• Tidak ada hasil yang ditemukan

RPJP TN Gunung Merapi Periode 2015-2024 (1)

N/A
N/A
Lia

Academic year: 2024

Membagikan "RPJP TN Gunung Merapi Periode 2015-2024 (1)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

HALAMAN SAMPUL

RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

PERIODE 2015 - 2024 REVISI PARSIAL II TAHUN 2021

BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

Jl. Kaliurang Km. 22,6 Banteng, Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI. Yogyakarta 55582 Telepon : (0274) 4478664 Fax : (0274) 4478665

(3)
(4)

PETA SITUASI

(5)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam, dan Taman Wisata Alam Pada Kelompok Hutan Gunung Merapi Seluas + 6.410 Ha (Enam Ribu Empat Ratus Sepuluh) Hektar Yang Terletak di Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menjadi Taman Nasional Gunung Merapi memberikan mandat pengelolaan Taman Nasional (TN) Gunung Merapi adalah untuk perlindungan sumber air, habitat flora dan fauna yang dilindungi, serta memiliki potensi wisata alam dan budaya yang menarik. Selain itu, SK Menhut tersebut juga memerintahkan pengelola TN Gunung Merapi mengelola sumber daya sesuai kaidah-kaidah kelestarian untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam perkembangannya, aktivitas gunung api Merapi yang sangat aktif mempengaruhi pengelolaan TN Gunung Merapi dalam melaksanakan mandat pengelolaan tersebut.

Sumber daya air sangat dipengaruhi oleh kondisi bentang lahan kawasan yang saat ini masih dalam tahap pemulihan setelah erupsi tahun 2010 untuk mencapai kondisi mendekati model ekosistem reference. Oleh karena itu, pada tahun ke-10 pemulihan daerah tangkapan air (di daerah hulu) ditargetkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari area terdegradasi untuk keperluan pemenuhan air untuk kemaslahatan masyarakat. Laporan TN Gunung Merapi tahun 2018 telah mengidentifikasi 43 (empat puluh tiga) sumber air dalam kawasan TN Gunung Merapi. Sebanyak 23 (dua puluh tiga) sumber air sudah ditetapkan menjadi Areal Pemanfaatan Air. Sampai dengan tahun 2024, diharapkan pelayanan sebagian legalitas pemanfaatan air untuk kemaslahatan masyarakat tercapai dan terbangunnya partisipasi pemanfaat ijin usaha pemanfaat air terhadap kegiatan pengelolaan TN Gunung Merapi.

Potensi flora dan fauna di kawasan TN Gunung Merapi sebagian telah teridentifikasi dan terinventarisasi. Terdapat 6 (enam) jenis flora yang menjadi target peningkatan populasi dan sebaran sebesar 50% (lima puluh persen) yaitu:

Sarangan (Castanopsis argentea), Tesek (Dodonaea viscosa), Puspa (Schima wallichii), Sowo (Engelhardia spicata), Dadap (Erythrina lithosperma), dan Pasang (Lithocarpus sp). Peningkatan jenis anggrek teridentifikasi seperti Anggrek Vanda Tricolor sebesar 30% (tiga puluh persen) dan peningkatan identifikasi tumbuhan obat sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari potensi tahun 2018. Statistik TN Gunung Merapi (2019) menyebutkan bahwa jumlah Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di kawasan TN Gunung Merapi sejumlah 7 ekor dan telah bertambah sebanyak 1 ekor dari data tahun 2015. Peningkatan ini setara dari target minimal 10%

(6)

sehingga capaian ini diharapkan dapat dipertahankan atau meningkat sampai dengan tahun 2024.

Kementerian LHK menargetkan kunjungan wisata TN Gunung Merapi adalah 220.000 wisatawan/tahun sampai dengan tahun 2019. Tahun 2018 dan 2019 target ini tidak tercapai karena ditutupnya Jalur Pendakian TN Gunung Merapi sejak Mei 2018 sampai dengan saat ini (2021) setelah peningkatan Status aktivitas Gunung Merapi menjadi Waspada/level II (tahun 2018-2020) dan meningkat menjadi Status Siaga/level III (tahun 2020-2021). Penurunan jumlah pengunjung juga dipengaruhi oleh penutupan dan pembatasan Obyek Wisata Alam di TN Gunung Merapi karena pandemi Covid 19. Upaya peningkatan jumlah kunjungan dilakukan dengan pengembangan atraksi wisata alam misalnya Pembuatan Jalur soft tracking. Upaya ini dibarengi dengan tersusunnya kajian daya dukung dan daya tampung kawasan. Hasil penilaian METT TN Gunung Merapi pada tahun 2015 nilai METT TN Gunung Merapi adalah 65% dan diharapkan pada akhir periode rencana pengelolaan dapat meningkat menjadi 75%. Penilaian pada tahun 2019 sebesar 71,28%.

Dengan mempertimbangkan potensi, permasalahan, isu strategis, kebijakan pemerintah Provinsi dan Kabupaten, visi dan misi serta tujuan pengelolaan kawasan TN Gunung Merapi dirumuskan sebagai berikut :

Visi :

Menjadi Taman Nasional Yang Mantap Dalam Mengelola Ekosistem Volcano Yang Dinamis Berbasis Partisipasi Para Pihak”

Misi :

1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan berbasis prinsip tata kelola hutan yang baik dan pengelolaan di tingkat tapak

2. Merestorasi ekosistem vulkano yang dinamis dan mitigasi bencana vulkanik 3. Meningkatkan partisipasi para pihak dalam pengelolaan TN Gunung Merapi Tujuan :

a. Pelestarian fungsi sumberdaya air kawasan TN Gunung Merapi b. Pelestarian flora dan fauna asli merapi

c. Optimalisasi pemanfaatan potensi ekosistem volcano d. Penguatan kelembagaan dan dukungan manajemen

Pada tahun 2021, TN Gunung Merapi melakukan revisi zonasi dikarenakan ada perubahan kebijakan, kondisi terkini aspek ekologi, pendetailan kondisi sosiokultural, dan aktivitas vulkanik Gunung Merapi. Hasil revisi zonasi menyebutkan perubahan zona pengelolaan seluas adalah 620,33 hektar (9,39%).

Hal ini menyebabkan perubahan arahan prioritas pengelolaan yaitu :

a. Zona Inti berubah 11,60 hektar (0,18%), dari semula 1.041,12 hektar menjadi 1.052,72 hektar. Perubahan tersebut berupa perubahan areal Hutan Larangan di wilayah Resort PTN Selo menjadi zona inti. Arahan pengelolaan adalah perlindungan dan pengamanan seluruh wilayah zona inti dan

(7)

eksplorasi keanekaragaman hayati areal Gunung Bibi dan areal Hutan Larangan sebagai ekosistem referensi.

b. Zona Rimba berubah 230,63 hektar (3,49%), dari semula 2.980,18 hektar menjadi 3.210,80 hektar. Perubahan tersebut berupa koreksi aktivitas perumputan di hampir seluruh resort sebagai koreksi keberadaan zona tradisional. Arahan pengelolaan adalah untuk buffer (penyangga) zona inti, eksplorasi keaneragaman hayati dan bioprospeksi.

c. Zona Pemanfaatan berubah 20,25 hektar (0,31%), dari semula 461,73 hektar menjadi 481,98 hektar. Perubahan tersebut bertujuan mengakomodir aktivitas wisata alam masyarakat desa penyangga dan keberadaan sumber air. Arahan pengelolaan zona pemanfaatan adalah percepatan ijin pemanfaatan jasa wisata dan akses sumber daya air oleh masyarakat setempat sekaligus penguatan modal sosial organisasi masyarakat sebagai pengelolaan. Arahan ini dimaksudkan untuk memenuhi amanah TN Gunung Merapi yaitu pengelolaan sumber daya untuk kemaslahatan masyarakat.

d. Zona Tradisional berubah 207,37 hektar (3,14%), dari semula 1.504,62 hektar menjadi 1.297,25 hektar. Perubahan tersebut berupa koreksi hasil pemetaan bersama masyarakat pemanfaat sumber daya rumput. Arahan pengelolaan adalah percepatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) kemitraan konservasi dan penguatan modal sosial organisasi pengelola. Kemitraan konservasi juga dimaksudkan sebagai resolusi konflik pemanfaatan sumber daya TN Gunung Merapi. Arahan ini dimaksudkan untuk memenuhi amanah TN Gunung Merapi yaitu pengelolaan sumber daya untuk kemaslahatan masyarakat.

e. Zona Rehabilitasi berubah 100,87 hektar (1,53%), dari semula 418,42 hektar menjadi 317,55 hektar. Perubahan tersebut berupa perubahan kondisi tutupan menjadi hutan sekunder. Arahan pengelolaan adalah pemulihan ekosistem prioritas dengan mengoptimalkan partisipasi stakeholder.

f. Zona Religi, Budaya dan Sejarah berubah 1,93 hektar (0,03%), dari semula 11,57 hektar menjadi 9,64 hektar. Perubahan tersebut berupa perubahan jalur Religi ke Maqom (Petilasan) Syeh Jumadil Kubro untuk zona pemanfaatan. Arahan pengelolaan adalah mengoptimalkan pengelolaan zona religi sebagai pemantik kegiatan wisata alam terbatas berbasis masyarakat.

g. Zona khusus berubah 47,69 hektar (0,72%), dari semula 189,88 hektar menjadi 237,57 hektar dengan rincian sebagai berikut :

1) zona khusus I seluas 224,89 hektar (penambahan alur sungai untuk mitigasi dan rekonstruksi di Sungai Senowo, Sungai Bebeng, Sungai Krasak, dan Sungai Boyong);

(8)

2) zona khusus II seluas kurang lebih 2,68 hektar (penambahan berupa keberadaan alat mitigasi BPPTKG yang sebagian besar terletak di sekitar puncak Gunung Merapi dan sekitarnya)

3) zona khusus III seluas 10 ha (keberadaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus di wilayah Resort PTN Pakem Turi,

Arahan pengelolaan adalah: zona khusus I adalah mengoptimalkan pengelolaan sungai untuk aktivitas mitigasi bencana dan inisiasi wisata alam; Zona khusus II adalah sinergi pengelolaan Balai TN Gunung Merapi dan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG); dan zona khusus III adalah sinergi pengelolaan Balai TN Gunung Merapi dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Kehutanan (BBPPBPTH).

(9)

KATA PENGANTAR

Pengelolaan TN merupakan upaya sistematis yang dilakukan untuk mengelola kawasan melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian. Kegiatan perencanaan merupakan tahap pertama dan menjadi prakondisi dalam penyelenggaraan/ pengelolaan TN, meliputi inventarisasi potensi kawasan, penataan kawasan, dan penyusunan rencana pengelolaan. Rencana pengelolaan (RP) merupakan dokumen utama dalam pengelolaan TN, dan sebagai acuan perencanaa dimana perencanaan lainnya harus mengacu pada rencana tersebut. Rencana pengelolaan bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan, efisiensi pemanfaatan sumber daya, akuntabilitas bagi pengelola, dan estimasi keterlibatan publik dalam pengelolaan.

Balai TN Gunung Merapi telah memiliki dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) Periode Tahun 2015 – 2024, yang disusun berdasarkan Zonasi TN Gunung Merapi Tahun 2012 dan berpedoman pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan telah ditetapkan berdasarkan SK Direktur Jenderal KSDAE Nomor: SK.41/IV- Set/2015 tanggal 12 Februari 2015. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.35/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2016 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pengelolaan pada KSA dan KPA Pasal 21, disebutkan bahwa RPJP dievaluasi paling sedikit 5 (lima) tahun sekali oleh Unit Pengelola. Selanjutnya, dalam kondisi tertentu, antara lain b encana alam, perubahan luas, perubahan zona atau blok, dan perubahan kondisi kawasan, evaluasi RPJP dapat dilaksanakan kurang dari 5 (lima) tahun. Adanya kenaikan status aktivitas Merapi dari semula Waspada (Level II) sejak menjadi Siaga (Level III) sejak tanggal 20 November 2020 dan Revisi Zona Pengelolaan TN Gunung Merapi tahun 2021 mendasari dilakukannya Revisi kedua RPJP ini. Revisi RPJP TN Gunung Merapi periode 2015 - 2024 ini merupakan tindak lanjut dari adanya revisi Zonasi Pengelolaan TN Gunung Merapi, sesuai dengan SK Direktur Jenderal KSDAE Nomor: 100/

KSDAE/SET.3/KSA.0/6/2021, tanggal 2 Juni 2021 tentang Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

(10)

Harapan kami, semoga Revisi Parsial II RPJP TN Gunung Merapi Periode 2015 – 2024 ini dapat menjadi pedoman dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi TN Gunung Merapi ke depan.

Sleman, Juni 2021 Plt. Kepala Balai,

Muhammad Wahyudi, S.P., M.Sc.

NIP. 19730922 199903 1 003

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... I LEMBAR PENGESAHAN ... II PETA SITUASI ... III RINGKASAN EKSEKUTIF ... IV KATA PENGANTAR ... VIII DAFTAR ISI ... X DAFTAR TABEL ... XII DAFTAR GAMBAR ... XIII DAFTAR LAMPIRAN ... XIV

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Informasi Umum ... 1

1.1.1 Kelembagaan ... 1

1.1.2 Luas, Letak, dan Lokasi ... 2

1.1.3 Sejarah Kawasan ... 4

1.1.4 Aksesibilitas ... 6

1.1.5 Topografi ... 7

1.1.6 Geologi dan Tanah ... 9

1.1.7 Hidrologi ... 12

1.1.8 Iklim ... 14

1.1.9 Tipe ekosistem ... 15

1.1.10 Potensi Flora ... 16

1.1.11 Potensi Fauna ... 24

1.1.12 Tutupan Vegetasi ... 27

1.1.13 Kondisi Sosial Budaya, Ekonomi dan Lingkungan Masyarakat ... 27

1.2 Kondisi Saat Ini ... 33

1.2.1 Kondisi Nilai Penting sumber air bagi masyarakat di sekitarnya ... 34

1.2.2 Kondisi Nilai Penting Habitat flora dan fauna dilindungi ... 37

1.2.3 Potensi wisata alam dan budaya yang menarik. ... 45

1.3 Isu Strategis ... 49

1.4 Kondisi Yang Diinginkan ... 51

1.4.1 Pelestarian fungsi sumberdaya air kawasan TN Gunung Merapi .... 51

1.4.2 Pelestarian flora dan fauna asli merapi ... 52

1.4.3 Optimalisasi pemanfaatan potensi ekosistem volcano ... 52

1.4.4 Penguatan kelembagaan dan dukungan manajemen ... 52

II. VISI MISI DAN TUJUAN PENGELOLAAN ... 54

2.1 Visi Pengelolaan TN Gunung Merapi ... 54

2.2 Misi Pengelolaan TN Gunung Merapi ... 55

2.3. Tujuan Pengelolaan TN Gunung Merapi ... 55

III. ZONA PENGELOLAAN TN GUNUNG MERAPI ... 56

3.1 Zona Inti ... 57

3.2 Zona Rimba ... 59

3.3 Zona Pemanfaatan ... 61

3.4 Zona Rehabilitasi ... 64

3.5 Zona Tradisional ... 65

3.6 Zona Khusus Mitigasi dan Rekonstruksi ... 66

3.7 Zona Religi, Budaya dan Sejarah ... 70

(12)

IV. STRATEGI DAN RENCANA AKSI ... 70 V. PEMANTAUAN, EVALUASI, DAN PELAPORAN ... 87 LAMPIRAN ... 91

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 . Desa di Daerah Penyangga TN Gunung Merapi ... 3

Tabel 2 . Sejarah Kawasan ... 5

Tabel 3 . Aksesibilitas menuju kawasan TN Gunung Merapi ... 6

Tabel 4 . Komposisi 5 jenis utama pada daerah terdampaka ... 16

Tabel 5 . Komposisi 5 jenis utama hutan tidak terdampaka ... 17

Tabel 6 . Perbandingan struktur tegakan pada setiap tipe ekosistem ... 19

Tabel 7 . Perbandingan indeks keragaman dan kemerataan tiap tipe ekosistem 21 Tabel 8 . Satwa yang berhasil tertangkap oleh kamera trap pada lokasi 20 grid 25 Tabel 9 . Klasifikasi tutupan lahan di TN Gunung Merapi ... 27

Tabel 10 . Total nilai manfaat langsung sumber daya TN Gunung Merapi ... 31

Tabel 11 . Tipologi nilai manfaat langsung pada tiga kawasan di TNGM ... 32

Tabel 12 . Perbandingan Debit Sumber Mata Air Tahun 2011 dan 2015 ... 34

Tabel 13 . Ijin Pemanfaatan Air Non Komersial Oleh Kelompok Masyarakat ... 37

Tabel 14 . Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon 5 (lima) Besar Tahun 2011 ... 38

Tabel 15 . INP Tingkat Pohon 5 (lima) Besar pada Hutan Primer Tahun 2017 ... 38

Tabel 16 . INP Tingkat Pohon 5 (lima) Besar pada Hutan Campur Tahun 2017 . 39 Tabel 17 . INP Tingkat Pohon 5 (lima) Besar pada Hutan Pinus Tahun 2017 ... 39

Tabel 18 . Perbandingan INP tingkat pohon zona tropik subzona bukit ... 41

Tabel 19 . Perbandingan INP tingkat pohon pada zona sub pegunungan ... 41

Tabel 20 . Perbandingan INP tingkat pohon pada zona pegunungan ... 41

Tabel 21 . INP tingkat pohon dan tiang pada zona subalpine ... 42

Tabel 22 . Daftar Jenis Burung Dengan Status Perlindungan & Keterancaman . 42 Tabel 23 . Data Bulanan Kunjungan Wisatawan Nusantara ... 46

Tabel 24 . Data Kunjungan Bulanan Wisatawan Mancanegara ... 48

Tabel 25 . Analisis Faktor Strategis Internal dan Eksternal (IFAS-EFAS) Pengelolaan TN Gunung Merapi ... 70

Tabel 26 . Strategi dan Rencana Aksi ... 73

Tabel 27 . Evaluasi RPJP lima tahun terakhir ... 90

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 . Administrasi TN Gunung Merapi ... 3

Gambar 2 . Peta Kelas Kelerengan TN Gunung Merapi ... 8

Gambar 3 . Peta Jenis Tanah TN Gunung Merapi ... 10

Gambar 4 . Peta Geologi TN Gunung Merapi ... 11

Gambar 5 . Peta Wilayah DAS TN Gunung Merapi ... 12

Gambar 6 . Peta Sumber Mata Air di TN Gunung Merapi ... 14

Gambar 7 . Peta Curah Hujan di TN Gunung Merapi ... 15

Gambar 8 . Perbandingan Struktur Tegakan pada 7 tipe Ekosistem ... 20

Gambar 9 . (a) Macaca fascicularis (b) sarang Sus scrofa ... 26

Gambar 10 . Perbandingan Debit Maksimal ... 35

Gambar 11 . Perbandingan Debit Minimal ... 36

Gambar 12 . INP Tingkat Pohon Survey Tahun 2011 ... 38

Gambar 13 . INP Tingkat Pohon Pada Hutan Primer Tahun 2017 ... 39

Gambar 14 . INP Tingkat Pohon Pada Hutan Campur Tahun 2017 ... 39

Gambar 15 . INP Tingkat Pohon Pada Hutan Pinus Tahun 2017 ... 40

Gambar 16 . Peta Kerusakan Kawasan ... 43

Gambar 17 . Peta Rencana Pemulihan Ekosistem ... 44

Gambar 18 . Grafik Kunjungan Wisatawan Nusantara ... 45

Gambar 19 . Grafik Kunjungan Bulanan Wisatawan Nusantara ... 47

Gambar 20 . Grafik Kunjungan Bulanan Wisatawan Mancanegara ... 47

Gambar 21 . Wilayah kepundan Kawah Merapi dan sekitarnya ... 58

Gambar 22 . Kondisi hutan di Gunung Bibi dan Hutan Larangan ... 59

Gambar 23 . Lokasi zona khusus di dalam Kawasan TN Gunung Merapi ... 68

Gambar 24 . Alat pemantauan kegunung apian ... 69

Gambar 25 . Model Analisis Matriks SPACE Pengelolaan Kawasan TNGM ... 72

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 . SK Penunjukaan TN Gunung Merapi ... 91

Lampiran 2 . Peta Penunjukan TN Gunung Merapi ... 94

Lampiran 3 . Berita Acara Konsultasi Publik Review RPTNGM Thn 2015-2024 . 95 Lampiran 4 . Rekomendasi BAPPEDA DI Yogyakarta ... 97

Lampiran 5 . Rekomendasi BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah ... 98

Lampiran 6 . Peta batas RPTN di TN Gunung Merapi ... 99

Lampiran 7 . Peta batas SPTN Wilayah I dan II ... 100

Lampiran 8 . Peta Sebaran Mata Air ... 101

Lampiran 9 . Peta Wisata di TN Gunung Merapi ... 102

Lampiran 10 . Peta Sebaran Elang Jawa ... 103

Lampiran 11 . Peta Sebaran Lutung Jawa ... 104

Lampiran 12 . Peta Sebaran Sarangan ... 105

Lampiran 13 . Peta Sebaran Nepenthes di TN Gunung Merapi ... 106

Lampiran 14 . Peta Sebaran Anggrek ... 107

Lampiran 15 . Peta Zonasi TN Gunung Merapi ... 108

Lampiran 16 . Peta Tutupan Lahan di TN Gunung Merapi ... 109

Lampiran 17 . Peta Kebakaran di TN Gunung Merapi ... 110

Lampiran 18 . Peta Illegal Loging ... 111

Lampiran 19 . Peta Prakiraan bahaya erupsi 5 November 2020 ... 112

Lampiran 20 . Peta Erupsi Januari 2021 ... 113

Lampiran 21 . Peta Desa Penyangga Sekitar TN Gunung Merapi ... 114

Lampiran 22 . Peta Sarana Prasarana TN Gunung Merapi ... 115

Lampiran 23 . Peta Sarana Prasarana dari luar TN Gunung Merapi ... 116

Lampiran 24 . Peta Daerah Aliran Sungai sekitar TN Gunung Merapi ... 117

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Informasi Umum 1.1.1 Kelembagaan

Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Gunung Merapi (Balai TN Gunung Merapi) mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.07/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Dalam peraturan tersebut Balai TN Gunung Merapi merupakan Balai Taman Nasional Tipe B yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya didukung oleh perangkat organisasi sebagai berikut :

a. Kepala Balai (Eselon IIIa)

b. Sub Bagian Tata Usaha (Eselon IVa)

c. Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Magelang (Eselon IVa) d. Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Boyolali (Eselon IVa) e. Kelompok Jabatan Fungsional

Sedangkan dalam pelaksanaan tugasnya di tingkat tapak didukung oleh 7 (tujuh) Resort Pengelolaan Taman Nasional meliputi : Resort PTN Cangkringan, Resort PTN Pakem-Turi, Resort PTN Srumbung, dan Resort PTN Dukun (SPTN Wilayah I Magelang), Resort PTN Selo, Resort PTN Musuk-Cepogo, dan Resort PTN Kemalang (SPTN Wilayah II Boyolali).

Tugas pokok taman nasional adalah “melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, serta menyelenggarakan fungsi :

a. Inventarisasi potensi, penataan kawasan dan penyusunan rencana pengelolaan.

b. Perlindungan dan pengamanan kawasan.

c. Pengendalian dampak kerusakan sumber daya alam hayati.

d. Pengendalian kebakaran hutan.

e. Pengembangan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan non komersial.

f. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar beserta habitatnya serta sumberdaya genetik dan pengetahuan tradisional di dalam kawasan.

g. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan.

(17)

h. Evaluasi kesesuaian fungsi, pemulihan ekosistem dan penutupan kawasan.

i. Penyediaan dana dan informasi, promosi dan pemasaran konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya.

j. Pengembangan kerjasama dan kemitraan bidang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya.

k. Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya.

l. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan, dan m. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga serta kehumasan.

Dalam pelaksanaan tugasnya Balai TN Gunung Merapi didukung oleh sumberdaya manusia sejumlah 96 orang terdiri dari 4 orang pejabat struktural, 19 orang Polhut, 15 orang PEH, 6 orang Penyuluh Kehutanan, 1 orang pengada barang dan jasa, dan 22 orang fungsional umum, serta 29 orang PPNPN. Balai TN Gunung Merapi mendapat dukungan sarana prasarana mulai dari bangunan kantor, pondok jaga, fasilitas wisata, kendaraan dinas roda 4 dan 2, peralatan dan perlengkapan lapangan. Adapun alamat kantor Balai TN Gunung Merapi di Jalan Kaliurang Km. 22,6 Hargobinangun, Pakem, Sleman.

1.1.2 Luas, Letak, dan Lokasi

Lokasi TN Gunung Merapi secara geografis terletak antara 7°30’48” LS - 7°36’33” LS dan 110°21’17” BT – 110°19’17” BT, sedangkan secara administratif kawasan TN Gunung Merapi terletak di 2 (dua) Provinsi dan 4 Kabupaten, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman) dan Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten).

Taman Nasional Gunung Merapi ditunjuk sebagai kawasan taman nasional oleh Menteri Kehutanan melalui keputusan Nomor SK.134/Menhut- II/2004 tanggal 4 Mei 2004 seluas + 6.410 ha dan ditetapkan kemudian melalui keputusan Nomor SK. 3627/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 6 Mei 2014 dengan luas + 6.607,52 h. Terdapat selisih angka antara luas penetapan dengan penunjukan TN Gunung Merapi seluas + 197,52 ha. Perbedaan tersebut lebih pada koreksi/ perbaikan pemetaan di atas kertas, sedangkan kondisi batas kawasan di lapangan tidak berubah.

(18)

Gambar 1. Administrasi TN Gunung Merapi

Tabel 1. Desa di Daerah Penyangga TN Gunung Merapi

No Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa

(1) (2) (3) (4) (5)

1. DI. Yogyakarta Sleman Cangkringan Glagaharjo Kepuharjo Umbulharjo

Pakem Hargobinangun

Purwobinangun

Turi Wonokerto

Girikerto 2. Jawa Tengah Magelang Srumbung Kaliurang

Kemiren Ngablak Ngargosoka Tegalrandu

Dukun Ngargomulyo

Keningar Krinjing Paten

Boyolali Selo Tlogolele

Klakah Jrakah

(19)

No Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa

(1) (2) (3) (4) (5)

Lencoh Samiran Suroteleng

Cepogo Wonodoyo

Musuk Cluntang

Mriyan Sangup

Klaten Kemalang Tegalmulyo

Sidorejo Balerante

1.1.3 Sejarah Kawasan

Sebelum menjadi kawasan taman nasional, hutan kawasan Gunung Merapi merupakan gabungan dari beberapa fungsi kawasan hutan diantaranya hutan lindung, cagar alam, dan taman wisata alam. Penunjukan kawasan hutan gunung Merapi menggabungkan fungsi-fungsi kawasan tersebut dalam satu fungsi sebagai TN Gunung Merapi.

(20)

Tabel 2. Sejarah Kawasan

No Tahun Uraian Keterangan

(1) (2) (3) (4)

1. 2004 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam, dan Taman Wisata Alam di Kawasan Hutan Gunung Merapi seluas + 6.410 Ha menjadi Taman Nasional Gunung Merapi melalui SK.134/MENHUT-II/2004 tanggal 4 Mei 2004.

Tata batas dilakukan kemudian.

2. 2007 § Rekonstruksi batas kawasan wilayah Kabupaten Sleman, DIY sepanjang 7.281,70 meter dengan pal batas sejumlah 82 buah.

§ Rekonstruksi batas kawasan wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah sepanjang 17.000,03 meter dengan pal batas sejumlah 258 buah.

Di wilayah Kabupaten Sleman : 65 buah pal batas rusak dan diganti, sedangkan 17 masih baik.

3. 2009 § Tata batas definitif TNGM wilayah Kec. Cangkringan dan Pakem, Kab.

Sleman, DIY sepanjang 11.403,70 meter dengan pal batas sejumlah 202 buah.

§ Tata batas definitif TNGM wilayah Kec. Srumbung dan Dukun, Kab.

Magelang, Jawa Tengah sepanjang 35.559,34 meter dengan pal batas sejumlah 416 buah.

§ Tata batas definitif TNGM wilayah Kec. Kemalang, Kab. Boyolali, Jawa Tengah sepanjang 7.281,90 meter dengan pal batas sejumlah 153 buah.

Mengacu pada hasil rekonstruksi batas kawasan tahun 2007 dan tata batas definitif tahun 2009 oleh BPKH XI Yogyakarta-Madura, menggunakan GIS terhitung luas kawasan TNGM + 6.145,47Ha.

4. 2011 Pencermatan ulang batas kawasan TNGM oleh Subdit Pengukuhan Kawasan, Ditjen Planologi, BPKH Wilayah XI Jawa – Madura dan Balai TNGM menghasilkan luas kawasan TNGM seluas + 6.629,16 Ha. Terdapat selisih dengan hasil rekonstruksi dan tata batas seluas + 483,69 Ha.

Telah dilakukan ground check terhadap hasil pencermatan

tersebut dan hasilnya memperkuat

argumentasi luas hasil pencermatan.

5. 2014 § Setelah erupsi 2010 banyak laporan pal yang hilang dan rusak. BPKH Wilayah XI Jawa – Madura melakukan rekonstruksi batas untuk wilayah Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, dan sebagian Kabupaten Boyolali.

§ Memperhatikan hasil rekonstruksi dan pengukuran tata batas kawasan TNGM dari tahun 2007 s/d 2014 maka

Terdapat selisih angka antara luas penetapan dengan penunjukan TNGM seluas + 197,52 Ha.

Perbedaan tersebut lebih pada koreksi/

perbaikan pemetaan diatas kertas, sedangkan kondisi

(21)

No Tahun Uraian Keterangan

(1) (2) (3) (4)

TNGM ditetapkan melalui SK Penetapan Nomor SK.3627/Menhut- VII/KUH/2014 tanggal 6 Mei 2014 seluas + 6.607,52 Ha.

batas kawasan di lapangan tidak berubah.

1.1.4 Aksesibilitas

Akses menuju kawasan cukup baik dan dapat dijangkau dari berbagai arah dengan kondisi jalan yang sangat memadai. Jangkauan dari 4 kabupaten dan dua provinsi yaitu kota Yogyakarta (DIY), Kab. Magelang, Boyolali, dan Klaten Provinsi Jawa Tengah terinci pada tabel berikut:

Tabel 3. Aksesibilitas menuju kawasan TN Gunung Merapi Plawangan (Tlogo Muncar & Nirmolo)/

dusun Kaliurang Timur, Kaliurang Barat Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Turgo/ Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

± 30 km dari kota Yogyakarta, ± 15 km dari Salam (Magelang), jalan beraspal baik (hotmix), bisa dilalui mobil/ sepeda motor.

Kantor Desa Hargobinangun ± 22 km dari kota Yogyakarta, 15 km dari Sleman, 5 km dari Kec. Pakem. Sarana transportasi umum tersedia dari terminal Condong Catur, Jogja sampai Tlogo Muncar (terminal Kaliurang), sedangkan ke Tlogo Nirmolo naik ojek.

± 35 km dari kota Yogyakarta, ± 17 km atau 30 menit dari ibukota Kab.Sleman, jalan beraspal baik (hotmix), bisa dilalui mobil/ sepeda motor. Kantor Desa Purwobinangun ± 17 km dari kota Yogyakarta, 10 km dari Sleman, 4 km dari Kec. Pakem. Sarana transportasi umum tersedia dari terminal Condong Catur-terminal Pakem, dilanjutkan minibus ke Turgo (dusun Ngepring) pada hari pasaran Legi dan Pon, dilanjutkan naik ojek. Jalur menuju Turgo bisa lewat Kec. Pakem ataupun Kec. Turi.

Deles Indah, Desa Sidorejo & Jalur Pendakian Sapuangin, Desa Tegalmulyo, Klaten, Jawa Tengah

Jalur Pendakian Selo, Dusun Plalangan, Desa Lencoh, Selo, Jawa Tengah

(22)

± 40 km dari kota Yogyakarta, ± 25 km Kota Klaten, ± 10 km atau 30 menit dari Kec. Kemalang. Jalan Klaten-Kemalang cukup baik, sedikit berlubang karena akses truk pasir juga. Kemalang-Deles jalan agak rusak. Deles-Sapuangin lk. 2 km (15 menit), jalan sudah berbahan semen. Sarana transportasi umum sangat jarang, ada saat hari pasaran dari kecamatan menuju dukuh Kaliwuluh, Desa Sidorejo (3 km dari Deles), selain itu naik ojek atau carter kendaraan.

± 60 km dari kota Yogyakarta, ± 40 km dari Magelang, ± 25 km dari Boyolali, ± 8 km dari Kec. Selo. Jalan menuju Selo cukup bagus, aspal dan berkelok (jalur Solo-Selo-Borobudur sejak 2002). Desa Lencoh ± 3 km dari Kec.Selo dan hanya 1 km dari Desa Samiran. Kondisi jalan aspal ± 1,2 km selebar 3 m menanjak dari Joglo I dekat resort Selo menuju basecamp dan New Selo (Joglo II). Joglo II-gerbang TN berupa jalan setapak selebar 1,5 m (300 m berbahan semen, 630 m jalan tanah). Angkutan umum dari Boyolali jarang dan hanya siang hari, sering berhenti di Pasar Musuk.

Maksimal pemberhentian di pohon beringin (dekat Joglo I), selanjutnya bisa naik ojek/ jalan kaki menuju basecamp/

New Selo.

Obyek Wisata Kalikuning, Cangkringan,

Sleman Obyek Wisata Jurang Jero, Srumbung,

Magelang

± 30 km dari kota Yogyakarta, ± 25 km dari Salam (Magelang), jalan beraspal baik (hotmix), bisa dilalui mobil/ sepeda motor.

Kantor Desa Umbulharjo ± 26 km dari kota Yogyakarta, 19 km dari Sleman, 9 km dari Kec. Pakem. Sarana transportasi umum tersedia dari terminal Condong Catur, Jogja sampai terminal Pakem, kemudian dilanjutkan naik ojek atau carter kendaraan.

Dari arah Magelang kota ± 40 km, sedangkan dari arah Yogyakarta sekitar

± 42 km.

Sarana transportasi umum tersedia dari Magelang kota menuju terminal Ngargosoka, setelah itu dilanjutkan dengan naik ojek atau carter kendaraan.

1.1.5 Topografi

Wilayah TN Gunung Merapi berada pada ketinggian antara 600 – 2.968 mdpl. Topografi kawasan ini mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung- gunung. Keadaan topografi TN Gunung Merapi pada masing-masing kabupaten sebagai berikut:

a. Kabupaten Klaten

Bagian barat dan utara wilayah Kabupaten Klaten berupa lereng Gunung Merapi yang berbatasan dengan Kabupaten Sleman. Kondisi topografi landai sampai berbukit dengan ketinggian 1.000 – 1.500 mdpl.

b. Kabupaten Boyolali

Kabupaten Boyolali berada diantara Gunung Merapi yang masih aktif dan Gunung Merbabu yang sudah tidak aktif, dengan ketinggian 1.100 – 1.500

(23)

mdpl. Terdapat 4 sungai yang melintasi wilayah ini, yaitu Sungai Serang, Cemoro, Pepe, dan Gandul.

c. Kabupaten Magelang

Terdapat dua kecamatan di Kabupaten Magelang yang merupakan bagian lereng Gunung Merapi yang ke arah barat, yang terletak pada ketinggian sekitar 500 mdpl. Semakin ke arah puncak Gunung Merapi kelerengan lahan semakin curam.

d. Kabupaten Sleman

Kondisi topografi di wilayah ini mulai landai sampai curam dengan ketinggian 900 – 1.400 mdpl. Pada bagian paling utara merupakan lereng Merapi yang miring ke arah selatan. Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat 2 bukit, yaitu Bukit Turgo dan Plawangan yang merupakan kawasan wisata Kaliurang. Pada bagian lereng puncak Merapi reliefnya curam sampai sangat curam. Bagian selatan pada beberapa kecamatan masih berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik sedangkan bagian tengah berupa lahan kering dan bagian utara merupakan bagian dari lereng Gunung Merapi yang berupa hutan.

Gambar 2. Peta Kelas Kelerengan TN Gunung Merapi

Pasca letusan eksplosif Gunung Merapi yang terjadi pada rentang waktu tanggal 26 Oktober hingga 5 November 2010, hampir seluruh struktur kubah di puncak hancur dan berubah bentuk. Saat ini terbentang kawah raksasa (kaldera)

(24)

yang berdiameter antara 400 – 500 meter dengan kedalaman antara 100 – 150 meter. Kawah raksasa tersebut terlihat ‘menganga’ di bagian tenggara (arah Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten) yang menunjukkan potensi ancaman bahaya erupsi ke depan.

1.1.6 Geologi dan Tanah

Pada umumnya jenis tanah di kawasan TN Gunung Merapi adalah regosol (hampir 95% kawasan). Tanah regosol merupakan jenis tanah berkembang pada fisiografis berupa lereng vulkan. Bahan induk tanah adalah material vulkanis mengingat Gunung Merapi merupakan gunung yang paling aktif di Indonesia. Tanah regosol tergolong tanah muda sehingga belum mengalami perkembangan profil. Tanah ini dicirikan oleh warna kelabu sampai kehitaman dengan tekstur tanah yang tergolong kasar yaitu pasiran. Adapun struktur tanah juga belum terbentuk sehingga termasuk tekstur granuler.

Selain jenis regosol, di kawasan TN Gunung Merapi juga ditemukan tanah andosol, namun dengan luasan yang kecil ( 100 ha). Jenis tanah ini ditemukan di Kecamatan Cepogo dan Kecamatan Selo. Karakteristik tanah ini dicirikan oleh tekstur geluh debuan, struktur remah atau gumpal lemah, konsistensi gembur, permeabilitas sedang, bahan organik rendah, dengan pH 5,0 – 5,5, dan kejenuhan tinggi.

Hasil dari pengukuran kondisi fisik lahan TN Gunung Merapi pasca erupsi diketahui bahwa hampir seluruh tanah di TN Gunung Merapi diselimuti lapisan abu vulkanik dengan ketebalan yang bervariasi. Ketebalan abu paling tipis diketemukan di sekitar wilayah Resort Kemalang, Resort Musuk, dan Cepogo yang hanya berkisar 0 – 5 cm sedangkan paling tebal ditemukan di wilayah Resort Cangkringan yang mencapai kedalaman >20 cm. Sementara di resort lain relatif bervariasi antara 5 – 20 cm. Informasi ini sangat penting terutama sebagai bahan masukan dalam aspek teknis kegiatan restorasi kawasan.

±

(25)

Gambar 3. Peta Jenis Tanah TN Gunung Merapi

Secara geologi, TN Gunung Merapi terletak pada potongan antara dua sesar, yaitu sesar transversal dan sesar longitudinal Pulau Jawa. Tubuh Gunung Merapi bagian atas cukup dinamis. Gunung Merapi memiliki tipe batuan yang berasal dari aktivitas Gunung Merapi. Batuan yang ada di Gunung Merapi sebagian besar adalah piroklastik basa dengan kandungan SiO2 lebih dari 50%.

Berdasarkan peta Geologi yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan diperoleh informasi bahwa batuan utama penyusun Gunung Merapi terdiri dari dua macam :

a. Endapan vulkanik Gunung Merapi Muda, yang terdiri dari tufa, lahar, breksi, dan lava andesitis hingga basaltis. Endapan ini hampir tersebar merata di seluruh kawasan Gunung Merapi.

b. Endapan vulkanik kwarter tua, yang keberadaannya secara setempat- setempat, khususnya di perbukitan. Endapan ini ditemui di bukit Turgo, Gono, Plawangan, Maron.

(26)

Gambar 4. Peta Geologi TN Gunung Merapi

Menurut proses terbentuknya, Bedhommier (1990) membagi perkembangan Merapi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi mulai terbentuk namun belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000 tahun lalu). Sisa-sisa tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan, yang terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan (8000 - 2000 tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak tinggi, seperti Bukit Gajah mungkur dan Batulawang, yang tersusun dari lava andesit. Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran lava, breksiasi lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif (lelehan) dan eksplosif.

Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasar Bubar (atau Pasar Bubrah) diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar, baru mulai terbentuk sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui terjadi beberapa kali letusan eksplosif salah satunya yang terjadi pada tahun 2010 yang lalu.

(27)

Saat ini aktifitas vulkanik Gunung Merapi berada pada Level III (Siaga).

Level ini menandakan adanya peningkatan aktifitas Gunung Merapi di atas Level II (Waspada) berupa semakin meningkatnya aktifitas seismik, magmatik, tektonik dan hidrotermal. Kenaikan status aktifitas Gunung Merapi diumumkan oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta mulai Kamis (05/11/2020). Berdasarkan status ini maka kegiatan pendakian Gunung Merapi ditutup oleh Balai TN Gunung Merapi, kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan penelitian berkaitan dengan upaya mitigasi bencana. Disamping itu, radius 5 km dari puncak dikosongkan dari aktifitas masyarakat, masyarakat yang tinggal di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III meningkatkan kewaspadaan.

1.1.7 Hidrologi

Wilayah Gunung Merapi merupakan sumber bagi tiga DAS, yaitu DAS Progo di sebelah barat, DAS Opak di sebelah selatan, dan DAS Bengawan Solo di sebelah timur. Keseluruhan terdapat sekitar 27 sungai di seputar Gunung Merapi yang mengalir ke tiga DAS tersebut.

Gambar 5. Peta Wilayah DAS TN Gunung Merapi

(28)

Pasca erupsi tahun 2010, sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi tersebut memberikan ancaman lahar dingin bagi wilayah yang ada di sekitar sungai. Beberapa sungai yang memiliki tingkat ancaman lahar dingin yang cukup tinggi adalah Kali Apu, Kali Tlingsing, Kali Senowo, Kali Pabelan, Kali Lamat, Kali Blongkeng, Kali Putih, Kali Batang, Kali Bebeng, Kali Krasak, Kali Boyong, Kali Kuning, Kali Opak, Kali Gendol, Kali Woro, dan Kali Gandul.

Keberadaan sumber air di wilayah Gunung Merapi cukup beragam, lereng selatan dan barat secara umum memiliki sumber air cukup dan melimpah sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Kondisi berbeda ditunjukkan di lereng utara dan timur yang debit mata air minim, bahkan masyarakat harus mendatangkan air ketika musim kemarau dengan membeli atau berjalan cukup jauh untuk mencari sumber air. Sungai–sungai tersebut memberikan penghidupan baik bagi masyarakat pada daerah penyangga TN Gunung Merapi maupun bagi masyarakat yang menjadi bagian dari DAS sampai hilir.

Pemanfaatan air dari hulu di kawasan TN Gunung Merapi selain sebagai air bersih, juga digunakan sebagai air irigasi untuk pertanian dan keperluan–keperluan budidaya lain seperti ternak dan perikanan.

Daerah penyangga TN Gunung Merapi sebagian besar merupakan daerah subur. Hal tersebut disebabkan tanah–tanah yang menjadi bagian dari Gunung Merapi memiliki kadar mineral tinggi sebagai luruhan dari material piroklastik Gunung Merapi yang secara periodik dikeluarkan. Kombinasi struktur tanah yang didominasi oleh material pasiran, maka tanah–tanah pada daerah panyangga tidak mudah mengembang namun lebih bersifat porus. Sifat tersebut memiliki dampak pada rendahnya daya simpan air pada tanah. Hal tersebut di beberapa desa menjadi persoalan untuk masyarakat terutama pemenuhan air bersih (rawan air). Lokasi–lokasi yang secara berkala memiliki tekanan atas ketersedian air bersih antara lain Kecamatan Kemalang, Kecamatan Selo dan Kecamatan Dukun, terutama saat musim kemarau yang relatif panjang.

(29)

Gambar 6. Peta Sumber Mata Air di TN Gunung Merapi

Sumber air di dalam TNGM berjumlah 43, berupa mata air, sungai, dan sumur gali yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan (BTNGM 2018). Dari 43 sumber air tersebut, pada tahun 2020 ada sebanyak 30 sumber air yang sudah dilakukan uji kualitas airnya.

1.1.8 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson, pada kawasan TN Gunung Merapi termasuk dalam tipe iklim C. Curah hujan di lereng selatan TN Gunung Merapi cukup tinggi hingga > 3.000 mm/th, semakin ke utara semakin rendah hingga mencapai 2.500 mm/tahun. Bulan basah terjadi pada bulan November sampai dengan Mei sedangkan bulan kering terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober. Dengan tipe iklim tersebut, TN Gunung Merapi termasuk dalam kategori daerah beriklim agak basah.

(30)

Gambar 7. Peta Curah Hujan di TN Gunung Merapi

Kondisi mikro klimat di kawasan TN Gunung Merapi pasca erupsi tahun 2010 juga sangat bervariasi dengan kisaran suhu udara rata-rata 24 – 280C, kelembaban udara berkisar 60 – 70%, dan kecepatan angin rata-rata dibawah 2 m/s. Kondisi ini cukup ideal untuk pertumbuhan vegetasi. Namun, kondisi ekstrim masih ditemukan di beberapa tempat dimana suhu udara mencapai >300C terutama di daerah lereng selatan dan lereng barat dengan jarak yang tidak jauh dari puncak Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi Merapi masih fluktuatif dan masih menunjukkan aktivitas vulkanik.

1.1.9 Tipe ekosistem

Kondisi tumbuhan dan satwa liar di kawasan TN Gunung Merapi banyak dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik Gunung Merapi serta aktivitas pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pengelola terdahulu yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi D.I. Yogyakarta, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah maupun Balai KSDA Yogyakarta.

Merujuk pada Buku Flora Pegunungan Jawa (Edisi Indonesia) yang ditulis oleh C.G.G.J. van. Steenis Tahun 2006 tumbuhan di Kawasan TN Gunung Merapi tumbuh pada zona– zona sebagai berikut :

(31)

a. Zona Tropis Sub Zona Bukit di ketinggian 500 m – 1.000 mdpl.

b. Zona Pegunungan Sub Zona Sub Pegunungan (Sub Montana) di ketinggian 1.000 m – 1.500 mdpl. Pada zona ini hutan tertutup, berbatang pohon tinggi dan miskin akan lumut.

c. Zona Pegunungan (Montana) di ketinggian 1.500 - 2.400 mdpl. Pada zona ini hutan tertutup pohon tinggi di atas elevasi 2.000 m, dengan diameter batang yang bertambah kecil dan lumut yang bertambah banyak.

d. Zona Sub Alpin di ketinggian di atas 2.400 mdpl. Pada zona ini vegetasi berupa hutan rendah dengan pohon tinggi menyendiri, sering berlumut atau terdapat Konifera.

Dalam klasifikasi tersebut, Merapi memiliki zona sub alpin, tapi kondisi di lapangan zona ini merupakan zona pasiran dan puncak kawah Merapi, sehingga struktur vegetasi berbeda dengan teori yang dikemukakan van. Steenis. Potensi flora dan fauna yang terdapat di dalam kawasan TN Gunung Merapi diuraikan lebih rinci pada sub bab berikut.

1.1.10 Potensi Flora

Hasil survey potensi tumbuhan menunjukkan bahwa di dalam kawasan TN Gunung Merapi ditemukan kurang lebih 344 jenis tumbuhan (BTNGM, 2019).

Hasil tersebut merupakan gabungan seluruh jenis pohon dan tumbuhan bawah identifikasi Balai TN TN Gunung Merapi dan penelitian yang pernah dilakukan di dalam kawasan TN Gunung Merapi. Kenyataan ini dapat diartikan bahwa meskipun awan panas melanda suatu wilayah, tidak seluruh area terkena dampak dan proses suksesi alam yang berhubungan dengan vegetasi tetap berjalan.

Komposisi dan struktur vegetasi

Komposisi dan struktur tegakan hasil penelitian (Umaya, 2020) terhadap 8 tipe ekosistem menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 4 dan Tabel 5).

Perbedaan disebabkan karena 2 hal yaitu zona elevasi dan dampak erupsi.

Terdapat dominasi pada setiap tipe ekosistem, meskipun jenis tersebut juga muncul pada zona elevasi di atas atau di bawahnya. Total ditemukan 94 jenis dengan rincian jumlah jenis pada zona tropik sub zona bukti terdampak (33 jenis) tidak terdampak (12 jenis); zona sub pegunungan terdampak (37 jenis) tidak terdampak (43 jenis); zona pegunungan terdampak (19 jenis) tidak terdampak (26 jenis); sub alpine terdampak (0 jenis) tidak terdampak (3 jenis).

Tabel 4. Komposisi 5 jenis utama pada daerah terdampaka

(32)

Pertum -buhan

Zona tropik Zona sub pegunungan

Zona

pegunungan

Zona sub alpin

Pohon Pinus merkusii, Tarenna incerta, Altingia exelsa, A.decurrens, Schima wallichii

Pinus merkusii, Altingi exelsa, Homalanthus populneus, Acacia decurrens, Schima wallichii

A. deccureen, Homalanthus

populneus, Erythryna lithosperma,

Engelhardtia spicata, Pinus merkusii

-

Tiang Altingia exelsa, Macaranga tanarius, Tarenna incerta, Acacia decurrens, Syzygium cumini

Trema Cannabina, Homalanthus populneus, A.

decurrens, Schima wallichii, Calliandra callothyrus

A. deccurens, Homalanthus populneus,

Dodonaea viscosa, Schima wallichii, Lithocarpus elegans

-

Pancan g

Schima wallichii, A. decurrens, Altingi exelsa, Psidium guajava, Calliandra callothyrsus

Trema Cannabina, Calliandra callothyrsus, Schima wallichii, A. deccurens, Cestrum necturnum

Dodonaea viscosa, Homalanthus populneus, A.

deccurens, Vaccinium varingiavolium, Mirica javanica

-

Semai Calliandra callothyrsus, kidangan, Ficus septica, Schima

wallichii. - -

aPernah dilalui langsung awan panas. Sumber: Umaya, 2020

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa semakin bertambah ketinggian/elevasi, jumlah jenis penyusun semakin berkurang, dan menurun drastis pada hutan zona sub alpin hingga tidak ditemukan adanya pohon. Hal ini menguatkan Steenis (2006) yang mengungkapkan bahwa perubahan floristik dan aspek fisiognami hutan terlihat kuat pada peralihan zona pegunungan ke zona sub alpin. Hutan pada zona tropik dan zona pegunungan memiliki kanopi tinggi dengan strata lapisan lebih rendah, sementara hutan di zona sub alpin vegetasi harus bertahan dari perubahan suhu ekstrem antara siang dan malam hari. Zona sub alpin di kawasan TN Gunung Merapi hanya ditemui 3 jenis pohon dengan satu lapisan kanopi dan adanya tree line/batas pohon.

Tabel 5. Komposisi 5 jenis utama hutan tidak terdampaka

(33)

Pertum- buhan

Zona tropik Zona sub pegunungan

Zona

pegunungan

Zona sub alpin

Pohon Schima

wallichii, Castanopsis argentea, Engelhardtia, spicata, Agathis damara,

Chincona sucirubra

Schima wallichii, Cupressus sp.

Castanopsis argentea, Pinus merkusii, Engelhardtia spicata

Lithocarpus elegans, Erythrina lithosperma, Engelhardtia spicata, Antidesma pubescens, Schlefera aromatica

Vaccinium varingiavolium, Albizia

lophanta, Wendanlia glabrata

Tiang Chincona sucirubra, Macaranga tanarius, Trema orientalis, Mallotus paniculatus

Cinnamomum burmani,

Schima wallichii, Homalanthus, populneus, Cupressus sp., Engelhardtia spicata

Lithocarpus elegans, Vaccinium varingiavolium, Ficus fistulosa, Engelhardtia spicata

Vaccinium varingiavolium, Albizia lophanta

Pancang - Cinchona

succirubra, Schima wallichii, Flacourtia rukam, Engelhardtia spicata, Homalanthus populneus

Wendanlia glabrata, Lithocarpus elegans, Engelhardtia spicata, Homalanthus populneus, Ficus fistulosa

Vaccinium varingiavolium

Semai Schima wallichii Arenga pinnata, Syzigium cuminii, Ficus ampelas, Schima wallicii, Flacourtia rukam,

Homalanthus populneus, Wendanlia glabrata Lithocarpus elegans, Ficus fistulosa

Vaccinium varingiavolium

aPernah dilalui langsung awan panas. Sumber: Umaya, 2020

Total terdapat 94 jenis tumbuhan, jumlah ini lebih kecil dibanding penelitian Mirmanto (2014) di lereng selatan Gunung Salak (ketinggian 984-1.625 mdpl) yang terletak di Jawa Barat yaitu 117 jenis. Hasil penelitian ini menguatkan Steenis (2006) bahwa terdapat perbedaan flora di Jawa bagian barat dan timur yang ditentukan oleh perbedaan iklim. Keadaan yang selalu basah di Jawa bagian barat memungkinkan berkembangnya flora lebih kaya. Gunung Merapi yang

(34)

terletak di tengah pulau Jawa, merupakan peralihan iklim selalu basah menuju musiman.

Komposisi penyusun hutan terdampak (zona tropik sub zona bukit, zona sub pegunungan dan zona pegunungan) berada pada tahap pertumbuhan hutan sekunder yang didominasi jenis pioneer (suksesi alami dengan penyusun jenis alami maupun jenis pioneer asing) dan jenis hutan tanaman. Hutan pada daerah tidak terdampak merupakan cerminan hutan primer yang didominasi jenis-jenis campuran pioneer, sub klimak dan klimaks.

Struktur tegakan

Struktur tegakan horizontal setiap tipe ekosistem mendekati bentuk J terbalik, dengan komposisi tertinggi semai, pancang, tiang dan pohon. Pohon ukuran kecil menyusun ekosistem lebih rapat dibanding pohon ukuran besar.

Tingkat kerapatan tinggi hutan gunung pada semai-pancang–tiang berada di zona sub pegunungan terdampak, pohon paling rapat berada pada hutan zona sub pegunungan tidak terdampak. Hal tersebut menunjukkan zona sub pegunungan terdampak merupakan hutan sekunder (muda-tua), didominasi jenis pioner dengan pertumbuhan rapat namun diameter tidak besar yang tumbuh secara alami maupun ditanam.

Hutan zona sub pegunungan tidak terdampak memiliki tingkat kerapatan pohon tertinggi, menunjukkan kondisi hutan primer tidak terganggu. Hutan didominasi jenis klimak yang tumbuh secara alami dengan pertumbuhan lambat (Lithocarpus elegans). Selain komposisi, struktur hutan juga berubah seiring dengan bertambahnya ketinggian. Jumlah individu per hektar, khususnya pohon semakin menurun dengan bertambahnya ketinggian/elevasi (Tabel 6). Perubahan elevasi mempengaruhi perubahan suhu, semakin ke puncak suhu menurun dan kabut sering muncul. Topografi semakin curam, daerah datar sedikit dijumpai, seringkali terjadi erosi ketika hujan lebat, tanah yang miskin hara, angin kencang sehingga membuat tumbuhan pendek dan batang miring/bengkok.

Tabel 6. Perbandingan struktur tegakan pada setiap tipe ekosistem

(35)

Tingkat tumbuh

Tropik Sub z.bukit

Sub Pegunungan

Pegunungan Sub alpin A

(ind/ha)

B (Ind/ha)

A (Ind/ha)

B (Ind/ha)

A (Ind/ha)

B (Ind/ha)

A (Ind/ha) Semai 5 000 6 842 9 643 18 879 1 739 1 471 10 714

pancang - 1 280 857 1 917 522 753 114

tiang 400 184 207 490 387 529 300

pohon 375 342 339 183 202 182 118

Sumber: Umaya, 2020

Tingkat kerapatan pohon pada wilayah yang tidak terdampak awan panas secara langsung di zona tropik sub zona bukit (375 pohon/ha) dan sub pegunungan (339 pohon/ha) lebih kecil dibanding penelitian Mirmanto (2014) di wilayah Cimelati, Gunung Salak (455 pohon/ha) ketinggian 984 – 1.625 mdpl.

Tingkat kerapatan wilayah yang pernah terdampak langsung awan panas di zona tropik (342 pohon/ha) dan sub pegunungan (183 pohon/ha) masih lebih kecil dibanding hutan sekunder (395 pohon/hektar) di Citalahab (Rahajoe,1996 dalam Mirmanto, 2014).

Gambar 8. Perbandingan Struktur Tegakan pada 7 tipe Ekosistem Keragaman dan kemerataan tipe ekosistem Gunung Merapi

Berdasarkan hasil perhitungan indeks keragaman dan kemerataan, diperoleh bahwa indeks keragaman tertinggi berada di zona pegunungan tidak terdampak adalah 2.32 (keragaman sedang), sedangkan indeks kemerataan tertinggi berada pada zona pegunungan terdampak yaitu 0.76 (kemerataan tinggi) (Tabel 4.28).

Tingkat keragaman terendah terdapat pada zona alpin (indeks keragaman =

(36)

0.36/rendah) dan kemerataan terendah terdapat pada zona tropik sub zona bukit terdampak (indeks kemerataan = 0.24/rendah) (Tabel 7).

Tabel 7. Perbandingan indeks keragaman dan kemerataan setiap tipe ekosistem

No Ekosistem Pohon Tiang Pancang Semai

H' E H' E H' E H' E

1. Tropik tidak Terdampaka

1.92 0.92 1.27 0.92

2. Tropik terdampaka

0.54 0.24 2.67 0.98 3.68 1.22 1.17 0.56

3. Sub Pegunungan tidak terdampaka

2.25 0.66 2.59 0.93 1.83 0.79 2.09 0.90

4. Sub Pegunungan terdampaka

1.78 0.65 2.05 0.69 2.36 0.76 1.58 0.63

5. Pegunungan tidak terdampaka

2.32 0.75 2.17 0.76 2.15 0.93 1.10 0.79

6. Pegunungan terdampaka

1.90 0.76 1.72 0.69 1.96 0.79 1.09 0.78

7. Sub Alpin Tidak terdampaka

0.36 0.32 0.68 0.98

8. Sub Alpin terdampaka

aPernah dilalui langsung awan panas. Sumber: Umaya, 2020 Potensi Tumbuhan Obat TNGM

Nurwijayanto (2020), melakukan penelitian tumbuhan bawah yang memiliki potensi sebagai tumbuhan obat. Hasil eksplorasi lapangan menunjukkan bahwa keanekaragaman tumbuhan bawah terdiri dari 160 jenis. Analisis vegetasi menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan bawah termasuk dalam kategori rendah, dengan Indeks Nilai Penting (INP) bervariasi. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat di kawasan penelitian menggunakan 75 dari 160 jenis tumbuhan bawah untuk pengobatan penyakit dalam dan luar. Tingkat daya tangkal radikal bebas tumbuhan bawah didapatkan kategori sangat kuat, kuat, sedang, lemah, dan tidak aktif berturut-turut sebanyak 48, 17, 27, 20 dan 48 jenis tumbuhan bawah. Uji kualitatif DPPH dan fitokimia dilakukan terhadap enam tumbuhan terkuat yaitu Clidemia hirta, Melastoma candidum, Phyllantus urinaria, Polygonum

(37)

chinense, Emilia prenanthoides, dan Shuteria vestita. Saponin, flavonoid, dan terpenoid berhasil dideteksi. Alkaloid dideteksi pada C. hirta dan M. candidum.

Kekuatan daya tangkal terhadap radikal bebas dari tumbuhan bawah kemudian dikelompokkan berdasarkan nilai IC50 tumbuhan bawah.

Pengelompokan IC50 dilakukan berdasar Jun et al., (2006), yaitu kelompok daya tangkal sangat kuat (IC50 < 50 ppm), kuat (IC50 50-100 ppm), sedang (IC50 100-250 ppm), lemah (IC50 250-500 ppm), dan tidak aktif (>500).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai IC50 C. hirta dan M. candidum lebih rendah dibandingkan kontrol positif asam askorbat. Hal ini menunjukkan bahwa, C. hirta dan M. candidum memiliki daya antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam askorbat sehingga dua tumbuhan ini berpotensi untuk dilakukan isolasi senyawa aktif lebih mendalam. Enam tumbuhan yang memiliki daya tangkal radikal bebas sangat kuat ini menjadi salah satu solusi atas pencarian antioksidan alami untuk mengatasi penyakit yang disebabkan radikal bebas.

Tumbuhan yang memiliki daya tangkal radikal bebas tertinggi, yaitu C. hirta merupakan tumbuhan bawah yang dikelompokkan dalam famili Melastomataceae.

Famili Melastomataceae diketahui memiliki fenolik dan metabolit fenolik yang diperkirakan bertanggungjawab atas daya anti tangkal radikal bebas (Serna and Martínez, 2015). Clidemia hirta, dikenal sebagai harendong bulu, memiliki daya tangkal radikal bebas dalam kategori sangat kuat (IC50 = 1,04 ppm). Hasil IC50 dari penelitian ini lebih kuat dibandingkan dengan daya tangkal radikal bebas asam askorbat (IC50 = 4,02 ppm). Narasimham et al. (2017) meneliti bahwa ekstrak etanol daun C. hirta yang tumbuh di India memiliki daya tangkal radikal bebas sangat kuat terhadap DPPH dengan nilai IC50 sebesar 5 ppm. Kemungkinan perbedaan IC50 ini disebabkan oleh tempat dan kondisi sekitar tumbuh sampel tersebut sehingga mempengaruhi kandungan metabolit sekunder yang bertanggungjawab akan daya tangkal radikal bebas (Serna dan Martínez, 2015).

Tumbuhan Clidemia hirta juga ditemukan memiliki daya antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit manggis dan blueberry Alaska. Dimana selama ini kedua tanaman ini sudah dikenal sebagai antioksidan yang sangat kuat.

Clidemia hirta dilaporkan juga memiliki potensi sebagai zat antikanker (Arbiastutie, 2017; Narasimham et al., 2017). Tumbuhan Clidemia hirta merupakan salah satu tumbuhan invasif yang berasal dari Amerika Selatan dan sekarang tersebar ke seluruh dunia daerah tropis termasuk Asia Tenggara (Peters, H.A., 2001) yang tidak diinginkan keberadaannya karena dapat mengganggu spesies asli di

(38)

habitatnya (Simberloff, 2014). Clidemia hirta salah satu tumbuhan invasif di hutan tropis Asia Tenggara. Walaupun spesies tahan naungan ini hanya terdapat pada proporsi yang kecil di komunitas, tumbuhan ini memiliki potensi untuk menyerang bahkan pada hutan yang masih dengan spesies asli. Clidemia hirta banyak ditemukan di banyak bagian hutan, dari hutan yang murni di area terlindungi, dimana biasanya merupakan tumbuhan asing yang jauh dari tapak, melalui hutan bekas tebangan ke tumbuhan eksotik (Padmanaba dan Corlett, 2014). Dari hasil pengamatan di lapangan, C. hirta belum menginvasi kawasan TNGM. Hal ini terbukti pula melalui analisis vegetasi kuantitatif yang ditunjukkan dengan nilai INP 7,83.

Hasil uji fitokimia penelitian ini menunjukkan bahwa C. hirta memiliki saponin, flavonoid, alkaloid, dan terpenoid. Menurut Lopez et al., (2016), produksi kandungan flavonoid dengan kapasitas daya tangkal radikal bebas di dalam C.

hirta berkorelasi sangat positif dan berkorelasi positif dengan saponin dan kandungan polifenolnya tergantung dari media tumbuh yang dipakai. Menurut Marpaung et al., (2015), flavonoid yang terkandung di buah C. hirta adalah antosianin dengan struktur kimia delfinifin 3,5-O-diglukosida terasilasi. Posisi gugus gula diprediksi ada pada posisi C3 (cincin C) atau C5 (cincin A) dan kestabilan warnanya dipengaruhi oleh pH (Marpaung et al., 2015). Pada C. hirta, terdeteksi alkaloid, tetapi tidak pernah diisolasi (Michelangeli dan Rodriguez, 2005).

Pada C. hirta yang tumbuh di lokasi penelitian memiliki kandungan alkaloid sehingga berpotensi untuk dilakukan isolasi senyawa penangkal radikal bebasnya.

Dengan demikian, C. hirta dapat dikembangkan menjadi salah satu produk antioksidan alami dari Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) untuk pemakaian luar dan dalam (Gambar 1). Produk C. hirta yang sudah dibuat oleh peneliti yaitu dalam bentuk kapsul ekstrak, kapsul minyak, boba jelly, serum wajah, vitamin rambut, dan gel rambut.

Identifikasi, inventarisasi dan upaya perlindungan jenis tumbuhan Sarangan (Castanopsis argentea)

a. Status konservasi jenis Sarangan secara internasional berdasarkan IUCN adalah Endangered species, sedangkan status perlindungannya merupakan jenis dilindungi Undang-undang berdasarkan Permen LHK Nomor :P.106/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2018 dan merupakan salah satu jenis

(39)

Pohon Prioritas Konservasi Nasional Tahun 2020-2030 sehingga menjadi dasar pertimbangan yang cukup kuat untuk mengangkat jenis ini sebagai prioritas konservasi di TN Gunung Merapi dan perlu disosialisasikan untuk meningkatkan kesadaran konservasi jenis tersebut (flagship species).

b. Kegiatan identifikasi dan analisis keragaman genetik jenis Sarangan di kawasan TN Gunung Merapi kerjasama dengan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.

c. Berdasarkan hasil identifikasi di kawasan TN Gunung Merapi, lokasi ditemukannya kelompok Sarangan tersebar di 12 lokasi yang tersebar pada 6 RPTN lingkup TNGM, diantaranya : RPTN Dukun, Pakem Turi, Cangkringan, Kemalang, Musuk Cepogo.

d. Ujicoba budidaya jenis Sarangan dilakukan bersama-sama dengan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta dan dua kelompok masyarakat yaitu Forum Peduli Lingkungan Lereng Merapi (FPL Palem) Ds. Kepuharjo, Kec. Cangkringan, Sleman dan Kelompok Tani Serba Usaha Merapi I Ds. Wonodoyo, Kec.

Musuk, Kab. Boyolali menggunakan metode generatif (biji) dan stek pucuk tahun 2019.

e. Pengamanan populasi Sarangan di TNGM melalui upaya ujicoba perbanyakan vegetatif cangkok menggunakan 3 (tiga) jenis zat perangsang tumbuh (hormon) dan kultur jaringan yang dilakukan bersama-sama dengan bersama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta, FPL Palem dan KT Serba Usaha Merapi I tahun 2020.

f. Inisiasi riset dan pengembangan potensi bioprospeksi Sarangan berupa produk chestnut, namun masih belum pada tahap uji coba dikarenakan produk dari buah Sarangan tersedia.

1.1.11 Potensi Fauna

Survey di kawasan TNGM tahun 2011, menemukan 97 jenis burung (32 famili) dan 15 jenis mamalia (10 famili). Terdapat 17 jenis burung dan 4 jenis mamalia termasuk jenis yang dilindungi menurut Peraturan Menteri LHK Nomor : SK.106/menLHK/Setjen/Kum.1/12/2018, 6 jenis memiliki nilai konservasi tinggi (IUCN, 2011), 9 jenis diawasi dalam perdagangan satwa langka (CITES), 23 jenis endemik Indonesia dan 2 jenis termasuk feral atau bukan sebaran alami Indonesia

(40)

atau domestikasi (BTNGM, 2019). Elang Jawa dipilih menjadi simbul fauna TNGM, karena merupakan kebanggaan nasional, satwa terancam punah dan jumlahnya diperkirakan 6 ekor di TNGM.

Kegiatan penelitian yang telah dilakukan Nurpana 2020 menghasilkan data sementara dari hasil camera trap yang dilaporkan tanggal 5 Oktober 2020 sebagai berikut :

Jumlah Grid yang sudah dipasang CT : 28 Grid Jumlah CT yang sudah diambil : 20 Buah Jumlah CT yang belum di pasang : 12 buah

Jumlah Satwa yang ditemukan sementara sebagaimana tabel 1.10 di bawah.

Tabel 8. Satwa yang berhasil tertangkap oleh kamera trap pada lokasi 20 grid

No Nama Lokal Nama Latin Status

Konservasi

1 Kijang Muntiacus muntjak Least Concern

2 Landak Hystrix javanica Least Concern

3 Musang Luwak Paradoxurus hermaphroditus Least Concern 4 Musang Rase Viverricula malaccensis Least Concern 5 Kucing Hutan Prionailurus bengalensis Least Concern 6 Musang Biul Melogale orientalis Least Concern 7 Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Least Concern

8 Ayam Hutan Gallus varius Least Concern

9 Bajing kelapa Callosciurrus notatus Least Concern

10 Babi Hutan Sus scrofa Least Concern

11 Trenggiling Manis javanica Citically

Endangered Sumber: Sulaksono, 2020

Kegiatan pengelola dan penelitian pihak luar terhadap persebaran satwa di TN Gunung Merapi seringkali fokus pada burung dan mamalia (Lutung dan Macan Tutul). Penelitian tentang fauna masih minim dibandingkan penelitian tentang flora.

Upaya pemasangan camera trap untuk memotret keberadaan Macan Tutul sampai saat ini masih belum membuahkan hasil, meskipun dari segi pakan masih cukup dan ditemukan tanda keberadaan di lapangan. Potensi fauna di kawasan hutan TN Gunung Merapi khususnya Lutung dominan di lereng timur yang tidak pernah dilalui awan panas secara langsung. Lutung yang dikenal satwa arboreal, hidup di tajuk pohon sekaligus sebagai salah satu indikator kondisi tutupan hutan yang masih bagus. Lutung dijumpai di lereng timur beraktivitas di tanah hutan (hasil camera trap) dan bebatuan. (pengamatan secara langsung). Masih memerlukan

(41)

penelitian lanjutan tentang perilaku satwa Lutung di lereng timur Merapi. Lutung pernah dijumpai di lereng selatan sampai tahun 2012 sebanyak 2 ekor, namun saat ini sudah tidak pernah dijumpai lagi. Keberadaan Lutung di lereng timur Merapi perlu mendapat perhatian, dengan menjadikan lokasi timur sebagai lokus utama konservasi Lutung.

Pengamatan burung dilakukan di 7 (tujuh) resort, yaitu Resort PTN Dukun, Kemalang, Musuk-Cepogo, Selo, Srumbung, Pakem-Turi dan Cangkringan.

Jumlah jenis burung paling banyak ditemukan di Resort PTN Pakem-Turi dan Cangkringan, yaitu sebanyak 59 jenis burung, burung paling sedikit ditemukan di Resort PTN Selo. Jumlah jenis burung masih berselisih jauh dari data jumlah jenis burung yang ada di TN Gunung Merapi sebelum erupsi (159 jenis). Enam puluh dua (62) jenis burung yang belum dijumpai pada saat survey pasca erupsi dimungkinkan disebabkan karena sifat survey yang cepat (rapid assessment) sehingga beberapa karakter jenis burung nocturnal yang keluar pada malam hari tidak dapat teridentifikasi. Selain itu, beberapa jenis burung yang berhabitat di areal yang sulit diakses juga memungkinkan untuk tidak teridentifikasi karena sifat survey yang mengikuti jalan setapak di kawasan TN Gunung Merapi.

Jenis mamalia yang distribusinya luas adalah monyet ekor panjang, kucing hutan, dan musang. Dari seluruh mamalia yang dijumpai, monyet ekor panjang merupakan jenis yang paling banyak dijumpai (62,5%) karena distribusinya luas dan selalu dijumpai dalam kelompok besar. Beberapa jenis mamalia antara lain : Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), Babi Hutan (Sus scrofa), Kijang (Muntiacus muntjak), Kucing hutan (Prionailurus bengalensis), Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) dan Landak (Hystix brachyura).

Gambar 9. (a) Macaca fascicularis (b) sarang Sus scrofa

(a) (b)

(42)

Seluruh jenis mamalia tersebut, 4 jenis dilindungi (PP No 7 Tahun 1999), 1 jenis memiliki nilai konservasi tinggi (IUCN Redlist Data book, 2011). Jenis herpetofauna yang ditemukan tiga jenis, yaitu kadal kebun (Eutropis multifasciata), dan Katak Pohon Emas (Philautus aurifasciatus), dan Kongkang Kolam (Rana chalconota). Dari ketiga jenis tersebut tidak ada yang memiliki status perlindungan yang tinggi tetapi terdapat satu jenis endemik, yaitu Katak Pohon Emas.

1.1.12 Tutupan Vegetasi

Klasifikasi tutupan lahan didasarkan pada analisis citra landsat 8 tahun 2017, citra lidar tahun 2013, citra SPOT 5 tahun 2015, dan citra Google Earth tahun 2017. Adapun hasil klasifikasinya seperti tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi tutupan lahan di TN Gunung Merapi

No Nama PL Luas Persen (%)

(1) (2) (3) (4)

1 Hp Dataran Tinggi 776,91 11,76

2 Hs Campur 1.087,92 16,46

3 Hs Pinus 1.186,75 17,96

4 Hs Anggring 16,14 0,24

5 Hs Acacia Dec 562,64 8,52

6 Hs Bambu 3,33 0,05

7 Hs Kaliandra 102,43 1,55

8 Hs Krembi 27,97 0,42

9 Semak Belukar 791,51 11,98

10 Kebun Campur 44,95 0,68

11 Pertanian 16,98 0,26

12 Savana 833,10 12,61

13 Salak Campur 0,41 0,01

14 Salak Campur Kelapa 24,26 0,37

15 Salak 1,11 0,02

16 Lahan Terbuka 1.131,11 17,12

J U M L A H 4.742,69 100,00

Sumber: TNGM, 2017

1.1.13 Kondisi Sosial Budaya, Ekonomi dan Lingkungan Masyarakat 1.1.13.1 Sosial budaya

Kawasan penyangga merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan TN Gunung Merapi, dan sesuai SK. 19/BTNGM/KONS/2015 terdapat 30

Gambar

Gambar 1. Administrasi TN Gunung Merapi
Gambar 2. Peta Kelas Kelerengan TN Gunung Merapi
Gambar 3. Peta Jenis Tanah TN Gunung Merapi
Gambar 4. Peta Geologi TN Gunung Merapi
+7

Referensi

Dokumen terkait