1
SEJARAH
PENGELOLAAN HUTAN
OLEH ;
EMY SADJATI
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS LANCANG KUNING, 2021
MATERI KULIAH
Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah dilakukan, khususnya di negara- negara maju, dari dulu sampai sekarang dapat dibedakan menjadi tiga atau empat macam (Simon, 1999), yaitu: (1) penambangan kayu, (2) pengelolaan hutan tanaman, (3) pengelolaan sumberdaya hutan, dan (4) pengelolaan ekosistem hutan.
2
A. Penambangan Kayu (Timber extraction)
Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia
Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah dan Barat
Penambangan Kayu di Indonesia
B. Pengelolaan Kebun Kayu
Tahun 1816 HEINRICH VON COTTA
menjelaskan secara sistematik metode pengaturan hasil yang sudah dipraktekkan secara luas di Jerman sejak beberapa abad terakhir
GEORG LUDWIG HARTIG, guru COTTA
perlunya pembuatan hutan monokultur dengan system silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan
Tahun 1710, HANS CARL VON CARLOWITZ menulis buku dengan judul Silvicultura economika (ekonomi silvikultur)
Tahun 1849 FAUSTMAN
menulis rumus daur finansial. Dengan
dirumuskannya sistem pengelolaan hutan
seperti itu, seolah-olah Jerman telah
memproklamirkan system pengelolaan kebun
kayu, yang kelak menjadi acuan
pembangunan hutan di seluruh dunia
Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur dengan system silvikultur tebang habis dan permudaan buatan
Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam perencanaan digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning unit) yang sekaligus berlaku sebagai alat pengendali kelestarian hasil.
Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang dinamakan Bagian Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa luasnya berkisar antara 4.000 – 6.000 ha.
Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal. Pada mulanya daur tunggal itu ditetapkan dengan criteria teknik, tetapi kemudian diganti dengan daur financial setelah FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang monumental pada tahun 1949.
Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:
Beberapa keuntungan yang secara teoritik memang cukup memberi harapan, yaitu:
Perencanaannya sederhana dan oleh karena itu mudah dan murah.
Pelaksanaan pengelolaan juga lebih mudah dan biaya yang murah sehingga diharapkan diperoleh keuntungan uang yang tinggi.
Konsep kelas perusahaan menguntungkan bagi pengadaan bahan baku industry yang pada waktu itu di Jerman masih terbatas menggunakan jenis tertentu saja
Kekurangan-kekurangan system tersebut:
Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama dan penyakit karena keragaman hayati menjadi sangat miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi stabil.
Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang banyak karena pembangunan hutan hanya ditekankan pada produktivitas kayu yang setinggi mungkin.
Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena system pengelolaan seragam untuk areal yang relative luas (satu kelas perusahaan), tanpa memperhatikan ragam sifat fisik wilayah, pengaruh social ekonomi masyarakat, dan potensi pasar.
C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan
ada tiga perbedaan yang penting dibanding dengan sistem konvensional (kebun kayu), yaitu:
Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi.
Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.
Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas dengan konsep kelas perusahaan untuk satu bagian hutan sebagai unit, dalam strategi kehutanan social bentuk pengelolaan hutan beragam sesuai dengan sifat fisik wilayah mikro dan pengaruh sosial (management regiems), untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah mikro yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya pekerjaan tanaman, yang pada hutan jati di jawa dapat diidentikkan dengan petak (compartment) dengan luas sekitar 30-40 ha saja
10
Keuntungan konsep Management regimes:
Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit;
Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan, termasuk aspek hidro- orologi dan kehidupan satwa;
Hasil yang diperoleh dari hutan akan
semakin beragam (diversifikasi) sehingga
menguntungkan konsumen maupun
produsen.
Kekurangan konsep Management regimes:
Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap daerah memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan kondisi tersebut;
Karena titik (1) di atas, maka diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun pengelola yang lebih baik;
Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan
di lapangan kurang professional, keuntungan
perusahaan justru menurun
D. Pengelolaan Ekosistem Hutan
Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan lingkungan hidup lebih diutamakan, sedangkan keuntungan finansial dipandang sebagai hasil sampingan saja. Oleh karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem hutan diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat lengkap. Inilah kendala utama yang dihadapi oleh perencana yang pada umumnya hanya berbekal ilmu teknik kehutanan saja
E. Evaluasi Pengelolaan Hutan
Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride Organization).
Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan- aturan utuk membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara- negara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika.
14
F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry):
Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir
Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki. Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995).
Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No.
31/Kpts-II/2001
Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya.
Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry.
Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip- prinsip pengusahaan hutan.
Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community forestry) dan social forestry jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahannya menunjukkan kesamaan maksud yaitu, (Alam, 2003):
1. menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal.
2. Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari pelindung hutan terhadap gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat
Pergeseran yang Diperlukan untuk Menerapkan Konsep Kehutanan Masyarakat
Dari Menuju
A. Sikap Dan Orientasi
1. Pengendalian Dukungan/Fasilitasi
2. Penerima Manfaat Mitra
3. Pengguna Pengelola
4. Pembuatan keputusan unilateral Partisipatif
5.Orientasi Penerimaan Orientasi sumberdaya 6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan local 7. Diarahkan oleh rencana Proses belajar/evolusi
B. Institusional Dan Administratif
8. Sentralisasi
9. Manajemen (Perencanaan, pelaksanaan, monitoring) oleh pemerintah
10. Top down
11. Orientasi target
12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar 13. Aturan-aturan untuk menghukum
Desentralisasi Kemitraan
Partisipatif/negosiatif Orientasi proses
Anggaran fleksibel Penyelesaian konflik
C. Metode Manajemen
14. Kaku
15. Tujuan Tunggal 16. Keseragaman 17. Produk tunggal 18. Silvikultur tunggal 19. Tanaman
Fleksibel
Tujuan Ganda Keanekaragaman Produk beragam
Silvikultur spesifik local Regenerasi alam
Manajer/pelaksana/pemroses/
pemasar
Konsep kehutanan masyarakat di lapangan dijumpai dalam beberapa istilah yang merupakan varian dari konsep dasar kehutanan masyarakat, antara lain (Suhardjito, dkk., 2000):
adalah: pengelolaan kawasan hutan tertentu dengan pola kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal). Para stakeholders mengembangkan kesepakatan-kesepakatan yang menjelaskan peran, tanggung jawab, dan dan hak- haknya dalam mengelola sumberdaya hutan.
1. Collaborative Forest Management :
22
2. Co-management,
sama dengan Collaborative Forest Management, hanya berbeda dalam model partisipasinya, dimana dalam Co-management bentuk partisipasinya sampai pada proses-proses politik dan proses pengambilan keputusan
3. Joint Forest Management (JFM), adalah:
kerangka manajemen hutan yang mendorong kemitraan antara Departemen Kehutanan dengan kelembagaan lokal dan anggota masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan untuk mengembangkan pola yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya hutan yang dikelola. Di India, JFM memberikan akses penuh hasil hutan bukan kayu kepada masyarakat, dan 20 -
TERIMA KASIH
24