SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQIH (Makalah)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Koseling Dosen Pengampu :Ahmad Tamyiz, M.Pd
DISUSUN OLEH :
NAMA NPM
Sayyidina ali _
Laelatul munawaroh _
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) DARUL ISHLAH TULANG BAWANG
2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum W.W
Pertama-tama kami ucapkan Alhamdulillah sebagai salah satu wujud syukur kita kepada Allah SWT, yang sudah memberikan kesehatan serta kesempatan sehingga kita dapat menyelesaikan makalah guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah ‘Fiqih dan Usul Fiqih” dengan judul “Sejarah perkembangan usul fiqih dari masa - kemasa”
Kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Bp. Dr. Kandidat Tohir Muntaha, M.Pd
2. Dosen Pengampu Mata Kuliah fisafat umum “ Bp. Ahmad Tamyiz, M.pd”
3. Teman – teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak sekali terdapat kekurangan dikarenakan masih kurangnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki, oleh karna itu kami mengharapkan segala saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari segala pihak, dan kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna dalam dunia pendidikan.
Wassalamualaikum W.W
II
DAFTAR ISI
KATA PENGEANTAR ………. II DAFTAR ISI ………... III
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ………... 1
C. Tujuan ………. 1
BAB II PEMBAHASAN ……… 2
A. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQIH ….………... 2
1. Masa nabi muhammad SAW …..………... 2
2. Masa sahabat-sahabat ……….. 4
3. Masa tab’in ………….……….. 4. Objek kajian usul Fiqih ……… 5 7 B. ALIRAN-ALIRAN USUL FIQHI ………..……….. 1. Aliran syafi’iyah dan Jumhur Mutakalim ………. 2. Aliran Fuqoha ………... C. Sumber-Sumber hukum Isalm ……… 7 8 8 8 1. Al Qur’an ……….…...……….. 8
2. Hadis ………..………...……… 3. Ijma ……….. 4. Qiyas ……… 9 9 10 BAB III PENUTUP ……… 10
A. Kesimpulan ……… 10
DAFTAR PUSTAKA ………. 11
III
BAB I
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuhdan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqhtidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zamanRosulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, sepertiijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dandi masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak memerlukan kaidah- kaidah tertentudalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsu
ngmerujuk kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an atau melalui sunnah beliau SAW.
Pada masa tabi’in cara mengistin bath hukum semakin berkembang.
Diantara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas disamping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logisdari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. (Abu Zahro :12 ).Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau
pada masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbathyang digunakan juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu Hanifah misalnyamenempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang padaamalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman RasulullahSAW sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalamiperkembangan.
Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukandalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatudisiplin ilmu tersendiri
RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.Bagaimana sejarah perkembangandan periodisasi Ushul Fiqh zaman Nabi, Sahabat, dan tabi’in ?
IV
2.apa objek kajianbusul fiqhi ?
3.Bagaimana aliran-aliran Ushul Fiqh ? 4.apa sajah sumber hukum islam ? TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka adapuntujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui perkembangan dan periodisasi Ushul Fiqhpada zaman Nabi, Sahabat, dan tabi’in
2.Untuk mengetahui objek kajian Ushul Fiqh 3.Untuk mengetahui aliran-aliran Ushul Fiqh 4.Untuk mengetahui sumber hukum islam BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH Masa Nabi
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al- Qurandan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyuyang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, makaRauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yangkemudian dikenal dengan Hadits atau Sunnah.Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.”
(HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi UmatIslam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi,menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda :
V
“Bagaimana engkau (mu‟az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu‟az saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran).
Kalaukamu tidak menemukan dalam kitab Allah?JawabMu‟az, saya akan mengambilkeputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah.
Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu‟az, saya akan berijtihad,dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu‟az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untukmengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telahmemberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat.Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untukmencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda :
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yangmenjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihadsebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasilusahanya benar atau salah.Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabisendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukanijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukandalam hadits-haditnya sebagai berikut :
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat dudukdalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmumempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab,Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaituketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit,
VI
Nabimenegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritastunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuatNabi sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting.Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islamdi bidang muamalah.Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannyadiserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkankepadanya diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketikamenjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan UmarIbn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya.Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?”
Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidakbatal). Rasulullah
kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelastelah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu denganmengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena menciumistrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
Pada Masa Sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baruyang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencariketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan olehRasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudahmerupakan sumber hukum.Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidakmenjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanitayang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukanmaharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah.
Ali menyamakan kedudukanwanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belumdicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hakmut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
VII
Artinya :
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukanmaharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka.Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurutkemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itumerupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan."
(Al-Baqarah :236)
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidakdikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya;
sebagaimanayang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW,demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidahdalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masasahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidakdisusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karenaRasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baiksecara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanyakaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun(asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al-Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dandasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yangmereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah
PadaMasa Tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad IIdan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai kedaerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya.Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidaksedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakintersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah
VIII
tersebut,menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul.
Yang tidakdidapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Untuk itu paraulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruhkemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yangditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satudaerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-samatinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulamauntuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertaliandengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Makaterjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulanantara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan.
Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dankemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal inimendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agardapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arabsewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.Dengan disusunnya kaidah- kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyahdalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu UshulFiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitabIlmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapikitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kalimembukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan- alasannyaadalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yangdiberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu UshulFiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan paraulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh
IX
Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari definisi ushul fiqh, yang menjadi objek kajiannya adalah :
(1) Dalil-dalil atau sumber hukum yang digunakan untuk menggali hukum syara’. Baik dalil atau sumber hukum yang telah disepakati maupun yang masih diperselisihkan oleh para ulama.
(2) Metodologi atau metode penggalian hukum dari sumbernya, tujuannya untuk mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara
lahiriyahnya dianggap bertentangan.
(3) Orang yang berwenang melakukan istinbath, yakni hakikat dan format ijtihad, serta kualifikasi dan kategorisasi seorang mujtahid.
Dan, terakhir
(4) Hukum syar’i dan segala hal yang berkaitan, seperti definisi, objek, subjek, kualifikasi subjek, dan kecakapan hukum.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, objek pokok kajian ushul fiqh itu meliputi hal-hal yang menyangkut dalil-dalil dan hukum-hukum. Baik dari segi pemberian dalil kepada hukum dan penetapan hukum dengan dalil.
Jadi, fokus perhatian kajian ini bukanlah pada norma hukum Islam itu sendiri, melainkan pada teori hukum Islam. Dan karena inilah ia dikenal sebagai teori hukum Islam.
ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQH
Aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakalimin (Ahli Kalam)
Membangun usul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi olehmasalah-masalah cabang keagamaan. Dalam menetapkan kaidah,menggunakan alasan yang kuat,baik dari dalil naqli/aqli,tanpa di pengaruhi masalah furu’ madzhab,sehingga kaidah ada kalanya sesuai dan sesuai dengan masalah furu’. Permasalahan yang di dukung naqli dapat di jadikan kaidah.Terlalu difokuskan pada masalah teoritis,sering tidak bisa menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa sangat dominan seperti penentuan tentangtahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dicapai akal atau tidak),dan taqbih(menanggap sesuatu itu buruk dan dicapai akal atau tidak ). Biasanya berkaitandengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara) yang berkaitan puladengan masalah aqidah. Seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rosulallah SAW
X
Kitab : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’i), Al-Mu’tamad (Abu Al- husainmuhammad ibnu Ali Al-Bashri), Al-Burhabn fi usul fiqih (Imam Al- Haramain Al-Jawaini),Al-
mankhul min ta’liqat Al-Ushul,Shifa Al-ghalil fi Bayan Asy-Syabahwa Al- Mukhil wa Masalik At-Ta’lil,Al-Mushfa fi ilmi Al-Ushul (Imam AbuHamid Al- Ghazali)
Aliran Fuqaha (Ulama Madzhab Hanafi )
Karena dalam menyusun teorinya aliran ini banyak di pengaruhi oleh furu’
yang ada dalam mazhab mereka.Berusaha untuk menetapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu’ apabila sulit,mereka mengubah kaidah baru agar bisa diterapkan padamasalah furu’ tersebut.Kitab : Al-ushul (Imam Abu Hasan Al- karkhi), Al-ushul (Abu Bakar Al-Jashshash),Ushul Al-sarakhsi (Imam Al- sarakhsi), ta’sisn-nazhar (Imam AbuZaid Al-Dabusi) dan Al-kasyaf Al-Asrar (Imam Al-Bazdawi).Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :
1.At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi(w.861 H)2.Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah (w.747.H)
3.jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-Subki Asy- Syafi’i (w.771 H)
4. Musallam Ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd.Al-Syakur(w.1119 H) (Ad-Dimasyqi : 42-43)
Sumber-Sumber Hukum Islam
1.Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan bantuan Malaikat Jibril.
Al-Quran juga menjadi dalil yang kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup manusia serta hukum- hukum yang harus dilaksanakan. Hal ini untuk menciptakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al Quran sebagai pena Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidakmampuan atau kelemahan yang dimiliki manusia untuk menjadikannya sebagai bahan pembanding, sekalipun manusia adalah orang pintar.
XI
Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat sesuatu yang mirip (dengan) Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan bisa membuat sesuatu yang serupa dengannya, meskipun mereka saling membantu.”
2.Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan sepakat serta mengakui bahwa perkataan, perbuatan dan risalah Nabi Muhammad SAW merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Banyak sekali ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan untuk menaati Rasulullah, seperti firman Allah SWT dalam QS Ali Imran ayat 32:
Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”
Al Hadits sebagai sumber hukum kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai saksi, sebagai pentakhshis masyarakat, dan membuat undang-undang baru yang ketentuannya tidak ada dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW terkadang berdasarkan petunjuk (inspirasi) dari Allah SWT, dan terkadang berasal dari ijtihad.
3.Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama yang berjudul Pandangan Imam Syafi'i Tentang Ijma Sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam Dan Relevansinya Dengan Perkembangan Hukum Islam Modern karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' merupakan salah satu metode dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini mengulas berbagai permasalahan yang muncul di era globalisasi dan teknologi modern.
Jumhur ulama ushul fiqh lainnya seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari kalangan Muhammad pada masa setelah wafatnya Nabi SAW terhadap hukum
syariah' mengenai suatu perkara atau peristiwa.
Ijma dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu ijma syarih dan ijma sukuti. Ijma syarih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum suatu permasalahan tertentu. Ijma syarih juga sangat
XII
jarang terjadi, meskipun dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan di luar forum sulit dilakukan.
bentuk ijma yang kedua adalah ijma sukuti, yaitu kesepakatan para ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih memaparkan penghasilannya tentang hukum suatu permasalahan dalam waktu tertentu, kemudian pendapat tersebut tersebar luas dan diketahui banyak orang. Tidak ada seorang pun di antara para mujtahid yang lain yang menyatakan perbedaan pendapat atau pendapat yang bertentangan setelah mengkaji pendapat tersebut.
4.Qiyas
sumber hukum Islam selanjutnya adalah qiyas (analogi). Qiyas merupakan suatu bentuk fari ra’yu yang sistematis dan berkembang serta mempunyai peranan yang sangat penting. Sebelumnya, dalam kerangka teori hukum Islam Al-Syafi'i, qiyas menduduki peringkat terakhir karena menganggap qiyas lebih lemah dari konsensus.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelsan di atas dapat disimpulkan :
1.Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zamanRasulullah SAW, Sahabat,tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengankata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2.Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahuihukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalammenggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
3.Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salahsatu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanyakehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh terus berkembang menujukesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbutmerupakan abad keemasan penulisan ilmu Ushul Fiqh karena banyakulama yang memusatkan perhatianya pada bidang Ushul Fiqh dan juga muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan untukUshul Fiqh selanjutnya
XIII
Daftar pustaka
1.Lihat Musthafa Sa’id al-Khin, Dirasat Tarikhiyah li al-Fiqh wa Usulihi waal- Ittijahat Zaharat Fihina. Hlm. 205-207
2.Lihat Musthafa Sa’id al-Khin, Dirasat Tarikhiyah li al-Fiqh wa Usulihi waal- Ittijahat Zaharat Fihina. Hlm. 209-216
3.Lihat Musthafa Sa’id al-Khin, Dirasat Tarikhiyah li al-Fiqh wa Usulihi waal- Ittijahat Zaharat Fihina. Hlm. 209-216
XIV