NAMA : Mudh Alif Fathan NIM : 220711598
RPS HUKUM PERDATA
Pertemuan 12
BUKU III HUKUM PERDATA TENTANG PERIKATAN.
Buku mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan”
disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW.
Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
Lembaga Jaminan adalah badan hukum Indonesia yang menjamin hak dan kepentingan pemegang Resi Gudang atau Penerima Hak Jaminan terhadap kegagalan, kelalaian, atau
ketidakmampuan Pengelola Gudang dalam melaksanakan kewajibannya dalam menyimpan dan menyerahkan barang.
Indonesia saat ini mempunyai 4 (empat) macam lembaga jaminan kebendaan
yakni gadai dan hipotek yang tercantum aturannya dalam BW, ditambah hak tanggungan dan fidusia.
Macam macam jaminan yaitu ada jaminan umum,jaminan khusus, jaminan perorangan,dan
jaminan kebendaan.Perikatan adalah merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Dalam bahasa Belanda perikatan disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan lebih umum digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan pada hal ini bermaksud ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan,
misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain
yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan ituterdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai
perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek- subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur
atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentuterhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian
tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian
yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam
Sperjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut : 1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit
de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolgevan’s mensen toedoen)
1. Perikatan terjadi karena undang-undang semata.
a. Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal- hal termasuk dalam sumber-sumber perikatan
2. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Unsur-Unsur Perikatan
1. Hubungan hukum (legal relationship) 2. Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak (parties) 3. Harta kekayaan (patrimonial)
4. Prestasi (performance) 5. Ad. 1. Hubungan hukum
6. Hubungan yang diatur oleh hukum;
7. Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak;
8. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya 9. Hubungan hukum dapat terjadi karena :
10.Kehendak pihak-pihak (persetujuan/perjanjian) 11.Sebagai perintah peraturan perUUan
Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-iapt perikatan dilahirkan karena persetujuan baik karena UU”.
Contoh A berjanji menjual sepeda motor kepada B Akibat dari janji, A wajib menyerahkan sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya sedangkan B wajib menyerahkan harga sepeda motor itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda.
Dalam contoh diatas apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban maka hukum “memaksakan”
agar kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi.
Perlu dicatat tidak semua hubungan hukum dapat disebut perikatan. Contoh kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.
Artinya adalah setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan.
Ad. 2. Pihak-pihak (subjek perikatan)
Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki utang (kewajiban) Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau pihak yang memiliki piutang (hak)
Pihak-pihak (debitur kreditur) tidak harus “orang” tapi juga dapat berbentuk “badan”, sepanjang ia cakap melakukan perbuatan hukum.
Pihak-pihak (debitur kreditur) dalam perikatan dapat diganti. Dalam hal penggantian debitur harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur, untuk itu debitur harus dikenal oleh kreditur agar gampang menagihnya misalnya pengambilalihan hutang (schuldoverneming) sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak.
Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht), misalnya A menjual sebuah mobil kepada B, mobil mana telah diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B maka B sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian dinamakan hak kwalitatif.
Selanjutnya seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kwalitatif sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kwalitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa menyewa, terikat untuk
meneruskan perjanjian sewa menyewa.
Dalam suatu perjanjian orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa yang berkedudukan sebagai kreditur/debitur seperti pada perjanjian timbal balik (contoh jual beli). Si penjual adalah kreditur terhadap uang harga barang yang diperjual belikan, tetapi ia berkedudukan sebagai debitur terhadap barang (objek prestasi) yang perjualbelikan. Demikian sebaliknya si pembeli berkedudukan sebagai debitur terhadap harga barang kreditur atas objek prestasi penjual yaitu barang yang diperjualbelikan.
Ad. 3. Harta kekayaan
Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan sebagai ukurannya (kriteria) ada 2 pandangan yaitu :
Pandangan klasik : Suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang
Pandangan baru : Sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang, tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan
Ad. 4. Prestasi (objek perikatan)
Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat
kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).
Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll
Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) : Memberikan sesuatu;
Berbuat sesuatu;
Tidak berbuat sesuatu
Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya membangun rumah.
Tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apotiknya, untuk tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama. Ketiga prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur.
Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur penting :
Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban (schuld).
Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi kewajiban tsb (Haftung)
Syarat-syarat prestasi :
Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;
Objeknya diperkenankan oleh hukum;
Dimungkinkan untuk dilaksanakan
Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang sedangkan haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut.
Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih hutang piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar hutangnya maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi) Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni:
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hukum perikatan mengatur tentang serangkaian aturan dan prinsip hukum yang mengatur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian atau kontrak. Istilah “perikatan” mengacu pada kewajiban atau tanggung jawab hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian tersebut
Sumber hukum perikatan di Indonesia berdasarkan dari hukum perjanjian dan undang-undang. Menurut pasal 1233 KUH Perdata dijelaskan sumber dari perikatan dibagi menjadi dua yaitu perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang
Berikut Fungsi Hukum Perikatan
1. Menciptakan Keadilan dan Kepastian Hukum
Hukum perikatan berfungsi untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam hubungan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Ini
melibatkan penentuan hak dan kewajiban masing-masing pihak secara jelas dan adil, sehingga para pihak dapat memahami dan mengandalkan hak-hak dan kewajiban mereka.
2. Memfasilitasi Transaksi Ekonomi
Hukum perikatan berperan dalam memfasilitasi transaksi ekonomi dengan memberikan kerangka hukum yang mengatur pembentukan, pelaksanaan, dan pemutusan perjanjian. Ini memberikan keyakinan bagi para pihak untuk melakukan transaksi dan menggerakkan kegiatan ekonomi dengan
memberikan jaminan hukum dan perlindungan terhadap penyalahgunaan.
3. Melindungi Kepentingan Para Pihak
Hukum perikatan berfungsi untuk melindungi kepentingan para pihak yang
terlibat dalam perjanjian. Ini termasuk melindungi pihak-pihak dari penipuan,
kesalahan, atau pelanggaran perjanjian oleh pihak lain. Hukum perikatan
memberikan mekanisme hukum untuk mengambil tindakan jika terjadi
wanprestasi atau pelanggaran perjanjian.
4. Mendorong Perilaku yang Bertanggung Jawab
Hukum perikatan mendorong perilaku yang bertanggung jawab dari para pihak yang terlibat. Dengan adanya kewajiban dan konsekuensi hukum yang terkait dengan perjanjian, para pihak diharapkan untuk mematuhi kewajiban mereka, melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, dan menghormati hak- hak pihak lain.
5. Mengatur Resolusi Sengketa
Hukum perikatan menyediakan kerangka hukum untuk penyelesaian
sengketa yang timbul dari perjanjian. Ini mencakup mekanisme penyelesaian sengketa, seperti mediasi, arbitrase, atau proses pengadilan, yang membantu para pihak menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara yang adil dan efisien.
Berikut Dasar Hukum Perikatan
1. Hukum Kontrak
Kontrak merupakan salah satu bentuk perikatan yang paling umum. Dasar hukum perikatan dalam hal ini adalah hukum kontrak yang mengatur
pembentukan, pelaksanaan, dan pemutusan kontrak antara pihak-pihak yang terlibat. Hukum kontrak biasanya didasarkan pada prinsip kebebasan berkontrak dan kepastian hukum.
2. Kode Sipil
Beberapa negara, terutama yang mengadopsi sistem hukum berdasarkan Kode Napoleon atau sistem hukum kontinental Eropa, memiliki peraturan yang diatur dalam kode sipil atau kode perdata. Kode sipil ini mengatur perikatan dalam hal- hal seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, pinjaman, dan lainnya.
3. Common Law
Negara-negara yang mengikuti sistem hukum common law, seperti Inggris,
Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, didasarkan pada keputusan pengadilan
sebelumnya dan prinsip-prinsip hukum yang telah berkembang dari kasus ke
kasus. Dasar hukum perikatan dalam sistem ini adalah prinsip common law yang
diinterpretasikan oleh pengadilan.
4. Hukum Adat
Beberapa negara masih mengakui sistem hukum adat atau hukum tradisional yang dijalankan oleh masyarakat adat mereka. Dasar hukum perikatan dalam hal ini terletak pada adat istiadat dan praktik yang telah berlaku dalam masyarakat adat tersebut.
Berikut Unsur-unsur Hukum Perikatan
1. Kesepakatan (Consensus)
Kesepakatan atau persetujuan merupakan unsur penting dalam perikatan. Ini berarti semua pihak yang terlibat dalam perikatan harus memiliki pemahaman yang sama tentang isi dan tujuan perikatan tersebut. Kesepakatan dapat
diekspresikan secara tertulis maupun lisan, tergantung pada hukum yang berlaku dalam yurisdiksi tertentu.
2. Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Para pihak yang terlibat dalam perikatan harus memiliki kebebasan untuk memasuki perjanjian tersebut tanpa adanya paksaan atau ancaman. Prinsip ini menegaskan bahwa perikatan yang sah harus didasarkan pada kehendak sukarela dan bebas dari pihak-pihak yang terlibat.
3. Kemampuan Hukum (Legal Capacity)
Setiap pihak yang terlibat dalam perikatan harus memiliki kemampuan hukum untuk membuat perjanjian. Artinya, mereka harus berada dalam kapasitas
hukum yang memungkinkan mereka untuk membuat komitmen hukum. Misalnya, mereka harus cukup umur, tidak dalam keadaan yang tidak sadar atau sedang dalam pengaruh obat-obatan terlarang, dan tidak dianggap tidak mampu secara hukum.
4. Objek yang Jelas (Clear Object)
Perikatan harus memiliki objek yang jelas atau subjek yang dapat ditentukan secara tegas. Objek perikatan dapat berupa barang, jasa, atau hak-hak tertentu yang dapat diidentifikasi dengan jelas dan dapat diberikan atau dipenuhi sesuai dengan persyaratan perjanjian.
5. Pertimbangan (Consideration)
Pertimbangan adalah suatu hal atau nilai yang diberikan oleh setiap pihak
sebagai imbalan atas perikatan yang mereka buat. Pertimbangan ini bisa berupa
uang, barang, jasa, atau sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Pertimbangan
tersebut menunjukkan bahwa ada imbalan atau keuntungan yang diharapkan oleh masing-masing pihak sebagai hasil dari perikatan tersebut.
6. Kesahihan Hukum (Legal Validity)
Perikatan harus sah secara hukum. Ini berarti perikatan harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dalam yurisdiksi yang bersangkutan. Misalnya, perikatan tersebut tidak boleh melanggar hukum yang mengatur kontrak tertentu atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan moral atau etika yang diakui oleh hukum.
Berikut Azas-azas Hukum Perikatan
1. Azas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Azas ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memasuki perjanjian atau kontrak dengan pihak lain secara sukarela, tanpa adanya
paksaan atau tekanan. Azas ini memungkinkan para pihak untuk menentukan syarat-syarat perikatan mereka sesuai dengan kepentingan masing-masing, dengan tetap mematuhi batasan hukum yang berlaku.
2. Azas Kehendak Nyata (Principle of Genuine Intention)
Azas ini menyatakan bahwa suatu perikatan harus didasarkan pada kehendak yang nyata dan jujur dari para pihak yang terlibat. Perjanjian yang dibuat dengan unsur penipuan, kesalahan, atau paksaan dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan.
3. Azas Kepastian Hukum (Principle of Legal Certainty)
Azas ini menekankan perlunya kepastian hukum dalam perikatan. Artinya, perikatan harus didasarkan pada aturan hukum yang jelas dan dapat diprediksi.
Hal ini memungkinkan para pihak untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka secara pasti, sehingga menghindari adanya ketidakpastian atau kebingungan yang dapat menyebabkan sengketa.
4. Azas Keadilan (Principle of Equity)
Azas ini mengacu pada prinsip bahwa perikatan harus adil bagi semua pihak
yang terlibat. Hal ini melibatkan pemerataan beban dan manfaat antara para
pihak sesuai dengan kewajaran dan prinsip keadilan. Dalam penyelesaian
sengketa atau pelaksanaan perikatan, prinsip keadilan ini juga dapat diterapkan
untuk mencapai hasil yang adil bagi semua pihak.
5. Azas Perlindungan Terhadap Pihak yang Lebih Lemah (Principle of Protection of the Weaker Party)
Azas ini mengakui perlunya perlindungan hukum bagi pihak yang lebih lemah dalam perikatan, seperti konsumen atau pekerja. Tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau ketidakseimbangan kekuatan antara pihak-pihak yang terlibat.
6. Azas Pemenuhan Kewajiban (Principle of Performance of Obligations)
Azas ini menegaskan bahwa setiap pihak harus memenuhi kewajibannya sesuai dengan persyaratan perikatan yang telah disepakati. Pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dikenai sanksi atau ganti rugi, sementara pihak yang
memenuhi kewajibannya berhak mendapatkan pemenuhan haknya.
Berikut Dampak Hukum Perikatan
1. Pembentukan Kewajiban Hukum
Hukum perikatan menciptakan kewajiban hukum antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Pihak yang memasuki perikatan memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. Ini memberikan kepastian dan jaminan bahwa setiap pihak akan mematuhi kewajibannya.
2. Penegakan Hak dan Kewajiban
Hukum perikatan memberikan kerangka hukum yang memungkinkan penegakan hak dan kewajiban antara para pihak. Jika salah satu pihak melanggar perjanjian atau tidak memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat mengambil tindakan hukum untuk memulihkan haknya. Ini dapat melibatkan gugatan hukum, tuntutan ganti rugi, atau penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau mediasi.
3. Perlindungan Terhadap Penipuan dan Kesalahan
Hukum perikatan menyediakan mekanisme untuk melindungi pihak dari
penipuan atau kesalahan dalam perjanjian. Jika suatu perjanjian dibuat dengan
unsur penipuan, kesalahan, atau ketidakseimbangan informasi yang signifikan,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan pembatalan atau pembatalan perjanjian
tersebut.
4. Pembatasan dan Pembagian Risiko
Hukum perikatan juga memungkinkan pihak-pihak untuk membatasi dan membagi risiko dalam perjanjian. Dalam perjanjian bisnis, pihak dapat menggunakan klausa-klausa khusus seperti klausa pembebasan tanggung jawab atau klausa pembagian risiko untuk mengatur bagaimana risiko akan ditangani dan dibagi antara mereka.
5. Pengaturan Hak dan Kewajiban
Hukum perikatan mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian. Ini mencakup hak-hak seperti hak kepemilikan, hak pembayaran, hak penggunaan, dan sebagainya. Dengan adanya hukum perikatan yang jelas, para pihak dapat memahami dan melindungi hak-hak mereka sesuai dengan
perjanjian yang dibuat.
6. Kebebasan Berkontrak dan Inovasi Bisnis
Hukum perikatan memberikan kebebasan bagi pihak-pihak untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan mereka. Ini mendorong inovasi bisnis dan memberikan dasar hukum bagi pihak-pihak untuk menjalankan usaha, melakukan transaksi, dan menjalin hubungan kontraktual
Berikut Wanaprestasi dan Akibat Hukum Perikatan
1. Gugatan Ganti Rugi
Pihak yang dirugikan oleh wanprestasi dapat mengajukan gugatan ganti rugi.
Gugatan ini bertujuan untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diakibatkan akibat dari ketidakpenuhan kewajiban oleh pihak yang melanggar perjanjian. Kompensasi ini dapat mencakup kerugian langsung, kerugian tidak langsung, kerugian masa depan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.
2. Pelaksanaan Paksa
Pihak yang dirugikan oleh wanprestasi dapat meminta pengadilan untuk memerintahkan pelaksanaan paksa dari perjanjian. Artinya, pengadilan dapat memerintahkan pihak yang melanggar untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan persyaratan perjanjian yang telah disepakati. Ini umumnya berlaku jika pelaksanaan paksa dianggap lebih menguntungkan daripada gugatan ganti rugi.
3. Pembatalan Kontrak
Pihak yang dirugikan oleh wanprestasi dapat meminta pembatalan atau
pembubaran kontrak. Ini berarti bahwa perjanjian dinyatakan tidak berlaku dan
para pihak dibebaskan dari kewajiban yang belum terpenuhi. Pembatalan biasanya diberlakukan jika wanprestasi cukup serius dan tidak dapat diperbaiki.
4. Pemulihan Kerugian
Pihak yang dirugikan oleh wanprestasi dapat mengambil tindakan untuk memulihkan kerugian yang diderita. Misalnya, pihak yang dirugikan dapat mengambil alih barang yang seharusnya diberikan oleh pihak yang melanggar, atau mengambil langkah-langkah lain yang diperlukan untuk meminimalisir kerugian.
5. Perubahan atau Renegosiasi Kontrak
Dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang terlibat dapat mencoba untuk
merenegotiasi atau memodifikasi perjanjian setelah terjadinya wanprestasi. Hal ini dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan baru yang lebih
menguntungkan atau untuk memperbaiki masalah yang menyebabkan wanprestasi.
Asas-Asas Hukum Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian dikenal tiga asas penting, berikut ialah penjelasan mengenai asas- asas tersebut:
1. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Ini mengandung makna bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetpi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak, asas ini muncul dari hukum Romawi dan Jerman. Namun didalam hukum Jerman tidak dikatakan Asas Konsensualisme, tetapi nyang dikenal adalah Perikatan Riil dan Perikatan Formal. Perikatan riil adalah suatu perikatan yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata, 32 sedasngkan hukum fo0rmal adalah suatu perikatan yang telah ditentukan bentuknya.
2. Asas Pacta Sunt Servanda berhubungan dengan akibat perjanjian, hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang. Ini nmenjelaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak merupakan perbuatan yang sakral dan memiliki akibat hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian.
3. Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi nyang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atrau tidak membuat perjanjian, menentukan isi perjanjian, menentukan bentuk perjanjian,disamping ketiga asa itu, di dalam loka karya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional.
Kedelapan asas itu:
Asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatuhan, asas kebiasaan dan asas perlindungan.27 Kedelapan asas itu dijelaskan berikut ini.
1. Asas Kepercayaan Asas kepercayaan ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
2. Asas Persamaan Hukum Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum, dan tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama dan ras.
3. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan adalah suatu ras yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
4. 4. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas moral Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat di dalam zaakwarneming, dimana seseorang melakukan perbuatan yang sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
6. Asas kepatuhan Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. 8. Asas perlindungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antar debitor dan kreditor harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu seringkali adalah pihak debitor karena pihak debitor berada pada pihak yang lemah.
Jenis-Jenis Perjanjian
Pada dasarnya jenis perikatan dapat dibedakan menjadi dua jenis: perikatan perdata (obligatio verbintenis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis). Perikatan perdata atau disebut juga dengan obligatio verbintenis adalah suatu perikatan yang dapat dituntut di muka dan dihadapan pengadilan manakalah salah satu pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi. Contoh, A berutang pada B sebesar Rp. 20.000.000.00 (dua puluh juta rupiah) dan berjanji akan membayarnya pada tanggal 25 januari 1996.
Namun, pada tanggal tersebut A tidak membayar utangnya. Ada dua tindakan yang dapat dilakukan oleh B, yaitu (1) memberi teguran atau somasi sebanyak 3 kali kepada A, dan (2) apabila teguran itu tidak diindahkan, maka B dapat menuntut/meminta kepada pengadilan supaya A dapat melunasi utangnya pada B, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di antara mereka. Perikatan wajar atau natuurlijk verbintenis adalah suatu perikatan yang timbul karena adanya perjudian. Perikatan seperti itu tidak dapat dituntut di depan pengadilan. Namun, secara moral pihak di berutang berkewajiban untuk melunasi utangnya. Perikatan perdata dapat dibagi menjadi enam jenis, yaitu:
(1) perikatan bersyarat;
(2) perikatan berdasarkan ketetapan waktu;
(3) perikatan alternatif;
(4) perikatan tanggung renteng;
(5) perikatan dapat dibagi-bagi dan tak dapat dibagi-bagi;
(6) perikatan dengan ancaman hukuman (pasal 1253 KUH Perdata s.d. Pasal 1312 KUH Perdata).
1. Perikatan Bersyarat Perikatan bersyarat diatur dalam pasal 1253 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1267 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan perikatan bersayarat adalah perikatan yang ditanggungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatn menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH Perdata). Ada dua macam syarat dalam perikatan bersyarat, yaitu: a. Syarat yang
menangguhkan; b. Syarat batal. Perikatan dengan syarat yang menangguhkan adalah perikatan bersyarat yang pelaksanaannya dapat ditangguhkan sampai syaratnya terpenuhi. Perikatan dengan syarat batal adalah suatu syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak terjadi suatu
perikatan. Perikatan bersyarat hanya disyaratkan pada suatu perikatan yang mungkin terlaksana, sedangkan yang tidak dapat dilakukan, bertentangan dengan kesusilaan, dan bertentangan dengan undang – undang adalah batal demi hukum, batal demi hukum artinya bahwa perikatan itu dari semula dianggap tidak ada.
2. Perikatan dengan ketetapan waktu diatur dalam Pasal 1268 BW sampai dengan pasal 1271 BW.
Yang disebut dengan perikatan dengan ketetapan waktu adalah suatu perikatan yang ditangguhkan pelaksanaanya sampai pada waktu yang ditentukan. Suatu contoh, si Ali telah membeli sebuah rumah pada si Ahmad seharga Rp. 5.000.000,00. Tetapi, si Ahmad
menangguhkan pelaksanaan prestasinya itu pada saat terjadi perjanjian. Ia akan membayarnya
pada waktu yang telah ditentukannya. Misalnya tanggal 15 januari 1997. Keuntungan perikatan dengan ketatapan waktu adalah membatu pihak si berutang, karena ia dapat menangguhkan pelaksanaan utangnya/prestasinya sampai waktu yang ditentukan.
3. Perikatan mana suka atau alternatif diatur dalam Pasal 1272 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1277 KUH Perdata. Dalam perikatan alternatif, debitor dalam memenuhi kewajibannya dapat memilih salah satu diantara prestasi yang telah ditentukan. Di sini alternatif didasarkan pada segi sisi dan maksud perjanjian.
4. Perikatan tanggung renteng diatur dalam Pasal 1278 KUH Perdata s.d Pasal 1295 KUH Perdata.
Perikatan tanggung renteng adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berutang berhadapan dengan satu orang kreditor, dimana salah satu dari 38 debitor itu telah membayar utangnya pada kreditor, maka pembayaran itu akan membebaskan teman-teman yang lain dari utang. Contoh, A, B dan C berutang pada D. Dari Ketiga Debitor, salah satu di antaranya, misalnya B telah membayar utang itu kepada D, maka pihak A dan C telah terbebas dari pembayaran utang mereka.
5. Perikatan dapat dibagi dan tak dapat dibagi diatur dalam Pasal 1296 KUH Perdata s.d. Pasal 1303 KUH Perdata. Perikatan dapat dibagi adalah suatu perikatan dimana setiap debitor hanya bertanggung jawab sebesar bagiannya terhadap pemenuhan prestasinya. Dengan demikian dia pun terbebas dari kewajiban pemenuhan prestasi selebihnya. Masing-masing kreditor hanya berhak menagih sebesar bagiannya saja. Jadi, disini, jika barang atau harga yang menjadi objek prestasi memang sesuai untuk dibagi-bagi. Contoh, 4 orang kreditor berhadapan dengan 4 (empat) orang debitor yang diwajibkan membayar Rp.100.000,00. Masing-masing debitor menanggung kewajiban sebesar Rp.20.000,00. Serta masingmasing. Kreditor berhak menagih bagiannya hanya sebesar Rp. 25.000,00. Ada dua penyebab timbulnya perikatan tak dapat dibagi-bagi yaitu: (1) oleh karena sifat prestasi tidak dapat dibagi-bagi / dipisah-pisahkan, dan (2) berdasarkan kekuatan. Berdasarkan tujuan atau maksud perjanjian, dapat dibagi menjadi tiga segi, yaitu: (1) maksud para pihak sendiri; (2) dari penentuan yang jelas 39 dalam perjanjian; (3) dari hakikat perjanjian itu benar-benar tidak mungkin dibagi-bagi. Berdasarkan tujuan atau maksud perjanjian, dapat dibagi menajdi tiga segi, yaitu: (1) maksud para pihak sendiri; (2) dari penentuan yang jelas dalam perjanian; (3) dari hakikat perjanjian itu benar-benar tidak mungkin dibagi-bagi.
6. Perikatan dengan ancaman hukuman diatur dalam pasal 1304 KUH Perdata s.d. Pasal 1312 KUH Perdata. Perikatan dengan ancaman hukuman adalah suatu perikatan di mana seseorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi. Ada dua macam perikatan dengan ancaman hukuman, meliputi sebagai berikut:
a. Untuk menjamin dipenuihinya kewajiban-kewajiban. Jadi, suatu janji pidana atau denda. b.
Untuk menetapkan penggantian kerugian yang akan berutang karena wanprestasi dan menghindarkan percekcokan tentang itu.