• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Myasthenia Gravis

N/A
N/A
Silvie Anastasya

Academic year: 2024

Membagikan "Referat Myasthenia Gravis"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

MYASTHENIA GRAVIS

Disusun oleh:

Cornelia Kartika Matthew 406231042

Pembimbing:

dr. Dyah Nuraini W, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT WONGSONOGORO SEMARANG PERIODE 11 MARET – 20 APRIL 2024

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

JAKARTA

(2)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Periode 11 Maret – 20 April 2024

LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

Myasthenia Gravis

Disusun oleh:

Cornelia Kartika Matthew 406231042

Pembimbing:

dr. Dyah Nuraini W, Sp. S

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Wongsonogoro Semarang

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Jakarta, 18 April 2024

dr. Dyah Nuraini W, Sp. S

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan anugerah yang dilimpahkan Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan topik “Myasthenia Gravis” sebagai tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf 11 Maret – 20 April 2024. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis bersedia untuk menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Dyah, Sp. S, selaku pembimbing referat dan yang telah banyak meluangkan waktu dan ilmunya.

2. dr. Aji Noegroho, Sp. N, selaku pembimbing di stase saraf yang senantiasa memberikan banyak ilmu dan bahan bacaan bagi penulis mengenai topik referat ini.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga tulisan ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan bagi siapapun yang membacanya.

Jakarta, 18 April 2024

Cornelia Kartika (406231042)

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...II DAFTAR ISI...III

BAB I...2

PENDAHULUAN ...2

BAB II...3

NEUROMUSCULAR JUNCTION ...3

Definisi...5

Epidemiologi...5

Etiologi...6

Patofisiologi...7

Klasifikasi ...8

Manifestasi Klinis...9

Pemeriksaan ...10

Diagnosis...14

Diagnosis Banding...15

Tatalaksana ...17

Komplikasi...19

Prognosis...20

BAB III ...21

KESIMPULAN...21

DAFTAR PUSTAKA ...22

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis (MG) merupakan penyakit gangguan transmisi neuromuskular akibat proses autoimun dimana terbentuknya antibodi yang berikatan dengan nAChR. Kerusakan yang mendasarinya adalah berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada NMJ secara menyeluruh dan merusak membran postsinaptik. MG merupakan penyakit paling sering dari gangguan transmisi neuromuscular junction. Angka kejadian MG sekitar 43 hingga 84 per 1.000.000 dengan 1 per 300.000 tiap tahunnya. Prevalensi MG diketahui meningkat sejak pertengahan abad ke-20. Di Asia, hingga 50% pasien memiliki onset di bawah 15 tahun yang pada umumnya dengan manifestasi okular murni.

Pasien biasanya akan mengeluhkan adanya penglihatan ganda dan sulit untuk mempertahankan kelopak mata agar tetap terbuka. Gejala juga akan disertai dengan keluhan sulit untuk makan akibat tidak mampu mengunyah dalam periode waktu lama dan sulit mempertahankan komunikasi akibat suara yang semakin lama akan mengecil. Pasien juga akan kesulitan saat aktivitas seperti menaiki tangga akibat kelemahan ekstremitas. Gejala-gejala tersebut akan semakin memburuk dengan aktivitas dan akhir hari. Jika gejala disetai kelemahan otot pernapasan disebut krisis miastenia, yang mana merupakan keadaan darurat medis.

MG merupakan masalah yang cukup signifikan, mengingat gejala yang ditimbulkan akan sangat mengganggu aktivitas dasar pasien sehari-hari dan pekerjaan, disamping bisa menimbulkan kematian. Disamping itu, mencegah timbulnya komplikasi baik dari penyakit MG itu sendiri atupun dari pengobatan MG juga membutuhkan perhatian khusus.

Saat ini obat yang digunakan sebagai terapi MG berupa pengobatan simptomatis menggunakan asetilkolinesterase inhibitor dan imunosupresif seperti glukokortikoid. Terapi imunoglobulin intravena atau plasmapheresis juga bisa diberikan pada pasien sesuai indikasi.

Timektomi sendiri cukup memegang peranan penting dalam terapi, walaupun tidak dilakukan pada semua pasien. Diagnosis dan tatalaksana dini yang tepat diharapkan mampu mempertahankan kualitas hidup pasien dan mencegah komplikasi yang bisa dicegah, serta persiapan psikologis pasien dan keluarga, mengingat dampak yang ditimbulkan cukup banyak dan menganggu.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Periode 11 Maret – 20 April 2024 2

(6)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Periode 11 Maret – 20 April 2024 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NEUROMUSCULAR JUNCTION

Neuromuscular junction (NMJ) merupakan penghubung antara terminal akson neuron motorik dengan sel otot rangka. Potensial aksi pada neuron motorik merambat dari badan sel ke akson bermielin besar hingga saat mendekati otot akson akan bercabang dan kehilangan selubung mielinnya. Setiap sel otot yang disebut juga serat otot, memiliki satu NMJ. Pada setiap NMJ, akson akan bercabang lagi dengan ujung berbentuk kenop sehingga disebut tombol terminal.

Tombol terminal ini akan menempel pada bagian serat otot yang lebih cekung yang disebut sebagai cakram motorik atau motor end plate.1

Gambar 2.1 Neuron Motorik yang Mempersarafi Serat Otot1

Potensial aksi tidak mampu melompati celah pada NMJ antara tombol terminal dan serat otot, sehingga dibutuhkan pembawa pesan kimiawi yang disebut neurontransmiter.

Neurontransmiter pada celah ini berupa acetilkolin (ACh). Pada tombol terminal terdapat banyak vesikel-vesikel yang mengandung ACh. Saat adanya potensial aksi, kanal Ca2+ akan terbuka dan menyebabkan Ca2+ masuk ke tombol terminal dan diikuti eksositosis ACh dari vesikel tombol terminal menuju celah. ACh selanjutnya berdifusi menuju cakram motorik serat otot dan menempel pada nicotinic acetylcholine receptor (nAChR). Penempelan ini menyebabkan terbukanya reseptor kanal tersebut sehingga bisa dilalui oleh Na+ maupun K+. Na+ memiliki gradien elektrokimia yang lebih tinggi dibandingkan K+. Hal ini akan menyebabkan Na+ yang masuk lebih banyak dibandingkan K+ yang keluar sehingga terjadinya depolarisasi cakram motorik.

(7)

Perubahan dari potensial aksi seluruh tombol terminal di NMJ disebut end plate potential (EPP). EPP bersifat berjenjang dengan kekuatannya yang bervariasi tergantung dari jumlah dan durasi ACh di cakram motorik. EPP menyebabkan terjadinya potensial aksi di sekitar cakram motorik sehingga terbukanya kanal Na+. Potensial aksi terbentuk di daerah tersebut dan berkonduksi dari tengah menuju kedua ujung serat otot yang pada akhirnya menyebabkan serat otot kontraksi.1

Gambar 2.2 Peristiwa di NMJ1

Agar tidak terjadi gerakan terus menerus tanpa tujuan, respons sel otot akan dihentikan oleh asetilkolinesterase (AChE) di cakram motorik saat tidak lagi terdapat sinyal dari neuron motorik. Sebagian ACh yang bebas pada cakram motorik juga langsung berikatan dengan AChE saat tidak menempel dengan reseptor sehingga menjadi inaktif. Sebagian AChE yang berikatan dengan resptor kemudian akan terlepas dari kanal, dan secara acak berikatan dengan reseptor kembali atau justru berikatan dengan AChE untuk diinaktifkan. ACh yang inaktif akan semaakin banyak dan dibersihkan dari celah sehingga membran sel otot kembali ke potensial istirahat dan berelaksasi. Jika dibutuhkan kontraksi menetap untuk gerakan tertentu, terbentuk potensial aksi neuron motorik lain yang menyebabkan pelepasan lebih banyak ACh sehingga proses kontraksi terus berlangsung. Sesuai dengan kebutuhan tubuh, AChE mampu menyebabkan relaksasi dengan menghentikan pembebasan ACh atau kebalikannya yaitu menyebabkan lebih banyak ACh yang dibebaskan sehingga kontraksi terus berlanjut.1

(8)

2.2 MYASTHENIA GRAVIS 2.2.1 Definisi

Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi yang mengenai reseptor asetilkolin di post sinaps, sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan otot untuk berdepolarisasi dengan gambaran klasik berupa kelemahan yang berfluktuatif pada otot-otot ekstra okuler, bulbar dan otot-otot proksinal. Miastenia gravis juga dapat terjadi pada semua kelompok umur. Pada miastenia gravis yang terganggu adalah transmisi neuromuskular akibat proses autoimun dimana terbentuknya antibodi yang berikatan dengan nAChR. Kondisi ini menyebabkan kelemahan otot yang berfluktuasi pada otot mata, rangka, dan pernafasan.1-3

Gambar 2.3 Blocking Autoantibodi pada Miastenia Gravis3

2.2.2 Epidemiologi

MG merupakan penyakit paling umum dari gangguan transmisi NMJ.2 Angka kejadian tahunan miastenia gravis adalah 8 sampai 10 kasus per satu juta penduduk dengan prevalensi 150-250 kasus per 1 juta, dan merupakan penyakit neuromuscular dengan frekurnsi terbanyak. Puncak insidens penyakit ini bersifat bimodal, dengan perbandingan pria dan wanita 1:3 dan puncak kedua pada usia diatas 50 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 3:2 studi epidemiologi di jepang dan kanada mendapatkan peningkatan kasus miastenia gravis pada usia tua sejak satu dekade terkahir. Di indonesia belum ada dara yang pasti mengenai jumlah kasus miastenia gravis.4 Prevalensi MG meningkat sejak pertengahan abad ke-20.5 Kebanyakan kasus gejala yang muncul berupa kelemahan otot ekstraokular.6

(9)

Kejadian MG familial walaupun diketahui tetapi jarang.4 Pada umunya keluarga memiliki salah satu penyakit autoimun seperti penyakit jaringan ikat, lupus eritematosus, reumatoid atritis atau lainnya.4,5 Sekitar 75% pasien memiliki penyakit timus, 85% dengan hiperplasia timus, dan 10-15% dengan timoma. Tumor ekstratimik seperti small cell lung cancer dan Hodgkin disease juga bisa ditemukan pada pasien MG. Hipertiroidisme terdapat pada 3-8%

pasien dan terkait dengan MG okular.7

Onset kejadian pada dekade pertama relatif jarang yaitu hanya sekitar 10 persen kasus.4 MG pada anak cukup sering di Asia yaitu sekitar 50% berusia kurang dari 15 tahun, namun jarang di negara barat.6 Puncak usia kejadian MG yaitu dekade kedua dan ketiga kehidupan pada wanita, dan dekade kelima dan keenam atau ketujuh dan kedelapan pada pria.2,4 Perempuan dua hingga tiga kali lebih sering terkena daripada pria di bawah usia 40 dan sebaliknya.4 MG onset dini biasanya dikaitkan hiperplasia timus, sedangkan onset lambat sekitar usia 50-60 tahun lebih sering pada timoma dengan dominasi laki-laki.2,4

2.2.3 Etiologi

MG biasanya bersifat idiopatik dan terjadi pada individu dengan genetik yang rentan seperti pada penyakit autoimun lainnya.6,7 Faktor pencetus bisa berupa infeksi, imunisasi, operasi, dan obat-obatan.6 Sensitisasi antigen asing yang memiliki reaktivitas silang dengan nAChR dianggap sebagai penyebab walaupun antigen tersebut belum teridentifikasi.7 Timoma juga bisa memicu terjadinyanya produksi autoantibodi.6

Terdapat beberapa obat yang dapat menginduksi atau megekserbasi gejala MG. Obat antibiotik meliputi aminoglikosida, polimiksin, siprofloksasin, eritromisin, dan ampisilin. Obat lainnya seperti penicillamine, litium, magnesium, agen penghambat reseptor beta-adrenergik seperti propranolol dan oxprenolol, kuinidin, klorokuin, prokainamid, verapamil, antikolinergik seperti trihexyphenidyl, prednison, timolol yaitu agen beta-blocking topikal untuk glaucoma.

Nitrofurantoin dikaitkan dengan MG ocular dan penghentian obat memberikan pemulihan total.

Agen penghambat neuromuskular seperti vecuronium dan curare harus digunakan hati-hati pada pasien MG, agar tidak terjadi blokade neuromuskular yang berkepanjangan. Efek samping imunoterapi kanker yang mampu menginduksi MG seperti Ipilimumab induced (anti-CTLA4) MG dan PD-1, PDL-1 inhibitors.7

Sekitar 90% dari kasus, terdapat IgG terhadap acetylcholine receptor (AChR), namun pada pasien yang tidak memiliki klinis miastenia bisa saja memiliki antibodi anti-AChR.6,7 Kompleks protein Agrin - muscle-specific kinase (MuSK) - lipoprotein-related protein 4 LRP4 berperan penting dalam pembentukan dan pemeliharaan NMJ serta distribusi dan pengelompokan AChR.6

(10)

Pasien yang tidak memiliki antibodi anti-AChR mungkin memiliki antibodi terhadap MuSK dengan gambaran biopsi otot berupa miopati dengan kelainan mitokondria yang menonjol yang berkebalikan dari pasien dengan anti-AChR yaitu gambaran neurogenik dan atrofi. Kerusakan mitokondria akibat anti-MuSK terkait dengan keterlibatan okulobulbar.7

2.2.3 Patofisiologi

Patofisiologi dari MG tergantung dari jenis antibodi yang ada. Antibodi subtipe IgG1 dan IgG3 mengikat reseptor nACh di postsinaptik otot, internaslisasi reseptor dan mengaktifkan sistem komplemen yang membentuk membrane attack complex (MAC). MAC menyebabkan degradasi dari reseptor, hilangnya lipatan postjunctional, menghalangi pengikatan ACh ke reseptornya secara fungsional serta meningkatkan endositosis dari nAChR yang terikat antibodi.2,3,6

Antibodi subtipe IgG4 terdapat pada pada MusK MG dan LPR4 MG. Antibodi ini mengikat kompleks protein Agrin-LRP4-MuSK di NMJ yang menyebabkan berkurangnya jumlah nAChR.

Pada akhirnya ACh yang dilepaskan tidak dapat menghasilkan potensial postsinaptik akibat berkurangnya jumlah nAChR yang menyebabkan kelemahan otot. Kelemahan tampak jelas pada penggunaan otot berulang karena menyebabkan penipisan cadangan ACh di NMJ. Kelelahan terjadi akibat berkurangnya vesikel presinaptik akibat aktivitas berkelanjutan.3,6,8

Gambar 2.4 Penyakit Dengan Gangguan Transmisi Neuromuskular3

(11)

Kebanyakan pasien dengan antibodi-positif AChR memiliki kelainan timus yang mana MG sering membaik bahkan sembuh setelah timektomi. Akibatnya timus diperkirakan sebagai sumber antigen yang mencetus MG. Presentasi antigen oleh sel timus melalui molekul kelas II major histocompatibility complex (MHC). Overekspresi cathepsin V yang merupakan salah satu enzim yang berperan untuk memutus rantai invarian pada celah antigen-presenting dari molekul MHC kelas II juga ditemukan. Produksi enzim ini meningkat pada neoplastik jaringan timus ataupun meradang yang disertai MG. Meskipun miastenia gravis tidak diketahui, ada beberapa studi juga menyatakan bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin berperan sebagai faktor yang mencetruskan maupun mempertahankan respon imun pada MG. Peran timoma dalam autoimunitas masih tidak jelas.8

2.2.5 Klasifikasi

MG bisa diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok berdasarkan antibody yang terlibat dan klinis. Setiap kelompok memberikan respon yang berbeda, begitu pula prognosisnya. MG onset dini yaitu onset kurang dari 50 tahun dengan hiperplasia timus. MG onset lambat yaitu onset lebih dari 50 tahun dengan atrofi timus. Kelompok lainnya yaitu MG terkait timoma, MG dengan antibodi anti-MuSK, MG tanpa antibodi AChR dan MuSK yang terdeteksi. MG Okular yaitu MG dengan gejala hanya otot periocular.

Klasifikasi lainnya yaitu berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America Clinical Classification sebagai berikut :4,9

Sumber refensi no.9

(12)

2.2.6 Manifestasi Klinis

Kelemahan yang berfluktuasi dan mudah lelahnya otot-otot volunter; aktivitas otot yang tidak dapat dipertahankan, serta gerakan-gerakan yang hanya kuat diawal merupakan tanda khas dari MG. Gejala akan semakin memburuk dengan aktivitas dan sore atau malam dan membaik dengan istirahat.2,12 MG terkadang disertai tumor timus, tirotoksikosis, artritis reumatoid, atau lupus eritematosus diseminata.3 Keterlibatan ocular sebagai ptosis dan diplopia merupakan gejala tersering, namun pupil tidak pernah terganggu.3Ptosis diperparah dengan melihat ke atas yang lama atau dengan mengangkat kelopak mata saat melawan jari pemeriksa (curtain sign).5

Diplopia merupakan akibat dari kelemahan asimetris beberapa otot di kedua mata. Sinar matahari yang cerah bisa memperburuk tanda-tanda okular namun dingin untuk memperbaiki gejala seperti kompres es di atas mata.4

Tabel 2.2 Gejala Pada MG3

Gejala tersering berikutnya adalah kelemahan otot bulbar termasuk otot pengunyahan, wajah, faring, dan laring yang bermanifestasi sebagai disartria atau disfagia.2,3 Otot rahang sering terlibat dan bergejala sebagai kelemahan akibat mengunyah berkepanjangan (fatigable chewing).

Kualitas bicara menjadi engau jika terdapat kelemahan otot palatal, atau mungkin menjadi intensitas rendah (hipofonik) yang sering memburuk dengan pidato yang berkepanjangan.

Regurgitasi hidung, terutama cairan, dapat terjadi akibat kelemahan palatal. Otot-otot wajah kadang sehingga wajah pasien tampak tanpa ekspresi atau kehilangan senyum akibat kelemahan otot orbicularis oris. Terutama di sore hari, berat kepala memberikan head down syndrome akibat kelemahan otot ekstensor.5

(13)

Kelemahan ekstremitas biasanya bersifat proksimal dan simetris.2 Otot-otot yang melemah pada MG hanya mengalami atrofi minimal atau tidak sama sekali. Refleks tendon jarang terganggu, bahkan ketukan berulang pada tendon tidak membebani otot. Otot polos dan jantung tidak terlibat dan fungsi saraf baik. Otot-otot yang melemah, terutama otot-otot mata dan leher belakang, mungkin terasa sakit tetapi jarang menjadi keluhan. Parestesia pada wajah, tangan, dan paha jarang dan tidak disertai dengan gangguan sensori. Lidah dapat memberikan gambaran trisula. Lidah mungkin atrofi dalam pada MG MuSK.4

Kebanyakan pasien MG bersifat umum, namun sebanyak 15% hanya terbatas pada otot mata.2 Pada MG yang bersifat umum, terdapat kesulitan dalam menahan flatus akibat kelemahan sfingter rektal eksternal.4 Jika gejala disetai kelemahan otot pernapasan disebut krisis miastenia, yang mana merupakan keadaan darurat medis.2 Krisis miastenia berbeda dari krisis kolinergik yaitu keadaan akibat pengobatan inhibitor kolinesterase yang berlebih sehingga menyebabkan peningkatan kolinergik. Selain kelemahan otot pernapasan, krisis kolinergik juga ditandai dengan adanya peningkatan sekresi bronkus, salivasi, diare, mual, muntah, dan diaforesis.4

Pada awal penyakit, gejala biasanya sementara, dengan jam, hari, atau bahkan minggu bebas dari gejala. Terdapat pula fase aktif dengan fluktuasi dan gejala paling parah yang terjadi dalam lima sampai tujuh tahun setelah onset. Kebanyakan krisis miastenia terjadi pada periode awal ini. Pada fase kedua gejala bersifat stabil tetapi bertahan. Mereka mungkin memburuk akibat infeksi, penurunan dosis pengobatan atau gangguan lainnya. Pada banyak pasien selanjutnya diikuti oleh fase ketiga, remisi mungkin terjadi dan pasien bebas dari gejala saat imunoterapi atau bahkan tanpa pengobatan.5

2.2.7 Pemeriksaan

Pada pemeriksaan neurologis dapat dijumpai ptosis dan diplopia pada pemeriksaan mata, paresis pada tangan dan kaki, disartria, dan disfagia.10 Pemeriksaan fisik lainnya bisa dilakukan untuk menghasilkan kelemahan dan keletihan. Pasien diminta untuk mempertahankan pandangan atau postur badan selama beberapa menit setelah latihan singkat atau aktivitas otot berulang. Deep tendon reflex biasanya normal, ataupun jika menurun sebanding dengan tingkat kelemahan otot.

Sensitivitas tes diagnostik tambahan tergantung pada apakah MG bersifat umum atau terbatas.

Kelemahan otot pernapasan juga bisa ada walaupun pasien yang tidak tampak sesak napas.

Akibatnya perlu dilakukan pemeriksaan fungsi paru forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan negative inspiratory force (NIF) pada setiap pasien dengan MG aktif.2

(14)

Kelemahan pada MG membaik dengan dingin, maka tes kompres es ditempatkan di atas kelopak mata ptotik selama 2 menit atau sampai batas toleransi pasien untuk menilai perbaikan.4 Tes ini didasarkan pada prinsip fisiologis bahwa transmisi neuromuskular meningkat pada suhu otot yang lebih rendah. Sensitivitas sekitar 80 persen namun nilai prediktif tes belum ditetapkan dan masih dianggap sebagai bagian dari pemeriksaan fisik dibandingkan tes diagnostik.12

Edrophonium klorida (tensilon) yang merupakan agen antiasetilkolinesterase dapat diberikan secara intravena untuk menilai peningkatan kekuatan otot.2 Obat ini tidak lagi tersedia di Amerika Serikat dan banyak negara lain. Edrophonium memiliki onset yang cepat yaitu 30 sampai 45 detik dan durasi kerja yang singkat yaitu 5 sampai 10 menit. Agen ini memperlama kehadiran asetilkolin di NMJ sehingga segera meningkatkan kekuatan otot di otot yang terkena.12 Edrophonium diberikan secara intravena dalam dosis 10 mg (1 mL), di mana 2 mg diberikan dahulu sebagai dosis uji dan dosis 2 mg lainnya setiap 60 detik hingga dosis total 10 mg.2,12 Pemberian secara perlahan salah satunya bermanfaat untuk menghindari efek samping.

Kebanyakan pasien merespon pada saat 4 atau 6 mg diberikan.12.Pada pasien MG terdapat peningkatan kekuatan otot yang lemah yang bertahan selama kurang lebih 5 menit. Alternatif dapat diberikan 1,5 mg neostigmin d secara intramuskular, dengan respons yang bertahan selama 2 jam. Atropin sulfat 0,6 mg intravena diberikan untuk melawan efek samping kolinergik muskarinik terhadap peningkatan air liur, diare, dan mual. Atropin tidak mempengaruhi fungsi kolinergik nikotinik pada NMJ.3

Penyakit jantung atau asma bronkial merupakan kontraindikasi relatif untuk tes edrophonium. Meskipun komplikasi serius bradikardia dan sinkop jarang terjadi, pemantauan jantung atau menghindari tes ini mungkin lebih baik pada orang yang lebih tua atau memiliki riwayat aritmia atau penyakit jantung.12 Sensitivitas tes edrophonium sekitar 80 hingga 90 persen, tetapi dikaitkan dengan banyak hasil negatif palsu dan positif palsu. Beberapa pasien MG dengan klinis yang jelas mungkin memiliki respon yang samar-samar atau tidak ada respon terhadap edrophonium. Di sisi lain, hasil positif tidak spesifik untuk miastenia, karena dapat juga terjadi pada penyakit neuron motorik, tumor batang otak, dan neuropati kranial kompresi.12 Pasien dengan tes AChR-Ab, MuSK-Ab, atau LRP4 positif seropositif MG (SPMG).12 Antibodi terhadap nAChR yang meningkat bersifat mengkonfirmasi diagnosis namun titer negatif tidak menyingkirkan diagnosis.6 Hampir tidak ada hasil positif palsu, positif palsu yang jarang pada titer rendah ditemukan pada sindrom miastenia Lambert-Eaton (5 persen), penyakit neuron motorik (3 sampai 5 persen), dan polimiositis. Titer AChR-Ab berkorelasi negative dengan tingkat keparahan penyakit.

(15)

Pasien dengan titer rendah atau bahkan negatif mungkin memiliki klinis yang jauh lebih parah daripada pasien dengan titer tinggi. Hiperplasia timus sering terjadi pada miastenia positif AChR-Ab dan jarang terjadi pada kelompok positif MuSK Ab. Gejala ocular seperti ptosis dan diplopia umum terjadi pada MG positif MuSK-Ab namun biasanya lebih simetris, kurang parah, dan cenderung berfluktuasi dibandingkan dengan keterlibatan okular pada MG positif AChR- Ab.12

Pada pasien dengan antibodi LRP4/agrin, gejala okular dan ringan mendominasi. Namun pada tingkat keparahan penyakit yang maksimal, pasien memiliki gejala klinis yang lebih parah daripada mereka yang tidak memiliki antibodi positif. Sebagian besar pasien membaik dengan terapi imunosupresif standar dan tampaknya tidak ada hubungan dengan patologi timus khususnya timoma.12

MG seronegatif (SNMG) adalah pasien MG dengan uji standar negatif untuk antibodi AChR dan antibodi MuSK, dan jarang antibodi LRP4. SNMG secara klinis tidak dapat dibedakan dari seropositif.2 Pasien dengan SNMG lebih mungkin hanya memiliki gejala mata daripada mereka yang seropositive dan kecenderungan memiliki hasil yang lebih baik setelah pengobatan. Hasil temuan elektrofisiologi identic dan merespon dengan cara yang mirip dengan piridostigmin, pertukaran plasma, glukokortikoid, dan terapi imunosupresif, serta timektomi dibandignkan SPMG.12

Pada MG umum, sensitivitas diagnostik repetitive nerve stimulation (RNS) sekitar 75 hingga 80 persen, sedangkan pada single-fiber electromyography (SFEMG) sekitar 95 persen.

RNS adalah tes elektrodiagnostik yang paling sering digunakan karena ketersediaannya. Saraf dirangsang secara elektrik 6 sampai 10 kali dengan kecepatan rendah yaitu 2 atau 3 Hz. Pada otot normal, tidak ada perubahan amplitudo compound muscle action potential (CMAP) dengan RNS. Pada MG terdapat penurunan progresif amplitudo CMAP dengan empat hingga lima rangsangan pertama. Tes RNS dianggap positif atau abnormal jika penurunannya lebih besar dari 10 persen.12 Stimulasi saraf berulang menggambarkan respon penurunan yang terlihat lebih sering pada otot proksimal.6 Otot distal memiliki sensitivitas diagnostik yang lebih rendah walaupun secara teknis lebih mudah. Untuk memaksimalkan sensitivitas, otot yang diuji harus hangat, dan inhibitor asetilkolinesterase harus ditahan selama 12 jam sebelum pemeriksaan.12

(16)

Gambar 2.5 RNS Pada MG13

SFEMG walaupun kurang tersedia secara luas, namun merupkan uji klinis transmisi neuromuskular yang paling sensitif dengan ditemukan gambaran peningkatan jitter.2,12 SFEMG positif pada lebih dari 90 persen pasien dengan MG umum dan 80 hingga 95 persen pada MG ocular.12 Jitter merupakan perbedaan durasi munculnya kedua potensial aksi yang secara bersamaan dari dua serat otot yang dipersarafi oleh satu neuron motorik. Jitter pada MG meningkat karena transmisi NMJ berkurang.6 Jitter abnormal tidak spesifik untuk miastenia, yang mana juga bisa ditemui pada penyakit neuron motorik, polimiositis, neuropati perifer, sindrom miastenia Lambert-Eaton, dan gangguan neuromuskular lainnya. SFEMG pada pasien yang menerima suntikan botulinum untuk migrain, distonia, atau indikasi lainnya menunjukkan hasil abnormal atau peningkatan jitter, bahkan hingga satu tahun setelah suntikkan ataupun pada otot yang jauh dari tempat suntikan.12

Gambar 2.6 Gambaran jitter pada MG14

(17)

Tes diagnostik lain yang dilakukan secara rutin untuk pasien dengan MG dapat berupa CT dada untuk mendeteksi pembesaran timus atau timoma, dan dalam kasus diagnosis yang tidak pasti MRI tengkorak dan orbitaa untuk menyingkirkan lesi kompresif dan inflamasi pada saraf kranial dan otot okular.4 MG biasanya disertai gangguan autoimun lainnya sehingga tes antibodi anti-nuklear (ANA), faktor rheumatoid (RF), dan fungsi tiroid

dasar direkomendasikan.6 Dalam kasus dengan kelainan saraf kranial multipel, pemeriksaan cairan serebrospinal untuk menilai sel abnormal dan sitologi biasanya diperlukan.12

2.2.8 Diagnosis

Diagnosis MG terutama berdasarkan klinis yang memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan untuk memastikan diagnosis dapat diperoleh dari berbagai tes.2,10

Gambar 2.7 Alur Diagnostik Miastenia Gravis

(18)

2.2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding miastenia gravis mencakup kondisi yang menyerupai miastenia okular seperti: tiroid oftalmopati, chronic progressive external ophthalmoplegia (CPEO) atau kearns sayre syndrome (KSS), myotonic dystrophy dan oculopharyngeal muscular dystrophy serta brainstem dan motor cranial nerve pathology.12 Trombosis sinus kavernosus muncul dengan gejala okular yang persisten, fotofobia, kemosis, dan sakit kepala. Biasanya onsetnya tiba-tiba tetapi bisa fulminan, dan penyebabnya bisa septik atau aseptik. Glioma batang otak adalah tumor ganas dengan gejala bulbar, kelemahan, mati rasa, masalah keseimbangan, dan kejang tergantung pada lokasi dan struktur yang terkena. Gejalanya menetap dan biasanya muncul dengan sakit kepala dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Oftalmopati Graves muncul dengan retraksi kelopak mata dan fisura palpebra yang melebar akibat autoantibodi pada struktur mata.6

Diagnosis banding lainnya yang menyerupai MG umum berupa: generalized fatigue, penyakit saraf motorik (amyotrophic lateral sclerosis[ALS]), sindrom Lambert-Eaton myasthenic, Varian The Miller Fisher and pharyngeal-cervical-brachial dari Guillain-Barré syndrome, botulisme, miastenia yang diinduksi penisilamin, sindrom kongenital miastenia.12 Sindrom Lambert-Eaton adalah kelemahan berfluktuasi yang membaik dengan olahraga, dan biasanya dengan penyakit dasar keganasan yang tersering berupa kanker paru-paru small cell.

Penyakit ini mempengaruhi saluran kalsium di membran prasinaps. Botulisme muncul dengan gejala ptosis, penglihatan ganda, dan kelainan pupil yang disertai dengan keterlibatan otot bulbar, batang tubuh, dan ekstremitas.4,6 Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi madu atau makanan yang terkontaminasi.6

Varian The Miller Fisher and pharyngeal-cervical-brachial dari Guillain-Barré syndrome pada tahap awal memiliki banyak gejala miastenia, termasuk ptosis yang mungkin responsif terhadap obat antikolinesterase. Hilangnya refleks tendon, parestesia akral, dan arefleksia, atau perkembangan ataksia pada tungkai membuat diagnosis GBS menjadi jelas ditambah dengan pengujian elektrofisiologis. Sklerosis multipel dapat muncul dengan tanda neurologis apa pun yang dapat berfluktuasi atau bertahan selama berjam-jam atau hingga berminggu-minggu akibat demielinasi pada sistem saraf pusat. Gejala dapat berupa kelemahan, defisit sensorik, masalah kognitif dan perilaku. Kelemahan mungkin unilateral atau bilateral dan biasanya disertai dengan tanda-tanda upper motor neuron seperti hiperrefleksia, spastisitas, dan babinski positif.6

(19)

Pada CPEO dan miopati lainnya termasuk keadaan miastenia kongenital, otot ekstraokular dan levator palpebra dapat rusak secara permanen dan tidak merespons neostigmin.

Jika miastenia okular yang tidak merespon obat antikolinesterase sejak awal maka diagnosis MG disingkirkan. Dilakukan pengetesan pada otot lain untuk konfirmasi diagnosis klinis dan elektromiografik dan serologis.4

Tabel 2.3 Penyakit Pada NMJ dan Otot Skletal2

Tabel 2.4 Penyakit Pada NMJ

(20)

2.2.10 Tatalaksana

Pengobatan utama MG yaitu inhibitor enzim kolinesterase dan agen imunosupresif. Jika gejala resisten terhadap pengobatan primer atau membutuhkan resolusi cepat seperti pada krisis miastenia maka plasmapheresis atau imunoglobulin intravena dapat digunakan. Pengobatan gejala dengan menggunakan Inhibitor asetilkolinesterase yang akan meningkatkan ACh pada NMJ dengan mencegah degradasi enzimatiknya. Piridostigmin bromida lebih disukai daripada neostigmin karena durasi kerjanya yang lebih lama.6 Dosis yang diberikan bervariasi tiap individu, biasanya antara 30-120 mg (rata-rata 60 mg) setiap 4 jam.3 Jika pasien intoleransi bromida yang menyebabkan efek gastrointestinal, ambenonium klorida dapat digunakan. Pasien dengan MuSK MG mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi karena responnya yang kurang baik.6

Tabel 2.5 Dosis Ekuivalen Pengobatan Asetilkolinesterase4

Pengobatan imunosupresif digunakan jika pasien masih bergejala bahkan setelah pengobatan piridostigmin. Glukokortikoid seperti prednison, prednisolon, dan metilprednisolon dan azathioprine merupakan lini pertama. Lini kedua berupa siklosporin, metotreksat, mikofenolat, siklofosfamid, dan tacrolimus. Lini kedua digunakan jika pasien tidak responsif, memiliki kontraindikasi, atau intoleransi terhadap lini pertama. Antibodi monoclonal seperti rituximab dan eculizumab juga digunakan untuk mengobati MG yang resistan, walaupun uji klinis keefektifannnya masih belum didokumentasikan.6

Imunoglobulin intravena (IVIG) atau plasmapheresis direkomendasikan untuk periode periopertif atau menstabilkan pasien sebelum tindakan operatif. Selain itu juga bisa digunakan untuk krisis miastenia karena onset kerjanya yang cepat dan digunakan pada kasus yang resisten obat imunosupresif.6Terapi lainnya seperti timektomi diindikasikan untuk MG dengan bukti timoma, non-thymomatous nAChR MG berusia 15 sampai 50 tahun dengan 1-2 tahun onset penyakit, dipertimbangkan pada usia yang lebih tua dengan kelemahan yang tidak terbatas pada otot ekstraokular, MG seronegatif non-timomatosa. Timektomi tidak direkomendasikan untuk MG MuSK non-timomatosa karena patologi timus jarang terjadi dan MG okular non-timomatosa

(21)

tanpa generalisasi sekunder. Timektomi dapat dipertimbangkan bila respon buruk terhadap obat imunosupresif.36

Pasien dengan kelemahan otot pernapasan yaitu krisis MG perlu masuk ke unit perawatan intensif, pemantauan ketat fungsi pernapasan dengan intubasi, dan ventilasi mekanis jika perlu. Plasmapheresis atau IVIG serta steroid dosis tinggi diberikan, mengingat onset kerjanya yang relatif cepat. Inhibitor kolinesterase biasanya tidak efektif pada krisis miastenia dan harus dihentikan agar tidak disalahartikan dengan krisis kolinergik.2

Gambar 2.8 Evaluasi Timektomi Pada Pasien MG15

(22)

Tabel 2.6 Terapi pada MG15

2.2.11 Komplikasi

Komplikasi miastenia gravis berupa krisis miastenia yang biasanya akibat infeksi, stres, penyakit akut atau paparan obat tertentu misalnya aminoglikosida, beta blocker, atau blocker neuromuscular.3,6 Setiap penyebab pencetus harus diidentifikasi dan diobati.3 Komplikasi pengobatan dari steroid jangka panjang seperti osteoporosis, hiperglikemia, katarak, penambahan berat badan, hipertensi, dan nekrosis avaskular pinggul. Risiko lainnya dari pengobatan steroid berupa keganasan limfoproliferatif, serta infeksi oportunistik berupa infeksi jamur sistemik, tuberkulosis, dan pneumonia Pneumocystis carinii akibat terapi imunosupresif kronis.

Krisis kolinergik muncul karena ACh berlebihan pada reseptor nikotinik dan muskarinik akibat pengobatan inhibitor kolinesterase. Gejalanya meliputi kram, lakrimasi, peningkatan air liur, kelemahan otot, fasikulasi otot, kelumpuhan, diare, dan penglihatan kabur.6 Pada krisis kolinergik kelemahan diperburuk oleh obat antikolinesterase.

(23)

2.2.12 Prognosis

Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-otot ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari pasien tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun berikutnya. Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang ditemukan. Tingkat keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien, dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien.

Gejala bisa diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya ISPA akibat virus, gangguan tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal penyakit, gejala bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan jarang yang bersifat permanen. Relapses and remissions berlangsung sekitar tujuh tahun, diikuti fase inaktif selama sekitar sepuluh tahun. Sebelum penggunaan imunomodulator, mortality rate pada miastenia gravis masih besar, yaitu sebesar 30%. Dengan adanya imunoterapi dan perkembangan alat-alat terapi intensif, resiko kematian ini dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.

Kebanyakan pasien dengan MG memiliki rentang hidup yang mendekati normal dengan modalitas pengobatan saat ini. Angka kematian sekitar 50% hingga 80% pada krisis miastenia masa lampau, namun sekarang berkurang menjadi 4,47%.6 MG dapat berakibat fatal karena komplikasi pernapasan seperti pneumonia ataupun aspirasi akibat kelemahan otot interkostal atau diafragma. Usia yang lebih tua saat timbulnya MG juga dikaitkan dengan krisis pernapasan yang fatal. Secara umum pasien dengan onset penyakit pada usia yang lebih muda bergejala lebih baik.4 Morbiditas juga biasa diakibatkan efek samping obat.6

Kematian akibat MG umum terbanyak terjadi pada tahun pertama setelah onset penyakit.

Periode bahaya dari kasus progresif adalah dari 4 hingga 7 tahun setelah onset. Setelah waktu ini MG cenderung stabil dan risiko kambuh dengan gejala parah berkurang.4 Risiko kekambuhan MG menurun jika usia onset <40 tahun, timektomi dini, dan pemberian prednisolone. Namun pasien yang disertai penyakit autoimun menunjukkan tingkat kekambuhan yang tinggi.6

(24)

BAB III KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali

Setelah diagnosis MG ditegakkan, edukasi pasien dan keluarga menjadi tujuan utama. Meskipun kebanyakan pasien dengan MG memiliki rentang hidup yang mendekati normal dengan modalitas pengobatan saat ini, efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan itu sendiri tidak boleh dilupakan. Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, miastenia gravis termasuk mudah untuk diobati dibandingkan kelainan neurologis lainnya. Anti- kolinesterase dan imunomodulator merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. . Manifestasi gejala MG bisa bertambah berat atau kambuh akibat infeksi, stres, penyakit akut atau paparan obat tertentu maka dari itu hal tersebut perlu diwaspadai oleh pasien dan keluarga.

Penatalaksanaan dapat digolongkan menjadi terapi jangka pendek yang dapat memulihkan kelemahan secara cepat dan terapi jangka panjang yang dapat mencegah terjadinya kekambuhan

(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Human Physiology. 9th Edition. USA: Cengage Learning; 2016. p. 244-6.

2. Drislane FW, Benatar M, Chang BS, Acosta J, Tarulli A, Caplan LR, Blueprints Neurology. 3rd Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2009. p. 169-72.

3. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Clinical Neurology. 10th Edition. USA:

McGraw-Hill Educations; 2018. p. 259-62.

4. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP, Prasad S. Adams and Victors’s Principles of Neurology. 11th Edition. United States: The McGraw-Hill Educations; 2019. P.1469- 73.

5. Bird SJ. Clinical Manifestations of Myasthenia Gravis. [Updated 2021 Aug 13]. In:

UpToDate. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2022 Apr.

6. Beloor SA, Asuncion RMD. Myasthenia Gravis. [Updated 2021 Nov 26]. In: StatPearls.

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559331/

7. Jowkar AA, Goldenberg WD, Shah AK. Myasthenia Gravis. [Updated 2022 Mar 7; cited 2022 May 29]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1171206- overview#a5

8. Bird SJ. Pathogensis of Myasthenia Gravis. [Updated 2022 May 9]. In: UpToDate.

Philadelphia: Wolters Kluwer; 2022 Apr.

9. Heldal AT, Eide GL, Romi F, Owe JF, Gilhus NE. Repeated Acetylcholine Receptor Antibody Concentrations and Associationto Clinical Myasthenia Gravis Development.

plos one. 2014;9(12):1-11.

10. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis Neurologi.

Jakarta: Perdossi; 2016. p. 211-12

11. Liu WW, Chen AA. Diagnosing Myasthenia Gravis with an Ice Pack. N Engl J Med.

12. 2016; 375(19):39.

13. Bird SJ. Diagnosis of Myasthenia Gravis. [Updated 2021 Feb 22]. In: UpToDate.

Philadelphia: Wolters Kluwer; 2022 Apr

14. Stalberg E, Djik HV, Falk B, Kimura J, Neuwirth C, Pitt M, et al. Standards For Quantification Of EMG And Neurography. Clinical Neurophysiology. 2019; 130(9):

1688-768

(26)

15. Sisti DJ. Myasthenia Gravis. In: Benumof J, Manecke G, editors. Clinical Anesthesiology

16. II. Cham: Springer; 2009. Available from: https://doi.org/10.1007/978- 3-030-12365- 9_21

17. Bird SJ. Overview Of The Treatment Of Myasthenia Gravis. [Updated 2022 Apr 26]. In:

UpToDate. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2022 Ap.

(27)
(28)
(29)
(30)

Gambar

Gambar 2.1 Neuron Motorik yang Mempersarafi Serat Otot 1
Gambar 2.2 Peristiwa di NMJ 1
Gambar 2.3 Blocking Autoantibodi pada Miastenia Gravis 3
Gambar 2.4 Penyakit Dengan Gangguan Transmisi Neuromuskular 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

2 Myasthenia gravis dapat menyebabkan kelemahan pada kelopak mata dan otot-otot mata pada hingga 90% kasus; setengah dari pasien tersebut menunjukkan gejala

Hasil tersebut menunjukkan bahwa penderita myasthenia gravis memiliki kemampuan regulasi emosi dalam dirinya, yaitu mampu untuk mengerti keseluruhan proses yang

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai

Hasil dari penelitian ini menunjukkan jika Group Positive Psychotherapy terbukti mampu untuk meningkatkan kualitas hidup pada diri pasien Myasthenia Gravis yang mendapatkan

Myasthenia gravis merupakan kasus yang jarang terjadi namun bila mengenai otot-otot pernapasan dapat menyebabkan gejala sesak napas dan mengancam jiwa.. Kata kunci:

Myasthenia gravis merupakan penyakit dengan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuscular dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot

The diagnosis of myasthenia gravis was made by the presentation of typical myasthenia gravis appearances, the fluctuating intensity of ocular and bulbar muscle weakness all three

Laporan referat tentang subinvolusi uteri dari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar, disusun untuk tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstetri dan