• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah, Sumber, dan Ijtihad Hukum Islam Pada Periode Khulafaurrasyidin

N/A
N/A
Abdullah Kafabih

Academic year: 2024

Membagikan "Sejarah, Sumber, dan Ijtihad Hukum Islam Pada Periode Khulafaurrasyidin"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah, Sumber, dan Ijtihad Hukum Islam Pada Periode Khulafaurrasyidin

Nilatul Azizah1,2,a, Ifa Nurtaqiya1,2,b, Nuril Fathurin1,2,c, Risma Ananda Putri1,2,d, Laili Muflihatin1,2,e, Lulu Nur Maulida1,2,f, Dwi Rosyidatu Fuadatin1,2,g, Farida Nur Azizah1,3,h, Himatul Aliyah1,i

1Pondok Pesantren Jagad‘Alimussirry Surabaya, Indonesia

2Universitas Negeri Surabaya Indonesia

3Nurul Falah Surabaya, Indonesia

Email: anilatulazizah.99@gmail.com, bnurtaqiyaifa12@gmail.com, cnurilfth9@gmail.com,

drismaanandaputri36@gmail.com,, elailimuf15@gmail.com, flulunurm12@gmail.com,

gdwirosyidatu23@gmail.com, hfaridanurazizah484@gmail.com, ihimatulaliyah@gmail.com

Abstrak. Perkembangan hukum islam dari masa ke masa dibagi dalam periodisasi oleh kaum intelektual terdahulu. Periodisasi Fiqih terbagi menjadi enam, yaitu; periode Rasulullah SAW, periode khulafaurrasyidin, periodetabi’in, periode keemasan dinasti Abbasiyah, periode keterpakuan intelektual, dan periode kebangkitan kembali. Namun yang menjadi fokus utama pada artikel ini yaitu tasyri’ pada periode khulafaurrasyidin. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum Islam pada periode khulafaurrasyidin, untuk mengetahui apa saja sumber penetapan Hukum Islam pada periode khulafaurrasyidin, untuk mengetahui ijtihad dari khulafaurrasyidin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejarah perkembangan hukum Islam pada periode khulafaurrasyidin dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11-41 H atau 632-661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang-undang dan terbukanya pintu-pintu Istinbath Hukum atas kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Sedangkan sumber penetapan hukum Islam pada masa yaitu al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad Sahabat. Adapun mengenai ijtihad khulafaurrasyidin dilakukan dengan cara mengqiyaskan dengan permasalahan yang terdapat di nash dengan persamaan illatnya.

Kata kunci: sejarah; sumber; ijtihad; dan khulafaurrasyidin.

PENDAHULUAN

Hukum islam yang sudah semakin kompleks saat ini tidak terlepas dari peran proses tasyri’ sejak zaman nabi, sahabat, tabi’in, hingga ijtihad para ulama pada zaman ini. Proses perkembangan penetapan hukum islam dibagi ke dalam beberapa periode. Menurut Hasyim Nawawi (2014) dalam buku Tarikh Tasyri’, perkembangan tasyri’ dibagi menjadi enam periode, yaitu

Periode Rasulullah, Periode

Sahabat/Khulafaur Rasyidin, Periode Tabi’in, Periode Keemasan, Periode Keterpakuan Tekstual, dan Periode Kebangkitan Kembali. Periode kedua merupakan periode setelah wafatnya Rasulullah SAW, yaitu pada masa sahabat.

Pada periode ini ketetapan tasyri’ diemban oleh pemimpin umat islam yang disebut khalifah. Khalifah empat yang terkenal

(2)

dengan Khulafaur Rasyidin, yaitu khalifah yang terdiri dari sahabat Abu Bakar as- Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Periode kedua tarikh tasyri’ ini dimulai setelah wafatnya Rasulullah SAW, dimana umat islam kehilangan pemimpin yang selalu dapat memberikan solusi setiap permasalahan. Pada masa kenabian, proses tasyri’ sepenuhnya berada dalam wewenang Rasulullah, maka setelah Rasulullah wafat beralih kepada khalifah pengganti Nabi.

Karena kondisi ini, khalifah pengganti

Rasulullah diharapkan mampu

mempertahankan amanah sebagai pemimpin umat, kepala pemerintahan, serta sebagai pihak yang berwenang sebagai penata hukum islam seperti yang dilakukan Rasul.

Semasa Rasulullah masih hidup, setiap permasalahan baru akan dijawab oleh Rasulullah dengan petunjuk turunnya wahyu Al-Qur’an atau ketetapan berupa sunnah Nabi. Permasalahan yang dihadapi pada periode sahabat tentunya berbeda dengan permasalahan semasa hidup Nabi. Hal ini dikarenakan semakin luasnya daerah pemerintahan juga mempengaruhi meluasnya pola pikir umat islam. Sehingga muncul berbagai permasalahan baru yang tidak ada ketentuan dalam nash. Adanya problematika baru yang muncul pada masa ini menuntut para sahabat untuk melakukan ijtihad. Ijtihad banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi yang dirasa mampu dalam hal keilmuan karena seringnya bergaul dengan Nabi, mereka yang sering menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan memahami tasyri’

secara menyeluruh. Para sahabat yang berijtihad harus mampu menyikapi persoalan yang muncul merujuk pada al- Qur’an dan Sunnah. Karena terdapat

permasalahan yang tidak terdapat dalam al- Qur’an dan Sunnah, maka para sahabat banyak menyikapi permasalahan baru dengan menganalogikan permasalahan yang sudah ada dalam nash. Sehingga pada masa ini muncul sumber hukum yang baru yang tidak menyimpang dari dari nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

PEMBAHASAN

1. Tasyri’ pada Periode Khulafaurrasyidin

Periode Khulafa’ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11-41 H atau 632-661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang- undang dan terbukanya pintu-pintu Istinbath Hukum atas kejadian- kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak masalah, akibat dari meluasnya pemerintahan islam yang hingga melampaui semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya mempengaruhi perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan yang timbul dikarenakan vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah islam semakin memaksa para sahabat

untuk berijtihad dalam

menyelesaikan permasalahan

tersebut. Secara umum

permasalahan-permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:

(3)

a. Aspek Politik

Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya Nabi SAW adalah masalah politik, terutama masalah imamah atau kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini, masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang pemimpin baru, wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah Arab, akan dengan mudah hancur atau terpecah-belah kembali, di samping kekhawatiran adanya serangan dari bangsa-bangsa lain, seperti dari bangsa Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya

menjadi khalifah dan

menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini kemudian menjadi tanda tanya sekaligus tugas terbesar bagi umat islam saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw.

b. Aspek Fiqih

Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode Khulafa’ur Rasyidin ini terasa sangat hidup dan semarak.

Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding

periode berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri.

Selain periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa-fatwa dan masa’il fiqih belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati demikian,

kita mulai dapat

mengklasifikasikan kaidah-kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha’ sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masa’il fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil- dalil dan kaidah-kaidah Istidlal.

c. Aspek Aqidah

Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang sangat menggelisahkan umat islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat, membuat mereka merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi Muhammadlah yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika

(4)

mendengar Nabi yang begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk bagi mereka selama 38 tahun (25- 63 tahun), hati dan iman mereka mulai gelisah. Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika mendengar Nabi wafat, dia langsung berkata : ’’barang siapa yang berkata bahwa nabi Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati Umar pun luluh manakala mendengar pidato abu Bakar : “Barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Hidup, tetapi barangsiapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”. Tidak hanya sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa oknum islam yang memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan memanfaatkannya untuk

menyampaikan dan

mengumandangkan pendapat- pendapatnya, di antara mereka ada beberapa pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi Nabi penerus Muhammad, seperti Musailamah al Kadzab. Selain itu ada juga beberapa orang yang menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena menurut mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal-hal ini lah yang kemudian mamaksa Abu

Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk melenyapkan penyakit-penyakit kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam atau yang biasa kita sebut orang munafik, karena dikhawatirkan hal ini akan merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.

2. Sumber Tasyri’ pada Periode Khulafaurrasyidin

a. Al-Qur’an

Al-Quran adalah sumber primer umat islam, yang meliputi ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan segalah bentuk hukum syara. Al- Quran adalah kalam Allah yang dirurunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya bernilai ibadah.

Allah menurunkan Al-Quran secara beransur-ansur dengan beberapa alasan diantaranya yaitu:

1) Mengkokohkan hati

Rasulullah

2) Mempermudah bagi rasul menghafalkan

3) Mempermudah proses regulasi perundang-undangan 4) Mempermudah kemudahan

dan empati kepada hambah b. Hadits

Hadits atau sunnah

nabawiyah adalah setiap yang keluar dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan, maupun tindakan selain yang ada di Al- quran. Hukum ini menempati urutan ke dua dibahwah kalamullah. Bila ada masalah

(5)

yang tidak terdapat pada Al- Quran, maka selanjutnya para sahabat akan menyelesaikan masalah dengan hadits.

c. Ijtihad Sahabat

Jika terjadi suatu permasalahn yang tidak ditemukan dalam Al- Quran maupun hadits maka sahabat melakukan Ro’yu. Iijtihad adalah mencurahkan kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i yang bersumber dari Al-Quran dan hadits. Ijtihad ini menggunkan metode ijma’ atau qiyas kemudian dilanjut dengan maslahah. Ijma terjadi secara jma’i terhadap suatu masalah dan tidak harus dalam suatu acara yang foemal namun bisa berbantuk diskusi atau tanya jawab. Metode Qiyas adalah sahat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ualng dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat yang menjelaskan sebab hukumnya sedangkan nash tidak menghukumi perkara tersebut.

3. Ijtihad pada Periode Khulafaurrasyidin

a. Kekhalifahan Abu Bakar Ash- Shiddiq

i. Penghimpunan Al-Quran Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi pemberontakan serta penyelewengan akidah di beberapa daerah kekuasaan islam, termasuk diantaranya

adalah seorang Musailamah al- Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian Abu Bakar pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya setelah pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar dengan meninggalkan banyak syuhada’, termasuk di antaranya jumlah besar para penghafal al-Quran (Ahmad, 2008). Karena kekhawatiran akan hilangnya al-Quran bersamaan dengan semakin

berkurangnya para

penghafal al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan pengumpulan al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar menolak usulan umar tersebut, karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu

mematuhi dan

membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW, pantang bagi

Abu Bakar untuk

melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang berkenaan dengan al- Quran selaku sumber hukum Primer Islam. Atas kegigihan Umar dalam

(6)

memberikan argument, bahwa hal itu untuk menghindari punahnya ayat- ayat al-Quran yang

disebabkan oleh

berkurangnya para

penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar

tersebut. Dia pun

memerintahkan kepada sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu kumpulan atau dalam satu mushaf.

Kemudian disimpan di rumah Sahabat Abu Bakar, kemudian sahabat Umar,

kemudian sayyidah

Hafshah. (Ibnu al-Jaziry, 833H).

ii. Harta Warisan Nabi Muhammad SAW adalah Shadaqah

Termaktub dalam Al- Quran bahwa Ahli waris dapat menerima harta pusaka apabila yang mewariskan (muwarits) meninggal dunia.

(QS. 4:11). Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, yang menjadi ahli waris adalah Sayyidah Fatimah.

Kemudian Sahabat Abu Bakar meriwayatkan salah satu hadits Nabi SAW yang artinya:“Kami adalah

sekalian para Nabi yang tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggal adalah shodaqoh.”

Berdasarkan riwayat tersebut, sahabat Abu bakar berijtihad bahwa surat an- Nisa’ ayat 11 di takhsish (dikhushuskan) oleh hadits tersebut. Karena itu sayyidah Fatimah tidak dapat menerima harta pusaka sebab yang ditinggalkan Nabi SAW adalah shodaqoh (al- Hujwi, 1397H).

iii. Bagian waris untuk nenek adalah seperenam

Ada seorang nenek yang datang kepada Khalifah Abu Bakar dan bertanya tentang kadar bagian yang dapat diterimanya dalam salah satu pembagian harta pusaka. Khalifah Abu Bakar

tidak menemukan

ketentuannya dalam Al- Quran. Ia kemudian bertanya kepada sahabat yang lain. Di antara sahabat yang memberikan tanggapan adalah Sahabat al-Mughirah ibn Syu’ban RA. Ia berkata,

“Saya pernah menghadiri majlis Nabi SAW. yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam”. Lalu, sahabat Abu Bakar berkata:

“Adakah orang lain selain kamu yang mengetahuinya?”

Setelah itu, sahabat Muhammad bin Mashlamah

(7)

RA. berdiri kemudian berkata seperti yang dikatakan Sahabat al-Mughirah ibn Syu’ban RA

b. Kekhalifahan Umar bin Khattab i. Diberlakukan sholat

Tarawih Jamaah

Pada zaman Nabi Muhammad SAW sampai pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab umat islam melakukan sholat tarawih di masjid secara munfarid (individu).

Kemudian khalifah Umar mengumpulkan mereka dan umat islam yang ada di masjid diperintahkan untuk sholat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh satu imam. Khalifah Umar

berpendapat bahwa

berjamaah salat Tarawih adalah mandub (segala sesuatu yang terpuji secara syar’i jika dikerjakan dan tidak dicela secara syar’i ketika ditinggalkan. Atau sesuatu yang diperintahkan oleh syara’ secara tidak tegas).

ii. Gharawain bagian 1/3 sisa Pembagian harta pusaka yang dikenal dengan Gharawain yaitu pembagian harta pusaka yang ahli warisnya adalah suami, ibu dan ayah; atau ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan ayah. Menurut sahabat Ibnu

Abbas, ibu dalam kasus pembagian harta pusaka tersebut mendapatkan bagian 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan. Oleh karena itu, dalam pandangan sahabat Ibnu Abbas pembagian harta warisan tersebut adalah sebagai berikut:

Table 1 Bagian Waris Ibu Menurut Ibnu Abbas

No Ahli Waris

Bagian Waris

Siham

1 Suami 1/2 (1/2 x 6) =

3

2 Ibu 1/3 (1/3 x 6) =

2 3 Ayah Ashobah (6 – (3+2))

= 1 Asal Masalah (AM) = 6 6

Sumber: Risalah fi Fiqih al-Mawarits

Dalam pembagian tersebut terlihat bahwa bagian ibu dua kali lebih besar dibandingkan dengan bagian ayah. Dalam mempertahankan pendapat- nya Ibnu Abbas beralasan dengan surat an-Nisa’ ayat 11 yang menyatakan bagian ibu yang bersamaan dengan ayah adalah sepertiga apabila yang meninggal tidak mempunyai anak.

Sedangkan sahabat:

Umar, Utsman, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa dalam pembagian harta pusaka dengan masalah tersebut ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa (tsuluts

(8)

al-baqy). Untuk mempertahankan

pendapatnya sahabat Umar bin Khattab dan sahabat lainnya beralasan dengan surat an-Nisa’ ayat 11,

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.

Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan."

Yang mereka pahami dari ayat tersebut adalah laki-laki, dengan berbagai posisi dalam struktur keluarga, mendapat dua kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh perempuan. Mereka

mengajukan konsep

sepertiga dari sisa karena ternyata bagian ayah tidak dua kali lipat dari bagian ibu. Dengan demikian, pembagian harta pusaka menurut sahabat Umar bin Khattab dan sahabat yang sependapat dengannya adalah sebagai berikut

TabeL 2. Bagian Waris Ibu Menurut Umar bin Khattab No Ahli

Waris

Bagian

Waris Siham

1 Suami 1/2 (1/2 x 6) =

3 2 Ibu 1/3 sisa (1/3 x 3) =

1

3 Ayah Ashoba

h

(6 – (3+1)) = 2 Asal Masalah (AM) = 6 6

Sumber: Risalah fi Fiqh al-Mawarist

iii. Penetapan Hukum Talak Tiga

Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata,

“Pada zaman Rasulullah SAW dan dua tahun pertama Umar bin Khattab menjadi khalifah, talak tiga yang diucapkan sekaligus dihukumi talak satu. Pada zaman khalifah Umar, orang-orang sering dengan mudah mengucapkan talak tiga dengan sekali ucapan.

Oleh karena itu, Khalifah umar berfatwa bahwa talak tiga yang diucapakan dengan sekali ucapan dihukumi talak tiga.

c. Kekhalifahan Utsman bin Affan

i. Mushaf Utsmani

Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu macam versi qiroah dan membuang mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragam- an bacaan al-Quran yang

mengarah kepada

keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya, pertentangan di kalangan umat islam. Dan ijtihad itu pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti diketahui bahwa al-Quran diturunkan atas 7 macam

(9)

huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan redaksi yang bermacam-macam, sehingga terbuka peluang berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat yang lain.

ii. Bagian Waris untuk Istri Di antara pendapat Khalifah Utsman bin Affan adalah bahwa istri yang dicerai suaminya yang sedang sakit dan kemudian suaminya meninggal dunia karena sakitnya itu, mendapatkan harta pusaka apabila (mantan) suaminya meninggal sedangkan (mantan) istrinya masih dalam masa ‘iddah. Apabila

(mantan) suaminya

meninggal setelah masa

‘iddah istri selesai, maka istri itu tidak mendapat harta warisan.

d. Kekhalifahan Ali bin Abi Tholib

i. Tentang Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas kawin atau maharnya.

Menurut ibnu Mas’ud, wanita itu berhak mengambil

maskawin seperti biasa dari harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’

binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman Rasulullah. Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu pihak.

Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak akan meninggalkan al-Quran hanya karena pernyataan seorang saja”, kata Ali. Dari sini nampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan tentang masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum melakukan hubungan suami- istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya

sebelum melakukan

hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang sama.

ii. Sumpah atau Akad Talak yang Dibarengi dengan Syarat adalah Tidak Sah.

Ketika seseorang menikah dengan seorang

perempuan. Saat ia

bermaksud melakukan perjalanan tanpa membawa

(10)

istrinya, keluarga istrinya mengancam bahwa istrinya telah jatuh talak jika tidak dapat mengirimkan nafkah paling lambat dalam satu bulan. Setelah waktu yang ditentukan telah berakhir, istri belum memperoleh kiriman.

Hal itu kemudian diadukan kepada khalifah ‘Ali bin Abi Tholib. Beliau berkata,

“Bertindaklah bijak sampai suamimu menyatakan talak.”

Khalifah ‘Ali menolaknya artinya beliau berpendapat bahwa sumpah atau akad talak yang dibarengi dengan syarat adalah tidak sah.

KESIMPULAN

Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi menjadi 4, yaitu periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin Affan dan periode Ali bin Abu Thalib dengan bersumber pada al-Quran, sunnah/hadits Nabi Muhammad SAW, ijma’

shahabi atau ijtihad kolektif dan qiyas

Apabila hukum suatu permasalahan tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka para khulafaur rasyidin mencari hukumnya di dalam hadits. Namun masih sering terjadi perdebatan dikarenakan hadits pada saat itu belum dibukukan sehingga para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka hafal.

Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan Ra’yu mereka sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode Qiyas

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Usairy. (2008.) SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX). Cet. Keenam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Hal. 188.

Al-Fasi, Muhammad Ibn al-Hasan al-Hujwi al- Tsa’labi. (1997). Al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Madinah al-Munawarah Ibnu al-Jaziry, al-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr ed All Muhammad al-Dhabba’, Dar al-fikr tt:7

Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Quran, Maktabat al-Ghazali, t.t h.6 Nawawie, Hasyim. 2014. Tarikh

Tasyri’.Surabaya, Jenggala Pustaka Utama.

Ruslan, Muhammad Jumali. Risalah fi Fiqih al-Mawarits. Tebuireng: Mathba’ah Tifaza, hal 13

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga, dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa ar-Raniri merupakan pemikiran hukum yang berusaha

Pada masa kerajaan Islam, hukum Islam diterapkan dalam berbagai hal tata negara dan hubungan bermasyarakat.Pada masa penjajahan hukum Islam berlaku lebih dikhususkan

Berdasarkan penelitian singkat yang dilakukan dapat dipahami bahwa ijtihad adalah hal yang sangat penting dalam pengkajian dan perumusan hukum Islam dari masa ke masa sesuai

Perkembangan Hukum Islam di Asia Tenggara persepktif perbandingan a.Hukum Islam di Malaysia.. b.Hukum Islam

Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh pendahulunya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah didampingi oleh sebuah Dewan penasehat

pengetahuan masa Khulafaur Rasyidin masih berkisar pada ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist, hal ini karena pertumbuhan ilmu pengetahuan masih dekat dengan sumbernya,

menjelaskan tentang perkembangan akuntansi syariah di masa zaman khulafaur

Diantaranya hukum yang diambil sama dengan yang di terapkan pada masa sahabat nabi yaitu berdasar pada Al-Qur’an, Sunah, Ijma, Qiyas, seperti pada masa Khulafaur rasyidin dibentuk