• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI HUKUM KEBIJAKAN CRIMINAL JUSTICE SYSTEM DALAM PROSES PEMIDAAAN TERHADAP ANAK PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG BERBASIS NILAI KEADILAN PANCASILA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "REKONSTRUKSI HUKUM KEBIJAKAN CRIMINAL JUSTICE SYSTEM DALAM PROSES PEMIDAAAN TERHADAP ANAK PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG BERBASIS NILAI KEADILAN PANCASILA"

Copied!
563
0
0

Teks penuh

(1)

i

REKONSTRUKSI HUKUM KEBIJAKAN CRIMINAL JUSTICE SYSTEM DALAM PROSES PEMIDAAAN TERHADAP ANAK PELAKU PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA YANG BERBASIS NILAI KEADILAN PANCASILA

DISERTASI

Untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum Pada Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang

Oleh :

GUSTIAR FRISTIANSAH NIM : PDIH. 103018000

PROGRAM DOKTOR (S3) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG

2022

(2)

ABSTRAK

iii

(3)

ABSTRAK

iv

(4)

ABSTRAK

v

Kebijakan hukum pidana merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh dan total, sehingga proses fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana dapat merupakan fundamental dalam mewujudkan kebijakan sosial, dan melahirkan kesejahteraan social dan perlindungan kepada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis : (1) prinsip kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika, (2) kelemahan-kelemahan kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika belum memenuhi nilai-nilai Pancasila, dan (3) merekonstruksi kebijakan criminal justice system terhadap proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan Pancasila.

Metode penelitian menggunakan metode yuridis empiris yang bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan paradigma konstruktivisme yaitu mengkonstruksi kembali perlindungan hukum yang semula hanya melindungi pelaku tindak pidana maka di rekonstruksi kembali yang harus dilindungi anak sebagai pelaku tindak pidana nakotika dari tindak pidana tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Prinsip restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak secara yuridis formil telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, di dalam implementasinya tentu perlu juga didukung dengan kelengkapan sarana dan prasarana serta peningkatan pemahaman terhadap aparat penegak hukum yang menangani anak, serta Pengaturan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika merupakan komponen dari perbaikan struktur Sistem Peradilan Pidana Anak dengan meletakkan upaya Diversi dalam setiap tahap proses peradilan (penyidikan, Penuntutan dan Pengadilan). (2) Kelemahan kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika, yaitu : (a) kelemahan pada tahap pemeriksaan perkara anak yang berhadapan dengan hukum di pengadilan anak (Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana berat, susah mendapatkan persetujuan korban/keluarga korban, kemampuan mediator sangat mempengaruhi keberhasilan proses restroratif justice, dan kurangnya pemahamanan masyarakat tentang proses restroratif justice serta kepercayaan terhadap petugas pelaksananya), (b) penerapan diversi hanya dapat dilakukan di penyidik, hal inilah yang membuat penuntut umum dan hakim jarang menerapkan diversi dalam tindak pidana narkotika, dan (3) Rekontruksi nilai memfokuskan pada pemenuhan hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahangunaan narkotika, dengan merekons-truksi nilai kebijakan hukum terhadap perlindungan hukum anak pelaku tindak pidana narkotik berbasis nilai Pancasila. Rekonstruksi sanski pidana Anak dalam perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang direkontuksi yaitu, Pasal 7 ayat (2), Pasal 32 ayat (3), Pasal 71, Pasal 79 ayat (1), dan Pasal 81 ayat (1).

Kata Kunci : Rekonstruksi, Anak Pelaku Tindak Pidana, Narkotika

(5)

ABSTRACT

vi

Criminal law policy is a comprehensive and total criminal law enforcement process, so that the process of functionalization/operationalization of criminal law can be fundamental in realizing social policy, and giving birth to social welfare and protection for the community. This study aims to examine and analyze: (1) the principles of the criminal justice system policy in the process of convicting children of narcotics criminals, (2) the weaknesses of the criminal justice system policy in the process of sentencing children of narcotics criminals that do not meet the values of the criminal justice system. Pancasila, and (3) reconstructing the policy of the criminal justice system towards the criminalization process of children who are perpetrators of narcotics crimes based on the values of Pancasila justice.

The research method uses empirical juridical methods starting from the provisions of laws and regulations relating to the constructivism paradigm, namely reconstructing legal protection which originally only protected perpetrators of criminal acts, then reconstructed which must be protected by children as perpetrators of narcotics crimes from these crimes.

The results of the study show that: (1) The principle of restorative justice and the diversion process as an effort to resolve criminal acts committed by children in a formal juridical manner has been clearly and firmly regulated in Law Number 11 of 2012, in its implementation, of course it must also be supported by completeness of facilities and infrastructure as well as increasing understanding of law enforcement officers who handle children, as well as regulation of diversion against child perpetrators of narcotics crimes are components of improving the structure of the Juvenile Criminal Justice System by placing diversion efforts in every stage of the judicial process (investigation, prosecution and court). (2) Weaknesses of the criminal justice system policy in the process of convicting children of narcotics criminals, namely: (a) weaknesses at the stage of examining cases of children who are dealing with the law in juvenile court (Criminal acts committed are threatened with serious crimes, it is difficult to get the victim's consent / the victim's family, the ability of the mediator greatly affects the success of the restorative justice process, and the lack of public understanding about the restorative justice process and trust in the implementing officers), (b) the application of diversion can only be carried out in investigators, this is what makes public prosecutors and judges rarely apply diversion in narcotics crimes, and (3) Value reconstruction focuses on fulfilling the rights of children as perpetrators of narcotics abuse crimes, by reconstructing the value of legal policies towards the legal protection of children who are perpetrators of narcotics crimes based on Pancasila values. Reconstruction of criminal sanctions for children in the perspective of Law Number 11 of 2012 concerning the reconstructed Child Criminal Justice System, namely, Article 7 paragraph (2), Article 32 paragraph (3), Article 71, Article 79 paragraph (1), and Article 81 paragraph (1).

Keywords: Reconstruction, Child Criminal Acts, Narcotics

(6)

KATA PENGANTAR

vii

Puji Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah Subhanahuwataalla, karena Berkat Rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul : Rekonstruksi Hukum Dalam Kebijakan Criminal Justice System Dalam Proses Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Penyalahgunaan Narkotika yang Berbasis Nilai Keadilan Pancasila. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W. Disertasi ini disusun guna memenuhi syarat penyusunan disertasi Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

Dalam penyusunan disertasi ini tidak mungkin selesai tanpa mendapat bantuan, dorongan, bimbingan dan arahan berbagai pihak, baik moril maupun material, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. H. Eko Sopoyono, SH.,MH., selaku Promotor.

2. Dr. Ujang Suratno, SH., MSi, selaku Co-Promotor.

3. Ir Prabowo Setiyawan MT PhD., selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

4. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun,S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

5. Seluruh Dosen Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Angkatan X Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang yang telah mencurahkan ilmunya.

6. Staff Akademik, dan staff lain yang tak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama mengurus segala sesuatunya.

7. Rekan-rekan Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Angkatan X Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam melancarkan penulisan Disertasi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya.

(7)

viii

Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan disertasi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat pada semua pihak dan semoga Allah SWT membalas budi baik Bapak/Ibu sekalian sehingga bantuan, bimbingan dan dorongan yang diberikan bernilai ibadah disisi-Nya. Amin ya Robbal’alamin.

Semarang, Maret 2022 Penulis,

(8)

RINGKASAN A. Latar Belakang

Criminal Justice System adalah rangkaian layanan terpadu sistem penegakan hukum di Indonesia sebagai sarana aparatur penegak hukum yang terkait dengan suatu kewenangan yang menangani berjalannya hukum pidana dalam sistem atau alat yang mengaturnya proses pemidanaan yang menganut sistem peradilan pada hakikatnya merupakan suatu penegakan subtansi hukum di bidang hukum pidana meliputi hukum pidana materil, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana.1

Penegakan hukum pidana pada kenyataannya tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan pidana yang efektif, mengingat kemung-kinan besar adanya pelaku-pelaku tindak pidana yang berada di luar kerangka proses peradilan pidana. Penerapan hukum pidana sebagai sarana penang-gulangan kejahatan yang dilakukan olah anak pada dasarnya bersifat dilematis.2 Di satu sisi, penggunaan hukum pidana sebagai sarana penang- gulangan kejahatan yang dilakukan anak dengan menempatkan anak sebagai pelaku kejahatan menimbulkan dampak negatif yang sangat kompleks, tetapi disisi lain penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan anak justru dianggap sebagai pilihan yang rasional dan legal.3 Secara konseptual, penanggulangan kejahatan dapat dilakukan baik dengan menggunakan peradilan pidana (yustisial) maupun sarana lain di luar peradilan

1Romli Atmasasmita dalam Edi Setiadi dan Kristian, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta, 2017, hlm. 26.

2Ciptono, Penerapan Tindak Pidana Narkotika terhadap Anak di Indonesia, Adil Indonesia Jurnal, Vol. 1 No. 1 Januari 2019, hlm. 10.

3Indira Hapsari, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangann indak Pidana Narkotika Pelaku Anak, Diponegoro Law Journal, Vol.5 (3), 2016, hlm.2

(9)

pidana (non yustisial). Upaya mengalihkan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak, pada dasarnya merupakan upaya untuk menyelesaikan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak ke luar jalur peradilan pidana.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 sistem peradilan anak adalah bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga hak dan martabatnya anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi Hak-hak anak (Convention on the Righth of the Child) yang mengatur prinsip-pripsip perlindungan hukum khususnya terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara konfrehensip memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga perlu membentuk undang-undang tentang sistem peradilan anak.

1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20, pasal 28B ayat 2 (2), pasal 28G, dan pasal 281 Undang-undang negara republik indonesia tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia (lembaran negara republik indonesia tahun 1999 Nomor 165, tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 3886) ;

3. Undang-undang Nomot 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109, tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 4235)

(10)

4. Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2006 Nomor 64 Tambahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)

5. Undang-undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248);

6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) merupakan warisan peninggalan penjajah Belanda masih berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah berdaulat dan merdeka sejak 17 Agustus 1945. KUHP (Wetboek van Strafrecht untuk selanjutnya disingkat W.v.S) masih berlaku di Indonesia berdasarkan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958.

KUHP (W.v.S) berasal dari dari keluarga/sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau disebut oleh Rene David sebagai “the Romano Germanic Family

atau “Civil Law System” yang menonjolkan paham “individualism, liberalism and individual rights”. Sedangkan konsepsi negara hukum Indonesia memiliki ciri dan karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia, yakni Pancasila.

Pada dasarnya kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan narkoba di Indonesia sudah sejak lama dilakukan. Diawali dengan berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl.1927No.278 jo. No.536).

Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976

(11)

tentang Narkotika. Selanjutnya undang-undang ini diganti menjadi Unadang- undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sampai dengan munculnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai pembaharuan terbaru dari undang-undang tentang Narkotika. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak hakikatnya merupakan pilihan yang bersifat dilematis. Mengingat peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak seringkali menampilkan dirinya hanya sebagai “mesin”

hukum yang hanya akan menghasilkan “keadilan prosedural” (procedural justice). Sehingga hasilnya seringkali tidak memuaskan dan jelas-jelas mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan anak.

Seseorang yang melakukan pidana terkait dengan narkoba akan berhadapan dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, termasuk anak. Anak yang terkena tindakan pidana karena menjadi pelaku penyalahguna narkoba juga akan diproses melalui peraturan perundang-undangan yang sama walaupun pada proses peradilannya berbeda dengan orang dewasa. Hal ini berkaitan perlindungan khusus yang diberikan kepada anak oleh negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada Anak, antara lain anak yang berhadapan dengan

(12)

hukum; dan korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Anak-anak yang terjerat hukum pidana diperlakukan sebagai “orang dewasa kecil”, sehingga seluruh proses perkaranya kecuali di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sama dengan perkara orang dewasa.4 Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan, sidang untuk perkara anak dilakukan secara tertutup (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) dan petugasnya (hakim dan jaksa) tidak memakai toga. Semua itu terkait dengan kepentingan fisik, mental dan sosial anak yang bersangkutan. Secara yuridis, anak yang mengedarkan psikortropika dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana psikotropika. Namun jika memandang sisi psikologi anak, kondisi anak yang demikian, anak juga dapat dinilai sebagai korban (crime without victim).

Perlakuan berbeda yang diberikan kepada anak, juga terkait usaha diversi.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), pada Pasal 7 secara garis besar dinyatakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi; dan diversi diberikan pada ancaman pidana penjara di bawah tujuh tahun serta bukan pengulangan tindak pidana. Tidak semua anak dapat diberikan diversi pada kasus narkoba yang dihadapinya, seharusnya anak- anak yang terlibat tersebut dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi, bukannya ke dalam penjara untuk direhabilitasi, karena diposisikan sebagai korban. Namun

4Bagir Manan di dalam buku Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 9.

(13)

kenyataannya, ada sekian banyak anak yang seharusnya mendapatkan rehabilitasi, tetapi justru malah di penjara.5

Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu proses penegakan hukum pidana, oleh karena itu sistem peradilan pidana berhubungan berhubungan erat sekali dengan peraturan perundang-undangan pidana itu sendiri baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Dikatakan demikian karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum in abstracto yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum pidana in concreto.

Menurut Mardjono, Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System (CJS) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan serta dapatnya membedakan pengertian antara antara Criminal Justice Proces (CJP) dengan Criminal Justice System (CJS). Criminal Justice Proses (CJP) adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangkan ke dalam proses yang membawa kepada penentuan pidana.

Sedangkan Criminal Justice System (CJS) adalah interkoneksi antara keputusan setiap instansi yang terlibat proses peradilan pidana.6

Dalam KUHP, penjatuhan dua ancaman Pidana pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada ancaman Pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. UndangUndang Pengadilan Anak Nomor 11 Tahun 2012 tidak mengikuti ketentuan pidana pada Pasal 10 KUHP sebagaimana yang telah

5Risman, Jumlah Anak di Bawah Umur yang Jadi Pengedar Narkoba Meningkat.

http://nasional.harianterbit.com/nasional/2. Diakses Tanggal 12 Juli 2020

6Mardjono dalam Aminanto, Politik Hukum Pidana Disparitas Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jember Katamedia, 2017, hlm, 16.

(14)

diuraikan pada bab sebelumnya, dan membuat sanksinya secara tersendiri, sebab Undang-Undang Pengadilan Anak adalah landasan bagi hakim dalam penerapan sanksi pidana untuk penyelesaian kasus kenakalan anak sebagai ketentuan khusus yang diterapkan terhadap anak yang berdasarkan asas lex specialis derogate legi generalis.7

Penerapan sanksi pidana bagi anak seringkali menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis baik secara yuridis, sosiologis maupun secara filosofis.Hal ini tentulah berbeda jauh dari tujuan pidana. Secara yuridis, anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dikualifikasi sebagai pelaku tindak pidana.Tetapi secara konseptual, oleh karena penyalahgunaan narkotika masuk kualifikasi sebagai crime with out victim yang berarti korban kejahatannya adalah pelaku sendiri, maka dalam hal terjadinya penyalahgunaan narkotika yang menjadi korban (kejahatan) itu adalah pelaku.

Adanya dampak-dampak negatif dari penerapan sanksi pidana menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan dengan penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara dalam kasus anak pelaku penyalahguna narkotika tidak tepat, seharusnya hakim dalam putusannya menerapkan sanksi pidana yang tepat agar anak terhindar dari dampak-dampak negatif dari penerapan sanksi pidana penjara tersebut yang dapat mempengaruhi terpenuhinya tujuan pemidanaan terhadap anak yaitu dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan tujuan menjamin perlindungan anak dalam menjalani ancaman Pidananya.8

7Ciptono, Penerapan Tindak Pidana Narkotika terhadap Anak di Indonesia. Adil Indonesia Jurnal, Volume 1 Januari 2019, hlm. 14.

8Indira Hapsari, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangann indak Pidana Narkotika Pelaku Anak, Diponegoro Law Journal,Vol.5(3) : 8. 2016.

(15)

Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak perlu diperhatikan mengenai perlidungan hukum terhadap anak. Hal tersebut diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 64. Atas dasar hal tersebut, untuk memenuhi tujuan pemidanaan hakim dalam putusannya dapat menjamin kepentingan terbaik bagi anak serta sanksi yang dijatuhkan lebih bermanfaat bagi anak dan bukan sanksi pidana yang berupa pidana penjara, maka seharusnya hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap anak penyalahguna narkotika berupa rehabili-tasi atau pengembalian terdakwa atau tersangka kepada orang tua atau wali dari anak tersebut, sebab adanya kerugian-kerugian akibat penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara. Menjatuhkan putusan terhadap anak penyalahguna narkotika berupa rehabi-litasi atau pengembalian terdakwa atau tersangka kepada orang tua atau wali dari anak tersebut, diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari pidana penjara bagi anak. Dari penjelasan diatas maka dapat kita katakan bahwa putusan hakim, yaitu berupa mengem-balikan terdakwa kepada orang tua terdakwa dengan mengingat, Pasal 127 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 24 Ayat (1) huruf a UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Pasal-Pasal dari Undang-Undang dan Peraturan lain yang bersangkutan adalah sesuai dengan tujuan Sistem Peradilan anak maupun dengan Beijing Rules) dalam rule 5.1 yaitu memajukan kesejahteraan anak dengan mengembalikan terdakwa pada orang tuanya diharapkan terdakwa dapat dibimbing menjadi lebih baik lagi dan anak dapat dibekali dengan ilmu yang lebih berguna bagi anak untuk masa depannya nanti.

(16)

Berkaitan uraian diatas, maka penulis mengambil judul disertasi dengan judul Rekonstruksi Hukum Dalam Kebijakan Criminal Justice System Dalam Proses Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Penyalahgunaan Narkotoka yang Berbasis Nilai Keadilan Pancasila.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana prinsip kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika?

2. Apakah kelemahan-kelemahan kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika belum memenuhi nilai-nilai Pancasila?

3. Bagaimana rekontruksi kebijakan criminal justice system terhadap proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan Pancasila?

C. Tujuan Penelitian Disertasi

Tujuan dari penelitian disertasi ini adalah :

1. Mengkaji dan menganalisis prinsip kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika

(17)

2. Mengkaji dan menganalisis kelemahan-kelemahan kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika belum memenuhi nilai-nilai Pancasila

3. Menganalisis dan merekonstruksi kebijakan criminal justice system terhadap proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan Pancasila

D. Manfaat Penelitian

Terdapat dua manfaat yang hendak peneliti capai melalui penelitian disertasi ini, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan menghasilkan teori baru dalam suatu keadilan hukum pidana yang terkait penyalahgunaan narkotika terhadap anak atau kalangan remaja agar dijadikan sebagai perlindungan hukum bagi hak-hak warga negara republik indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sarana atau untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum khususnya agar di jadikan bahan pertimbangan bagi aparatur penegak hukum di negara republik indonesia yang berdasarkan negara pancasila.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini dapat dijadilan alat serta pedoman sebagai berikut : a. Sebagai bahan acuan bagi instansi aparatur penegak hukum baik di

Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak serta pertimbangan hakim tunggal atau hakim anak, dalam menangani proses sistem pemidanaan

(18)

terhadap anak pelaku penyalahgunaan narkotika harus mempertim- bangkan hak-hak anak yang patut untuk dilindungi

b. Alternatif perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika atau tindak pidana lainya dengan cara melakukan rule breaking atau melakukan rekonstruksi terhadap kebijakan criminal justice system terhadap proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan Pancasila

E. Kerangka Konseptual

Kejahatan pada hakikatnya merupakan proses sosial, sehingga politik kriminal/kebijakan kriminal/criminal policy harus dilihat dalam kerangka politik sosial, yakni usaha dari kelompok masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penang- gulangan kejahatan termasuk penanggulangan penyalahgunaan narkotika, sedang mendapat sorotan tajam sekaligus menjadi topik perdebatan konseptual yang panjang. Meski perdebatan koseptual tersebut masih melahirkan pro dan kontra terhadap penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang dilakukan anak dengan menempatkan anak sebagai pelaku kejahatan menimbulkan dampak negatif yang sangat kompleks, tetapi disisi lain penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan anak

(19)

justru dianggap sebagai pilihan yang rasional dan legal.9 Secara umum tujuan pemidanaan pada hakikatnya terdiri dan upaya untuk melindungi masyarkat di satu sisi dan melindungi individu (pelaku) di sisi yang lain. Relevansi pengalihan proses dan proses yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak terhadap dua aspek pokok tujuan pemidanaan tersebut.

Pancasila sebagai ideologi nasional dapat memberikan ketentuan mendasar terhadap pembentukan sistem hukum di Indonesia, yakni :

1. Sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumbernya.

2. Sistem hukum menunjukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan.

3. Sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehidupan bangsa.

4. Sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi para warga bangsa dalam proses pembangunan. Perkembangan masyarakat perlu di arahkan, agar tidak terjerumus dalam alienasi, teknokrasi, ataupun ketergan- tungan.10

Nilai-nilai Pancasila yang diimplementasikan dalam Undang-undang hukum pidana meliputi:

a. Nilai Ketuhanan, b. Nilai Kemanusiaan

9Indira Hapsari, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangann indak Pidana Narkotika Pelaku Anak, Diponegoro, 2016 Law Journal,Vol.5(3) : 2

10Soerjanto Poespowardojo, dalam Surajiyo, Keadilan Dalam Hukum Pancasila, IKRAITH- humanira Vol 2 No 3 Bulan November 2018, hlm. 26-27

(20)

c. Nilai Persatuan

d. Nilai Kerakyatan/Demokrasi dan Permusyawaratan e. Nilai Keadilan Sosial11

Penyidikan terhadap perkara anak yang termuat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dengan syarat yang sudah ditentukan.12 Penyidikan dalam perkara Anak melibatkan peran serta dari Pembimbing Kemasyarakatan, yakni dengan diwajibkannya.

Kebijakan hukum pidana (non penal) merupakan pelaksanaan atau penerapan hukum acara pidana berdasarkan pendekatan secara kriminologi terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan sekitarnya.

1. Konsep Diversi

Konsep diversi dan restorative justice sebagai bentuk penang- gulangan kejahatan anak merupakan bentuk perlindungan terhadap hak- hak anak yang berhadapan dengan hukum.

2. Konsep Restorative Justice

Konsep restorative justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai suatu pengrusakan norma

11Muhammad Najih, dalam Herwin Sulistyowati, Rekontruksi Sanksi Pidana Kebiri terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Anak Di Indonesia Berdasarkan Nilai Pancasila, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2019, hlm. 25

12Pasal 26 ayat (3)Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

(21)

hukum.13 Menurut konsep restorative justice, penanganan kejahatan yang terjadi tidak hanya tanggung jawab negara akan tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat. Oleh karena itu konsep restorative justice dibangun berdasarkan pengertian kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan akan dipulihkan kembali, baik kerugian yang diderita oleh korban maupun kerugian yang ditanggung oleh masyarakat.

F. Kerangka Teori

1. Grand Theory/Teori Utama Teori Keadilan Pancasila

Salah satu diantara teori keadilan antara lain teori keadilan dari Plato yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai the supreme virtue of the good state (kebajikan tertinggi dari negara yang baik). Orang yang adil adalah orang yang mengendalikan diri yang perasaan hatinya dikendalikan oleh akal.

Bagi Plato keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.

Keadilan dalam prinsip-prinsip kedua dan kelima dari Pancasila sebenarnya adalah pengakuan nasional dan konsensus bahwa semua manusia pada dasarnya sama. Tidak ada perbedaan dan diskriminasi dapat dibuat atas dasar latar belakang ras, agama, seksual, sosial dan politik. Semua diskriminasi, wheter dalam bentuk implisit atau eksplisit, pada dasarnya bertentangan dengan konsep keadilan dalam Pancasila.

13Allison Morris and C. Brielle Maxwell, op.cit. hlm 3.

(22)

2. Middle Theory Teori Pemidanaan

Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut menggabungkan pandangan Utilitarian dengan pandangan Retributivist. Pandangan Utilitarians yang menyatakan bahwa tujuan pemida-naan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan.14

3. Applied Theory

Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Marc Ancel menyatakan bahwa modern crimkinal science terdiri dari tiga komponen yaitu “Criminology”, “Criminal Law” dan “penal policy”dikatakannya bahwa “Kebijakan hukum pidana atau penal policy” adalah ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis dalam merumuskan undang-undang, menerapkan undang-undang dan melaksa- nakan putusan pengadilan.15 Jadi kebijakan hukum pidana (penal policy) bukanlah sekedar teknik perundang-undangan secara yuridis normatif dan sistemik dogmatic saja namun lebih dari itu harus dlakukan dengan

14Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung, 2002.

15Barda Nawawi Aief, Bunga Rampai Kebijakan, Op.Cit, hlm.23.

(23)

Local Wisdom : UUD 1945 dan Nilai Pancasila

International wisdom : studi perbandingan di berbagai negara

Kerangga Teori

Grand Theory - Teori Keadilan

Pancasila

Middle Theory - Teori

Pemidanaan

Applied Theory - Teori Permasalahan

Penggunaan hukum pidana

penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak hanya menghasilkan keadilan procedural, sehingga hasilnya seringkali tidak memuaskan dan jelas-

Tujuan

Prinsip kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika

Kelemahan kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika belum memenuhi nilai-nilai Pancasila

rekonstruksi kebijakan criminal justice system terhadap proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika yang

berbagai pendekatan yuridis, sosiologis, historis atau berbagai disiplin ilmu sosial lainnya termasuk kriminology.

Untuk lebih jelasnya kerangka teori disertasi dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut ini.

Gambar 1.1. Kerangka Teori Disertasi

(24)

Rekonstruksi Hukum Dalam Kebijakan Criminal Justice System Dalam Proses Pemidanaan terhadap

Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Berbasis Nilai Keadilan

Rekonstruksi kebijakan criminal justice system terhadap proses pemidanaan terhadap

anak pelaku tindak pidana narkotika yang berbasis nilai keadilan Pancasila

 Grand Theory - Teori Keadilan

Pancasila

 Midle Theory - Teori

Pemidanaan

 Applied Theory - Teori Kebijakan

Hukum Pidana Kelemahan kebijakan criminal justice system

dalam proses pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika belum

memenuhi nilai-nilai Pancasila Prinsip kebijakan criminal justice system dalam proses pemidanaan terhadap anak

pelaku tindak pidana narkotika G. Kerangka Pemikiran

Kontribusi

Praktis

- Pemerintah sebagai bahan acuan Kebijakan dalam penanganan Anak pelaku tindak pidana

- Badan kajian dimasa mendatang

Teoritis Penelitian ini diharapkan menghasilkan teori baru dalam Kebijakan Criminal Justice System Dalam Proses Pemidanaan terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika Yang Berbasis Nilai Keadilan Pancasila

 Subtansi Hukum

 Struktur Hukum

 Kultur Hukum

 Lokal Wiisdom

Nilai Pancasila dan UUD 1945

 Internasional Wisdom

Studi Perbandingan di berbagai negara

(25)

H. Metode Penelitian Disertasi 1. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian16.

Dalam melakukan penelitian untuk disertasi ini, peneliti menggu-nakan paradigma rekonstruksivisme, bahwa dalam konteks hukum hubungan ideology, aturan hukum dan pemenuhan nilai-nilai social penting dalam kritik dan proyeksi terhadap hokum. Sebagaimana Unger17 bahwa rekonstruksi merupakan aktivitas transfirmatif. Hak inti tersebut yaitu hak imunitas (kekebalan) akan menjamin wilayah individual yang sangat pribadi, seperti kebebasan sipil, hak destabilitas yang dapat memberi tantangan mengembangkan hirarki yang dijamin dalam bentuk hukum yang saat ini badan public yang sangat terpisah yang ditetapkan untuk proteksi mereka, hak pasar yang menggunakan prinsip ekonomi, hak solidaritas kesetiaan pada tanggung jawab dan perbaikan tatanan akan terjadi setelah konflik dalam masyarakat.

16Guba & Lincoln, 1988, hal. 89-115

17Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Bnadung Nusa Media, 2012, hlm. 201

(26)

2. Metode Pendekatan

Dilihat dari pola penggunaan metodenya ada pendekatan norvative, pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. 18 Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hokum, konsep-konsep hokum dan asas-asas hokum relevan dengan isu yang dihadapi.

2. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Dalam penelitian ini penelti menggunakan jenis pendekatan yuridis normative dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan hukum yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggu-nakan legoslasi dan regulasi, yang menggunakan konsepsi legis positivis.

Hukum sebagai suatu sistem normative yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masnyarakat nyata.19

3. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

hal 174.

18 Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung Penerbit Mandar Maju,

19 Ronny Hantijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta, Ghalia Indonesia, hal, 13-14.

(27)

Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hokum suatu negara dengan hokum Negara lain atau hokum dari suatu waktu tertentu dengan hokum waktu yang lain.

Disamping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan yang lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat bagi penyikapan latar belakang terjadi ketentuan hokum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih.

3. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang peneliti pergunakan adalah penelitian yang bersifat komprehensif analisis yaitu menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku (hukum positif) yang kemudian dihubungkan dengan teori- teori hukum. Analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkap data atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat dan dengan seperangkat data yang lain.20 Diawali dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut sub aspek dan selanjutnya melakukan interpretasi untuk memberikan makna terhadap tiap sub aspek dan hubungannya satu sama lain. Kemudian setelah itu dilakukan analisis atau interpretasi keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara aspek yang satu dengan lainnya, dan dengan keseluruhan aspek yyang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif

20Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, Suatu Pengantar Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 13-14

(28)

sehingga memberikan gambaran hasil secara utuh. Disamping memperoleh gambaran secara utuh, adakalanya ditetapkan langkah lanjutannya dengan memperhatikan domain khusus yang menarik untuk diteliti.21

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lajimnya dinamakan data sekunder. 22

Data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel- artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut mencakup tiga bagian yaitu:23

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hokum primer adalah bahan hukum yang merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Bahan hokum primer yaitu bahan-bahan hokum yang mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yaitu:

hlm. 174

21Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung Mandar Maju, 2008,

22Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, Suatu Pengantar Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 12

23Ibid, hlm. 13

(29)

a) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

d) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika e) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

f) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

g) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

h) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai nahan hokum primer yaitu bahan hokum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hokum primer. Bahan hokum sekunder dapat berupa Buku-buku Hukum, Jurnal-jurnal Hukum, Karya Tulis Hukum atau pandangan ahli hokum yang termuat dalam media masa, internet.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelas terhadap hokum primer dan sekunder,

(30)

contohnya adalah kamus, Ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan yaitu cara untuk memperoleh data dengan mempelajari data dan menganalisa atas keseluruhan isi pustaka dengan mengkaitkan pada permasalahan yang ada. Adapun pustaka yang menjadi acuan adalah buku-buku, literatur, surat kabar, catatan atau tabel, kamus, peraturan perundangan, maupun dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan hukum ini.

b. Wawancara24

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan sajian data peneliti melakukan wawancara dengan aparat penegak hukum yang menagani terkait pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana penyalah-gunaan narkotika dan berbagai diskursus atas regulasi saat ini.

24 Menurut Amanda Coffey, interview sangat cocok untuk menggali data kualitatif khususnya untuk ilmu-ilmu sosial (termasuk hukum yang sempat dimasukkan sebagai ilmu humaniora). Ia mengatakan : “Interviewing is perhaps the most common social science research method. Interviews can generate life and oral histories, narratives, and information about current experiences and opinions”. Lihat Amanda Coffey, Reconceptualizing Social Policy: Sociological Perspective on Contemporary Social Policy, Open University Press, McGraw-Hill Education, Berkshire-England, 2004, hal.120.

(31)

6. Teknik Analisis Data

Untuk bisa menganalisis bahan hukum yang diperoleh, maka penulis harus memperhatikan dan menggunakan beberapa langkah agar dapat menemukan hasil yang tepat untuk menjawab permasalahan yang ada. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh penulis terdiri atas, (1) mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;

(2) pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum; (3) melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan; (4) menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum; dan (5) memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.

Untuk hasil dari kesimpulan, penulis menggunakan metode deduktif yaitu dengan cara mengambil kesimpulan dari pembahasan yang bersifat umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus, sehingga jawaban atas rumusan masalah yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis yang kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas.

Proses analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian. Rangkaian data yang

(32)

telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisis secara induktif kualitatif, yaitu dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh di lapangan, diuraikan dalam bentuk kalimat per kalimat dari pokok masalah yang ada dan disusun secara sistematis dan dihubungkan dengan teori-teori dan kaidah-kaidah hukum dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas masalah yang dirumuskan.

Data primer dan data sekunder yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis induktif yaitu prosesnya dimulai dari premis-premis yang berupa putusan hukum untuk menemukan hukum suatu kasus nyata. Kemudian hasil analisis dari data tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk kesimpulan yang bersifat induktif yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.

I. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Prinsip Kebijakan Criminal Justice System Dalam Proses Pemidanaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Kebijakan penanganan perkara pidana anak mengalami kemajuan dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai acuan dalam setiap penanganan perkara anak. Lebih lanjut dalam Undang-undang tersebut menempatkan Anak menjadi 3 (tiga) posisi, yakni anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi

(33)

Saksi Pelaku

Korban

Anak

Non Penal Penal

Diduga Melakukan Tindak Pidana

Ius Constitutum

Restoratif Justice Diversi

Pendekatan Kriminologi Ius Constituendum

tindak pidana. Khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan 2 (dua) model kebijakan yang dapat di jadikan acuan untuk menangani/menanggulangi yaitu dengan sara Penal maupun Non-Penal.

Penyelesaian dengan Sarana Penal berarti memberla-kukan hukum positif dan tidak menutup kemungkinan akan menciptakan suatu pembaharuan hukum di masa mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum), namun apabila diselesaikan dengan Sarana Non Penal maka akan dilakukan pendekatan secara kriminologi terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan sekitarnya.

Gambar 3.1. Skema Penanganan Perkara Pidana Anak

(34)

1. Kebijakan Penal Dalam Penanganan Perkara Pidana Anak Kebijakan hukum pidana (penal) merupakan pelaksanaan atau penerapan hukum acara pidana berdasarkan undang-undang oleh alat-alat kelengkapan negara, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pembinaan, atau yang lebih dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana.25

a. Tahap Penyidikan

Kepolisian sebagai pintu gerbang pertama dari sistem peradilan pidana anak dan pihak yang berwenang pertama kali menentukan posisi seorang anak yang berhadapan dengan hukum.

Untuk kepentingan penyidikan, polisi melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, perampasan barang dan tindakan lain sesuai dengan KUHAP. Proses penyidikan dapat duimpamakan sebagai serangkaian pintu masuk dimana tindakan evaluasi dan penilaian tertentu harus dibuat sebelum memasuki pintu tersebut.

Dalam hal penanganan masalah anak.

Penyidikan terhadap perkara anak yang termuat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dengan syarat yang sudah

25Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media group, Jakarta, 2008, hlm. 23

(35)

ditentukan.26 Penyidikan dalam perkara Anak melibatkan peran serta dari Pembimbing Kemasyarakatan, yakni dengan diwajibkannya.

Penyidik untuk meminta pertimbangan saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, Penyidik juga wajib meminta laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosiall sejak tindak pidana diajukan. Masing-masing hasil laporan tersebut wajib diserahkan oleh Balai Pemasyarakatan kepada Penyidik dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam.

Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna penyidikan paling lama 24 jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan di ruang khusus unit pelayanan Anak, dan Penyidik harus berkoordinasi dengan Penuntut Umum guna memenuhi kelengkapan berkas baik secara materiil maupun formil dalam waktu 1 x 24 jam.

b. Tahap Penahanan

Pada dasarnya penahanan baru dapat dilakukan untuk kepen-tingan pemeriksaan, akan tetapi penahanan terhadap anak harus pula memperhatikan kepentingan anak yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun social anak, dan kepentingan masyarakat. Disebutkan dalam

26Pasal 26 ayat (3)Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

(36)

Pasal 32 ayat (2) bahwa penahanan hanya dapat dilakukan dengan syarat :

1) Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan 2) Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana

penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

Penahanan yang dimaksudkan dalam pasal 32 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut tidak boleh dilakukan ketika anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

Apabila terpaksa harus melakukan tindakan penahanan maka polisi berdasarkan Pasal 1 angka 21 dan Pasal 33 ayat (4) menempatkan anak pada Lembaga penempatan Anak Sementara (LPAS). Namun apabila tidak terdapat LPAS maka penahanan dapat dilakukan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bekerja ama dengan kepolisian setempat. Hal ini menandakan bahwa adanya lembaga lembaga baru hadir dalam proses peradilan anak yang sebelumnya tidak terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Adanya lembaga-lembaga khusus yang dibentuk pemerintah untuk hadir dalam proses peradilan pidana anak menunjukkan

(37)

perhatian pemerintah akan perlindungan dan kesejah-teraan anak khususnya anak yang berhadapan dengan hukum.

c. Tahap Penunutan

Sebagaimana prinsip walfare approach dalam penanganan juvenile delinquency, jaksa penuntut umum memiliki sensitivitas terhadap pentingnya menjauhkan anak dari proses peradilan formal. Jaksa penuntut umum dapat mengabaikan atau tidak meneruskan (menghentikan) perkara anak (disposition/penetapan) ke tahap selanjutnya atau memutuskan untuk mengalihkan (diversion) sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Beijing Rules 11.1.2.3.4, 13.1.2 dan 17.1 dari proses hukum formal ke non formal dan disamping itu juga data menutup perkara demi kepentingan umum sebagaimana tertuang dalam KUHAP Pasal 14 (h) jo Pasal 14 ayat (2). Hal demikian juga sejalan dengan semangat Konvensi Hak Anak Pasal 37 (b) dan (c), Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 66 ayat (3), (4), dan (5).

Sejalan dengan itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menentukan bahwa sebelum proses penuntutan dilaksanakan, Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi selama paling lama 7 (tujuh) hari setelah berkas perkara dilimpahkan, dan mengupayakan proses diversi paling lama 30 (tiga puluh) hari. Proses diversi akan memberikan 2 (dua)

(38)

kemungkinan, apabila proses diversi berhasil mencapai kata sepakat, maka Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepaatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat surat Penetapan, namun apabila Diversi gagal maka Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perrkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Ide diversi dilandasi keyakinan bahwa proses penanganan kenakalan anak lewat sistem peradilan pidana anak justru banyak memunculkan segi negatif dari pada segi positifnya bagi perkembangan anak.27

d. Tahap Persidangan

Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau Majelis Hakim untuk menangani perkara Anak dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. Sebelum tahap persidangan dilanjutkan, Hakim wajib mengupayakan Diversi dengan ketentuan waktu yang sama seperti proses Diversi pada proses penyidikan dan penuntutan.Pemeriksaan ke tahap persidangan akan dilanjutkan apabila upaya Diversi dinyatakan gagal.

Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu siding dewasa, dengan ketentuan tertutup untuk umum kecuali pada saat pembacaan putusan, harus dilakukan dengan terbuka untuk

27Richard J. Lundman, 1993, Prevention and Control of Juvenile Delinquency, Oxford University Press, New York, hlm. 89-90

(39)

umum. Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak, sidang akan tetap dilanjutkan apabila orangtua/Wali dan/atau pembimbing tidak hadir. Sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan, setelah selesai pembacaan dakwaan Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersang-kutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain. Pemba-caan laporan ini menjadi hal yang berbeda dengan peraturan yang terdapat dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang menyatakan pembacaan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak dilakukan sebelum peridangan dimuali.

e. Pelaksanaan Hukuman

Pelaksanaan hukuman terhadap Anak (pelaku tindak pidana) menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan oleh beberapa lembaga terkait yang nantinya akan memberikan pelayanan, perawatan, pendidikan, pembinaan anak, dan pembimbinga klien anak . Lembaga-lembaga terkait tersebut yaitu:

(40)

1. Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)

Lembaga ini merupakan tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Jadi selama proses peradilan pidana anak berlangsung, (penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan), maka selama itu Anak akan menjalani masa penahanan di LPAS sampai dengan proses peradilan pidana yang dijalani Anak selesai.

2. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)

Lembaga ini merupakan lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya. Jadi, lembaga inilah yang akan menangani Anak yang telah dijatuhkan hukuman pidana yaitu pidana penjara. Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA, namun telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda, sedangkan yang telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa.

2. Kebijakan Non-Penal dalam penanganan perkara pidana anak a. Konsep Diversi

Upaya penanggulangan kejahatan secara nonpenal merupakan bentuk penangguloangan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pendangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media

(41)

masa. Konsep diversi dan restorative justice merupakan bentuk alternatif penyelesaian perkara pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep diversi dan restorative justice merupakan bentuk penyelesaian yang berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.

Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindari pelaku dari sistem peradilan formal. Deversi dilakukan untuk memberi perlindungan dan reahbilitasi (protection and rehabalitation) kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Prinsip utama diversi adalah tindakan persuasif atau pendekatan dan pemberian kesempatan kepada pelaku untuk berubah menjadi lebih baik. Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan, akan tetapi diversi dianggap sebagai cara baru dalam menegakkan keadilan dalam masyarakat.

Konsep diversi dan restorative justice merupakan pelaksanaan hak-hak asasi anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hakhak anak.

(42)

Anak-anak yang kurang beruntung yang hidup dalam kemiskinan menjadi anak jalanan, pengemis, pengamen, bahkan ada yang menjadi anak terlantar. Mereka dalam kesehariannya bergelut dengan keprihatinan bahkan sering menjadi korban kekerasan, untuk itu, orang tua, keluarga, masyarakat serta negara ikut bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anak, karena anak adalah sebagai bagian dari generasi muda yang berdaya guna untuk mem-bangun bangsa dan Negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.28

Upaya pencegahan terhadap kejahatan anak dapat dilakukan dengan (a) pencegahan perilaku tindak pidana anak tanpa pidana (b) mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai tindak pidana anak dan sanksi atas anak pelaku tindak pidana lewat media masa. Pencegahan perilaku tindak pidana anak tanpa pidana dapat dilakukan lewat perumusan kebijakan sosial anak, perencanaan penyehatan masyarakat, kebijakan kesejahteraan anak, penyelenggaraan hukum perdata dan administrasi.29

Diversi, merupakan aturan ke-11 United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules). Diversi sendiri dalam pengaturan system peradilan pidana anak. Di Indonesia belum mendapatkan

28Setyono, Napsun. Tanggung Jawab Negara dalam pengelolaan Lapas Anak Kutoarjo, Ungaran, Undaris, 2009, hlm. 27

29Sudarto, op cit., hlm. 118

(43)

pengaturan yang tegas, namun pada Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan, bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pada ayat (2), Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Konsep Restorative Justice

Restorative justice merupakan proses penyelesaian perkara pidana anak yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Konsep restorative justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran sebagai suatu pengrusakan norma hukum.30

30Allison Morris and C. Brielle Maxwell, op. cit. hlm. 3

(44)

Keadilan restoratif sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pada pembalasan. Restorative Justice merupakan suatu konsep yang pada dasarnya menyelesaikan tindakan pidana anak diluar criminal justice sistem (sistem peradilan pidana).

Beberapa prinsip tentang keadilan restoratif:

1) Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya.

2) Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif.

3) Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah, teman sebaya dan masyarakat.

4) Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah

5) Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.31

31Patrialis Akbar, “Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM RI dalam Penanganan Anak Bermasalah dengan Hukum dengan Pendekatan Restorative Justice” Disampaikan pada Workshop

(45)

Berdasarkan konvensi hak anak yang kemudian diadopsi dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ada 4 prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain:32

1. Prinsip Non Diskriminasi

Prinsip non diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkan-dung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada dalam pasal 2 KHA ayat (1), “negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada didalam wilayah hukum mereka tanpa diskri-minasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status ke pemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua walinya yang sah.” Ayat (2):

“negara-negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status,

Penanaganan Anak yang Bermasalah dengan Hukum Kemenetraian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Bogor 2010. hlm. 8

32M Nasir Djamil Op cit hlm 29

(46)

kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarganya.

2. Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak (Best Interest Of The Child)

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) KHA:

“dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.”

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlin-dungan anak bahwa pertimbangan- pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan orang dewasa apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak.

3. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, Dan Perkembangan (The Right to Life, Survival and Development)

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 6 KHA Ayat (1) :

“negara-negara pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki

Gambar

Gambar 1.1. Kerangka Teori Disertasi
Gambar 3.1. Skema Penanganan Perkara Pidana Anak
Figure 1.1. Dissertation Theory Framework
Figure 3.1. Child Criminal Case Handling Scheme

Referensi

Dokumen terkait

Praktik diversi dalam penyelesaian perkara anak sebagai upaya perlindungan anak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh Kepolisian yang diatur

Kendala-kendala yang timbul dalam mengimplementasikan sistem Restorative Justice dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan dengan pelaku anak di Polresta.

restorative justice , dapat ditemukan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi penal dengan jalan perdamaian yang menjunjung.. tinggi

Pengenaan konsep keadilan Restorative Justice bagi pelaku tindak pidana anak adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka

Secara prisipil melalui Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah mengedepankan pendekatan RJ dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana

Penyelesaian perkara anak yang terkena kasus penyalahgunaan narkotika dapat diupayakan diversi, serta bagi penyalahguna narkotika oleh anak harus dipisahkan dengan kasus pidana orang

DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE  Misalnya bagi anak pelaku tindak pidana, dalam hal ini mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya

Penerapan restorative justice terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2017/PN.Slw didasarkan pada pertimbangan yuridis yaitu