• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Penetapan Diversi Dalam Tingkat Pemeriksaan Perkara Anak Di Pengadilan Dikaitkan Dengan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Penetapan Diversi Dalam Tingkat Pemeriksaan Perkara Anak Di Pengadilan Dikaitkan Dengan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Penetapan Diversi Nomor 03/Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt dan Implementasi Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Sesuai dengan judul Bab III diatas, pada bagian pertama akan membahas mengenai Penetapan Diversi Nomor 03/Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt. Berikut dibawah ini adalah pemahaman dan penjelasan dari penetapan dan implementasi tersebut yang akan diuraikan satu per satu.

1. Penetapan Nomor 03/Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt

Sesuai dengan judul sub bab, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai temuan penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

Adapun temuan tersebut ditemukan dalam perkara nomor 03/Pid.Sus- Anak/2015/PN Slt. Dengan adanya gambaran dari putusan tersebut diharapkan dapat menjelaskan tentang penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Diversi sendiri merupakan bentuk dari restorative justice. Diversi dilakukan demi kepentingan anak untuk dijauhkan dari perkara melalui pengadilan.

Dalam Penetapan Nomor 03/Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt sendiri melibatkan anak yang berkonflik dengan hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum tersebut adalah T. T merupakan seorang perempuan yang lahir di Kota Salatiga.

Pada saat perkara ini terjadi, T merupakan siswi SMA yang berusia 17 tahun.

Perkara tersebut bermula sekitar bulan Mei sampai dengan September 2015 atau setidaknya terjadi di tahun 2015. T yang pada saat itu duduk di bangku SMA telah dilaporkan melakukan pencurian terhadap suatu barang yang terletak di Jalan Ki Penjawi Nomor 14 RT. 08 RW. 06 Kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. T sendiri merupakan siswi SMA yang pada bulan Januari 2015 menjadi pekerja di rumah makan Joglo Ki Penjawi melalui program sekolah Praktek Kerja Lapangan (PKL). Beberapa bulan berikutnya, T mendaftar sebagai pekerja paruh waktu di rumah makan Joglo Ki Penjawi. Dengan kesibukannya untuk belajar pada hari Senin sampai dengan Jumat, T tetap bekerja keras menjadi

(2)

pekerja paruh waktu pada hari Sabtu dan Minggu di rumah makan Joglo Ki Penjawi.

Setelah beberapa saat menjalani pekerjaan sebagai pekerja paruh waktu, T kedapatan melakukan tindakan tanpa sepengetahuan dan seijin pemiliknya mengambil barang milik saksi Gunawan Herdiwanto bin Sarwo Prasodjo Alm.

Sekitar bulan Mei 2015, T mengambil satu buah ransel berwarna orange serta satu buah sepatu merk City Sneaks yang terletak di meja depan kamar saksi Gunawan.

Barang tersebut diambil kemudian dimasukkan ke dalam tas milik T. Tidak berhenti disitu, pada bulan Juni 2015 T juga kedapatan mengambil satu buah kamera digital merk Canon berwarna biru serta satu buah powerbank merk Vivian yang terletak di meja dalam kamar saksi Gunawan.

Beberapa saat setelah kejadian tersebut, atau yang diperkirakan sekitar tanggal 3 September 2015, T mulai tercium aksinya. Saksi Ahmad Jawahirul M kedapatan melihat hand phone dengna merk Samsung type GTE1205T warna putih yang telah lama hilang terjatuh diantara dirinya dan T disaat mereka sedang menonton televisi. Kemudian Ahmad membawa hand phone tersebut kepada Gunawan. Gunawan yang merupakan pemilik rumah makan Joglo Ki Penjawi dimana tempat T bekerja segera mengumpulkan karyawannya untuk dimintai keterangan. Namun tidak ada satupun diantara karyawannya yang mengaku bahwa telah mengambil hand phone dengan merk Samsung type GTE1205T tersebut.

Pada tanggal 12 September 2015, Gunawan berniat untuk menyelidiki permasalahan tersebut. Gunawan bersama Risma Suci Destianti binta Suparmin dan Intan Septiana binti Andi Kurniandono mentangi rumah kontrakan T yang terletak di Sinoman RT. 04 RW. 11 Kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Sesampainua di rumah kontrakan T, mereka mendapati barang- barang miliknya yang hilang yaitu satu buah kamera digital merk Canon berwarna biru, satu buah rangsel warna orange, satu pasang sepatu merk City Sneaks berwana pink, dan satu buah power bank merk Vivan. Atas perbuatannya tersebut, Gunawan mengalami kerugian yang ditafsir seharga kurang lebih 4.050.000 Rupiah. Tindakan yang dilakukan oleh T ditetapkan sebagai tindak pidana

(3)

berdasarkan Surat Dakwaan Anak dengan Nomor Registrasi Perkara PDM- 87/Salti/Epp.I/II/2015. Perbuatan T diatur dan diancam pidana dalam Pasal 362 KUHP jo Pasal 64 (1) KUHP jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Selama perkara tersebut berjalan, tidak dilakukan penahanan terhadap T.

Gunawan dan T bersepakat untuk menyelesaikan perkara tersebut melalui diversi mengingat T masih dikategorikan sebagai anak. Pada hari Rabu, tanggal 11 November 2015, para pihak melakukan diversi di ruang Divesi Pengadilan Negeri Salatiga. Adapun Hakim Anak yang bertugas adalah Andri Sufari, S.H., M.Hum.

Melalui diversi tersebut, diperoleh kesepakatan dengan ketentuan berikut. Pasal 1 menerangkan bahwa korban dan anak sepakat untuk berdamai dan tidak meneruskan perkara ini ke proses persidangan. Pasal 2 menjelaskan bahwa korban menginginkan agar anak dimasukkan ke Balai Rehabilitasi Sosial berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Semarang agar anak mendapatkan pembimbingan dan pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun pembinaan kemandirian berupa latihan ketrampilan kerja dalam jangka waktu tertentu dan anak mendapatkan pengawasan dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Semarang selamat tiga bulan. Selanjutnya di Pasal 3 dijelaskan bahwa anak bersedia dimasukkan ke Balai Rehabilitasi Sosial Eks Penyalah Guna NAFZA Mandiri di Semarang sesuai rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Semarang selama tiga bulan untuk mendapatkan pembimbingan yang baik dan pembinaan berupa pembinaan kepribadian maupun pembinaan kemandirian seperti latihan keterampilan kerja. Selanjutnya di Pasal 4 dijelaskan bahwa anak akan ditempatkan di Balai Rehabilitasi Sosial Eks Penyalah Guna NAFZA mandiri di Semarang setelah anak mengikuti UAS (Ujian Akhir Semester) yang diselenggarakan dari tanggal 28 November 2015 sampai dengan tanggal 10 Desember 2015 di Sekolah SMK MU Banyubiru Kabupaten Semarang. Pasal 5 dijelaskan bahwa barang bukti dalam perkara ini dikembalikan kepada korban sebagai pemiliknya. Pasal 6 dijelaskan bahwa apabila kesepakatan ini tidak dipenuhi para pihak, maka proses pemeriksaan dilanjutkan dalam proses persidangan. Dalam Pasal terakhir dijelaskan bahwa kesepakatan ini dibuat oleh

(4)

para pihak tanpa adanya unsur paksaan, kekeliruan, dan penipuan dari pihak manapun.

Melalui kesepakatan diversi tersebut, Hakim Anak Andri Sufari, S.H., M.

Hum melaporkan hasil tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri Kota Salatiga.

Adapun isi ketetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Salatiga adalah sebagai berikut. 1) Mengabulkan permohonan pemohon. 2) Memerintahkan kepada para pihak untuk melaksanakan kesepakatan diversi. 3) Memerintahkan hakim untuk mengeluarkan penetapan penghentian pemeriksaan setelah kesepakatan diversi dilaksanakan sepenuhnya. 4) Menyatakan barang bukti berupa satu buah HP merk Samsung type GTE1205T warna putih, satu camera digital merk Canon Powershot type A2300, satu buah tas rangsel warna orange, satu pasang sepatu warna merah muda merk City Sneakers, dan satu buah powerbank merk Vivan yang dikembalikan kepada korban Gunawan Herdianto.

5) Memerintahkan panitera menyampaikan salinan penetapan ini kepada penyidik anak, penuntut umum, pembimbing kemasyarakatan, anak pelaku/ orang tua, dan para saksi.

Perkara yang melibatkan T sebagai anak yang berkonflik dengna hukum dan Gunawan sebagai korban tersebut tidak terjadi upaya hukum. Dengan tidak adanya upaya hukum maka Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN. Slt.

dinyatakan berkekuatan hukum tetap.

2. Hasil Wawancara dengan Hakim Anak

Peneliti melakukan wawancara dengan salah seorang hakim anak yang bernama Jefri Bimusu, S.H pada tanggal 7 Juli 2022 dan tempat wawancara dilakukan di Pengadilan Negeri Salatiga.32 Dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis, penulis mengajukan 13 (tiga belas) pertanyaan kepada hakim anak tersebut.

Jika seorang anak yang berhadapan dengan hukum tidak mendapatkan pendampingan, maka telah dijelaskan bahwa menurut Undang-Undang dan Perma, seorang anak yang berhadapan dengan hukum wajib mendapatkan pendampingan dan jika tidak mendapatkan pendampingan akan batal demi

32 Hakim Yefri Bimusu, S.H, wawancara langsung di Pengadilan Negeri Salatiga, 7 Juli 2022

(5)

hukum. Sejak anak itu diduga melakukan tindak pidana sudah harus mendapatkan pendampingan. Sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun anak wajib didampingi oleh pendamping, baik dari pekerja sosial ataupun BAPAS (Balai Pemasyarakatan).

Menurut hakim apabila dakwaan yang dijatuhkan adalah dakwaan tunggal wajib dilakukan diversi dan jika diversi itu berhasil maka penyidik akan memohonkan kepada Ketua Pengadilan untuk mengeluarkan Penetapan Diversi.

Dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan sebuah pengulangan wajib dilakukan diversi. Tidak semua perkara dapat dilakukan diversi, jika dakwaannya gabungan dan dakwaannya diatas 7 (tujuh) tahun tidak dapat dilakukan diversi.

Jika sebuah pengulangan juga tidak bisa dilakukan diversi.

Kemudian cara menghindarkan anak dari tekanan-tekanan selama proses perkara berjalan adalah sejak dilakukannya pelaporan, penempatan untuk anak sudah dibedakan dari orang dewasa atau dikhususkan, yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Jika di pengadilan ada satu ruangan yaitu ruang ramah anak dan ruang sidang anak. Ruangan ini ditujukan untuk menghindarkan anak dari tekanan-tekanan yang mungkin dialami selama proses perkara berlangsung.

Identitas anak pun harus dirahasiakan atau tidak boleh dipublikasikan.

Mengenai apa saja yang menjadi pertimbangan hakim selain daripada jenis tindak kriminalnya yaitu bahwa saat hakim menimbang putusan khususnya untuk perkara anak, hal pertama adalah kepentingan terkait untuk anak. Kepentingan yang terbaik untuk anak yaitu yang terbaik untuk anak diatas segalanya. Baik anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak korban, keduanya sama-sama haknya dipertimbangkan. Maka dari itu harus diadakan musyawarah jika melakukan diversi untuk mencari jalan terbaik bagi kedua belah pihaknya.

Kemudian menimbang dari faktor usia dan lingkungan yang dapat menjadi alasan diringankannya hukuman terhadap anak bahwa untuk hal-hal yang meringankan atau hal-hal yang memberatkan, faktor lingkungan bisa saja menjadi salah satu pertimbangan bagi penuntut umum ataupun hakim dalam membuat tuntutan/putusan. Faktor usia juga dapat menjadi pertimbangan oleh penuntut umum ataupun hakim dalam membuat putusan.

(6)

Semisal anak tersebut kemudian mendapat hukuman ditahan, di dalam lapas sudah ada pendampingan khusus anak. Sejak awal adanya dugaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus ada pembimbing kemasyarakatan, karena tugasnya bukan hanya melakukan pengawasan tapi mulai dari penelitian, pembimbingan, dan pengawasan. Mengawasi kegiatan anak selama di dalam lapas jika memang ditahan, memberikan bimbingan selama anak tersebut berada dalam masa tahanan atau dalam masa menjalani hukuman sampai anak tersebut selesai menjalani masa hukumannya dan sampai anak itu dikembalikan kepada orangtuanya.

Jika membahas mengenai sebelum diputuskannya untuk melakukan diversi harus ada persetujuan dari 2 (dua) pihak antara korban dan pelaku. Namun jika salah satu tidak menyetujuinya maka harus diupayakan. Dalam diversi harus ada kesepakatan bersama atau musyawarah bersama untuk mendapatkan persetujuan dari pihak anak pelaku dan anak korban. Jika sudah dilakukan berbagai cara dan upaya itu tidak berhasil maka diversi itu dianggap gagal. Kemudian sesuai dengan Undang-Undang, maka berkas tersebut akan dilimpahkan kepada penuntut umum dan tugasnya sama yaitu mengupayakan diversi lagi. Namun jika dari keluarga atau pihak anak korban bersikeras tidak mau melakukan diversi atau menolak diversi, maka perkara tersebut tetap lanjut ke pengadilan.

Jika kedua pihak telah menyetujui namun saat ditengah proses salah satu pihak kemudian tidak menjalankan proses sesuai dengan persetujuan maka ketika sebelum melakukan musyawarah diversi harus dibuat kesepakatan. Dalam kesepakatan juga sering kali timbul permasalahan atau ketidakseragaman antara anak pelaku dan anak korban. Agar permasalahan atau ketidakseragaman ini tidak terjadi maka Mahkamah Agung (MA) meminta hakim-hakim anak menentukan jangka waktu, jika diperlukan untuk ganti rugi tidak boleh lebih dari 3 (tiga) bulan. Hal ini bertujuan agar perkara ini tidak lanjut (ke pengadilan) dan harus selesai melalui diversi.

Membahas mengenai apabila terdapat biaya ganti rugi, dan jika pelaku tidak membayarkan biaya ganti rugi. Bahwa sejak awal dilakukan diversi sudah ada kesepakatan antara anak pelaku dan anak korban, maka keduanya harus adil

(7)

dan seimbang. Salah satu alasan mengapa orangtua atau keluarga harus terlibat dalam diversi adalah jika anak pelaku harus mengganti rugi tidak mungkin anak pelaku membayarkan sendiri.

Mengenai pendamping dari anak yang berhalangan untuk hadir dalam melakukan proses diversi. Apabila pendamping dari anak yang melakukan sidang berhalangan untuk hadir maka sidang harus ditunda. Karena mulai dari proses penyidikan sampai kasus selesai harus mendapat pendampingan. Pendampingan ini berlaku sama untuk anak pelaku maupun anak korban.

Kemudian setelah anak pelaku mendapat rehabilitasi atau hukuman namun masih tidak ada perubahan untuk menjadi lebih baik kemudian melakukan tindakan yang sama lagi atau mengulang maka tidak bisa dilakukan diversi lagi karena sudah termasuk dalam tindakan pengulangan. Kemudian jika ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun tetap tidak bisa dilakukan diversi dan harus lanjut ke persidangan formil.

Selanjutnya membahas jika salah satu barang bukti hilang atau dijual.

Dalam hal ini jika barang bukti yang diminta tidak ada (hilang/dijual) atau tidak bisa dikembalikan maka harus diganti yang serupa ataupun dengan nilai yang sama. Penggantian ini dilakukan agar anak korban yang dirugikan bisa mendapatkan haknya kembali dan sudah harus dari kesepakatan bersama.

Menurut aturan yang berlaku bahwa upaya melakukan diversi tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari. Karena perkara anak harus menentukan hari untuk persidangan. Dalam tahap pemeriksaan di pengadilan, kemudian perkara tersebut diminta hakim sudah harus membuat jadwal terhitung sejak Ketua Pengadilan menetapkan hakim. Sejak perkara tersebut harus dilakukan diversi, hakim anak harus menetapkan hari dan tanggal dimulainya musyawarah diversi. Karena proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dimulainya diversi. Jika seandainya dalam waktu tersebut tidak selesai maka akan dikeluarkan penetapan untuk perkara itu lanjut.

(8)

B. Analisis tentang Penetapan Diversi dalam Tingkat Pemeriksaan Perkara Anak di Pengadilan Dikaitkan Dengan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Penulis akan melakukan Analisa tentang penetapan diversi dalam tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan yang dikaitkan dengan asas kepentingan terbaik bagi anak. Analisa penulis akan dibagi menjadi 4 sub bab. Sub bab yang pertama akan membahas mengenai dasar hukum penerapan diversi berdasarkan asas kepentingan terbaik bagi anak. Sub bab kedua akan membahas mengenai syarat-syarat dilakukannya diversi. Sub bab ketiga akan membahas mengenai mekanisme diversi. Sub bab yang terkahir akan membahas mengenai hak-hak anak dalam diversi.

1. Dasar Hukum Penerapan Diversi Berdasarkan Asas Kepentingan Terbaik bagi Anak

Diversi berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak, adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Menurut penulis berdasarkan pengertian tersebut, pembentuk undang-undang menganggap diperlukan adanya suatu proses khusus di dalam menyelesaikan perkara anak yang berupa perkara pidana namun tidak diselesaikan dengan tahapan pengadilan pada umumnya namun dalam mekanisme lain. Hal ini dilakukan karena tindakan pidana yang dilakukan oleh anak tidak serta merta mutlak kesalahan pada anak, hal ini dikarenakan anak dianggap belum cakap untuk melakukan tindakan hukum. Hal ini merujuk pada kemampuan anak di dalam bertanggung jawab akan hak dan kewajibannya. Selain itu umur anak yang masih muda dan mempunyai masa depan yang panjang serta penjara dianggap tidak akan menyelesaikan permasalahan malah cenderung merugikan lebih banyak pihak terutama mental anak pelaku itu sendiri.

Diversi yang merupakan salah satu jenis restorative justice merupakan penyelesaian sengketa yang wajib dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Tujuan adanya diversi sendiri adalah untuk menjamin

(9)

perkembangan anak dengan menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Fokus dari diversi adalah untuk mengembalikan kondisi anak melalui program-program seperti pelatihan kerja dan lain sebagainya. Dengan begitu, hukum pidana tidak hanya digunakan sebagai ajang balas dendam seperti paham konvensional. Pidana penjara dinilai tidak dapat meluruskan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Menurut penulis, pidana penjara sebagai alat untuk mengendalikan perilaku-perilaku jahat dalam kehidupan masyarakat hanya efektif bagi mereka yang belum melakukan tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana, pidana penjara tidak menjadi solusi bagi dirinya untuk bisa merubah perilaku kejahatan tersebut.

Isu mengenai diversi sebagai bentuk resotirative justice dalam kasus anak menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena menyangkut masa depan bangsa. Pendekatan restorative justice adalah suatu pendekatan alternatif dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada rekonsiliasi, pemulihan, dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan ini memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hubungan dan kerugian yang ditimbulkan kepada korban, serta komunitas, bukan hanya sebagai pelanggaran terhadap negara atau hukum semata.

Rekonsiliasi adalah proses membangun kembali hubungan yang rusak atau terganggu antara individu, kelompok, atau entitas yang sebelumnya berselisih atau berkonflik. Tujuan utama dari rekonsiliasi adalah menciptakan perdamaian, pemulihan kepercayaan, dan pembangunan hubungan yang lebih baik di antara pihak-pihak yang terlibat.

Proses rekonsiliasi biasanya melibatkan beberapa langkah penting.

Pertama yaitu Pengakuan dan Penerimaan, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengakui dan menerima keberadaan perbedaan dan dampak negatif yang dihasilkan dari konflik tersebut. Hal ini melibatkan kemauan untuk memahami dan menghargai pandangan, pengalaman, dan emosi pihak lain. Kedua yaitu Komunikasi Terbuka dan Jujur, komunikasi yang terbuka, jujur, dan efektif adalah kunci dalam proses rekonsiliasi. Pihak-pihak yang terlibat harus berkomunikasi secara langsung, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan

(10)

berusaha memahami sudut pandang dan perasaan satu sama lain. Kemudian yang ketiga adalah Memaafkan dan Memaafkan Diri Sendiri, memaafkan adalah elemen penting dalam rekonsiliasi. Ini melibatkan kesediaan untuk melepaskan kebencian, dendam, dan ketidakadilan yang terkait dengan konflik tersebut. Selain memaafkan pihak lain, pihak yang terlibat juga perlu belajar memaafkan diri sendiri atas kesalahan atau keputusan yang dibuat selama konflik. Selanjutnya keempat yaitu Memperbaiki Kerusakan, bagian penting dari proses rekonsiliasi adalah melakukan tindakan nyata untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh konflik. Ini dapat meliputi penggantian kerugian materi, restorasi hak-hak yang hilang, atau upaya bersama dalam memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, atau politik yang mungkin telah terpengaruh. Kemudian yang terakhir Pembangunan Hubungan yang Berkelanjutan, rekonsiliasi bukanlah proses satu kali, tetapi merupakan upaya berkelanjutan untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih baik di masa depan. Pihak-pihak yang terlibat perlu bekerja sama untuk membangun saling pengertian, rasa saling percaya, dan kerjasama yang saling menguntungkan.

Rekonsiliasi bisa terjadi di berbagai tingkat, mulai dari tingkat individu hingga tingkat antarbangsa. Proses ini dapat berlangsung dalam konteks konflik pribadi, keluarga, komunitas, organisasi, atau bahkan antara negara-negara yang pernah terlibat dalam konflik bersenjata. Rekonsiliasi membutuhkan komitmen, kerjasama, dan ketekunan dari semua pihak yang terlibat, tetapi hasilnya dapat memberikan peluang untuk memulihkan dan memperkuat hubungan yang rusak serta mencegah terjadinya konflik lebih lanjut.

Pemulihan dalam konteks diversi mengacu pada upaya untuk membantu pelaku tindak pidana mengatasi perilaku kriminal mereka, mencegah pengulangan, dan memfasilitasi reintegrasi mereka ke dalam masyarakat secara positif. Tujuan utama pemulihan dalam diversi adalah menggantikan pendekatan hukuman tradisional dengan program rehabilitasi yang bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku.

Proses pemulihan dalam diversi biasanya melibatkan beberapa aspek, yang pertama yaitu evaluasi dan perencanaan, setelah pelaku memenuhi syarat untuk

(11)

diversi, mereka akan menjalani evaluasi yang melibatkan penilaian psikologis, sosial, dan kriminologis. Hasil evaluasi ini akan membantu dalam merancang rencana rehabilitasi yang sesuai dengan kebutuhan individu. Kemudian yang kedua adalah program rehabilitasi, pelaku akan ditempatkan dalam program rehabilitasi yang dirancang untuk mengatasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku kriminal mereka. Program ini dapat mencakup berbagai komponen seperti konseling individual atau kelompok, pengajaran keterampilan sosial, manajemen kemarahan, pengendalian diri, penyalahgunaan zat, dan pendidikan atau pelatihan keterampilan. Selanjutnya yang ketiga ialah pengawasan dan pendampingan, selama proses diversi, pelaku biasanya akan ditempatkan di bawah pengawasan dan pendampingan yang ketat. Ini dapat melibatkan pengawasan oleh pejabat pengawasan atau penasihat diversi yang membantu pelaku mematuhi syarat-syarat diversi dan memberikan bimbingan serta dukungan dalam perjalanan rehabilitasi mereka. Selanjutnya yang keempat yaitu restitusi atau ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, jika pelaku telah menyebabkan kerugian materi kepada korban, bagian dari proses pemulihan dalam diversi dapat melibatkan pembayaran restitusi kepada korban. Restitusi ini bertujuan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan pelaku dan memberikan pemulihan bagi korban. Kemudian yang terakhir adalah pengawasan pascadiversi, setelah pelaku menyelesaikan program diversi, pengawasan pascadiversi dapat dilakukan untuk memastikan bahwa pelaku terus mematuhi persyaratan yang ditetapkan dan melanjutkan upaya pemulihan mereka. Pengawasan ini dapat melibatkan laporan rutin, tes narkoba, atau konseling lanjutan.

Pemulihan dalam diversi didasarkan pada prinsip bahwa pelaku dapat mengubah perilaku mereka dan memiliki potensi untuk memperbaiki diri.

Pendekatan ini menekankan rehabilitasi dan reintegrasi sosial daripada hukuman yang keras. Dengan memberikan kesempatan dan sumber daya yang tepat, diversi dapat memberikan peluang bagi pelaku untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, belajar dari kesalahan, dan melanjutkan kehidupan yang lebih produktif dan tidak melibatkan tindakan kriminal.

(12)

Selanjutnya penulis ingin menjelaskan sedikit mengenai apa itu reintegrasi atau upaya penyatuan kembali dalam konteks diversi merujuk pada upaya untuk mengintegrasikan kembali pelaku tindak pidana ke dalam masyarakat setelah mereka menjalani program rehabilitasi atau sanksi yang ditetapkan dalam proses diversi. Tujuan reintegrasi adalah membantu pelaku membangun kehidupan yang produktif, memperoleh kembali kemandirian, dan menghindari perilaku kriminal di masa depan.

Proses reintegrasi dalam diversi melibatkan beberapa aspek penting.

Pertama yaitu Pemulihan Diri, reintegrasi dimulai dengan pemulihan diri pelaku.

Ini melibatkan kesadaran dan pengakuan terhadap tindakan mereka yang melanggar hukum, serta komitmen untuk berubah dan menghindari perilaku kriminal di masa depan. Pelaku diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri mereka sendiri dan membangun sikap yang positif terhadap hidup. Kedua yaitu Dukungan Komunitas, reintegrasi dalam diversi mendorong partisipasi dan dukungan komunitas. Pelaku didorong untuk terlibat dalam kegiatan komunitas yang positif dan membangun, seperti relawan, pendidikan lanjutan, atau pelatihan keterampilan. Dukungan sosial dan bantuan dari komunitas dapat membantu pelaku memperoleh kembali rasa kepercayaan dan menjalin hubungan yang sehat.

Kemudian yang ketiga yaitu Pendidikan dan Pelatihan, pelaku dalam proses reintegrasi dapat diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan mereka. Ini membantu meningkatkan prospek kerja mereka dan memberi mereka keterampilan yang diperlukan untuk menghindari kembali ke perilaku kriminal. Selanjutnya yang keempat yaitu Pekerjaan dan Pemberdayaan Ekonomi, inti dari reintegrasi adalah membantu pelaku mendapatkan pekerjaan yang layak dan berkontribusi pada ekonomi mereka sendiri. Ini dapat melibatkan pelatihan karier, pembangunan keterampilan kerja, atau bantuan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang dan kemampuan mereka. Dengan memiliki sumber penghasilan yang stabil, pelaku lebih mungkin untuk memperoleh keberhasilan dan menghindari ketergantungan pada kegiatan ilegal. Kemudian yang terakhir Pengawasan dan Dukungan Pasca-Reintegrasi, setelah pelaku berhasil melewati

(13)

tahap rehabilitasi dan reintegrasi, pengawasan dan dukungan pasca-reintegrasi dapat diberikan. Ini melibatkan pemantauan dan bimbingan yang berkelanjutan untuk membantu pelaku tetap berada pada jalur yang benar dan memastikan bahwa mereka dapat mempertahankan perubahan positif yang telah dicapai.

Reintegrasi dalam diversi bertujuan untuk mendorong perubahan perilaku yang berkelanjutan dan memfasilitasi keberhasilan pelaku dalam membangun kembali hidup yang stabil dan tidak melibatkan tindakan kriminal. Dengan memberikan dukungan, pelatihan, dan kesempatan, diversi dapat menjadi alat efektif dalam mempromosikan reintegrasi sosial yang sukses bagi pelaku tindak pidana.

Adapun beberapa kelebihan dari restorative justice, yang pertama yaitu memperhatikan kebutuhan korban, sistem peradilan pidana tradisional lebih berfokus pada kepentingan negara dan hukuman untuk pelaku, sementara restorative justice memperhatikan kebutuhan korban. Pendekatan ini memberikan

kesempatan kepada korban untuk berbicara langsung dengan pelaku dan menyatakan bagaimana tindakan kriminal tersebut mempengaruhi mereka, serta meminta pemulihan dan rekonsiliasi. Kemudian yang kedua yaitu memperbaiki hubungan antara pelaku dan korban, dalam restorative justice, pelaku diminta untuk bertanggung jawab atas tindakan kriminalnya dan memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan. Dalam banyak kasus, ini dapat membantu memperbaiki hubungan antara pelaku dan korban, sehingga mendorong rekonsiliasi dan perdamaian di antara mereka. Dan yang terakhir mengurangi tingkat kejahatan, restorative justice dapat membantu mengurangi tingkat kejahatan dengan

mendorong pelaku untuk mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas tindakannya, serta mendorong pemulihan korban. Pelaku juga dapat diberikan kesempatan untuk memperbaiki tindakannya dan menghindari perilaku kriminal di masa depan.

Namun tidak hanya memiliki kelebihan, restorative justice juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang pertama tidak cocok untuk semua kasus, restorative justice mungkin tidak cocok untuk semua kasus kejahatan. Ada kasus- kasus di mana korban mungkin tidak ingin atau tidak mampu berbicara langsung

(14)

dengan pelaku, atau di mana kejahatan terlalu serius untuk diatasi melalui pendekatan restorative justice. Selanjutnya memerlukan kerjasama dari semua pihak, restorative justice memerlukan kerjasama dari semua pihak, termasuk pelaku, korban, dan masyarakat. Jika salah satu pihak tidak bersedia untuk berpartisipasi atau tidak dapat menyelesaikan konflik, maka pendekatan ini tidak akan berhasil. Kemudian yang terakhir tidak menggantikan sistem peradilan pidana tradisional, restorative justice bukanlah pengganti sistem peradilan pidana tradisional, tetapi pendekatan alternatif yang dapat digunakan dalam beberapa kasus. Oleh karena itu, restorative justice harus digunakan secara selektif dan tepat sasaran.

Secara keseluruhan, restorative justice adalah pendekatan yang menarik dalam sistem peradilan pidana, karena memperhatikan kebutuhan korban dan memperbaiki hubungan antara pelaku dan korban. Namun, restorative justice harus diterapkan dengan hati-hati dan secara selektif untuk memastikan efektifitas kegunaannya.

Melalui penulisan ini, penulis berharap aparat penegak hukum dapat menerapkan diversi bagi anak yang berhadapan dengan permasalahan hukum.

Dengan begitu, diharapkan anak sebagai generasi penerus bangsa tetap terjamin selama masa perkembangannya. Kemudian hal penting dalam melakukan penetapan diversi adalah asas kepentingan terbaik bagi anak karena asas tersebut menjadi pertimbangan utama yang dapat mempengaruhi keberhasilan diversi tersebut. Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan mengenai kepentingan terbaik bagi anak dalam penetapan diversi.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pendekatan holistik di atas adalah pendekatan secara menyeluruh. Pendekatan holistik adalah suatu pendekatan yang melibatkan pemahaman dan perlakuan terhadap suatu masalah atau individu secara menyeluruh, mengintegrasikan berbagai aspek yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Pendekatan ini mengakui bahwa segala sesuatu dalam kehidupan memiliki keterkaitan dan bahwa pemahaman yang komprehensif dan penanganan yang efektif memerlukan pertimbangan terhadap aspek-aspek yang berbeda dan hubungan antara mereka.

(15)

Dalam konteks pendekatan holistik terhadap individu, pendekatan ini memandang individu sebagai entitas yang kompleks dengan berbagai dimensi seperti fisik, emosional, mental, sosial, dan spiritual. Pendekatan holistik berusaha untuk memahami individu dalam keseluruhan aspek kehidupannya, bukan hanya sebagian atau gejala-symptomatis saja. Hal ini melibatkan mempertimbangkan pengaruh saling mempengaruhi dari faktor-faktor ini dan mencari keseimbangan dan kesejahteraan yang komprehensif.

Pendekatan holistik juga mengakui bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dan konteks sosialnya. Hal ini berarti mempertimbangkan faktor- faktor seperti keluarga, budaya, nilai-nilai sosial, lingkungan fisik, dan sistem sosial yang mempengaruhi individu dalam pemahaman dan perlakuan.

Pendekatan ini mengakui bahwa masalah atau tantangan yang dihadapi individu seringkali merupakan hasil dari berbagai faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, dan oleh karena itu memerlukan pendekatan yang holistik untuk mencapai solusi yang efektif. Dalam praktiknya, pendekatan holistik melibatkan mengumpulkan informasi dan melihat individu atau masalah secara menyeluruh, mempertimbangkan aspek fisik, emosional, mental, sosial, dan spiritual. Hal ini dapat melibatkan kerjasama antara berbagai profesional kesehatan dan bidang terkait, serta penggunaan berbagai teknik dan metode yang sesuai dengan masing-masing aspek.

Pendekatan holistik juga mengedepankan pemahaman bahwa individu adalah lebih dari sekadar bagian-bagian komponennya. Individualitas dan keseluruhan individu perlu dihargai dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan perlakuan. Pendekatan ini juga mencakup pemahaman bahwa perubahan atau perbaikan dalam satu aspek kehidupan seseorang dapat berdampak pada aspek-aspek lainnya, dan oleh karena itu diperlukan pengintegrasian dan kesinambungan dalam pemahaman dan tindakan. Secara keseluruhan, pendekatan holistik menawarkan cara yang komprehensif dan terintegrasi untuk memahami dan mengatasi masalah atau tantangan yang dihadapi individu, dengan mengakui keterkaitan dan kompleksitas kehidupan manusia. Pendekatan ini mendorong

(16)

pemahaman yang lebih menyeluruh, pengobatan yang komprehensif, dan

pelayanan yang holistik untuk mencapai keseimbangan dan kesejahteraan.

Penulis berpendapat isu mengenai penerapan diversi dalam sistem peradilan anak di Indonesia perlu untuk ditulis sebagai karya ilmiah diperlukan.

Anak sebagai penerus generasi bangsa perlu dijamin perkembangannya sehingga dapat menjadi generasi penerus yang berkualitas sehingga dapat memajukan bangsa dikemudian hari. Salah satu bentuk perlindungan terhadap perkembangan anak adalah tercapainya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi anak.

Tidak hanya anak sebagai korban suatu tindak pidana, namun juga anak sebagai pelaku tindak pidana. Anak sebagai pelaku tindak pidana memperlukan penangan khusus yang berfokus pada perilaku menyimpang yang dilakukan anak tersebut.

Menurut UU SPPA, batasan usia anak yang berkonflik dengan hukum sendiri adalah yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Di usia tersebut, anak dinilai belum memiliki kemampuan untuk berfikir secara rasional. Maka dari itu, penerapan hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana perlu dilakukan penanganan secara khusus. Di dalam sistem hukum Indonesia, dikenal adanya restorative justice. Dengan adanya restorative justice, penyelesaian perkara dapat dilakukan secara alternatif tanpa melalui pengadilan.

Melihat usia anak yang berhadapan dengan hukum dalam Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah terpenuhi pada bagian ketentuan mengenai usia anak, yaitu telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun.

Diversi sendiri merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Melihat penyelesaian permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum telah dilakukan diversi dalam upaya penyelesaian. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi pengalihan penyelesaian suatu perkara mengenai anak yang berhadapan dengan hukum yang mulanya melalui proses peradilan formal menjadi peradilan informal dalam wujud diversi. Dengan adanya diversi, perkara-perkara anak dapat diselesaikan di luar jalur peradilan formal. Diterapkannya diversi pada perkara

(17)

anak yang berhadapan dengan hukum, maka dapat dikatakan bahwa keadilan bagi anak telah terpenuhi dengan berdasarkan kepentingan bagi anak. Hal ini juga sejalan dengan semangat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip- prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup yang menghargai dan tumbuh berkembang. Hadirnya perangkat peraturan tersebut telah merumuskan perlindungan terhadap hak-hak anak.

Analisis tentang penetapan diversi dalam tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan dapat melibatkan beberapa aspek. Aspek yang pertama yaitu prinsip kepentingan terbaik anak. Penulis berpendapat bahwa dengan diterapkannya diversi maka pengadilan telah menyelesaiakan perkara tersebut dengan berprinsip pada kepentingan terbaik bagi anak. Hal tersebut juga dirasa semakin adil karena isi penetapan menetapkan untuk anak ditempatkan di Balai Rehabilitasi Sosial Eks Penyalah Guna NAFZA Mandiri di Semarang untuk mengikuti rehabilitasi sosial.

Aspek yang kedua adalah efektivitas dan kemanfaatan dalam pelaksanaan diversi. Aspek yang kedua ini telah jelas terlihat dengan ditempatkannya anak yang berhadapan dengan hukum ke dalam Balai Rehabilitasi Sosial Eks Penyalah Guna NAFZA Mandiri di Semarang. Dengan begitu program diversi berhasil memberikan peluang nyata bagi anak untuk mereformasi perilaku mereka, mendapatkan akses ke layanan rehabilitasi yang diperlukan, dan mendapatkan dukungan yang memadai dari keluarga dan komunitas. Aspek berikutnya adalah kesetaraan dan keadilan. Keputusan diversi tidak boleh didasarkan pada faktor- faktor yang tidak adil, seperti ras, agama, atau status sosial ekonomi. Dalam hal ini, anak yang berhadapan dengan hukum telah mendapatkan haknya untuk mendapatkan diversi.

Aspek yang keempat adalah keberlanjutan dan reintegrasi sosial. Program diversi harus didesain untuk memberikan dukungan jangka panjang kepada anak setelah mereka menjalani program tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam isi Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt, yang menetapkan bahwa

(18)

anak yang berhadapan dengan hukum diberikan rehabilitasi sosial. Dengan begitu, penetapan tersebut telah mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan reintegrasi sosial. Aspek yang terakhir adalah evaluasi dan pemantauan. Aspek ini telah dapat ditemukan dalam Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt. hal tersebut dapat dilihat dalam wujud ditempatkannya anak yang berhadapan dengan hukum dalam balai rehabilitasi. Dengan begitu, balai rehabilitasi tersebut dapat melakukan upaya pemantauan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang telah dilakukan diversi.

Dari acuan yang digunakan sebagai parameter untuk melaksanakan proses diversi dalam Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt sudah mengandung dan sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang SPPA. Pertama, yaitu kepentingan korban, dari penetapan tersebut hakim telah memperhatikan kepentingan korban dengan mengabulkan permohonan untuk melaksanakan diversi dan korban memperoleh kembali barang-barang miliknya. Kedua, kesejahteraan dan tanggung jawab anak. Dalam penetepan tersebut Anak yang Berhadapan dengan Hukum juga memperoleh kesejahteraannya sebagai seorang siswa tetap dapat belajar seperti biasa dan tanggungjawabnya yang bersedia untuk dimasukkan ke Balai Rehabilitasi Eks Penyalah Guna NAFZA Mandiri di Semarang dan mengembalikan barang-barang yang telah diambil. Kemudian yang ketiga, penghindaran stigma negatif. Dalam hal ini penegak hukum tanggung jawab dan pengamatan kepada masyarakat untuk memperhatikan ketaatan pada kesepakatan atau peringatan yang diberikan kepada Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Selanjutnya, penghindaran pembalasan. Hal ini berkaitan dengan tujuan dilakukannya diversi, yaitu agar pelaku tidak melakukan pembalasan.

Dengan melakukan musyawarah diversi diharapkan agar para pihak yang terkait dapat mencari jalan tengah yang adil dan menghindarkan ancaman pembalasan yang mungkin terjadi. Selanjutnya yang kelima, keharmonisan masyarakat.

Masyarakat memiliki pengaruh yang cukup besar bagi tumbuh kembang anak, oleh karena itu kepada Anak yang Berhadapan dengan Hukum harus mendapatkan pengawasan dari masyarakat agar dapat memperbaiki perilaku yang menyimpang.

Kemudian yang terakhir, kapatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam

(19)

penetapan tersebut hakim telah memperhatikan dan mempertimbangkan nilai ini dengan memberikan hukuman rehabilitasi untuk mendapatkan pembimbingan yang baik serta pembinaan. Dilakukannya rehabilitasi kepada anak adalah untuk memberikan pengaruh baik bagi pelaku dan juga masyarakat. Dengan tidak memberikan hukuman penjara kepada anak karena usianya yang masih tergolong sebagai anak, yaitu telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua bekas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 2 PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sesuai dengan penetapan yang telah dikeluarkan, hakim harus memperhatikan pemenuhan hak anak. Dalam hal ini pemenuhan hak anak yang dimaksud adalah anak tetap mendapatkan haknya untuk menuntut ilmu dan mengikuti UAS (Ujian Akhir Sekolah) sebelum menjalani hukuman yang telah ditetapkan. Anak juga mendapatkan haknya dengan dilakukannya diversi dan bukan proses persidangan secara formal. Kemudian anak juga mendapatkan haknya dengan mendapatkan pembimbingan dan pembinaan agar kedepannya tidak lagi melakukan tindakan yang menyimpang atau melanggar hukum.

2. Mekanisme Diversi

Pembahasan berikut berisi analisis tentang penerapan diversi dalam sistem peradilan anak di Indonesia. Penetapan diversi dalam tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan adalah suatu langkah yang diambil untuk mengalihkan anak dari proses peradilan yang formal ke jalur alternatif yang lebih mengedepankan pendekatan rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Diversi bertujuan untuk menghindarkan anak dari stigmatisasi dan label sebagai pelaku kejahatan, serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki perilaku dan mengembangkan potensi mereka.

Namun demikian, penetapan diversi dalam tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan juga memiliki beberapa risiko dan kelemahan. Risiko yang mungkin terjadi adalah kurangnya kepastian hukum, tidak adanya pengawasan yang memadai, serta potensi munculnya perbedaan penanganan perkara antara

(20)

satu pengadilan dengan pengadilan lainnya. Selain itu, kelemahan dari diversi adalah adanya kemungkinan anak yang melakukan tindak pidana tidak memperoleh hukuman yang sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukannya.

Dalam hal ini, penting bagi pengadilan untuk mempertimbangkan dengan matang kapan dan bagaimana diversi dapat diterapkan dalam pemeriksaan perkara anak. Penerapan diversi harus didasarkan pada pertimbangan yang matang terhadap kepentingan anak, serta dengan memastikan bahwa keputusan diversi tersebut tidak merugikan kepentingan masyarakat dan keadilan. Oleh karena itu, pengadilan harus memastikan bahwa proses diversi dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel, serta dengan memperhatikan hak-hak korban dan kepentingan masyarakat dalam penanganan perkara. Penetapan diversi dalam tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan merupakan salah satu upaya untuk menghindari atau meminimalkan penggunaan proses peradilan formal terhadap anak yang terlibat dalam pelanggaran hukum. Diversi bertujuan untuk menggantikan sanksi pidana dengan program rehabilitasi dan pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak.

Analisis mengenai penetapan diversi dalam tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan dapat melibatkan beberapa faktor dan pertimbangan, pertama yaitu Prinsip Kedaulatan Hukum, dalam menentukan apakah diversi dapat diterapkan, prinsip kedaulatan hukum harus menjadi panduan. Pengadilan harus memastikan bahwa penggunaan diversi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan kepentingan terbaik anak. Selanjutnya yang kedua yaitu Tujuan Sistem Peradilan Anak, sistem peradilan anak memiliki tujuan yang berbeda dengan sistem peradilan untuk orang dewasa. Tujuan utama adalah perlindungan, pemulihan, dan reintegrasi sosial anak yang terlibat dalam pelanggaran hukum.

Penetapan diversi sejalan dengan tujuan tersebut karena memberikan kesempatan bagi anak untuk mengubah perilaku dan membimbing mereka menuju jalur yang positif. Kemudian yang ketiga yaitu Faktor Usia dan Kematangan Anak, faktor usia dan kematangan anak harus diperhatikan dalam memutuskan apakah diversi dapat diterapkan. Anak yang lebih muda cenderung memiliki tingkat kematangan yang lebih rendah dan mungkin memerlukan pendekatan rehabilitasi yang berbeda

(21)

daripada anak yang lebih tua. Selanjutnya yang keempat yaitu Tingkat Keterlibatan dalam Pelanggaran Hukum, tingkat keterlibatan anak dalam pelanggaran hukum juga dapat mempengaruhi pertimbangan diversi. Jika anak terlibat dalam pelanggaran serius atau berulang, pengadilan mungkin menganggap diversi tidak cukup efektif dan memilih untuk menggunakan proses peradilan formal. Kelima, Ketersediaan Program Diversi yang Efektif, keberhasilan diversi sangat tergantung pada ketersediaan program rehabilitasi dan pendidikan yang efektif. Pengadilan harus memastikan bahwa program-program ini tersedia dan dapat membantu anak dalam mengubah perilaku dan mengatasi faktor yang menyebabkan pelanggaran hukum. Dan yang terakhir yaitu Pertimbangan Keamanan Masyarakat, meskipun diversi bertujuan untuk memberikan kesempatan kedua bagi anak, keamanan masyarakat tetap menjadi pertimbangan utama. Jika anak dianggap membahayakan masyarakat, pengadilan mungkin memilih untuk menggunakan proses peradilan formal untuk melindungi kepentingan publik.

Dalam melakukan analisis terhadap penetapan diversi dalam tingkat pemeriksaan perkara anak di pengadilan, diperlukan keseimbangan antara perlindungan hak anak, kepentingan terbaik anak, dan keamanan masyarakat.

Pendekatan yang holistik dan berbasis pada pengetahuan dan praktik terbaik dalam sistem peradilan anak sangat penting.

Di dalam perkara yang melibatkan T sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, penulis berpendapat bahwa majelis hakim telah menerapkan hukum dengan berdasarkan keadilan. T telah melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur di dalam Pasal 362 KUHP telah ditangani secara benar dengan diberlakukannya diversi. Pada saat kejadian tersebut terjadi, T sendiri masih berusia 17 tahun sehingga dikategorikan sebagai anak. Hal tersebut sesuai dengan tujuan atau cita-cita pemidanaan yaitu bukan sebagai alat untuk balas dendam terhadap perbuatan pelaku tindak pidana, melainkan sebagai alat untuk mengembalikan perilaku yang salah.

Melalui Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt, penulis dapat menyimpulkan bahwa das sollen dan das sein telah seimbang dan

(22)

dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengaturan das sollen yang diinginkan, diharapkan, dicita- citakan, dan apa yang harus ada nantinya telah sesuai dengan Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt sebagai das sein.

3. Hak-Hak Anak dalam Diversi

Anak dijamin hak-haknya untuk hidup dan berkembang sesuai dengan kemampuannya dan harus dilindungi. Semangat awal diversi sendiri untuk menghindari penyelesaian masalah melalui pengadilan formal. Hal tersebut bertujuan supaya hak-hak anak tetap terjaga. Dalam Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus-Anak/2015/PN Slt dapat ditemukan bahwa hak-hak anak telah terpenuhi. Hakim anak sebagai fasilitator telah mempertimbangkan anak untuk menjalani rehabilitasi yang diharapkan dapat merubah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam perkara anak. Hakim menjatuhkan pidana atau tindakan dimaksudkan untuk memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibawa hukum. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran, keadilan dan kesejahteraan Anak. Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya juga untuk melakukan koreksi, rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan potensi masa depannya.

Berdasarkan tujuan pemidanaan terhadap anak tersebut, penulis berpendapat bahwa diversi dalam Penetapan Nomor 03/Pen.Pid.Sus- Anak/2015/PN Slt telah dilakukan dengan berdasarkan landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Hak-hak korban juga telah terpenuhi karena terjadi pengembalian kerugian yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Sedangkan anak yang berhadapan dengan hukum sendiri telah diberikan

rehabilitasi untuk dapat memperbaiki perilakunya.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep Penegakan Hukum Pidana Terhadap Anak Yang Terjerat Perkara Pidana Melalui Diversi Diversi merupakan proses diskresi yang dilakukan komponen sistem peradilan pidana

Keywords Lekra, priyayi, persecution, postcolonial, third space, subalternization INTERROGATING INDONESIAN NEW ORDER’S NARRATIVE OF GESTAPU The Leftist Nobles and the Indonesian