengan demikian ia dapat mempersiapkan perlengkapannya dengan baik.

- Perlu diingat motto: to touch as little as possible and to displace nothing’’. Ia tidak boleh menambah atau mengurangi benda bukti, tidak boleh sembarangan membuang puntung rokok, perlengkapan jangan tertinggal, jangan membuang air kecil di kamar mandi atau kamar kecil oleh karena ada kemungkinan benda – benda bukti yang ada ditempat tersebut akan hanyut dan hilang.

- Di TKP dokter membuat foto dan sketsa yang mana harus disimpan dengan baik, oleh karena kemungkinan ia akan diajukan sebagai saksi selalu ada. Foto dan sketsa tersebut berguna untuk memudahkan mengingatkan kembali keadaan yang sebenarnya.

(10)

Adapun tata urutan pelaksanaan olah Tempat Kejadian Perkara yang berdasar pada petunjuk teknis Kepolisian Republik Indonesia dengan nomor polisi JUKNIS 01/II/1982 tentang penanganan tempat kejadian perkara (TKP) menyebutkan sebagai berikut :

a) Pengamatan umum (general observation)

Polisi melakukan pengamatan umum dengan mengarah kepada hal-hal atau obyek-obyek seperti, jalan masuk/keluarnya pelaku, alat yang digunakan atau ditinggalkan oleh pelaku, memperhatikan tanda-tanda perlawanan atau kekerasan, memperhatikan kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara dan sekitarnya.

b) Pemotretan

Pemotretan dilakukan dengan maksud untuk mengabadikan situasi atau keadaan Tempat Kejadian Perkara termasuk korban dan barang bukti lain pada saat diketemukan dan memberikan gambaran nyata tentang situasi dan kondisi tempat kejadian perkara.

c) Pembuatan sketsa

Pembuatan sketsa digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan Tempat Kejadian Perkara seteliti mungkin dan untuk rekonstruksi Tempat Kejadian Perkara dikemudian hari jika diperlukan Pengumpulan Barang Bukti

(11)

1) Pencarian Barang Bukti

Salah satu tindakan yang dilakukan petugas di Tempat Kejadian Perkara adalah mencari barang bukti. Terdapat beberapa metode didalam melakukan pencarian barang bukti. Metode Pertama, menggunakan metode spiral yaitu, beberapa orang petugas Kepolisian Resor Malang bergerak beriringan dengan jarak tertentu, mengikuti bentuk spiral berputar kearah dalam. Metode kedua yang digunakan adalah metode strip ganda (strip and double method), yaitu 3 petugas berdampingan dengan jarak tertentu, bergerak bersama-sama secara serentak dari sisi lebar ke sisi lain TKP, dan bisa berputar kearah semula. Metode ketiga, menggunakan Metode Zone (Zone Method) yaitu dengan cara daerah dibagi menjadi beberapa bagian untuk menggeladahnya. Metode keempat, menggunakan metode Roda dalam hal ini, tempat atau ruangan dianggap sebagai suatu lingkaran, caranya adalah beberapa petugas bergerak bersama-sama kearah luar dimulai dari titik tengah tempat kejadian.

2) Penanganan Bukti

a) Penanganan Bukti-Bukti Objektif

Bukti Obyektif adalah bukti-bukti mati atau bukti-bukti fisik yang ditemukan di TKP.

(12)

Penanganan bukti subjektif merupakan keterangan dari saksi dan tersangka, cara penanganan yang dilakukan polisi yaitu Pertama, bertanya langsung atau wawancara (interview) terhadap orang-orang yang diduga melihat, mendengar, mengetahui tindak pidana, maka dapat diperoleh dari masyarakat yang berada disekitar TKP guna membantu memberikan keterangan

c) Penanganan Korban, Saksi, dan Pelaku

1) Penanganan Korban

Penanganan korban pada kasus tindak pidana pembunuhan berencana, penyidik melakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut:

a) Pemotretan mayat menurut letak dan posisinya dilakukan secara umum ataupun close-up yang dilakukan dari berbagai arah dengan ditujukan pada bagian badan yang mencurigakan.

b) Meneliti dan mengamankan bukti-bukti yang berhubungan dengan mayat.

c) Memanfaatkan bantuan teknis dokter yang didatangkan dengan menanyakan beberapa hal yaitu, Pertama Jangka

(13)

waktu/lama kematian berdasarkan pengamatan tanda-tanda kematian antara lain kaku mayat.

d) Memberikan tanda garis pada letak posisi mayat.

e) Setelah diambil sidik jarinya segera di kirim kerumah sakit untuk dimintakan Visum Et Repertum.

2) Penanganan Saksi

Dalam hal ini penyidik melakukannya dengan 4 (empat) cara, yaitu Pertama, melakukan interview/wawancara. Kedua, menggolongkan sebagai saksi dan atau orang-orang yang diduga sebagai tersangka. Ketiga, melakukan pemeriksaan singkat terhadap saksi dan orang-orang yang diduga sebagai tersangka.

Keempat, melakukan pemeriksaan terhadap korban, keadaan korban, sikap korban atau dibawa ke rumah sakit/dokter ahli untuk dimintakan VER (visum et repertum).

3) Penanganan Pelaku

Tindakan yang dilakukan penyidik terhadap pelaku dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu

Pertama, penyidik melakukan penangkapan, penggeledahan badan, dan pengamanannya.

(14)

Kedua, penyidik meneliti dan mengamankan bukti-bukti yang terdapat pada pelaku.

Ketiga, penyidik melakukan pemeriksaan singkat untuk memperoleh keterangan sementara mengenai hal-hal berhubungan dengan kejadian.

4) Pengorganisasian Olah Tempat Kejadian Perkara

Pada pengorganisasian Olah TKP, untuk pengolahan TKP sederhana cukup dilakukan oleh satu atau dua orang petugas polisi saja, sedangkan TKP besar diperlukan suatu khusus.

5) Akhir Penanganan Tempat Kejadian Perkara

a) Konsolidasi

Konsolidasi merupakan kegiatan pengecekan terhadap personel, perlengkapan dan segala hal yang diketahui/ditemukan di TKP.

b) Pembukaan/ pembebasan tempat kejadian perkara

Pembukaan/pembebasan TKP dilakukan oleh Pamapta setelah mendapat pemberitahuan dari penyidik bahwa pengolahan TKP telah selesai.

(15)

c) Dalam hal petugas pengolahan TKP baik dari reserse maupun dari bantuan teknis (identifikasi, labfor dan dokfor) masih memerlukan waktu untuk pengolahan TKP.

d) Pembuatan berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara.

(1) Berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara dibuat oleh penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan pengolahan tempat kejadian perkara adalah yang merupakan:

(a) Hasil yang ditemukan di tempat kejadian perkara.

(b) Tindakan yang dilakukan oleh petugas terhadap hasil yang ditemukan di tempat kejadian perkara.

(c) Sebagai bahan untuk pelaksanaan dan pengembangan penyidikan selanjutnya.

(d) Bahan bagi penyidik selanjutnnya.

(e) Bahan evaluasi bagi atasan.

(2) Disamping berita acara pemeriksaan di TKP, penyidik membuat pula berita acara lainnya, sebagai berikut:

(16)

(a) Berita Acara Penemuan dan Penyitaan barang bukti di TKP.

(b) Berita Acara Penemuan dan Pengambilan jejak di TKP bila ditemukan.

(c) Berita Acara Memasuki rumah di TKP.

(d) Berita Acara Pemotretan di TKP.

(e) Berita Acara lain-lain sesuai tindakan yang dilakukan.

(f) Evakuasi kegiatan

Pada kegiatan evakuasi penyidik dapat melakukannya secara khusus terhadap tempat kejadian tertentu yang memerlukan penanganan Tempat Kejadian Perkara lanjutan, karena sifat dan kualitas penanganan dan pengolahan TKP dinilai tinggi sehingga perlu melakukan evakuasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan.7

2.3.1 Dokumentasi dan sketsa forensic

Sangat penting bahwa semua profesional kesehatan yang bekerja di bidang forensik menyimpan catatan permanen temuan klinis mereka.

Berdasarkan sifat pekerjaan mereka, mereka dapat mengharapkan

(17)

catatan klinis mereka menjadi subjek pengawasan yang ketat pada waktu- waktu tertentu dan sebaiknya mengingat ini bahkan di tengah malam.6

Catatan harus dibuat pada saat ujian atau segera sesudahnya.

Mereka harus lengkap dengan temuan positif dan negatif yang relevan dan harus dapat dibaca.6

Bentuk catatan klinis6

Meskipun catatan klinis terkomputerisasi semakin diandalkan dalam praktik umum dan kedokteran rumah sakit, catatan tertulis tetap menjadi pilihan yang lebih disukai dalam kedokteran forensik klinis. Beberapa dokter forensik mencatat temuan pemeriksaan mereka dalam buku bersampul tebal. Ini lebih mudah disimpan daripada kertas lepas dan dapat menunjukkan keserentakan entri berdasarkan posisi catatan di buku. Namun, tidak mudah atau rapi untuk menyimpan materi atau dokumen tambahan, seperti formulir persetujuan atau bagan badan, di buku bersampul keras dan semakin banyak, cara mencatat catatan yang lebih disukai adalah dalam bentuk pro lembaran lepas. Ini memiliki keuntungan bertindak sebagai aide memoire dan dapat dengan mudah disimpan bersama dengan dokumen lain yang relevan. Proforma biasanya mencakup formulir persetujuan — memperoleh persetujuan tertulis dari tahanan adalah cara sederhana untuk menunjukkan bahwa catatan itu dibuat pada waktu yang bersamaan. Pilihan pro forma yang sangat baik tersedia dari Fakultas Kedokteran Forensik dan Hukum.

Isi catatan klinis6

(18)

Untuk setiap pertemuan dengan tahanan atau korban, hal-hal berikut harus dicatat:

 Rincian orang yang diperiksa.

 Waktu, tanggal, durasi, dan tempat pemeriksaan.

 Rincian siapa yang meminta pemeriksaan, siapa yang memberi pengarahan di kantor polisi, informasi apa yang mereka berikan, dan apa yang diminta dari praktisi forensik.

 Persetujuan untuk pemeriksaan.

 Anamnesis dan pemeriksaan.

 Daftar sampel yang mungkin telah diambil.

 Penatalaksanaan dan rencana perawatan yang dibuat oleh praktisi forensik, termasuk saran tentang perlunya peninjauan pasien.

 Perincian informasi apa pun yang diberikan kepada pasien atau staf penjagaan.

Merekam luka6

Dokumentasi, manajemen, dan interpretasi cedera adalah kegiatan inti dari praktisi forensik. Sangat penting bahwa catatan yang akurat dari setiap cedera dicatat disimpan. Bagan tubuh adalah sumber daya tambahan yang tak ternilai untuk merekam cedera. Saat merekam cedera, hal-hal berikut harus diperhatikan: lokasi, ukuran, bentuk, warna, orientasi, fitur spesifik (misalnya arah skin tag pada abrasi; tepi laserasi yang memar dan terkelupas), fitur subjektif (misalnya kelembutan).

Sketsa Forensik8

(19)

Sketsa adalah gambaran keseluruhan dari TKP yang menunjukkan distribusi petunjuk pembuktian di TKP. Sketsa memudahkan untuk menghargai bukti di TKP, sifat kejahatan dan modus operandi pelaksanaan kejahatan. Sketsa menyediakan mode yang ideal, sederhana dan mudah dipahami untuk memahami tempat kejadian. Tambahan mode lain untuk merekam TKP dengan videografi, fotografi, dan menulis laporan inspeksi. Sketsa primer berisi informasi berikut. Rujukan kasus: FIR no dengan tanggal dan bagian, Polres, Kecamatan, dan tempat kejadian.

Sifat kejahatan: Pembunuhan, Perampokan, Pencurian, Perampokan dll.

Nama dan tanda tangan petugas penyidik yang menyiapkan sketsa kasar peta TKP. Tunjukkan Utara dengan kepala panah. Tabel pengukuran dan indeks serta pelabelan yang tepat.

(20)

2.3.2 Identifikasi jenazah

Dalam mengidentifikasi orang yang baru saja meninggal yang dengan mengetahui ciri-ciri, pakaian, dan jari-jarinya utuh sama sekali atau tidak, berbeda dengan mengidentifikasi orang yang meninggal dengan cara yang sama tetapi tubuh telanjangnya ditemukan di lapangan dengan cuaca yang panas/hujan. Semakin lama jarak antara kematian dan pemeriksaan jenazah, maka semakin besar kebutuhan akan satu atau lebih ahli yang berbeda dalam menetapkan identifikasi. Dalam situasi seperti itu, pengenalan penglihatan tubuh untuk identifikasi positif harus diterima dengan hati-hati, dan penyelidik tidak boleh mengendurkan

(21)

kewaspadaannya. Data/poin umum untuk identifikasi tercantum pada Tabel 3.1. 9

Karakteristik utama9

- Usia

- Jenis kelamin

- Perawakan

Karakteristik sekunder9

- Barang pribadi (isi saku, pakaian termasuk apa saja tanda/cacat/jahitan, perhiasan, dll.)

- Rambut

- Bekas luka

- Tato

- Keanehan eksternal termasuk kelainan bentuk, baik alami maupun karena penyakit

- Stigmata pekerjaan

- Ras, agama dan kebangsaan

(22)

Meskipun teknik/prosedur ini mampu memberikan bukti identifikasi yang pasti, namun masing-masing teknik ini membutuhkan materi premortem yang secara khusus dapat dibandingkan dari yang dianggap milik korban untuk mencocokkan materi yang dikumpulkan dalam keadaan postmortem. Ini membatasi penerapan teknik-teknik tersebut untuk membuat ini bergantung pada ketersediaan bahan yang sebanding tersebut.

- Pola atau restorasi gigi

- Sidik jari, kaki, atau tangan

- Teknik superimposisi

- Analisis aktivasi neutron

- Antropometri

- Perbandingan kebetulan lainnya

- Telusuri perbandingan bukti

(23)
(24)

2.3.4 Penentuan Status Hidup atau Mati

Kematian dapat dianggap sebagai berhentinya suatu kehidupan baik pada tingkat sel atau tingkat keseluruhan suatu organisme. Secara umum, Bichat’s traid telah digunakan untuk mendefinisikan kematian seseorang:

'kegagalan suatu mekanisme tubuh sebagai sistem yang terintegrasi terkait dengan hilangnya sirkulasi, pernapasan, dan persarafan yang tidak dapat diubah'.6

Kematian alami terjadi secara eksklusif sebagai akibat dari penyakit spesifik etiologis seperti kanker, penyakit paru obstruktif kronik, aterosklerosis, diabetes melitus, pneumonia lobar, penghinaan lingkungan kronis, dll. Kematian alami berarti cara kematiannya 100% alami.10

Kematian karena kecelakaan disebabkan oleh cara-cara kekerasan, bukan karena kesengajaan atau tindakan kriminal orang lain.

Pembunuhan didefinisikan sebagai kematian di tangan orang lain, atau yang terjadi selama tindakan ilegal.10

Kematian bunuh diri yang terjadi akibat bunuh diri dimana orang yang meninggal bermaksud bunuh diri. Belum ditentukan adalah kematian di mana klasifikasi yang masuk akal tidak mungkin. Jika ada 1% komponen dari peristiwa tidak wajar, yang menyebabkan kematian, dengan cara lain, itu tidak wajar lagi. Jika ada beberapa komponen dari berbagai cara kematian yang teridentifikasi selama penyelidikan kasus, aturan berikut

(25)

akan berlaku: pembunuhan menggantikan semuanya, kemudian kecelakaan, kemudian komplikasi terapeutik.

Kematian dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu: somatic death (kematian somatik) dan biological death (kematian biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tandatanda kehidupan lagi, seperti denyut jantung dan gerakan pernapasan, suhu badan menurun, dan tidak adanya aktivitas listrik otak pada rekaman EEG. Setelah dua jam, kematian somatik akan diikuti kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel.10

Pernyataan IDI tentang mati mencakup hal-hal sebagai berikut:11

1. Mati adalah suatu proses yang berangsur-angsur. Tiap sel dalam tubuh manusia mempunyai daya tahan yang berbeda- beda terhadap tidak adanya oksigen dan oleh karenanya mempunyai saat kematian yang berbeda pula.

2. Bagi dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi pada kepentingan manusia itu sebagai suatu kesatuan yang utuh.

3. Dalam tubuh manusia ada tiga organ tubuh yang penting yang selalu dilihat dalam penentuan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru, dan otak (khususnya batang otak).

(26)

4. Di antara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak merupakan tanda bahwa manusia itu secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi.

5. Oleh karena itu, setelah mendengar pertimbangan dari para ahli kedokteran, agama, hukum, dan sosiologi, IDI berpendapat bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otak tidak berfungsi lagi.

6. Sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implikasi teknis dilapangan, dengan ini IDI mengajukan usulan perubahan terhadap PP No. 18, tahun 1981, terutama yang berkenaan dengan definisi mati seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat g dari peraturan tersebut.

7. Perlu diingatkan sekali lagi kepada setiap dokter bahwa pada dasarnya tugas dokter adalah untuk mengurangi penderitaan pasien dan jika mungkin menyembuhkan kembali secara sempurna dan bertindak demi kepentingan pasien tersebut.

Meskipun dokter menghadapi penyakit-penyakit yang belum dapat disembuhkan atau adanya cacat yang tidak dapat dipulihkan, dokter tetap harus bertindak demi kebaikan pasiennya, sampai saat pasiennya dapat kembali ke keluarganya atau dinyatakan mati.

(27)

Identifikasi

Orang Hidup

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan sidik jari

Penentuan golongan darah

Ciri - ciri tubuh tertentu

Fotografi

Benda - benda milik pribadi

Jenazah

Umum

Kerangka manusia atau bukan

Penentuan jumlah korban, jenis kelamin, dan ras

Perkiraan tinggi badan dan umur

Khusus

Sidik jari

Golongan darah

Gigi, warna

(28)

2.3.5 Penentuan Waktu Kematian Atau Post Mortem Interval

Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan setelah kematian. Pemanfaatan ilmu ini selain untuk mengetahui kepastian kematian juga dapat digunakan untuk memperkirakan waktu kematian. Pencatatan waktu pemeriksaan menjadi hal yang sangat penting dalam memperkirakan waktu kematian. Hal-hal yang berkaitan dengan tanatologi adalah:12

Lebam mayat 12

a. Lebam mayat disebut juga livor mortis atau postmortem lividity, adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah pada bagian-bagian tubuh yang terletak paling bawah namun bukan daerah yang tertekan akibat berhentinya pompa jantung dan pengaruh gaya gravitasi.

b. Timbul antara 15 menit sampai 1 jam setelah kematian. Pada awalnya lebam mayat pada penekanan akan menghilang. Seiring dengan bertambahnya waktu maka lebam mayat berangsur-angsur semakin jelas dan merata. Dengan munculnya kaku mayat termasuk pada tunika muskularis pembuluh darah maka lebam mayat akan menetap walaupun pada bagian tersebut ditekan.

Lebam mayat akan menetap sekitar 12 jam setelah kematian.

c. Periksa bagian terbawah dari jenazah. Tampak sebagai bercak besar pada kulit berwarna merah keunguan yang kemudian melebar dan merata pada bagian tubuh yang rendah.

(29)

d. Tekan pada bagian yang terdapat bercak merah keunguan, saat dilepas tekanan memucat atau tidak.

e. Foto untuk dokumentasi pemeriksaan.

f. Catat distribusi lebam mayat, warna, hilang atau tidak pada penekanan.

Kebiruan pucat. Perhatikan bekas jari yang disebabkan oleh penekanan darah menjauhi permukaan kulit pada aspek posteromedial paha kanan.

Memperbaiki lividitas pada batang tubuh lateral dan posterior. Perhatikan tidak adanya kebiruan yang mendasari daerah tekanan yang diberikan oleh lengan terhadap berat dada. Anak ini ditemukan tergeletak di sisi kirinya. Jenazah ini

disimpan di lemari es dingin selama berjam-jam sebelum diotopsi.

Kaku mayat 12

a. Kaku mayat disebut juga rigor mortis atau postmortem rigidity,

(30)

ADP dan penumpukan asam laktat yang tidak bisa diresintesis kembali menjadi ATP karena tidak adanya oksigen yang masuk ke tubuh. Hal ini mengakibatkan serat otot memendek dan kaku. Kaku mayat muncul sekitar 2 jam setelah kematian dan setelah 12 jam menjadi sempurna pada seluruh tubuh dan sukar dilawan.

b. Lakukan saat melepas pakaian (jika berpakaian)

c. Raba kekakuan otot mulai dari otot-otot kecil hingga otot-otot besar.

d. Gerakkan persendian rahang, leher, anggota gerak atas dan bawah sambil merasakan tahanan pada otot-otot di sekitarnya.

e. Catat distribusi kaku mayat dan intensitas kekakuan.

(31)

Almarhum ditemukan terbaring telentang dengan kepala terangkat di atas beberapa bantal. Dia mengalami rigor mortis penuh di tempat kejadian dan mempertahankan

posisi ini selama kedatangannya ke kamar mayat.

Rigor mortis penuh. Perhatikan teknisi kamar mayat menarik lengan almarhum ini dengan erat, yang tertahan dalam posisi bengkok.

Perubahan pada mata 12

a. Selain refleks mata menghilang, setelah kematian akan terjadi kekeruhan kornea (selaput bening mata), segmentasi arteri sentralis retina, dan penurunkan tekanan bola mata.

b. Kekeruhan kornea yang menetap terjadi sekitar 6 jam setelah kematian pada mata yang terbuka dan sekitar 24 jam setelah kematian pada mata yang tertutup.

c. Kekeruhan selaput bening mata ditandai dengan warna putih keruh sehingga pemeriksa tidak dapat memeriksa tirai mata dan teleng mata secara jelas.

(32)

d. Bila kornea keruh, mata ditetesi air bersih, tunggu beberapa saat, kemudian evaluasi apakah menjadi jernih kembali atau tetap keruh.

e. Foto dan catat.

Ini adalah contoh "tache noire," yang merupakan perubahan warna gelap dari sebagian sklera yang terpapar udara. Ini karena pengeringan dan biasanya berwarna coklat hingga merah. Perubahan postmortem ini dapat disalahartikan

sebagai perdarahan yang berhubungan dengan pencekikan

(33)

Pembusukan 12

a. Pembusukan terjadi karena proses autolisis dan aktifitas mikroorganisme. Tanda pembusukan yang mulai terjadi 24-36 jam setelah kematian adalah warna kehijauan pada kulit yang diawali dari perut samping kanan bagian bawah. Selanjutnya, 36-48 jam setelah kematian, akan tampak pelebaran pembuluh darah di bawah kulit berwarna hitam kehijauan (marbling sign). Kemudian, 48-72 jam setelah kematian, akan terjadi pembengkakan pada tubuh (bloating) yang memiliki jaringan ikat longgar seperti kantung zakar, wajah membengkak, kedua bola mata menonjol, lidah terjulur, mulut mencucu, serta perut menegang yang mengakibatkan keluarnya cairan merah kehitaman dari hidung dan mulut yang disebut purging. Gelembung-gelembung pembusukan yang disertai pengelupasan kulit dan menyebabkan rambut mudah dicabut akan terjadi 72-96 jam setelah kematian. Beberapa minggu kemudian akan terjadi skeletonisasi.

b. Foto dan catat distribusi dan kondisi pembusukan yang terjadi.

(34)

Dekomposisi post-mortem menunjukkan berbagai tingkat perubahan pembusukan pada wajah, badan dan ekstremitas. Ilustrasi tersebut menunjukkan kontras yang terkadang terlihat antara satu bagian tubuh dan bagian tubuh lainnya, karena kaki

kanan dan sisi kiri bawah tubuh hanya sedikit terpengaruh. Wajah, leher, dan tangan bengkak karena gas.

(35)

Dekomposisi post-mortem dengan durasi sekitar 2 minggu dalam air pada suhu musim panas. Ada 'marbling' kulit di mana produk pemecahan hemoglobin telah

menodai saluran vena13

Perhatian khusus disarankan saat menangani tubuh yang sangat membusuk. Di (a) kepala seorang pria muda yang dipenuhi larva serangga, yang (b) dapat menyamarkan lubang pelet atau peluru yang sebenarnya atau menciptakan ilusinya.

Dalam (c) luka masuk dari kal 6,35. pistol terdeteksi di dahi tubuh yang membusuk setelah jaringan kulit kepala dipantulkan ke depan. Oleh karena itu, pemeriksaan

luar saja tidak pernah cukup dan diperlukan otopsi lengkap.

(36)

Kembung wajah dan efusi cairan bernoda darah dari lubang hidung dan mulut.

Tubuh pulih dari air, waktu post-mortem sekitar 11 hari14

Dari semula sudah dikemukakan bahwa tujuan pengetahuan tanatologi adalah untuk kepentingan medikolegal, terutama berkaitan dengan post-mortem interval. Pengetahuan ini harus selalu diterapkan dalam pemeriksaan mayat. Bila saat kematian korban tidak diketahui, maka beberapa petunjuk di bawah ini dapat dipakai: 15

1. Jam pertama setelah kematian, suhu tubuh mayat masih hangat (dengan termometer panjang didapati suhu 370C), otot-otot masih lemas seluruhnya (periode relaksasi primer), kornea mata bening, lebam mayat belum nampak jelas.

2. Pada jam ke 4-6 setelah kematian, suhu tubuh mayat telah mulai dingin (suhu rektal 34-350C), kaku mayat di rahang dan beberapa di

(37)

beberapa persendian sudah ada, lebam mayat tampak jelas tapi masih hilang pada penekanan.

3. Pada jam ke 10-12 setelah kematian, suhu tubuh mayat dingin (suhu sekitar 29-300C), kaku mayat sudah lengkap diseluruh tubuh mayat (seperti papan), bila diangkat kaki, panggul dan punggung juga terangkat, lebam mayat sangat jelas dan tidak hilang pada penekanan.

4. Pada jam ke 16-18 setelah kematian, suhu tubuh mayat dingin dan sudah sama dengan suhu ruangan 28-290C, kaku mayat di beberapa persendian telah berangsur menghilang secara bertahap, mulai tampak tandatanda pembusukan terutama di daerah perut bagian kanan bawah tampak biru kehijauan, lebam mayat meluas di seluruh bagian terendah dari tubuh.

5. Pada jam ke 20-24 (sekitar 1 hari) setelah kematian, tubuh mayat dingin, kaku mayat sudah menghilang (relaksasi sekunder), tanda pembusukan semakin jelas, perut mulai tegang oleh karena gas pembusuk, bau pembusukan, darah pembusukan keluar dari hidung dan mulut.

6. Pada jam ke 30-36 setelah kematian, tubuh mayat semakin menggembung, muka membengkak, bibir menebal, gas dan cairan pembusuk keluar dari hidung dan mulut, tampak garis pembuluh darah di permukaan tubuh (marble appearance).

(38)

7. Pada jam ke 40-48 (sekitar 2 hari) setelah kematian, tubuh mayat mengalami proses pelepuhan dan pembengkakan total (efek dari pembusukan) di seluruh tubuh, skrotum, lidah membengkak dan mata menonjol keluar. Sebagian lepuh dan gelembung pecah, kulit menjadi mudah terkelupas.

8. Pada hari ke 3 setelah kematian, tubuh mayat mengalami proses pembusukan lanjut, uterus bisa prolaps dan keluar dari vagina.

Demikian juga saluran cerna bawah keluar sebagian melalui anus, mata semakin menonjol keluar, muka sangat bengkak kehitaman.

Rambut dan kuku mudah dicabut.

9. Pada hari ke 4-5 setelah kematian, tubuh mayat mulai mengempes kembali, karena gas pembusuk mendesak keluar dari celah jaringan yang rusak/ hancur, sutura kepala merenggang, otak mengalami perlunakan menjadi seperti bubur.

10.Pada hari ke 6-10 setelah kematian. Jaringan lunak tubuh melembek dan lama-lama menjadi hancur, rongga dada dan perut bisa terlihat karena sebagian otot sudah hancur dan seterusnya hingga akhirnya tinggal tulang belulang.

(39)

2.3.6 Pemeriksaan Tanda – Tanda Kekerasan / Trauma

Pemeriksaan Korban Kekerasan Fisik Pemeriksaan korban kekerasan fisik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik lokal, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir kekerasan fisik yang telah ditentukan dan dilakukan fotografi forensik. Khusus untuk korban kekerasan fisik pada anak dilakukan serangkaian tindakan-tindakan medis yang mengacu kepada standar penanganan korban kekerasan fisik pada anak dari WHO, yakni:

12

1. Penggalian riwayat, terutama ketidak sesuaian antara luka pada korban

(40)

2. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sampai ke bagian tubuh yang tersembunyi.

3. Pemeriksaan faal hemostasis untuk menyingkirkan gangguan pembekuan darah yang mempengaruhi gambaran luka-luka pada korban.

4. Pemeriksaan radiologi berupa Bone Survey.

5. Pemeriksaan serum amilase bila dicurigai terjadi kekerasan pada perut.

6. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi.

7. Dokumentasi dan fotografi forensik.

8. Pemeriksaan saudara kandung (sibling examination).

9. Skrining tumbuh kembang.

10. Skrining tingkah laku.

Langkah-langkah pemeriksaan korban pemeriksaan fisik antara lain: 12ili

1. Periksa apakah terdapat Surat Permintaan Visum (SPV) dari kepolisian.

Bila ada, periksa keabsahan SPV dan pemeriksaan yang diminta.

2. Jelaskan dan mintakan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan (informed consent) kepada korban (direct consent) atau orang tua / wali yang mengantar (proxy consent).

3. Lakukan penggalian informasi (anamnesis) secara menyeluruh. Pada korban anak dilakukan kepada orang tua. Bila anak di atas 3 tahun

(41)

dilakukan privacy setting dengan melakukan penggalian informasi lagi secara langsung ke korban anak tanpa didampingi orang tua / wali yang mengantar.

4. Lakukan pemeriksaan fisik umum dan khusus pada lokasi tubuh yang mengalami kekerasan. Pada pemeriksaan lokal, luka-luka difoto dan dicatat. Secara naratif, luka dilukiskan sesuai dengan sistematika penulisan luka (lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka, ukuran luka, dan sekitar luka).

5. Foto dan catat seluruh pemeriksaan penunjang yang dilakukan.

2.3.7 Pengumpulan sampel biologis

Berbagai sampel mungkin perlu diperoleh baik sebelum, selama atau setelah pemeriksaan. Sifat penyelidikan tambahan tersebut, jelas, akan tergantung pada sifat kasus dan keadaan yang hadir.9

(42)

Tabel Metode Pengumpulan dan Pengemasan Barang Bukti yang berbeda di TKP8

Sampel Metode pengumpulan Pengemasan dan pengawetan Perhatian

Darah Basah Darah cair Dalam botol/tabung EDTA atau pindahkan

pada kain kasa katun atau kumpulkan pada FTA card

Keringkan di udara dan simpan dalam amplop kertas.

Penggunaan jarum suntik sekali pakai untuk mengambil darah dalam botol/tabung EDTA atau FTA card. Jangan menangani sampel dengan tangan kosong atau tanpa handscoen.

Darah yang menggumpal basah

Kumpulkan dalam tabung steril dan tambahkan volume yang sama dengan larutan garam normal atau pindahkan ke kain kasa katun

Keringkan di udara dan simpan dalam amplop kertas.

Jangan menangani sampel dengan tangan kosong atau tanpa handscoen.

Pakaian basah korban dan tersangka

Keringkan udara secara menyeluruh pada suhu kamar dan kumpulkan seluruh sampel atau gunting secara perlahan

Kemas secara terpisah dalam amplop kertas atau kantong kertas.

Jangan pernah mencoba mengemas kain dalam keadaan kering atau basah didalam wadah kedap udara atau kantong plastik

Benda bernoda darah (seperti pisau)

Keringkan secara menyeluruh pada suhu kamar dan kumpulkan.

Mengemas barang dalam amplop/tas kertas atau kain katun tergantung ukuran objeknya.

Jangan menangani sampel dengan tangan kosong atau tanpa handscoen.

Kerak Darah / Noda / Percikan TKP tidak dapat dipindahkan ke

permukaan lantai, dinding, dll.

Kikis kerak di atas kertas dengan pisau bedah atau pindahkan ke kain kasa katun bersih yang telah dibasahi dengan cara menggosok - gosokkan pada noda.

Keringkan di udara dan kemas dalam amplop kertas. Kumpulkan kontrol negatif yang tepat dari area yang berdekatan.

Jangan pernah menggunakan kantong plastik untuk mengemas.

Noda Darah pada Senjata dan lainnya benda kecil yang dapat digerakkan.

Biarkan noda mengering dan kumpulkan seluruh barang.

Kemas dalam amplo kertas dan simpan dalam suhu ruangan.

Jangan pernah menggunakan kantong plastik untuk mengemas. Jangan pernah mengirimkan senjata api yang dimuat.

(43)

Noda darah kering dan cairan tubuh lainnya.

Noda darah pada kendaraan, karpet, kertas dinding, benda kayu, dll.

Potong area noda. Kumpulkan potongan kontrol negatif sebagai kontrol dari area yang berdekatan.

Biarkan mengering dalam suhu kamar atau tempat teduh. Kemas setiap potongan secara terpisah.

Selalu dokumentasikan pola noda dengan benar sebelum membersihkannya. Jangan mencampur noda dari lokasi yang berbeda. Kumpulkan

potongan-potongan dari tempat yang berbeda dalam paket terpisah.

Noda darah kering pada Objek atau tempat kejadian perkara.

Kumpulkan sampel dengan kapas steril kain lap.

Keringkan dengan cara diangin-anginkan dan masukkan ke dalam amplop kertas.

Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

Noda air mani Kumpulkan sampel dengan kapas steril kain lap.

Keringkan dengan cara diangin-anginkan dan masukkan ke dalam amplop kertas

Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

Air liur Kumpulkan sampel dengan kapas steril kain lap.

Keringkan dengan cara diangin-anginkan dan masukkan ke dalam amplop kertas

Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

Urine

Sampel urin cair dikumpulkan dengan menggunakan jarum suntik dan sampel urin kering dikumpulkan dengan menggunakan kapas steril.

Keringkan swab di udara dan kemas dalam amplop

kertas Jangan menangani barang bukti dengan

tangan kosong.

Jaringan/organ yang terfragmentasi.

Jaringan/ Organ harus ditempatkan dalam wadah bersih yang berisi larutan garam normal.

Gunakan kotak termokol yang diisi dengan es/paket pendingin.

Jangan pernah menambahkan bahan pengawet seperti formalin.

Bukti lainnya

Pertahankan setidaknya dua tulang yang Biarkan mengering sepenuhnya di udara dan Tulang yang benar-benar terbakar tidak berguna

(44)

Tulang / Gigi utuh, referensi Femur, Tibia, humerus, Gigi (Molar 2 - 3)

kemas dalam kemasan kertas / amplop. untuk uji forensik.

Rambut & Serat

Gunakan pinset/forsep selama pengambilan sampel. Kumpulkan sampel referensi dari korban dan tersangka 50 - 100 rambut standar harus dikumpulkan.

Kemas dalam amplop kertas. Jangan pernah mencuci rambut yang sudah pulih.

Senjata api Ambil pistol dengan posisi laras senjata api dibawah

Kemas dalam kotak kertas Jangan sekali – kali mencuci senjata api yang telah dipulihkan. Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

Tidak boleh mengarahkan kedepan senjata yang berisi peluru.

Tempat peluru dan kartrid Peluru yang ditembakkan atau kartrid kosong yang dikumpulkan dengan forsep

Kemas dalam kotak kertas Jangan sekali – kali mencuci senjata api yang telah dipulihkan. Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong

Gun Shoot Residu (GSR) Partikel GSR ditangan dan senjata api dapat dikumpulkan dengan pengangkatan pita dan metode usap.

Keringkan partikel GSR di udara dan kemas dalam kertas terpisah tas.

Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

Gelas, cat, dan bukti jejak lainnya

Gunakan pinset/forsep selama pengumpulan.

Jika diperlukan, kikis kerak cat ke kertas dengan pisau bedah

Kemas dalam amplop kertas atau wadah plastik yang sesuai.

Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

(45)

Setelah mengembangkan cetakan menggunakan metode serbuk seperti sikat magnetik, bubuk putih, bubuk hitam, metode bubuk fluoresen, dan metode kimia seperti metode Ninhidrin, metode perak klorida, metode pengasapan yodium, dll. Kemudian kumpulkan hasil cetakan menggunakan fotografi dan metode pengangkatan pita

Kemas dalam kotak kertas atau amplop. Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

Cetakan paten Jenis cetakan ini biasanya dikumpulkan. Kemas dalam kotak kertas atau amplop. Jangan menangani barang bukti dengan tangan kosong.

(46)

Pemeriksaan Histologispatologis9

Potongan berbagai organ dalam dan jaringan tubuh yang perlu diperiksa secara histologi harus diawetkan dalam formalin 10%.

Sampel/Spesimen Mikrobiologis9

Fredette (1916) mengemukakan bahwa 'invasi agonal' menyumbang sebagian besar kultur positif yang ditemukan pada otopsi.

Hal ini diduga karena penurunan viabilitas yang terjadi selama periode variabel sebelum kematian membuat individu tersebut rentan terhadap invasi oleh mikroorganisme endogen. Namun, Carpenter dan Wilkins (1964) menyatakan bahwa bakteri endogen berkembang biak dan bermigrasi ke seluruh tubuh hanya setelah kematian, sebuah fenomena yang disebut sebagai 'invasi postmortem'. Terlepas dari kontroversi, pengambilan sampel yang tepat untuk pemeriksaan mikrobiologis mungkin sangat bermanfaat dalam memastikan diagnosis antemortem dugaan. Beberapa tindakan pencegahan dan pedoman umum diberikan di bawah ini (diskusi dengan ahli mikrobiologi akan terbukti sangat bermanfaat):

- Pendinginan awal tubuh setelah kematian dan pembatasan pergerakannya akan sangat membantu dalam mencegah resirkulasi pasif darah dari area yang terkontaminasi dan dengan demikian mengurangi potensi kultur darah positif palsu.

(47)

- Postmortem harus dilakukan sedini mungkin untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan kematian beberapa mikroorganisme yang sensitif.

- Darah harus diambil dari beberapa pembuluh besar seperti vena atau arteri femoralis dengan menggunakan spuit dan jarum steril.

Sebelum pengambilan sampel, kulit perlu dibersihkan dengan sediaan yodium beralkohol. Kultur darah langsung dianjurkan.

- Untuk pengambilan sampel jaringan, permukaan organ seluas 2 x 2 cm2 harus dibakar hingga kering dan sebagian diambil untuk pemeriksaan. Sebagai alternatif, swab steril dapat dipaksa melalui area yang disengat atau cairan yang disedot menggunakan jarum dan semprit steril.

- Fragmen jaringan harus ditangguhkan dalam larutan garam steril untuk mencegah pengeringan.

- Sampel harus dikirim ke laboratorium tanpa penundaan. Rincian klinis harus menyertai spesimen. Salinan 'laporan otopsi' juga harus dikirim

Pemeriksaan Biokimia9

Darah dari pembuluh femoralis, jantung atau bahkan hati dan cairan serebrospinal mayat dapat dikumpulkan untuk berbagai pemeriksaan biokimia.

Pemeriksaan enzim9

(48)

Potongan-potongan kecil jaringan dikumpulkan ke dalam termos yang berisi nitrogen cair.

Untuk yang curiga akibat virus9

Sepotong jaringan yang sesuai dikumpulkan dalam kondisi steril dan diawetkan dalam 50% gliserin steril.

Vaginal/Anal swabs dan pap smears9

Ini perlu diperiksa dalam kasus dugaan kekerasan seksual.

Urine dan Feses9

Urin dapat dikumpulkan langsung dari kandung kemih dan diperiksa. Kotoran dapat diperiksa untuk deteksi darah, protozoa, cacing, dll.

Pemilihan organ dalam pada Kasus Dugaan Keracunan9

Karena sebagian besar racun tertelan, racun tersebut diperkirakan ditemukan di lambung dan usus kecil. Setelah penyerapan, semua racun melewati hati yang bertindak sebagai organ metabolisme dan detoksifikasi dan memiliki kekuatan memusatkan banyak racun. Ginjal sebagai organ ekskresi diharapkan menunjukkan adanya racun. Tabel 2.1 menunjukkan perlunya mengawetkan spesimen/bahan yang berbeda dalam keadaan yang berbeda.

Petunjuk Persiapan dan Pengiriman sampel9

(49)

Perut beserta isinya diawetkan dalam satu botol kaca bermulut lebar; usus dengan isinya diawetkan di botol lain. Deteksi racun di perut dan usus akan berpengaruh pada waktu bertahan hidup. Untuk itu, tidak disarankan mengawetkan lambung dan usus dalam satu botol. Lambung dan usus dibuka sebelum dikemas untuk melihat keadaan mukosa.

Potongan hati, limpa dan ginjal diawetkan di botol lain. Ini harus dipotong- potong untuk memastikan penetrasi pengawet. Pengawet yang digunakan harus diisi hingga dua pertiga dari botol untuk mencegah pecahnya botol, jika terjadi pembusukan.

Sumbat botol harus pas, ditutup dengan selembar kain dan diikat dengan selotip atau tali dan ujungnya disegel menggunakan segel pribadi.

Setiap botol harus diberi label yang sesuai, label yang berisi nomor otopsi, tanggal, nama almarhum, nama organ, diikuti dengan tanda tangan dokter yang melakukan otopsi. Sampel bahan pengawet yang digunakan, baik 100 ml alkohol yang telah diperbaiki atau 25 gram natrium klorida, diawetkan secara terpisah dan dikirim untuk dianalisis untuk menyingkirkan racun yang ada sebagai kontaminan. Botol-botol yang disegel ditempatkan di dalam kotak jeroan yang memiliki kompartemen yang empuk di mana botol-botol itu pas. Kotak (jika kayu) harus dikunci, dan kunci harus disegel. Jika kotak itu terbuat dari karton atau bahan lain, itu harus diamankan dengan kain tebal yang tahan lama dan disegel dengan baik. Rincian kasus harus disebutkan di kotak juga dengan tanda tangan yang tepat. Tindakan pencegahan tersebut diperlukan untuk

(50)

memastikan bahwa tidak terjadi perusakan isi jeroan kotak selama transit ke FSL/Laboratorium Penguji Kimia. Kotak tersegel dan amplop yang berisi kunci (dalam kasus kotak kayu yang telah dikunci) kemudian diserahkan kepada polisi yang berwenang untuk mengangkutnya ke FSL/Laboratorium Penguji Kimia. Bersamaan dengan kotak, amplop tersegel lainnya yang berisi surat-surat polisi (Laporan Pemeriksaan), salinan laporan postmortem, fakta singkat kasus, salinan catatan rumah sakit (jika ada) dan surat penerusan yang ditujukan kepada Pemeriksa Kimia yang memintanya untuk memeriksa jeroan juga diserahkan kepada polisi. Sepotong kain yang terpisah dengan segel sampel dan tanda tangan dokter juga diberikan. Tanda terima karena semua ini diperoleh.

(51)
(52)

2.3.8 Koordinasi temuan TKP dengan penyidik

Kesimpulan yang dapat di ambil dari pemeriksaan di TKP dimana pihak penyidik dan dokter bahu – membahu dalam menangani kasus yang dihadapi adalah:5

- Membantu mempercepat proses penyidikan

- Membantu mengarahkan tindakan atau pemeriksaan yang akan dilakukan selanjutnya; orang – orang yang perlu dimintakan keterangan, senjata atau alat bukti yang perlu dicari, pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan dan sebagainya.

- Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang baik, dalam hal waktu, personalia serta biaya; yang kesemuanya itu untuk kepentingan penegakan hukum yang baik dimata masyarakat umum dan khususnya di mata para pencari keadilan.

Praktisi forensik harus menyadari bahwa Kode Praktik PACE mensyaratkan bahwa catatan tertulis harus dibuat dalam catatan penjagaan dari setiap petunjuk klinis dan saran yang diberikan oleh dokter atau profesional kesehatan tentang perawatan dan pengobatan tahanan.

Praktik yang baik mengharuskan praktisi forensik membuat catatan tertulis tersebut sendiri, karena hal ini akan mencegah kesalahan interpretasi yang mungkin terjadi jika petugas polisi mencatat instruksi lisan yang telah diberikan. Instruksi tentang perawatan dan pengobatan harus dicatat

(53)

dalam catatan perawatan terkomputerisasi (NSPIS). Jika arahan diberikan bahwa seorang tahanan memerlukan pengamatan atau pengawasan terus-menerus, harus ada penjelasan yang menyertai untuk secara tepat menjelaskan tindakan apa yang perlu diambil untuk melaksanakan arahan tersebut. Praktisi forensik akan menyimpan catatan konsultasi mereka sendiri dengan tahanan dan diwajibkan untuk mencatat dalam catatan penahanan bahwa mereka telah menyimpan catatan ini. Di bawah PACE, 'tahanan, orang dewasa yang sesuai atau perwakilan hukum akan diizinkan untuk memeriksa catatan tahanan asli setelah tahanan meninggalkan tahanan polisi asalkan mereka memberikan pemberitahuan yang wajar tentang permintaan mereka'.6

(54)

BAB III

KESIMPULAN

Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) merupakan salah satu proses penyelidikan dalam sebuah tindak pidana. Tempat kejadian perkara dapat memberikan berbagai macam informasi kepada penyidik mengenai kasus tindak pidana yang tengah ditangani.

Dalam proses olah TKP pihak penyidik dapat meminta / memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP) tersebut sesuai dengan Undang – Undang Pokok Kepolisian tahun 1961 no. 13 pasal 13 atau sesuai dengan ketentuan pasal 3 Keputusan Men Han Kam / Pangab No.

Kep/B/17/VI/1974.

Praktik yang baik mengharuskan praktisi forensik membuat catatan tertulis tersebut sendiri, karena hal ini akan mencegah kesalahan interpretasi yang mungkin terjadi jika petugas polisi mencatat instruksi lisan yang telah diberikan.

. Praktisi forensik akan menyimpan catatan konsultasi mereka sendiri dengan tahanan dan diwajibkan untuk mencatat dalam catatan penahanan bahwa mereka telah menyimpan catatan ini.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nugroho, B. A. Fungsi Olah Tempat Kejadian Perkara ( TKP ) Dalam Penyidikan ( Studi pada Polrestabes Semarang ). (2013).

2. Hukum, J. & Ummah, K. Peran Laboratorium Forensik Polri Sebagai Pendukung Penyidikan Secara Ilmiah Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Teguh Prihmono * , Umar Ma’ruf ** , Sri Endah Wahyuningsih

*** *. J. Huk. Khaira Ummah 13, 273–286 (2018).

3. Suherman, D. URGENSI OLAH TEMPAT KEJADIAN PERKARA UNTUK KESESUAIAN ANTARA LAPORAN POLISI DENGAN HASIL OLAH TEMPAT KEJADIAN PERKARA DALAM MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (2017).

4. Desvira, M. Peranan Olah Tempat Kejadian Perkara Dalam Menetapkan Tersangka Pencurian. (2018).

5. Idries, A. M. & Tjiptomartono, A. L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. (2011).

6. Wyatt, J., Squires, T., Norfolk, G. & James, J. P. Oxford Handbook of Forensic Medicine. 9–25 (2011).

7. Rahtinuka, T. Pelaksanaan Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada Tindak Pindana Pembunuhan Berencama. Kementeri. Pendidik. dan Kebud. Univ. Brawijaya (2014).

8. Norris, P. Crime scene investigation. Vet. Forensic Med. Forensic Sci. 1–

19 (2020) doi:10.4324/9781315121918-1.

9. Vij, K. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. (2011).

(56)

doi:10.1016/C2011-0-05147-5.

10. Datiy, A. Color Atlas of Forensic Medicine and Pathology. Catanese, Charles (2016). doi:10.12737/7339.

11. Sendu, E. A., Mallo, J. F. & Tomuka, D. C. Tinjauan Medikolegal Perkiraan Saat Kematian. J. Biomedik 5, (2013).

12. Henky, Yulianti, K., Alit, I. B. P. & Rustyadi, D. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Rajawali Pers (2017).

13. Shepherd, R. Simpson’s Forensic Medicine. vol. 6 (2003).

14. Saukko, P. & Knight, B. The forensic autopsy. Knight’s Forensic Pathology, 3Ed (2012). doi:10.1201/b13642-6.

15. Parinduri, A. G. Buku Ajar Kedokteran Forensik dan Medikolegal. UMSU Press 417 (2020).

Gambar

Tabel Metode Pengumpulan dan Pengemasan Barang Bukti yang berbeda di TKP 8

Referensi

Dokumen terkait