5
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV Dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2014 ISBN 978-602-235-502-1
1. Judul I. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS II. SYPHILIS III. BACTERIAL INFECTIONS
IV. MOTHER CHILD RELATION 616.979 2
Indp
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan berkat dan rahmat- Nya,telah selesai buku “Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak bagi Tenaga Kesehatan” . Penyusunan buku ini melibatkan penanggung jawab program terkait di Kementerian kesehatan, organisasi profesi, badan donor terkait dengan kesehatan ibu dan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia dan fasilitas pemberi layanan kesehatan .
Buku disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada perempuan usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir. Dengan adanya buku ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada semua pihak terkait dalam upaya pencegahan penularan infeksi HIV baru pada bayi baru lahir dan eliminasi sifilis kongenital di Indonesia.
Dalam kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi serta UNICEF yang telah memfasilitasi dalam proses penyusunan buku ini.
Jakarta, Februari 2014 Direktur Bina Kesehatan Ibu
REP
UBLIK INDONESIA KEMENTERDirektorat JendralIAN KESEHATAN
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
dr. Gita Maya Koemara Sakti.MHA NIP. 195706221985012001
REP
UBLIK INDONESIA KEMENTERDirektorat JendralIAN KESEHATAN
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK Dalam upaya menurunkan kematian ibu serta melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas yang merupakan tujuan pelayanan kesehatan ibu sebagimana diamanatkan dalam UU Kesehatan, maka pelayanan antenatal yang berkualitas merupakan bagian yang sangat penting dan akan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mencapai tujuan tersebut. Sejauh ini, akses pelayanan antenatal sudah cukup baik, data memperlihatkan cakupan pelayanan antenatal K1 sudah mencapai 95,7 % (SDKI 2012), namun kualitas pelayanan antenatal yang didapatkan ibu hamil masih perlu mendapat perhatian . Seharusnya selama kehamilan ibu hamil harus mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar termasuk deteksi kemungkinan adanya penyakit/penyulit yang diderita ibu yang dapat berdampak negative terhadap kesehatan ibu dan janinnya.
Salah satu penyakit yang harus dideteksi selama kehamilan adalah infeksi HIV dan sifilis pada ibu hamil. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV selama kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67%
kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis congenital. Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan penularan HIV sebesar 3-5 kali.
Upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, harus terintegrasi antara layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) dan layanan pencegahan sifilis kongenital dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Agar pelayanan yang terpadu ini dapat diterapkan secara menyeluruh di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Pencegahan HIV dan sifilis dari ibu Ke Anak yang terintegrasi dalam pelayanan KIA.
Pedoman ini disusun berdasarkan Pedoman PPIA nasional yang telah ada, disesuaikan dengan kebijakan terkini terkait layanan HIV/AIDS, terintegrasi dengan layanan KIA dan layanan IMS, serta akan memperkuat penerapan layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV-IMS yang komprehensif dan berkesinambungan (LKB). Pedoman tatalaksana ini akan melengkapi kebijakan dan kepustakaan terkait PPIA yang telah ada, yang secara khusus diperuntukkan bagi tenaga kesehatan baik tingkat dasar maupun rujukan untuk membantu kegiatan layanan sehari-hari yang terintegrasi.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan Pedoman tatalaksana ini dan semoga bermanfaat.
Jakarta, Februari 2014 Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA
Dr. Anung Sugihantono, M.Kes NIP. 196003201985021002
REP
UBLIK INDONESIA KEMENTERDirektorat JenderalIAN KESEHATAN
Pengendalian Penyakit Penyehatan Lingkungandan
SAMBUTAN
Infeksi Menular Seksual, menginfeksi lebih dari 1 juta orang setiap hari, atau sekitar 500 juta orang menderita empat (4) besar IMS yaitu chlamydia, gonorrhea, syphilis dan trichomoniasis setiap tahun di seluruh dunia. Sedangkan Herpes genitalis menginfeksi 530 juta orang dan lebih dari separuhnya yaitu wanita, terinfeksi HPV, penyebab kanker leher rahim. Human Immunodeficiency Virus (HIV), salah satu IMS, adalah retrovirus yang menginfeksi sel kekebalan tubuh sehingga menghancurkan dan merusakkan fungsinya. Sistem kekebalan tubuh manusia yang menjadi makin lemah membuat tubuh rentan terhadap infeksi lain serta percepatan perubahan degenerasi tingkat seluler sehingga menimbulkan sindrom immunodefisiensi dapatan (AIDS) dalam 10-15 tahun.
Epidemi HIV-AIDS di dunia menjadikannya masalah global, dan penularan tercepat di Asia adalah Indonesia. Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap ditemukan seorang penderita HIV, maka terdapat 10 penderita IMS dengan keluhan dan penderita IMS tanpa keluhan 10 kali lipatnya. Penularan utamanya tentu saja hubungan seksual tanpa pelindung, pemakaian bersama alat suntik atau transfusi darah yang terkontaminasi, dan dari ibu ke bayi.
Prevalensi Sifilis dan HIV di antara ibu hamil belum diketahui secara luas di Indonesia, sekalipun telah diketahui adanya bayi penderita HIV atau sifilis dan berbagai bentuk IMS lainnya, dan keberadaan keduanya secara bersamaan menurunkan kualitas hidup dan umur harapan hidup penderitanya.
Indonesia sebagai Negara berdaulat berupaya sungguh-sungguh membebaskan generasi masa depan dari infeksi menular seksual termasuk HIV ini, dengan memadukan berbagai upaya kesehatan secara komprehensif dan berkesinambungan, makin produktif dan bebas stigma serta diskriminasi. Komitmen Pemerintah Indonesia akan ketersediaan obat antiretroviral, telah diperluas secara strategis untuk mempertahankan kualitas hidup rakyat Indonesia dan kebijakan urusan wajib serta urusan bersama dengan pemerintah daerah dalam pengendalian IMS telah ditetapkan melalui SE Dirjen PP dan PL Kemenkes RI.
Apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan bagi setiap orang yang telah bersungguh-sungguh terlibat dalam penyusunan Pedoman Nasional Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Semoga bermanfaat.
Jakarta, Februari 2014 Direktur Jenderal PP dan PL,
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, NIP. 195509031980121001
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iii
Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA iv
Sambutan Direktur Jenderal P2PL v
Daftar Isi vi
Daftar Bagan viii
Daftar Tabel ix
Daftar Boks x
Daftar Singkatan xi
I. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kebijakan 2
1.3 Tujuan 4
1.4 Sasaran 4
1.5 Target 5
II. Informasi Dasar tentang HIV dan Sifilis 6
2.1 HIV 6
2.1.1 Pengertian 6
2.1.2 Penularan HIV 7
2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV 9
2. 2 Sifilis 10
2.2.1 Pengertian 10
2.2.2 Penularan Sifilis 11
2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis 11 III. Kegiatan Komprehensif Pencegahan Penularan
HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak 13
3.1 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi 13 3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan
Edukasi tentang Pencegahan Infeksi HIV 13
3.1.2 Tes HIV dan Konseling 13
3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak
Direncanakan pada Perempuan dengan HIV 19 3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan
Infeksi HIV 20
3.1.5 Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu
dengan HIV 22
3.1.6 Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV 23 3.1.7 Pemberian ARV dan Kotrimoksasol
Profilaksis pada Bayi 24
3.1.8 Diagnosis HIV pada Bayi 25
3.1.9 Pelayanan Imunisasi 26
3.1.10 Pemberian Nutrisi bagi Bayi dari Ibu
dengan HIV 27
3.2 Pencegahan Penularan Sifilis dari Ibu ke Bayi 28 3.2.1 Diagnosis Sifilis pada Ibu Hamil 28 3.2.2 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil 32
3.2.3 Diagnosis Sifilis Kongenital 33
3.2.4 Terapi pada Bayi dengan Sifilis Kongenital 34 3.3 Pencegahan Penularan Infeksi di Fasilitas Kesehatan 36
3.3.1 Pencegahan Umum 36
3.3.2 Tatalaksana Pasca Pajanan 36
IV. Jejaring, Alur Pelayanan, Peran dan Sistem Rujukan
PPIA dan Sifilis 40
4.1 Peran Tiap Pihak dalam Jejaring Pelayanan 40
4.2 Sistem Rujukan 43
V. Pencatatan dan Pelaporan 45
Daftar Pustaka 49
Lampiran 1 Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan dan
Konseling (TIPK) 51
Lampiran 2 Kriteria Pemilihan Jenis Tes HIV 54 Lampiran 3 Jenis Antiretroviral yang Tersedia di Indonesia 55 Lampiran 4 Alternatif Pemberian/Pengganti ASI 56 Lampiran 5 Evaluasi dan Monitoring Pasien Sifilis dan
Penanganan Syok Anafilaksis 58
Lampiran 6 Formulir Registrasi IMS 61
Lampiran 7 Formulir Registrasi Layanan TIPK 63
Lampiran 8 Surat Pernyataan TIPK 64
Lampiran 9 Formulir Registrasi Layanan PPIA 65 Lampiran 10 Surat Persetujuan Profilaksis Pasca Pajanan 67
Lampiran 11 Kartu Ibu 68
Lampiran 12 Kohort Antenatal Care 70
Daftar Penyusun 71
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS
Bagan 2 Alur Layanan KIE tentang HIV dan Sifilis pada Wanita Usia Subur Bagan 3 Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling
Bagan 4 Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan “Strategi Tiga Serial”
Bagan 5 Alur Pemberian ARV pada Ibu Hamil
Bagan 6 Pemberian Kotrimoksazol pada Bayi dari Ibu dengan HIV
Bagan 7 Alur Tes Serologis Sifilis Bila Tes Treponema dan Non Treponema Tersedia
Bagan 8 Alur Tes Serologis Sifilis pada Ibu Hamil Bila Hanya Tersedia TP Rapid Bagan 9 Alur Kegiatan PPIA Komprehensif
Bagan 10 Alur Rujukan Vertikal dan Horizontal Timbal-balik Bagan 11 Alur Pelaporan
DAFTAR TABEL Tabel 1 Penentuan Status Epidemi HIV Tabel 2 Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak Tabel 3 Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Tabel 4 Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO Tabel 5 Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital
Tabel 6 Pemberian Obat ARV pada Berbagai Situasi Klinis Ibu Hamil Tabel 7 Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV Tabel 8 Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Tabel 9 Jadwal Kunjungan Pemeriksaan pada Bayi dari Ibu dengan HIV Tabel 10 Terapi Sifilis pada Ibu Hamil
Tabel 11 Rekomendasi PPP HIV Berdasarkan Jenis Pajanan
Tabel 12 Peran Setiap Pihak pada Aktivitas PPIA dan Pencegahan Sifilis Kongenital
DAFTAR BOKS
Boks 1 Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan HIV
Boks 2 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI
Boks 3 Kriteria pemberian paduan dua obat NRTI + satu PI
Daftar Singkatan
AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome
ANC Antenatal Care
ARV Antiretroviral
ASI Air Susu Ibu
AZT/ZDV Zidovudin
BPM Bidan Praktek Mandiri CD4 Cluster of Differentiation 4 d4T Stavudin
ddI Didanosin
EFV Efavirens
Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan FTC Emtricitabin
HIV Human Immunodeficiency Virus IMS Infeksi Menular Seksual
KDS Kelompok Dukungan Sebaya
KTS Konseling dan Tes Secara Sukarela
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi
LKB Layanan Komprehensif Berkesinambungan LPV/r Lopinavir/ritonavir
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
NNRTI Non NRTI
NRTI Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
NVF Nelfinavir
NVP Nevirapin
ODHA Orang dengan HIV/AIDS
PBK Perawatan Berbasis Komunitas
PBR Perawatan Berbasis Rumah
PCR Polymerase Chain Reaction
PDP Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Penasun Pengguna Narkoba Suntik
PI Protease Inhibitor
PMTCT Prevention of Mother to Child Transmission Polindes Pondok Bersalin Desa
Posyandes Pondok Pelayanan Desa
PPIA Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak PPP Profilaksis Pasca Pajanan
Pustu Puskesmas Pembantu
SQV Saquinavir
TB Tuberkulosis
3TC Lamivudin
TDF Tenovofir
TIPK Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan
Kesehatan dan Konseling
TPHA Treponema Pallidum Hemaglutination Antigen WHO World Health Organization
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sampai dengan tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497 (69,4%) kabupaten/
kota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya telah mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus baru, yang 57,1 % di antaranya berusia 20-39 tahun. Sumber penularan tertinggi (58,7%) terjadi melalui hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual. Pada tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada kelompok ibu rumah tangga (18,1%) yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya. Pada tahun 2012 pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV terdapat 1.329 (3,05%) ibu dengan infeksi HIV.
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.
Upaya ini diintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan kepada bayi seperti halnya pada infeksi HIV.
Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan risiko tertular HIV. Pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya infeksi HIV. Berbagai penelitian di banyak negara melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67% kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital. Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan mengobati ibu yang terinfeksi sifilis dan pasangannya. Secara umum upaya tersebut sangat efektif, bahkan di daerah dengan prevalensi HIV yang sangat rendah.
Data sifilis pada ibu hamil masih terbatas. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten dan kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut dilakukan terhadap 2332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama antenatal, dengan 24 orang (1,45%) di antaranya terinfeksi sifilis. Analisis sementara dari data rutin layanan IMS tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa di antara 40.000 ibu hamil yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), sebanyak 14.000 (35%) di-tes sifilis. Di antara ibu hamil yang diperiksa ini, ditemukan 308 (2,2%) ibu hamil dengan infeksi sifilis.
Kajian WHO di beberapa negara Asia Pasifik menunjukkan bahwa skrining sifilis pada ibu hamil yang dilaksanakan bersamaan dengan PPIA dalam paket layanan antenatal terpadu sangat cost-effective. Hal ini penting untuk mencapai tujuan Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS serta mencapai target eliminasi
ganda HIV dan sifilis congenital. Upaya ini dilakukan melalui skrining pada ibu hamil melalui tes HIV dan tes sifilis yang diikuti dengan pengobatan bila hasilnya positif.
Saat ini jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan PPIA dan sifilis masih sangat terbatas. Sampai tahun 2012 baru 105 fasyankes yang menyediakan layanan PPIA, yaitu 93 rumah sakit dan 12 puskesmas (0,84% fasyankes di Indonesia); sedangkan jumlah fasilitas yang memberikan layanan IMS, termasuk skrining sifilis pada ibu hamil, juga masih terbatas, yaitu sebanyak 257 fasyankes1. Dalam upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA dan pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan dengan layanan kesehatan ibu dan anak (KIA), yaitu melalui pelayanan antenatal terpadu baik di tingkat pelayanan dasar maupun rujukan. Buku pedoman ini memberikan acuan teknis bagi para petugas kesehatan tentang pelaksanaan layanan antenatal terpadu dengan HIV- AIDS dan sifilis dalam upaya tersebut.
1.2 Kebijakan
PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan utamanya adalah agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Kebijakan umum PPIA sejalan dengan kebijakan program nasional pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya, serta kebijakan program KIA. Layanan PPIA mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan yang banyak persamaannya dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu kedua upaya ini diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur, layanan tersebut dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi, khususnya layanan KIA, keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi remaja.
Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan epidemi, yaitu:
1. Epidemi meluas (generalized epidemic): kasus HIV sudah menyebar di populasi umum atau bila prevalensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): kasus HIV menyebar di kalangan sub-populasi tertentu seperti kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL), pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks dan pasangannya mencapai prevalensi kasus HIV lebih dari 5% secara konsisten, sedangkan pada populasi umum atau pada ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap di bawah 1%.
3. Epidemi rendah (low epidemic): kasus HIV telah ada namun belum menyebar luas (< 5%) pada sub-populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat terbatas pada sejumlah individu yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya) dan prevalensi kasus HIV di bawah 1% pada populasi umum dan di bawah 5% pada sub-populasi tertentu.
Tabel 1 menampilkan ringkasan untuk penentuan status epidemi HIV.
Tabel 1. Penentuan Status Epidemi HIV Prevalensi kasus HV
pada populasi umum atau ibu hamil
Prevalensi kasus HV pada populasi
risiko tinggi Status epidemi HIV
< 1% < 5% Rendah
< 1% > 5% Terkonsentrasi
> 1% (Biasanya > 5%) Meluas
Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut dan karena upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun mengikuti kebijakan yang sama.
1. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk semua ibu hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan.
2. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), bersama pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan.
Layanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan mencakup hal-hal berikut.
1. Memberikan layanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar kehamilan berlangsung sehat.
2. Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan (termasuk tes HIV dan sifilis sesuai dengan tingkat endemisitas wilayah).
3. Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman.
4. Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi.
5. Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila diperlukan.
6. Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/
komplikasi.
Komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah:
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin.
6. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT) bila diperlukan.
7. Beri tablet tambah darah (tablet zat besi).
8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: i) golongan darah;
ii) kadar Hb; iii) kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis); iv)
tes sifilis; v) tes HIV; vi) malaria (di daerah endemis malaria); vii) protein dalam urin; viii) BTA (untuk tuberkulosis).
9. Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan.
10. Konseling.
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong) sebagai berikut.
1. Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular 2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tak direncanakan pada perempuan HIV.
pengidap HIV.
3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya.
4. Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak untuk mencapai eliminasi sifilis kongenital dilakukan dengan kegiatan berikut.
1. Layanan antenatal terpadu bagi ibu hamil.
2. Skrining sifilis pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama layanan antenatal sampai menjelang persalinan, terutama yang belum pernah diskrining sebelumnya.
3. Pengobatan semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah diperoleh hasil tes positif.
4. Pengobatan semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis.
5. Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi ulang.
6. Pengobatan semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
7. Pemeriksaan seksama dan perencanaan perawatan bagi bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
Semua upaya tersebut di atas dilakukan di semua fasilitas pelayanan dasar dan rujukan yang secara nasional dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan.
Selanjutnya, upaya ini dijalankan oleh pemerintah daerah beserta jajarannya dengan melibatkan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat.
1.3 Tujuan
Buku Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini disusun sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Buku ini memberikan pedoman tentang pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada wanita usia reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir.
1.4 Sasaran
Sasarannya adalah tenaga pelayanan kesehatan di tingkat layanan primer dan rujukan. Tenaga kesehatan tersebut termasuk bidan, perawat, dokter umum, dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis anak serta tenaga kesehatan terkait di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
1.5 Target
Target upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil ke bayi sebagai berikut.
1. Semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
2. Semua ibu hamil di daerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), dilakukan tes HIV dan sifilis pada kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
3. Semua ibu hamil dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan terapi.
4. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pemeriksaan dan terapi.
BAB II. INFORMASI DASAR TENTANG HIV DAN SIFILIS
2.1 HIV
2.1.1 Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara lain kulit, saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga mungkin timbul.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan.
Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: i) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow progressor, lebih dari 15 tahun.
Sel limfosit, CD4 dan Viral Load
Leukosit merupakan sel imun utama, di samping sel plasma, makrofag dan sel mast.
Sel limfosit adalah salah satu jenis leukosit (sel darah putih) di dalam darah dan jaringan getah bening. Terdapat dua jenis limfosit, yaitu limfosit B, yang diproses di bursa omentalis, dan limfosit T, yang diproses di kelenjar thymus. Limfosit B adalah limfosit yang berperan penting pada respons imun humoral melalui aktivasi produksi imun humoral, yaitu antibodi berupa imunoglobulin (Ig G, IgA, Ig M, Ig D dan Ig E). Limfosit T berperan penting pada respons imun seluler, yaitu melalui kemampuannya mengenali kuman patogen dan mengaktivasi imun seluler lainnya, seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T berfungsi menghancurkan sel yang terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki kemampuan memori, evolusi, aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik terhadap antigen guna mempertahankan kekebalan tubuh.
CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus pada dinding limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4 atas bantuan koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat CD4), merupakan petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh karena pecah/rusaknya limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar 8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya menurun drastis, berarti kekebalan tubuh sangat rendah, sehingga memungkinkan berkembangnya infeksi oportunistik.
Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi HIV, viral load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR (polymerase chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita HIV, semakin besar pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain.
2.1.2 Penularan HIV
Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut.
i) Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.
ii) Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril iii) Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama
kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.
Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan atau intervensi berkisar antara 20-50% (Tabel 2). Dengan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun bila terjadi peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.
Tabel 2. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Selama kehamilan 5-10 %
Saat persalinan 10-20 %
Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20 % Risiko penularan keseluruhan 20 - 50%
Sumber: De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82 Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
i) Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
ii) Faktor bayi.
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
iii) Faktor tindakan obstetrik.
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut.
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/
lendir ibu semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko jam.
penularan HIV.
Tabel 3 merangkum faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi.
Tabel 3. Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik 1. Kadar HIV/viral load
dalam darah 2. Kadar CD4
3. Status gizi selama kehamilan
4. Penyakit infeksi selama kehamilan
5. Masalah payudara, jika menyusui
1. Prematuritas dan berat lahir rendah 2. Lama menyusu, bila
tanpa pengobatan 3. Luka pada mulut
bayi, jika bayi menyusu
1. Jenis persalinan 2. Lama persalinan 3. Ketuban pecah dini 4. Tindakan
episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep
2.1.3 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV
Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut.
i) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV.
ii) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang- timbul walaupun diobati.
iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.
Bagan 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat tinggi sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat viral load mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif stabil, namun limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan viral load makin tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit, misalnya tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia (OHL), oral candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), cytomegalovirus (CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan Mycobacterium avium (MAC).
Bagan 1. Riwayat Perjalanan Alamiah Infeksi HIV dan AIDS
Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013
Sumber: Pedoman Nasional PPIA, Kementerian Kesehatan RI, 2013
Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi HIV yang dapat digunakan untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif berkesinambungan jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan berkesinambungan (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO
Stadium 1
Asimptomatik Stadium 2
Sakit ringan Stadium 3
Sakit sedang Stadium 4
Sakit berat (AIDS) Berat
badan (BB)
Tidak ada
penurunan BB Penurunan BB
5-10% Penurunan BB >
10% Sindroma wasting HIV
Gejala Tidak ada gejala atau hanya :
• Limfadenopati generalisata persisten
• Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
• Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
• Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
• Kandidiasis oral atau vaginal
• Oral hairy leukoplakia
• Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari satu bulan
• Kandidiasis esophageal
• Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
• Limfoma
• Sarkoma kaposi
• Kanker serviks invasif
• Retinitis cytomegalovirus
•ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
•Ulkus mulut berulang
• Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
• TB paru dalam satu tahun terakhir
• TB
limfadenopati
• Gingivitis/
periodontitis ulseratif nekrotika akut
• Pneumonia pnemosistis
• TB ekstra-paru
• Abses otak toksoplasmosis
• Meningitis kriptokokus
• Encefalopati HIV
• Gangguan fungsi neurologis dan tidak oleh penyebab lain, sering kali membaik dengan ART
2.2 Sifilis 2.2.1 Pengertian
Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh bakteri spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non-venereal endemic syphilis (telah dieradikasi), frambusia (T pertenue) dan pinta (T careteum di Amerika Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis kongenital (ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat/
akuisita yang ditularkan melalui hubungan seks dan produk darah yang tercemar.
2.2.2 Penularan Sifilis
Cara penularan sifilis sama dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis, di samping penularan dari ibu ke bayi. Penularan sifilis dari ibu ke bayi berlangsung melalui cara yang lebih kurang sama seperti pada penularan infeksi HIV. Penularan ini terjadi pada masa kehamilan, kontak saat persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan.
Walaupun penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan, namun biasanya penularan terjadi pada minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan. Sifilis pada ibu hamil yang tidak diobati dapat mengakibatkan keguguran, prematuritas, bayi berat lahir rendah, lahir mati dan sifilis kongenital.
Risiko Penularan Sifilis dari Ibu ke Anak Faktor risiko penularan sifilis dari ibu ke anak sebagai berikut.
i) Faktor ibu.
a. Adanya infeksi lain selama kehamilan, misalnya IMS (HIV, gonore, dll), infeksi organ reproduksi, malaria dan tuberkulosis akan memperbesar risiko penularan sifilis.
b. Penularan baru sifilis pada ibu hamil meningkatkan risiko penularan ke anak.
ii) Faktor tindakan obstetrik: berbeda dengan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak, risiko penularan sifilis pada masa kehamilan lebih besar dibandingkan risiko pada saat persalinan karena bakteri dapat menembus barier darah plasenta.
2.2.3 Perjalanan Alamiah Infeksi Sifilis
Sejak terinfeksi sifilis pertama kali, tubuh mengaktivasi sistem kekebalan sehingga timbul antibodi anti-sifilis dalam 10-45 hari. Dengan demikian, window period berlangsung dalam kurun waktu tersebut. Gejala fisik pertama infeksi sifilis dapat diketahui 10-90 hari setelah terinfeksi, dengan rerata 21 hari. Munculnya lesi tunggal (chancre) pertama kali menunjukkan mulainya stadium primer infeksi sifilis. Lesi/
luka tersebut biasanya kenyal keras, bulat, dengan dasar bersih dan tidak terasa nyeri. Lesi bertahan selama 3-6 minggu dan sembuh sendiri dengan atau tanpa diobati. Jika penderita tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat maka infeksi akan berlanjut ke stadium sekunder.
Stadium sekunder ditandai dengan ruam kulit, yang dapat ditemukan pada satu atau lebih bagian tubuh. Ruam tersebut tidak menimbulkan rasa gatal, tampak sebagai bercak merah kotor atau coklat kemerahan di telapak tangan/kaki. Pada bagian tubuh yang lain, ruam mungkin berbeda bentuk, sehingga dikira disebabkan oleh penyakit lain. Gejala lainnya adalah demam, pembengkakan kelenjar getah bening, radang tenggorokan, kerontokan rambut berkelompok, nyeri kepala, penurunan berat badan, nyeri otot dan mudah lelah. Gejala tersebut akan hilang dengan sendirinya, walaupun tanpa pengobatan. Tanpa pengobatan yang tepat, infeksi akan berlanjut menjadi stadium laten/akhir.
Stadium laten dimulai ketika gejala primer dan sekunder menghilang. Tanpa pengobatan, penderita tetap mengidap sifilis sekalipun tanpa gejala dan tanda klinis apapun. Stadium laten ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Sekitar 15% pengidap sifilis yang tidak diobati berlanjut ke stadium akhir, sekitar 10-30 tahun sejak infeksi
pertama. Gejala stadium akhir sifilis meliputi kesulitan koordinasi gerakan otot, kelumpuhan, mati rasa dan rasa tebal, kebutaan bertahap dan demensia. Akhirnya bakteri akan merusak organ-organ dalam seperti otak, jaringan saraf, mata, jantung, pembuluh darah, hati, tulang dan persendian sehingga dapat mengakibatkan kematian. Tabel 5 menampilkan rangkuman manifestasi klinis infeksi sifilis.
Tabel 5. Manifestasi Klinis Sifilis Didapat dan Kongenital Sifilis didapat
Stadium Manifestasi klinis Durasi
Primer Chancre/ulcus atau luka/
tukak, bersifat soliter, tidak nyeri dengan batas yang tegas dan adanya indurasi dengan pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) regional.
3 minggu
Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di telapak tangan/kaki, lesi mukokutan, demam, malaise, limfadenopati generalisata, kondiloma lata, patchy alopecia, meningitis, sakit kepala, uveitis, retinitis.
2-12 minggu
Laten dini dan laten lanjut
Asimtomatik. Dini: <1
tahun;
Lanjut: ≥ 1 tahun Tersier
- Gumma - Sifilis kardio- vaskuler - Neurosifilis
• Destruksi jaringan di organ/lokasi yang terinfeksi.
• Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum.
• Bervariasi dari asimtomatis sampai sakit kepala, vertigo, perubahan kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll Robertson.
1–46 tahun 10–30 tahun 2–20 tahun
Sifilis kongenital Dini 70% asimtomatis; infeksi fulminan dan
tersebar, lesi mukokutaneous, osteokondritis, anemia, hepatosplenomegali, neurosifilis.
Dari lahir sampai < 2 tahun
Lanjut Keratitis interstisial, limfadenopati, hepatosplenomegali, kerusakan tulang, anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis.
Persisten > 2 tahun setelah kelahiran
BAB III. KEGIATAN KOMPREHENSIF PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS DARI IBU KE ANAK
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan secara terintegrasi dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Di bawah ini adalah kegiatan-kegiatan untuk pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
3.1 Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Bayi
3.1.1 Penyebarluasan Komunikasi, Informasi dan Edukasi tentang Pencegahan Infeksi HIV dan Sifilis
Kegiatan ini merupakan kegiatan penting yang dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV dan AIDS demi mencegah meluasnya penularan infeksi HIV. Untuk upaya PPIA, Program Kesehatan Ibu/Reproduksi melakukan KIE dengan sasaran wanita usia reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja dan pasangan suami-isteri yang mengunjungi fasilitas pelayanan KIA, KB dan pelayanan kesehatan peduli remaja. Di puskesmas, pemberian KIE tentang pencegahan penularan HIV dan sifilis diintegrasikan dengan layanan KIA, KB, kesehatan peduli remaja, kelas ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu; dan layanan IMS, tuberkulosis dan gizi (Bagan 2).
Bagan 2. Alur layanan KIE tentang HIV dan sifilis pada wanita usia subur
Wanita usia subur
Informasi, edukasi HIV dan AIDS termasuk PPIA dan sifilis kongenital
Poli KIA Poli KB Poli Gizi Konseling remaja Poli IMS/TB Kelas Ibu hamil
3.1.2 Tes HIV dan Konseling
Tes atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK)
TIPK adalah tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatannya. TIPK dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan pada fasyankes. TIPK dilaksanakan dengan memperhatikan dengan prinsip 3C (confidential, consent dan counseling); dan 2R (recording-reporting dan referral).
Penawaran tes HIV dan sifilis pada ibu hamil dilakukan pada saat kunjungan antenatal atau menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin lainnya. Bila ibu menolak untuk diperiksa dengan tes HIV dan sifilis, maka ia diminta untuk menyatakan ketidak- setujuannya secara tertulis . Apa pun pilihannya, ibu hamil tetap diberikan bantuan dan tatalaksana klinis sesuai dengan kondisinya dan tetap dianjurkan untuk pemeriksaan ulang seperti biasa. Pada kunjungan berikutnya, ibu hamil diberi penjelasan ulang tentang pentingnya tes HIV dan sifilis demi keselamatan diri dan bayinya, terutama
di daerah epidemi tinggi dan terkonsentrasi HIV-AIDS. Bila ibu hamil tersebut belum bisa diyakinkan, maka ia dapat dirujuk untuk mengikuti konseling yang lebih intensif pada layanan konseling dan tes sukarela (KTS), bila ada. (Surat penolakan TIPK dapat dilihat dilampiran 8)
Langkah-langkah TIPK (lihat Bagan 3 dan Lampiran 1) meliputi:
i) pemberian informasi sebelum tes;
ii) pengambilan darah;
iii) penyampaian hasil tes ; dan iv) konseling.
Bagan 3. Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling
Ruang bersalin Bidan/dokter/klinik
praktek swasta
Puskesmas, rumah
sakit Polindes/Posksdes/
Pustu Poliklinik, BP,
IMS, TB
Ibu Hamil
Tidak setuju
Tawarkan kembali pada saat kunjungan ulang ANC Rujuk ke Laboratorium
Setuju Pelayanan ANC terpadu
1. Anamnesa 2. Pemeriksaan:
Tinggi berat badan
Ukur tekanan darah Ukur lingkaran lengan atas
Ukur tinggi fundus uteri
Denyut jantung janin
Imunisasi TT
Tablet Fe 90 tablet
Tes lab: Hb, gol darah, proteinuria, HIV ,sifilis dll
Tata laksanan kasus
Temu wicara dan konseling 3. Tatalaksana kasus
Kunjungan antenatal
Penawaran tes HIV dan sifilis bersamaan dengan pemeriksaan laboratorium rutin lainnya (TIPK)
Tetap menolak
Perkenalkan KTS Poli KIA
Sifilis Negatif Sifilis
Positif
Konseling setelah tes
Tes HIV dan Sifilis
negatif HIV Positif HIV
Konseling setelah tes
Konseling setelah tes Konseling
setelah tes
• Terapi sifilis
• Anjuran terapi bagi pasangan Rujuk Ibu
hamil untuk mendapatkan
ARV
Rujuk Ke Poli IMS/BP
i) Pemberian Informasi Sebelum Tes
Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium pada layanan antenatal terpadu, termasuk tes HIV dan sifilis, petugas kesehatan wajib memberikan informasi yang meliputi hal-hal berikut.
• Risiko penularan penyakit-penyakit tertentu, seperti TBC, malaria, hepatitis HIV dan sifilis , dari ibu kepada bayinya selama kehamilan, saat persalinan dan masa menyusui.
• Keuntungan diagnosis dini penyakit -penyakit tersebut atau penyakit lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal pada kehamilan bagi ibu dan bayi yang akan dilahirkan. .
• Layanan yang tersedia dan pengobatan bagi pasien yang hasil tesnya positif,.
• Informasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara konfidensial; dan tidak akan diungkapkan tanpa seijin pasien kepada orang lain selain petugas kesehatan yang terkait langsung dengan perawatan pasien.
• Pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani tes laboratorium rutin. Tes akan dilakukan sesuai dengan standar prosedur yang berlaku, kecuali pasien menggunakan hak tolaknya tersebut. Bila menolak, pasien perlu membuat pernyataan tertulis.
• Penolakan untuk menjalani pemeriksaan laboratorium, tidak akan mempengaruhi layanan selanjutnya bagi klien/ibu hamil.
• Kesempatan diberikan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan kepada petugas kesehatan.
ii) Pengambilan Darah dan Tes HIV
Diagnosis HIV yang asimtomatik menggunakan strategi tiga serial (lihat Bagan 4) untuk daerah dengan prevalensi HIV di bawah 10%. Tiga reagen yang berbeda sensitivitas, spesifisitas dan preparasi antigennya digunakan secara serial, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241/2006 tentang Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik. Pengambilan darah untuk tes HIV – dilakukan sekaligus untuk tes lainnya – dilakukan oleh tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan/
atau teknisi laboratorium maka tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat terlatih) dapat melakukannya. Cara pengambilan darah seperti biasa, mengikuti prosedur standar.
Tes diagnostik HIV dapat dilakukan secara serologis dan virologis. Pemeriksaan serologis dilakukan dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme Immuno Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein. Pemeriksaan virus menggunakan metode PCR (polymerase chain reaction). Kriteria pemilihan jenis tes HIV dijelaskan pada Lampiran 2.
Bagan 4. Alur Tes HIV untuk Diagnosis dengan "Strategi Tiga Serial"
A1 (+) A2 (+) A3 (+) A1 (+)
A2 (-‐) A3 (+)
A1 (+) A2 (+) A3 (-‐) A1 (NR)
A2 (+) A3 (+) A1 (NR)
A2 (R) A3 (NR) A1 (R)
A2 (NR) A3 (NR) A1 (NR)
A2 (NR) A1 non
reaktif
Reaktif Nonreaktif
HIV Negatif
Berisiko
Tidak Ya
Indeterminate
HIV Positif
Keputusan klinis
Lapo
Bersedia di tes HIV Tes Antibodi HIV A1
Reaktif Nonreaktif
Tes Antibodi HIV A2 Reaktif Nonreaktif
Ulang tes HIV A1 dan A2
Hasil pengulangan
Keduanya Nonreaktif
Keduanya Reaktif Salah satu
Reaktif
Tes antibodi HIV A3
La po ra n la bo rat ori u m Lapo
Bagan 4. Alur tes HIV untuk diagnosis dengan “Strategi tiga serial”
Keterangan: Yang dimaksud berisiko dalam tabel diatas adalah kelompok populasi kunci (Pekerja seks, Pengguna Napza Suntik, Lelaki sek dengan lelaki, waria) dan Pasien hepatitis, Ibu Hamil, Pasangan diskordan, Pasien TB, Pasien IMS, Warga Binaan Pemasyarakatan
Hasil Positif:
• Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif Hasil Negatif:
• Bila hasil A1 non reaktif
• Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
• Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko Hasil Indeterminate:
• Bila dua hasil tes reaktif
• Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Anti HIV
Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV
Tindak lanjut hasil positif:
• Rujuk ke Pengobatan HIV Tindak lanjut hasil negatif:
• Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama sampai satu tahun.
• Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku hidup sehat
Tindak lanjut hasil indeterminate:
• Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimun setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama.
• Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR.
• Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif.
iii) Penyampaian Hasil Tes HIV
Petugas kesehatan perlu mengetahui hasil tes lebih dahulu sebelum disampaikan kepada ibu hamil. Kesesuaian nama pasien perlu diperiksa, kemudian semua hasil pemeriksaan disampaikan, di samping hasil tes HIV. Maksud dari nilai hasil pemeriksaan dijelaskan, demikian pula tatalaksana yang akan dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan dicatat dalam rekam medis; sedangkan formulir hasil pemeriksaan dapat diberikan kepada pasien, sebagai haknya. Jika pasien menghendaki, formulir hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpan di fasyankes sebagai lampiran rekam medis pasien.
Pasien perlu diberi kesempatan bertanya tentang hasil pemeriksaan dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Konseling diberikan setelah pasien/ibu hamil memahami hasil tes dan tatalaksana yang hendak dilakukan. Bila ada keraguan, pasien dirujuk.
iv) Konseling
Konseling wajib diberikan pada setiap pasien/ibu hamil yang telah diperiksa spesimen darahnya untuk tes HIV dan sifilis. Konseling harus dilakukan secara tatap muka individual.
Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
i. Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif:
•
penjelasan tentang masa jendela/window period;•
pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari;•
risiko penularan HIV dari ibu ke anak;•
konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan tes HIV.ii. Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:
•
Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan•
penjelasan tentang rencana pemberian profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV, kepatuhan minum obat serta dimana obat ART bisa didapat;•
pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan gizi yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat besi dan asam folat;•
rencana pilihan persalinan•
rencana pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan pilihannya;•
konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia atau menggunakan kondom secara benar dan konsisten);•
tes HIV bagi bayi•
tes HIV bagi pasangan;•
informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA yang dapat dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan ODHA;•
rujukan bila perlu;•
kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan;iii. Penjelasan mengenai hasil indeterminate (meragukan): tes perlu diulang dengan spesimen baru setelah dua minggu, tiga bulan, enam bulan dan setahun. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai “non-reaktif”. Konseling diberikan seperti pada penjelasan hasil tes non-reaktif dan reaktif.
Bila terdapat reaksi psikologis, misalnya pasien menolak hasil pemeriksaan atau marah yang terkait dengan diagnosis HIV dan sifilis, maka diperlukan konseling khusus. Pada keadaan ini, petugas kesehatan lebih baik mendengarkan dan mengarahkan pencegahan penularan ke bayi serta tidak membuat keputusan untuk pasien. Bila diperlukan, dapat ditawarkan rujukan untuk konseling kepada psikolog atau konselor lain.
3.1.3 Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan dengan HIV
Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada perempuan dengan HIV perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hati- hati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada bayinya.
Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS, termasuk HIV dan AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus dan benar. Karena itu kondom harus digunakan oleh semua pasangan, baik yang hanya satu maupun yang keduanya HIV positif. Kondom tidak melindungi infeksi yang berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan yang tidak tertutup olehnya. Walaupun telah menggunakan kondom, perempuan dengan HIV dianjurkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lain untuk pencegahan kehamilan (perlindungan ganda).
Kegiatan yang dilakukan meliputi:
i) pencegahan dan penundaan kehamilan pada ibu dengan HIV melalui konseling dan penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif; dan
ii) perencanaan dan persiapan kehamilan yang tepat, jika ibu ingin hamil.
i) Pencegahan dan Penundaan Kehamilan pada Ibu dengan HIV
Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut.
1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV ke bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup, dipertimbangkan kontrasepsi mantap.
2. Kontrasepsi jangka panjang:
a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan dilakukan segera setelah plasenta lahir, walaupun tidak tertutup kemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada keluhan efek samping, seperti nyeri dan perdarahan.
b. Hormonal (lihat Tabel 6):
i. Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat meningkatkan enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB kombinasi.
ii. Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil progesteron.
iii. Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi perempuan dengan HIV yang diberi ART tanpa kehilangan efektivitas kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu.
iv. Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV.
Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV. Progesteron mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV. Namun, sebaiknya tetap diperhatikan pada pengguna polifarmasi (misalnya perempuan HIV dengan tuberkulosis), karena semua kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian juga ARV. Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.
ii) Perencanaan Kehamilan
Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak, maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut.
Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut.
i. Viral load tidak terdeteksi: bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah.
ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3: kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka ibu akan rentan terhadap infeksi sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa kehamilannya.
Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.
i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan, persalinan dan aspek pengasuhan anak.
ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang tuanya.
Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut.
i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah layak untuk hamil.
ii. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur.
iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom selama sanggama.
Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil:
i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk hamil.
ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load, untuk mengetahui risiko penularan.
iii. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan pada masa subur pasangan.
iv. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm3, maka sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu.
3.1.4 Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV
Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV, tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, karena